BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Tanpa Perubahan, Utang RI Menumpuk

Tanpa Perubahan, Utang RI Menumpuk

Written By gusdurian on Minggu, 19 April 2009 | 13.36

Tanpa Perubahan, Utang RI Menumpuk

Jakarta - Utang Indonesia, baik dari pinjaman luar negeri maupun penerbitan
surat berharga negara (SBN/obligasi pemerintah), diperkirakan kian menumpuk
jika tidak ada perubahan mendasar. Jebakan utang yang didesain oleh para
ekonom pemerintah (ekonom Mafia Berkeley) selama 40 tahun terakhir ini akan
membuat Indonesia kian terpuruk dalam lilitan utang.


"Siapa pun yang akan menjadi presiden di masa depan harus ada perubahan
dalam menyelesaikan persoalan utang. Jika kebijakan ekonom masih setia pada
Mafia Berkeley maka Indonesia terus dijajah melalui instrumen utang," kata
Ekonom Tim Indonesia Bangkit Ichsanuddin Noorsy di Jakarta, Selasa (14/4).
Data menujukkan, selama lima tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, jumlah nominal utang telah membengkak dari Rp 1.275 triliun pada
2004 menjadi Rp 1.667 triliun pada 11 Februari 2009. Tanpa perubahan
kebijakan, utang luar negeri akan mencekik rakyat Indonesia dan para ekonom
Mafia Bekeley akan bersukacita dengan situasi ini.


Ia menyatakan, pernyataan yang menegaskan tidak terhormat jika Indonesia
tidak membayar utang merupakan statement tidak bertanggung jawab dan
mengekalkan penjajahan asing melalui instrumen utang. "Seorang pemimpin
harus melakukan terobosan besar terhadap persoalan utang. Tanpa ada
perubahan kebijakan maka tidak ada yang bisa diharapkan dari pemimpin
seperti itu," tandasnya.


Noorsy mengatakan, ekonom Mafia Berkeley telah menjalankan strategi jitu
guna menjerat bangsa ini melalui utang-utang baru. Jadi sebenarnya ekonom
Mafia Berkeley mengirim sinyal kepada siapa pun yang terpilih agar tunduk
pada garis kebijakannya. Ekonom-ekonom seperti ini melihat IMF, Bank Dunia,
ADB dan lembaga pemberi utang sebagai malaikat penolong, meringankan beban
defisit APBN dan berperan positif bagi pencapaian kesejahteraan rakyat.

Ia menjelaskan. jerat utang terhadap pemerintah Indonesia terlihat dari
pembayaran cicilian dan bunga atas utang lama yang lebih besar dari
pencairan utang baru. Selisih keduanya hampir mencapai Rp 10 triliun. Ekonom
Mafia Barkeley menggunakan privatisasi BUMN dan penerbitan SBN untuk menutup
selisih Rp 10 triliun tersebut.


Menurutnya, Indonesia membutuhkan perubahan, yakni pemimpin yang berani
melakukan terobosan. Pilihan kebijakan yang dilakukan yakni tidak membayar
utang sama sekali karena utang tersebut menjadi sarang korupsi dan
persekongkolan, restrukturisasi utang dan menolak utang baru sembari
melakukan pengoptimalan penerimaan dalam negeri. "Prinsipnya, pemimpin baru
harus setia pada konstitusi '45 dan mencintai rakyat melalui terobosan
kebijakan," katanya. Bangsa ini tidak membutuhkan pemimpin yang sibuk pada
popularitas, meninabobokan rakyat dan menyatakan kondisi perekonomian saat
ini baik-baik saja.


Pembayaran utang berupa cicilan dan bunga menjadikan APBN tersandera dan
tidak memiliki keleluasaan dalam membiayai program-program pendidikan,
kesehatan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. "Masyarakat adil-makmur
hanya ilusi jika kebijakan ekonomi pemerintah memprioritaskan pada
penumpukan utang," paparnya.
Sementara itu, ekonom dari INDEF, Imam Sugema, yang dihubungi SH secara
terpisah menilai kalau saat ini visi ekonomi yang dijalankan oleh
pemerintahan Yudhoyono-Kalla masih sangat liberal, sehingga berdampak pada
semakin bertambahnya angka kemiskinan.


Karenanya, siapa pun yang terpilih pada Pilpres mendatang, lanjut Imam,
harus membentuk tim ekonomi yang jelas dengan visi ekonomi yang kuat dan
tidak lagi berlandaskan pada sistem ekonomi liberal. "Kalau pemerintah yang
akan datang tetap menerapkan sistem ekonomi yang liberal seperti saat ini,
bisa dipastikan masa depan perekomian Indonesia akan semakin suram dan angka
kemiskinan akan terus bertambah, sekalipun program BLT dan PNPM tetap
dilanjutkan. Hal ini terjadi karena perekonomian kita sangat bergantung pada
kepentingan asing," tukasnya.


Dia juga menambahkan, akibat sistem ekonomi leberal tersebut, bangsa
Indonesia juga semakin terlilit utang luar negeri. "Karena hampir seluruh
proyek-proyek yang sedang dijalankan pemerintah, pendanaannya memang
bersumber dari sana. Kalau bisa pola-pola semacam itu harus dibatasi oleh
pemerintahan mendatang. Demikian juga dengan pengelolaan fiskal yang saat
ini masih sangat boros, sehingga total utang pemerintah saat ini telah
mencapai Rp 1.695 triliun," tandasnya
http://www.sinarharapan.co.id:80/berita/0904/14/sh03.html


Waduh! Utang RI Meningkat Rp 80 Triliun per Tahun

JAKARTA, KOMPAS.com - Selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sepanjang tahun 2005-2008, peningkatan utang negara naik rata-rata Rp 80 triliun per tahun.

Angka penambahan jumlah utang rata-rata ini mengalahkan utang pada era Orde Baru, yakni Rp 1.500 triliun dalam jangka 32 tahun atau sekitar Rp 46,875 triliun per tahun.

Hal tersebut disampaikan Ketua Koalisi Anti-Utang Dani Setiawan melalui siaran resminya kepada pers di Jakarta, Rabu (8/4). "Transaksi utang luar negeri memaksa Indonesia untuk terus membayar pinjaman luar negerinya meskipun sumber keuangan negara terbatas. Saat ini Indonesia tengah berada dalam posisi keterjebakan utang (debt trap) yang sangat parah," kata Dani.

Ia mengatakan, sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan trend yang meningkat. Pada awal tahun 2005 sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 277 triliun. Sementara total penarikan pinjaman luar negeri baru dari tahun 2005 sampai dengan September 2008 sebesar Rp 101 ,9 triliun.

Outstanding utang luar negeri Indonesia sejak tahun 2004 hingga 2009 juga terus meningkat dari Rp 1.275 triliun menjadi Rp 1.667 triliun. Selain itu, total utang dalam negeri juga meningkat signifikan dari Rp 662 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp 920 triliun pada tahun 2009. "Artinya, pemerintah berhasil membawa Indonesia kembali menjadi negara pengutang dengan kenaikan Rp 392 triliun dalam kurun waktu kurang lima tahun," ujarnya.

Sebelumnya, fakta-fakta serta temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantas Korupsi menyatakan bahwa sejak 1967 hingga 2005 pemerintah baru memanfaatkan utang negara sebanyak 44 persen. Sisanya tidak pernah dimanfaatkan oleh pemerintah untuk pembangunan. "Transaksi utang luar negeri selama ini justru membebani. Indonesia selama ini dipaksa terus membayar utang," tuturnya.

Ia menilai, pemerintah harus menggenjot upaya untuk mengurangi beban utang dengan cara menegosiasikan penghapusan utang kepada pihak kreditor. Langkah tersebut harus diikuti dengan komitmen untuk menghentikan ketergantungan terhadap utang luar negeri baru.

Ia mencontohkan sejumlah negara, seperti Nigeria, Argentina, Ekuador, dan Pakistan, telah mengambil langkah-langkah penghapusan utang.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/04/08/09435115/waduh.utang.ri.meningkat.rp.80.triliun.per.tahun


Eskalasi Utang Indonesia, Berbahayakah?
Jumat, 27 Maret 2009 | 04:54 WIB
KOMPAS.com - Ketidakmampuan pemerintah untuk keluar dari ketergantungan pada utang yang semakin besar, menurut sejumlah kalangan, menunjukkan pemerintah sudah pada tahap ketagihan pada utang. Ketergantungan Indonesia pada utang hanya bisa dikurangi dengan mengurangi stok utang secara signifikan, menggenjot penerimaan (terutama pajak), dan adanya keberanian politik untuk merombak belanja negara.

Kendati rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menunjukkan penurunan, posisi utang pemerintah secara keseluruhan terus meningkat dari Rp 1.294,8 triliun (2004) menjadi Rp 1.623 triliun (2008) dan tahun ini diperkirakan meningkat lagi menjadi Rp 1.667 triliun. Peningkatan terjadi baik pada utang luar negeri maupun surat berharga negara.

Lonjakan juga terjadi pada jumlah bunga yang harus dibayar, dari Rp 62,5 triliun (2004) menjadi Rp 65,2 triliun (2005), Rp 79,1 triliun (2006), Rp 79,8 triliun (2007), Rp 88,62 triliun (2008), dan tahun ini diperkirakan meningkat lagi menjadi Rp 101,7 triliun atau naik rata- rata 10,3 persen per tahun selama kurun 2004-2009.

Semakin membengkaknya kewajiban utang ini menjadi beban bagi APBN karena menyedot anggaran pembangunan. Praktis sepertiga penerimaan pajak tersedot untuk membayar bunga utang. Sementara untuk memenuhi kewajiban cicilan pokok, termasuk utang luar negeri, pemerintah terus dipaksa menerbitkan utang baru. Besarnya utang baru yang diterbitkan ini cenderung terus meningkat, bahkan melebihi kebutuhan untuk menutup defisit APBN.

Sebelumnya, Bank Indonesia dalam kajian stabilitas keuangan 2008 juga sudah mengingatkan kecenderungan meningkatnya tekanan utang luar negeri. Stok utang luar negeri, menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, meningkat dari 62,021 miliar dollar AS (2006) menjadi 62,253 miliar dollar AS (2007) dan pada 2008 serta 2009 diperkirakan 65,446 miliar dollar AS dan 65,730 miliar dollar AS.

Yang mencemaskan, menurut kajian BI tersebut, peningkatan utang ini juga terjadi pada utang jangka pendek yang meningkat dari 16,5 miliar dollar AS (2006) menjadi 23,1 miliar dollar AS atau meningkat 40,2 persen pada 2007. Akibatnya, rasio utang luar negeri jangka pendek terhadap total utang luar negeri juga naik dari 13 persen menjadi 17 persen.

Demikian pula rasio utang luar negeri jangka pendek terhadap cadangan devisa yang meningkat dari 38,7 persen (akhir 2006) menjadi 40,6 persen (akhir 2007), sementara laju peningkatan cadangan devisa lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan utang luar negeri jangka pendek.

Kondisi ini, menurut BI, bisa menjadi sumber potensi kerawanan yang dapat mengancam ketahanan sektor keuangan karena utang luar negeri atau modal asing yang masuk banyak ditempatkan dalam Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Utang Negara yang jumlahnya cenderung terus meningkat. Tekanan terhadap sektor keuangan bisa muncul jika modal asing yang ditempatkan di surat berharga domestik itu tiba-tiba secara serentak dan mendadak mengalir keluar (sudden reversal). Tekanan juga muncul karena besarnya pembayaran utang luar negeri.

Pemerintah sendiri, seperti dikatakan Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto, melihat tak ada yang perlu dicemaskan dengan terus meningkatnya utang. Menurut dia, utang yang besar dan peningkatan utang tidak akan jadi masalah selama dipakai untuk mendorong kegiatan ekonomi produktif dan dikelola dengan baik.

Hal senada diungkapkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu. Semakin menurunnya rasio utang terhadap PDB, meningkatnya rasio pajak, dan semakin besarnya sumber pembiayaan defisit yang berasal dari dalam negeri menunjukkan pemerintah semakin tak bergantung pada utang dan lebih banyak mengandalkan pada kemampuan dalam negeri.

”Pemerintah punya strategi pengelolaan utang domestik yang baik, baik penerbitan, pelunasan, pengaturan jatuh tempo, refinancing, buy back, maupun peminimuman biaya dan risiko utang sehingga potensi bom waktu utang tak terjadi,” ujarnya.

Tak konsisten

Anggota Komisi XI DPR, Dradjad H Wibowo, menilai, eskalasi utang menunjukkan tidak konsistennya kebijakan pemerintah dengan komitmen untuk mengurangi ketergantungan pada utang.

Menurut Dradjad, terus meningkatnya utang adalah akibat tak adanya keberanian pemerintah untuk merombak struktur belanja negara.

”Jika kita terus membiarkan pola belanja negara seperti ini dan segala sesuatu ditutupi dengan utang, pada satu titik nanti kita akan mengalami kondisi seperti yang pernah dialami Argentina dengan siklus utangnya. Dampaknya tidak hanya ke APBN. Kebijakan ekonomi kita juga akhirnya didikte pihak luar,” ujarnya.

Keberatan juga diungkapkan Direktur Perencanaan Makro Bappenas Bambang Priambodo terhadap niat pemerintah menambah stimulus fiskal hingga 2 persen dari PDB.

”Menurut saya, se-urgent apa pun, kalau itu menaikkan defisit, harus benar-benar digunakan untuk kegiatan yang meningkatkan kemampuan membayar utang dan risikonya rendah. Kalau arahnya tak jelas, seperti pemotongan pajak pada stimulus yang sekarang, lebih baik jangan,” ujarnya. (tat/aik)

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/03/27/04544912/eskalasi.utang.indonesia.berbahayakah

Utang Dongkrak Cadangan Devisa
Jumat, 3 April 2009 | 13:35 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Cadangan devisa Indonesia bertambah menjadi 54,8 miliar dollar AS pada 31 Maret 2009 atau meningkat dibandingkan posisi devisa per Februari 2009 yang hanya mencapai 50,564 miliar dollar AS.

Hal tersebut diungkapkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono, seusai shalat Jumat, di Gedung BI, Jakarta, Jumat (3/4). "Cadangan devisa naik karena aliran dana yang masuk ke BI lebih besar dari yang kita keluarkan," kata Boediono.

Menurutnya, cadangan devisa tersebut disumbang dari pinjaman global dan masukan dari ekspor. "Cadangan devisa itu sebagian dari utang atau pinjaman global, sebagian masukan ekspor dari dana migas yang langsung masuk ke BI," tuturnya.

Selain itu, Boediono juga menyebut adanya aliran dana asing yang masuk dalam beberapa minggu terakhir ini, juga menambah suplai devisa dalam negeri, kendati jumlahnya tidak begitu besar. "Itu bagus," ujarnya.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/04/03/13352475/utang.dongkrak.cadangan.devisa
Utang Kapal Bekas Jerman
Pemerintah Diminta Ajukan Penghapusan
Konvensi PBB bisa menjadi landasan.

Jakarta -- Pemerintah diminta mengajukan penghapusan utang atas kapal bekas Jerman Timur sebesar US$ 480 juta. Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development Donatus K. Marut mengatakan kapal tersebut tidak memberi manfaat, mengandung korupsi, dan melanggar hak asasi manusia.

"Karena terjadi beberapa pelanggaran (dalam perjanjian jual-beli kapal), pembelian kapal itu otomatis batal," kata Donatus dalam Seminar INFID tentang Upaya Penghapusan Utang Indonesia Ditinjau dalam Perspektif Keadilan dan HAM di Jakarta kemarin. Menurut dia, Jerman maupun Indonesia sama-sama melakukan kesalahan dalam pembelian kapal tersebut.

Sebanyak 39 kapal bekas Angkatan Laut Jerman Timur, yang terdiri atas 16 Parvim corvettes, 14 Frosch troop landing ship tanks, dan 9 penyapu ranjau Condor, dibeli Indonesia dari Jerman Timur. Harganya sebesar US$ 442,8 juta, tidak termasuk biaya perbaikan dan pemeliharaan kapal.

Indonesia, kata Donatus, melanggar perjanjian tujuan pembelian kapal yang antara lain awalnya akan digunakan sebagai kapal dagang, untuk mencegah penyelundupan, dan menyelamatkan bidang perikanan. Nyatanya, kata dia, kapal digunakan mengangkut prajurit ke daerah konflik, yakni Aceh dan Timor Timur. "Itu merupakan pelanggaran hak asasi," kata Donatus.

Pemerintah Jerman, kata dia, tak seharusnya menjual kapalnya kepada Indonesia karena tahu barang tersebut rongsokan. Dalam sebuah kajian, di negara tersebut juga ada undang-undang yang mengatur larangan untuk menjual kapal perang kepada negara yang sedang mengalami konflik.

Meski dalam perjanjian tidak disebutkan, kata Donatus, kapal itu tidak boleh digunakan untuk perang. Pada saat pembelian kapal, beberapa daerah di Indonesia sedang dilanda konflik sehingga penggunaan kapal tersebut berpotensi diselewengkan.

Menurut Donatus, Konvensi Wina pada 1968 maupun Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 2006 tentang korupsi bisa menjadi landasan hukum penghapusan utang pembelian kapal tersebut. Selain itu, bisa menggunakan yurisprudensi penghapusan utang antara Norwegia dan Ekuador pada 2006.

Norwegia pernah memberi utang kepada Ekuador berupa kapal yang tujuannya untuk memberi manfaat ekonomi. Ternyata utang tersebut justru merugikan. Akibatnya, Norwegia menghapus utang tersebut dan memberikan hibah sebagai kompensasi. “Beban utang bisa dialihkan ke pendanaan program- program pembangunan yang bermanfaat, seperti program penanggulangan HIV/AIDS. AQIDA SWAMURTI

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/16/Nasional/krn.20090416.162643.id.html
Share this article :

0 komentar: