BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » The SBY Factor

The SBY Factor

Written By gusdurian on Minggu, 19 April 2009 | 13.34

The SBY Factor

Seorang teman penulis menceritakan pengalamannya terkait sosok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurutnya, SBY adalah figur yang penuh perhitungan, cermat, dan mampu membaca perubahan peta politik secara cepat.


Dia tidak sedang berpromosi,melainkan merefleksikan ingatannya tentang kehebatan insting politik SBY.Ditambah dengan kemampuan bicaranya yang di atas rata-rata, lengkaplah sudah kapasitas SBY sebagai seorang politisi tangguh,walaupun berlatar belakang militer. Saat itu 2003, beberapa bulan sebelum Pemilu 2004. SBY yang masih “anak bawang”di panggung politik nasional berencana mendirikan Partai Demokrat (PD).

Partai ini direncanakan sekaligus menjadi “kendaraan politik” menuju pencalonan presiden 2004. Teman tadi tak percaya PD bakal mampu menjadi kendaraan ideal bagi SBY.Pasalnya, sebagai partai baru, sulit bagi PD untuk menembus perolehan suara 15%, sebagai syarat pencalonan presiden 2004. Namun SBY memiliki insting politik tajam. Dia hanya mengatakan bahwa secara matematis, PD akan mampu merebut 7% sampai 8% suara. Modal tersebut cukup bagi PD sebagai partai baru, karena koalisi akan dibuka untuk menarik dukungan dari partai-partai lain.

Setengah tidak percaya, teman tadi hanya berharap agar SBY tak terlalu bermimpi. Apa yang terjadi? Luar biasa, prediksi SBY tentang suara PD terbukti. Pada pemilu 2004 PD memperoleh 7,3% suara, sekaligus menjadi fenomena baru. Modal itu pula yang mengantarkan SBY ke kursi presiden.

Insting Politik SBY

Kini cerita kembali berulang. Saat memimpin rapat PD beberapa bulan lalu SBY menekankan agar PD bekerja lebih keras untuk menaikkan target, dari 15% menjadi 20%. Padahal saat itu belum berlaku electoral threshold (ET) 20%, yang menjadi syarat pencalonan presiden.

Kini sekali lagi, insting politik SBY terbukti. Berdasarkan penghitungan cepat (quick count) Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada pemilu legislatif, PD memperoleh 20,28% suara,jauh mengungguli Golkar (14,90%) dan PDIP (14,03%)—dengan asumsi data masuk 97,15%. Hasil tersebut mengejutkan, walaupun suara PD oleh sejumlah lembaga survei diprediksi akan naik,namun tak sebesar saat ini.

Dengan hasil ini, maka PD menjadi satu-satunya partai yang mampu mencalonkan presiden sendiri,tanpa koalisi. Tentu opsi ini tidak kaku, mengingat kemungkinan besar koalisi masih akan menjadi pilihan realistis untuk mengawal pemerintahan ke depan agar lebih efisien di parlemen. Dari ilustrasi di atas, tuduhan bahwa SBY lamban dan tidak fokus dengan sendirinya terbantahkan. Justru yang muncul adalah sikap cermat, penuh perhitungan, dan terukur.

Tak banyak politisi yang memenuhi kriteria ini. Kebanyakan politisi masih sibuk menjual jargon, namun lemah dalam kerja politik riil. Menarik menganalisis sejumlah faktor di balik kecemerlangan suara PD di pemilu legislatif kali ini. Setidaknya terdapat tiga faktor utama yang memengaruhi melonjaknya perolehan suara PD. Pertama, kunci utama kemenangan PD masih terletak pada sosok SBY sendiri. Dia bagai magnet yang mampu memainkan (mengendalikan) irama politik nasional, di tengah serangan lawanlawan politiknya. Harus dicatat, SBY adalah presiden pertama di era reformasi yang mampu menyelesaikan masa jabatannya.

Sebelumnya, BJ Habibie, Gus Dur, dan Megawati tidak memerintah dengan lengkap satu periode. Lihat juga bagaimana koalisi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang sejak awal terlalu “dinamis” cukup menyulitkan posisi SBY. Dalam konferensi pers baru-baru ini di Cikeas, SBY mengakui hal tersebut. Dia heran karena ada menteri dari partai yang “menghantam” program pemerintah, padahal dia sendiri terlibat dalam pembahasan. Cerita tak jauh berbeda terjadi di Senayan.Beberapa isu yang seharusnya mendapat dukungan koalisi di parlemen, ternyata hasilnya berbeda.

Isu pembentukan UKP3R, impor beras, resolusi Iran,dan interpelasi adalah potret kecil tekanan politik ke SBY, yang justru dilakukan oleh partaipartai pendukungnya sendiri. Masih banyak penelikunganpenelikungan lain yang dihadapi sepanjang lima tahun pemerintahannya. Namun SBY tetap tegak berdiri di tengah kepungan lawan dan kawan politik yang identifikasinya makin kabur. Siapa lawan dan siapa kawan makin tak jelas.Para menteri dari partai pun yang partainya “mengganjal” pemerintah tak bisa berbuat banyak karena di sisi lain juga terikat loyalitas partai.

Padahal, posisi menteri adalah jabatan publik dengan tugas kenegaraan untuk melayani rakyat dan bangsa. Dalam upaya mengatasi situasi yang sulit ini,SBY dengan jurus soft power-nya, perlahan tapi pasti terbukti mampu mengendalikan keadaan.Wapres Jusuf Kalla (JK) yang sempat dianggap sebagai “matahari kembar” dan “the real president” nyatanya masih berada dalam barisan.Riak-riak kecil yang mewarnai hubungan SBY-JK selama ini ternyata hanya di atas panggung.

Di belakang, keduanya masih menunjukkan kekompakan, sebagaimana mereka tunjukkan saat mengunjungi korban Situ Gintung beberapa waktu lalu. Kedua, kemenangan PD ditopang oleh mesin politik luar partai yang kembali bergerak mendukung SBY menjadi presiden. Organisasi sayap pendukung seperti Majelis Dzikir SBY Nurussalam (MDZ),Jaringan Nusantara, Kaum Muda Indonesia untuk Demokrasi (KMI) dan organ-organ pendukung lain sudah bergerak sejak beberapa bulan lalu untuk memanaskan mesin-mesin politik masing-masing.

Tak ada overlapping dalam pola pengorganisasian di antara organ-organ tersebut. Konflik pun nyaris tak ada yang sampai membesar, karena tujuannya sama, yaitu mendukung pencalonan SBY. Bagi PD sendiri antusiasme sayap gerakan ini juga berdampak positif,karena sebagai partai yang masih muda,mesin PD akan kerepotan jika harus bertarung sendirian melawan mesin Golkar dan PDIP yang usianya lebih dari 40 tahun. Ketiga,kinerja pemerintah dan komunikasi politik yang efektif.

Semua pihak mengakui bahwa pemerintahan SBY,walaupun masih ada kekurangan,namun sejumlah agenda telah berhasil dijalankan. Khususnya program-program prorakyat yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat.Keampuhan program prorakyat SBY terbukti membuat panik lawan-lawan politiknya.

PDIP, yang semula menentang dan mengecam BLT, secara mengejutkan berbalik 180 derajat dengan mendukung BLT secara implisit melalui iklan “pengawasan distribusi”BLT.Namun, sejatinya iklan tersebut justru merupakan blunder politik PDIP, yang terbukti dengan penurunan suara partai banteng dibanding 2004 lalu.

The Next SBY’s Agenda

Pasca kemenangan PD di Pemilu legislatif, tugas tak ringan langsung menghadang SBY. Yang dimaksud adalah upaya membangun koalisi yang efektif untuk mengamankan program-program pemerintah lima tahun ke depan. Koalisi lima tahun pertama, sebagaimana kita saksikan bersama, penuh dengan intrik dan manuver, sehingga membuat kinerja pemerintah tak maksimal.

Tak ada aturan baku dalam koalisi tersebut, sehingga banyak partai yang menunjukkan “kegenitan” politik. Di pemerintahan, partai menempatkan menterinya (mendukung pemerintah),namun di parlemen mereka juga menghantam program yang didukungnya. Irasional. Seharusnya, jika partai tersebut memang sudah tidak segaris lagi dengan pemerintahan yang didukungnya, maka ia dapat menarik menterinya, sehingga menghindari conflict of interest.

Faktanya tidak demikian, karena sebagian besar partai memilih bermain dua kaki—sebuah potret kemunduran politik. Dalam konferensi pers di Cikeas setelah pemilu legislatif SBY menggarisbawahi hal ini. Dia lalu menuntut, jika koalisi terbentuk, harus ada piagam bersama yang disepakati oleh anggota koalisi.Dengan demikian,tak akan ada lagi cerita “matahari kembar” ataupun politisasi di parlemen. Jika itu terjadi, maka konsolidasi kita sudah mengarah pada titik yang benar.(*)

Zaenal Budiyono
Analis di Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Sosial

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/230193/
Share this article :

0 komentar: