BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Beragama Nirkekerasan

Written By gusdurian on Minggu, 20 September 2009 | 12.48

Beragama Nirkekerasan



Oleh *Masdar Hilmy*

”In fact, as far as the Qur’an is concerned, the concept of jihad has
nothing to do with violence” (Asghar Ali Engineer, On Developing
Theology of Peace in Islam, 2005: 27).

Madinah, 1 Januari 630 M/8 H. Muhammad SAW beserta sekitar 10.000
tentara Muslim bersenjata lengkap bergerak dari Madinah ke Mekkah dengan
misi: ”penaklukan”.

Saat itu rombongan sedang berpuasa karena bertepatan dengan bulan
Ramadhan. Namun, Nabi memberi dispensasi bagi mereka yang hendak
membatalkan puasa.

Pergerakan pasukan Muslim itu tercium sebagian penduduk Mekkah. Sejumlah
pemimpin Quraish memprediksi bakal terjadi pertumpahan darah hebat (yawm
al-malhamah). Ternyata, Nabi justru mengembuskan angin kasih (yawm
al-marhamah). Nabi menyerukan kedua masyarakat itu untuk saling
memaafkan dan merajut kehidupan baru yang penuh kasih sayang. Peristiwa
itu belakangan dikenal sebagai hari ”pembukaan” Mekkah (fath Makkah).

*”Lompatan kuantum”*

Penaklukan Mekkah oleh pasukan Muslim merefleksikan ”lompatan kuantum”
dalam lanskap peradaban bangsa Arab yang saat itu dihegemoni tradisi
kekerasan dan perang. Dikatakan demikian karena kekerasan dan perang
adalah metode resolusi yang hampir selalu dipakai untuk menyelesaikan
segala masalah di kalangan suku-suku Arab.

Penaklukan Mekkah itu mengintrodusir tradisi yang lebih maju dan
beradab, yaitu nirkekerasan dalam struktur sosial-politik masyarakat Arab.

Kekerasan dan perang adalah nomenklatur politik yang lazim saat itu.
Namun, pilihan damai memberi nuansa baru dalam lanskap peradaban
manusia. Pesan moral yang harus ditangkap dari fath Makkah adalah, Islam
hendak menceraikan—setidaknya menjaga jarak—elemen kekerasan dari
peradaban manusia.

”Lompatan kuantum” semacam inilah yang oleh Bellah sering dirujuk
sebagai ”terlalu modern untuk zamannya” (Robert N Bellah, Beyond Belief,
1970). Memang Bellah tidak secara spesifik merujuk peristiwa fath
Makkah, tetapi pada Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Memang, banyak
eksemplar tradisi nirkekerasan, di luar kedua peristiwa itu, yang bisa
diklasifikasi sebagai ”lompatan kuantum”. Karena itu, menjadi tidak adil
jika mengatribusi watak kekerasan sebagai sesuatu yang intrinsik dalam
Islam.

*Involusi keberagamaan*

Seharusnya apa yang sudah diinisiasi Nabi Muhammad SAW perlu diapresiasi
secara obyektif sebagai investasi kemanusiaan yang anakronistik pada
zamannya, tetapi diakronistik untuk peradaban manusia sekarang. Dengan
demikian, yang perlu diambil dari perilaku Nabi adalah semangat
nirkekerasan yang menempatkan keselamatan jiwa dan kehidupan manusia
sebagai kata kunci yang mendasari kesadaran keberagamaan modern.

Sayang, banyak umat beragama terjebak pemahaman tekstual-skripturalistik
dan mengesampingkan model keberagamaan kontekstual-transformatif. Tafsir
jihad ala Noordin M Top adalah salah satu contohnya. Dalam bahasa Sir
Muhammad Iqbal (Reconstruction of Religious Thought in Islam, 2004:15),
banyak umat beragama lebih suka mengambil abu, ketimbang api, agama.
Semestinya, yang diambil adalah yang tersirat dan bukan yang tersurat.

Perilaku ”mengambil abu ketimbang api” adalah bentuk involusi
keberagamaan, terutama saat yang mengemuka semangat duplikasi dan
replikasi tanpa cadangan atas apa yang tampak di permukaan. Kenyataan
semacam ini disebabkan proses fermentasi sosial-budaya atas sejumlah
doktrin keagamaan yang seharusnya diapresiasi sebagai kontekstual pada
zamannya.

Proses fermentasi atas doktrin keagamaan bahkan tersedimentasi sebagai
praktik atau tradisi keagamaan yang diterima secara lumrah dan
turun-menurun. Doktrin jihad yang semula tidak terkait kekerasan lalu
dimaknai secara tunggal sebagai ”perang suci”. Ini dapat dilihat,
misalnya, dalam kamus bahasa Arab tulisan Elias Antoon, Qamus Al-’Asri
(1972), jihad dimaknai ”militansi” dan atau ”perang suci”.

Padahal, sebagaimana ditegaskan Asghar Ali Engineer, semula konsep jihad
tidak terkait dengan kekerasan. Namun, pengalaman peperangan telah
mereduksi pemaknaan jihad yang hakiki. Sejatinya, tidak satu pun
ayat-ayat jihad yang berkonotasi kekerasan atau peperangan.

*Metamorfosis diri*

Dalam konteks ini, puasa adalah memberi ruang dan peluang luas bagi
setiap umat Islam untuk memetamorfosiskan diri menjadi Muhammad-muhammad
kecil di tengah kehidupan masing-masing. Dalam diri Muhammad ada
eksemplar keberagamaan nirkekerasan sebagaimana didemonstrasikan dalam
peristiwa ”penaklukan” Mekkah yang terjadi pada bulan Ramadhan.

Model keberagamaan semacam ini memungkinkan kita lebih mengedepankan
tradisi nirkekerasan dalam ruang-ruang kehidupan. Beragama yang benar
harus meneladani perilaku Nabi dalam setiap aspeknya. Namun, hal
demikian tidak bisa dilakukan secara membabi buta tanpa mempertimbangkan
konteksnya.

Mari kita ”menyambung” kontinum sejarah yang tonggaknya sudah
ditancapkan Nabi Muhammad SAW pada zamannya.

*Masdar Hilmy* /Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/03030983/beragama.nirkekerasan

Kontemplasi Spiritualitas

Toleransi
Kontemplasi Spiritualitas



Data Buku

• Judul Buku: Simply Amazing: Inspirasi Menyentuh Bergelimang Makna
• Penulis: J Sumardianta
• Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
• Cetakan: I, April 2009
• Tebal: xv + 188 halaman toleransi

Oleh *Anwar Holid*

Penulis buku ini dikenal sebagai salah satu peresensi buku yang baik.
Kemampuannya menemukan esensi buku dan maksud penulis sungguh baik, juga
kuat dalam menafsirkan signifikansi buku. Kekhasan cara bertutur,
pilihan diksi, serta kesukaan pada buku beraroma agama dan spiritualisme
membuatnya menonjol.

Tulang punggung Simply Amazing: Inspirasi Menyentuh Bergelimang Makna
ialah berupa pustaka yang kuat. Isinya hampir 100 persen berbasis buku,
terutama yang awalnya merupakan resensi. Hanya saja kemudian penulis
buku ini, J Sumardianta, membongkar naskah ini sedemikian rupa hingga
kesan resensinya lenyap, menyisakan pergumulan manusia dengan drama
kehidupannya, terutama demi memuliakan diri dan menemukan nilai yang
paling berharga, yaitu spiritualitas.

Singkatnya, buku ini berisi kontemplasi perihal masalah sederhana yang
berdampak luar bisa dalam hidup tokoh-tokohnya. Upaya ini relatif
berhasil, tetapi mempertaruhkan kepaduan isi buku. Boleh dibilang,
taktik Sumardianta memang cerdas, tetapi belum terbilang sangat sukses.

*Kisah inspiratif*

Membaca buku ini, dari bab ke bab pembaca akan bertemu dengan puluhan
insan bersama pergumulan hidupnya yang dramatik. Insan itu bisa tokoh
dalam buku, jurnalis, pengusaha pers, penerjemah, penyair, rohaniwan,
tukang becak, pedagang kecil, atau guru seperti penulisnya sendiri.
Kesan umum pergumulan itu ialah betapa spiritualitas merupakan hal
esensial dan melekat dalam kehidupan manusia, menjadi persoalan
sehari-hari. Ini membuktikan bahwa manusia rindu akan kasih Tuhan.
Biasanya, spiritualitas baru bangkit setelah manusia ada di ambang
kematian, dihajar derita luar biasa, didera kemiskinan di luar batas
nalar, atau merupakan konsekuensi logis dari hasil perjalanan dan
renungan mengarungi hidup yang sarat dinamika.

Dengan begitu, meski bentuknya bisa sangat kontras, pengalaman rohani
seorang eksekutif kaya raya dengan tukang becak melarat pun kualitasnya
sama. Mereka sama-sama merasa dekat dengan Tuhan dan Tuhan menjadi
sangat bermakna. Hal yang berbeda dari mereka hanya fenomena dan dampaknya.

Karena subyeknya mengenai kedalaman maupun pengalaman spiritual, apa
buku ini terkesan datar? Bagi sebagian orang mungkin iya. Namun, bagi
mereka yang haus kebajikan dan hikmah, condong pada iman, mencari-cari
kebahagiaan, buku ini justru merupakan appetizer yang dahsyat, membuat
ketagihan, sebab contoh orang yang akhirnya takluk kepada Tuhan ada di
seluruh halaman.

Sebagian pembaca mungkin akan lebih memilih satu buku utuh berisi
pergulatan hidup dan iman seseorang daripada buku berisi kisah-kisah
singkat pengalaman rohani. Karena pada dasarnya pengalaman rohani butuh
intensitas yang jauh lebih dalam. Di lihat dari sisi itu, Simply Amazing
menjadi terkesan hanya di permukaan. Namun, nyatanya berhasil
menggambarkan kondisi dengan baik. Sumardianta berhasil dengan jeli
memastikan kenapa dan kapan momen-momen spiritualitas seseorang bisa
tumbuh (mengalami epifani), lantas membentuk karakter orang tersebut
secara permanen. Pengalaman spiritual bukan hanya monopoli orang
beragama, melainkan bisa juga terjadi pada orang yang awalnya ateis atau
beralih iman. Spiritualitas itu berbeda sedikit dengan religiusitas
(keagamaan), ia membutuhkan intensitas penghayatan yang lebih besar
dengan kehidupan manusia dan Tuhan.

Meski bungkus utama buku ini spiritualitas, tiga bagiannya menekankan
nuansa berbeda-beda. Pertama, mengajak pembaca menyelami pengalaman
spiritual sejumlah orang terpilih. Kedua, merasakan pentingnya hidup
bersahaja dan tetap tenang meski perjalanan bisa sangat terjal dan penuh
halangan. Ketiga, cara berselancar begitu mengetahui ombak besar
kehidupan bakal datang.

*Mengajarkan toleransi*

Komentar Darmaningtyas, seorang tokoh pendidikan, dengan tepat
memosisikan Simply Amazing: ”Buku ini bikin pembaca kesengsem. Bahasanya
sangat memikat, judul-judulnya unik. Pilihan diksinya tidak lazim.
Kisah-kisahnya menggetarkan. Penulisnya lihai mengulas keutamaan hidup
bersahaja.”

Buku ini pantas direkomendasikan, baik kepada publik luas sekaligus bisa
menjadi contoh sempurna bagi para calon penulis atau peresensi bagaimana
sebaiknya mengulas buku sekaligus kembali membongkar isinya untuk
keperluan baru. Sumardianta berhasil menghidupkan istilah ”buku beranak
buku”, yaitu buku yang lahir berkat keseriusan penulisnya melahap,
menggumuli, dan mengandung pemikiran dari ratusan buku lain.

Keunggulan lain buku ini ialah memperlihatkan betapa pemahaman
Sumardianta terhadap iman lain—terutama Islam—bagus. Dia mampu menyelami
kedalaman spiritual agama Islam, Buddhisme, maupun Hindu. Hal ini cukup
mengagetkan bagi seorang guru kolese, yang bukan saja begitu akrab
dengan spiritualitas Katolik, melainkan juga sangat jelas komitmen
imannya. Lewat pancaran spiritualitasnya, di buku ini Sumardianta
mengajari kita soal toleransi dan kebajikan yang amat penting agar
terhindar dari bahaya SARA.

Dari segi kepaduan dan penyuntingan, buku ini sedikit membingungkan.
Banyaknya kosakata Jawa, istilah Latin, Italia, dan Inggris tampak malah
berpotensi merepotkan pembaca umum. Karena amat banyak, pembacaan jadi
terhalang dan kurang lancar meski boleh jadi niat penulis ialah
memperlihatkan kekayaan khazanah bahasa serapan Indonesia. Penulis
seakan-akan memaksa pembaca harus membaca istilah asing tersebut meski
sebagian besar sebenarnya bisa dipadankan dengan baik.

Tumpang tindihnya beberapa topik serupa juga kurang berhasil disiangi
editor. Sejumlah hal dengan konteks mirip berulang lagi di tempat lain.
Misal ketika penulis membahas spiritualitas dan ketabahan penduduk Anand
Nagar, kawasan miskin di Calcutta, India, dalam buku The City of Joy
(Dominique Lappiere). Topik ini muncul pada halaman 19 dan 60. Ini
memperlihatkan betapa upaya mengubah naskah sumber butuh kejelian dan
keberanian yang lebih. Salah eja terjadi berkali-kali, semisal
”Nietzche”, mestinya ”Nietzsche”. Juga Amstrong dan Amrstrong, mestinya
”Armstrong”.

Satu hal penting yang dilematik bagi Sumardianta ialah klaim terhadap
karakter umum bangsa Indonesia. Dia mengklaim bahwa kehidupan bangsa
Indonesia sekarang mengidap social distrust (kecurigaan sosial) yang
tinggi dan solidaritasnya rendah (hal xiv). Anehnya, dia sendiri malah
lebih sering menghadirkan contoh orang Indonesia dengan integritas kuat
untuk mengimbangi kemelaratan mental itu. Justru di buku ini tampak
klaimnya otomatis runtuh sendiri sebab betapa orang Indonesia itu masih
berhati mulia, tanpa pamrih, dan punya sifat spiritualitas tinggi
sebagaimana keyakinan kita selama ini. Nilai agung itu belum luntur
sebagai ciri umum bangsa Indonesia.

*Anwar Holid* /Eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung; Bekerja sebagai
Penulis, Editor, dan Publisis
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/02460552/kontemplasi.spiritualitas
/

Etika Jabatan Publik

Etika Jabatan Publik



Oleh *TA Legowo*

Empat menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu menyatakan mundur dari
jabatan karena akan segera dilantik sebagai anggota DPR periode
2009-2014. Sementara dua menteri lainnya akan tetap pada jabatannya
hingga akhir masa bakti 20 Oktober 2009.

Kedua macam tindakan itu tampak dianggap wajar. Jika dicermati, setiap
tindakan itu membawa nuansa ”pelanggaran” terhadap etika pejabat atau
jabatan publik.

*Dua tuan*

Dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia, menteri adalah
pembantu Presiden. Maka, ketika seseorang diminta Presiden dan bersedia
menjadi menteri dalam kabinet pemerintahannya, pada saat itu juga dia
terikat komitmen, bahkan jika pun tanpa kontrak politik tertulis, secara
etis untuk mengabdi dan melayani Presiden hingga masa akhir jabatan.

Namun, sistem pemilu dan kepartaian Indonesia memberi peluang kepada
para menteri kabinet, terutama mereka yang mengikatkan diri dalam partai
politik, untuk diajukan sebagai calon anggota badan perwakilan (DPR,
DPD, DPRD) dalam suatu proses pemilu. Tidak ada keharusan untuk mundur
dari jabatan saat seorang menteri dipastikan sebagai calon tetap anggota
Dewan.

Ketika hasil pemilu memastikan seorang menteri sebagai calon anggota
Dewan terpilih, saat itu juga dia telah terikat kepada ”tuan” baru,
yaitu pemilih. Apalagi jika penetapan calon terpilih itu berdasar
prinsip suara terbanyak, ikatan etik politik calon bersangkutan dengan
pemilih (konstituen) makin nyata dan kuat.

Kompleksitas etika muncul dari kesejajaran waktu antara menyelesaikan
tugas sebagai menteri dan menepati komitmen sebagai perwakilan rakyat
terpilih. Pada waktu bersamaan seorang menteri harus menyatakan komitmen
dan pengabdian untuk dua tuan yang secara substantif bertolak kepentingan.

*Pelecehan kepercayaan*

Menteri yang memastikan tetap pada jabatannya mengambil risiko untuk
kehilangan semua jabatan publik. Sebab, dia harus menyerahkan kursi DPR
yang sudah di depan mata kepada orang lain, sementara untuk waktu tidak
lama lagi dia harus pensiun dari jabatan menteri.

Keputusan ini mungkin sekali dinilai ”bagus” di mata presiden. Juga ada
kandungan komitmen etik untuk menyelesaikan tugas hingga akhir masa
jabatan. Tindakan seperti ini dapat saja berefek pada peluang untuk
diminta kembali oleh presiden—yang terpilih untuk masa bakti kedua—untuk
berada dalam jajaran kabinet baru.

Bukan tidak mungkin bersit harapan seperti itu dapat dibaca sebagai
sikap pragmatis. Sebab, diakui atau tidak, jabatan menteri lebih memberi
keuntungan ekonomi-politik daripada jabatan sebagai anggota DPR.

Namun, jelas tidak ada jaminan menteri bersangkutan pasti akan mendapat
tempat di kabinet baru mendatang. Dinamika dan tuntutan kekuasaan baru
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mungkin mengubah konstalasi/kalkulasi
politik yang berdampak tersingkirnya menteri bersangkutan dari
pertimbangan politik presiden.

Di mata konstituen, keputusan menolak jabatan sebagai anggota DPR akan
dengan mudah dipahami sebagai pelecehan kepercayaan. Penetapan calon
anggota Dewan, terpilih berdasar perolehan suara terbanyak memastikan,
menteri bersangkutan memperoleh kepercayaan terbesar dibandingkan dengan
para calon lain yang separtai. Melepas kepercayaan pemilih demi
mempertahankan jabatan menteri sama dengan mengingkari makna kedaulatan
rakyat dalam proses pemilu.

*Oportunisme berkelanjutan*

Meletakkan jabatan menteri di pengujung akhir masa bakti demi jabatan
sebagai anggota DPR untuk waktu lima tahun mendatang juga menimbulkan
sinisme publik.

Sekilas, keputusan itu terkesan bijak karena memantulkan komitmen
politik yang menghormati kepercayaan pemilih. Presiden harus dikalahkan
demi suara terbanyak yang memercayakan keperwakilan politik kepada
menteri bersangkutan. Namun, sulit untuk memastikan bahwa para mantan
menteri itu akan tegas dalam komitmen menjalankan mandat pemilih sebagai
perwakilan politik hingga akhir masa bakti.

Jika tidak salah mengingat, bukankah beberapa di antara mereka pada
pengalaman lima tahun lalu melepaskan keanggotaan DPR demi jabatan
menteri yang ditawarkan Presiden saat itu? Jabatan menteri tetap dilihat
lebih memberi keuntungan ekonomi-politik daripada jabatan sebagai
anggota DPR.

Karena itu, bukan tidak mungkin para mantan menteri akan dengan senang
hati menanggalkan keanggotaan DPR-nya jika tawaran kembali dibuka
Presiden Yudhoyono untuk kelak duduk dalam jajaran kabinet baru.

Jika tawaran terbuka kembali dan anggota DPR yang mantan menteri maupun
anggota DPR terpilih menerima tawaran itu, peluang dan keputusan semacam
ini hanya akan menegaskan tradisi politik yang secara berulang-ulang
terus menerabas etika jabatan publik.

Hasilnya, bukan tegaknya etika jabatan publik, tetapi oportunisme
politik berkelanjutan. Hasil ini hanya akan membuktikan kegagalan demi
kegagalan yang dialami Indonesia untuk membangun tata kelola
pemerintahan yang baik dan demokratis.

*Perlu makin beretika*

Masa depan Indonesia tampak akan menuntut makin tegaknya etika jabatan
publik. Hingga kini, banyak pembaruan kelembagaan telah dicapai.
Demikian pula, pengaturan dan peraturan baru telah dibuat untuk
memastikan prosedur politik transparan dan partisipatif, serta tata
kelola pemerintahan efisien dan bertanggun jawab.

Namun, kelembagaan dan pengaturan baru itu tampak menjadi sia-sia karena
tidak dilambari etika para aktor untuk secara sukarela, konsisten, dan
konsekuen mematuhinya. Yang ada hanya siasat menelikung demi kepentingan
pragmatis.

*TA Legowo* /Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/03051445/etika.jabatan.publik

Risiko Melemahkan KPK

Risiko Melemahkan KPK

Daya dukung politik terhadap eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) ternyata tidak cukup kuat. Tak aneh jika gebrakan KPK dalam
memberantas korupsi direspons dengan sangat negatif.


Caranya dengan melakukan usaha sistematis untuk merontokkan KPK. Jika
pimpinan KPK dikriminalisasi melalui tindakan penyelidikan dan
penyidikan kasus korupsi oleh Mabes Polri,wewenang KPK dipreteli lewat
jalur alternatif, yakni RUU Pengadilan Tipikor.Dua wewenang KPK yang
terus menjadi target pemangkasan oleh elite politik adalah penuntutan
dan penyadapan. Tindakan Reskrim Mabes Polri dalam memeriksa Pimpinan
KPK sejak awal memang mencurigakan.

Bermula dari dugaan penyadapan ilegal, dugaan suap dalam kasus PT Masaro
yang diterima oleh oknum KPK, hingga yang terbaru, dugaan penyalahgunaan
wewenang oleh Pimpinan KPK atas penanganan kasus korupsi PT Masaro yang
melibatkan Anggoro. Bahkan dua hari lalu kita digemparkan dengan status
tersangka atas Candra Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Dalam kasus pertama
dan kedua, polisi nampaknya kecele karena tidak dapat menemukan bukti
hukum yang mendukung.

Sementara kasus yang terakhir, saya khawatir Mabes Polri tidak membaca
UU No 30 tahun 2002 tentang KPK. Dalam pasal 36 ayat 1 UU KPK diatur hak
untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan atau kompensasi apabila
seseorang dirugikan sebagai akibat dari penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan yang dilakukan oleh KPK. Ditambahkan dalam ayat 2, gugatan
rehabilitasi dan atau kompensasi tidak menghilangkan hak orang yang
dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan. Dengan aturan di
atas,semestinya Anggoro Wijaya, Direktur PT Masaro yang kasus korupsinya
tengah disidik KPK dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan dua
gugatan di atas.

Sementara di sisi lain, Kepolisian tidak memiliki wewenang sama sekali
untuk melakukan reviu atau pemeriksaan atas proses hukum kasus korupsi
yang tengah dilakukan KPK. Berdasarkan aturan hukum inilah, kita bisa
mengatakan bahwa yang telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan
sebenarnya adalah Reskrim Mabes Polri, bukan KPK.

Memangkas Wewenang KPK

Sikap pejabat Polri dan DPR setali tiga uang, yakni tidak menunjukkan
komitmen untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi di
Indonesia.Parlemen masih terus menggodok RUU Pengadilan Tipikor meski
kelompok masyarakat sipil telah menuntut supaya DPR tidak meneruskan
proses tersebut. Salah satu isu besar yang menjadi bahan diskusi publik
terkait pembahasan RUU Pengadilan Tipikor adalah upaya melemahkan KPK
dengan mengamputasi wewenang penuntutan dan penyadapan.

Untuk soal penuntutan, alasan yang diajukan parlemen cukup
sederhana,yakni adanya dualisme penuntutan antara KPK dan Kejaksaan.
Logika ini menyesatkan karena dua hal.Pertama, dualisme penegakan hukum
tidak hanya terjadi pada sisi penuntutan. Bahkan di tingkat
penyelidikan, bukan hanya dualisme yang terjadi, tapi sudah “triisme”.
Pasalnya polisi, jaksa dan KPK memiliki wewenang untuk melakukan
penyelidikan kasus korupsi.Sementara untuk penyidikan,dualisme juga
terjadi. Antara KPK dan Kejaksaan samasama memiliki wewenang itu.

Kedua, berhitung soal kinerja, penuntutan KPK justru lebih baik
dibandingkan dengan penuntutan oleh Kejaksaan. Indikatornya mudah, tidak
ada satu pun kasus korupsi yang dituntut KPK ke Pengadilan Tipikor
berakhir dengan vonis bebas. Berbeda dengan Kejaksaan, masih banyak dari
kasus korupsi yang dituntut Kejaksaan berujung bebas.Artinya, sejak
dimulainya penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan, ada satu aras
yang sejalan sehingga penuntutan KPK benar-benar dapat membuktikan
secara hukum bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi.

Secara teknis,mengembalikan wewenang penuntutan ke Kejaksaan juga
membuat urusan penegakan hukum menjadi tidak efektif dan tidak efisien.
Parlemen seharusnya dapat mengambil contoh antara Kepolisian dan
Kejaksaan. Bolak-balik berkas perkara antara Kepolisian dengan Kejaksaan
kerap terjadi.Kita tentu akan melihat hal serupa jika KPK hanya diberi
wewenang penyelidikan dan penyidikan, sementara wewenang penuntutan ada
di Kejaksaan.

Risiko yang paling buruk, fakta-fakta hukum yang telah dikumpulkan KPK
dapat dihilangkan dalam penuntutan oleh Kejaksaan.Pada akhirnya, kasus
yang diproses KPK bisa saja divonis bebas karena penuntutan yang
bermasalah.

Risiko bagi Agenda Pemberantasan Korupsi

Kita tentu merasa heran mengapa SBY sebagai Kepala Negara terkesan diam
seribu bahasa atas upaya pihak-pihak tertentu yang ingin melemahkan KPK.
Padahal pemberantasan korupsi merupakan isu yang dijual oleh SBYKalla
maupun SBYBoediono dalam setiap kampanyenya.

Secara diam-diam, SBY pun mengakui kinerja KPK mengingat dalam periode
kampanye Pilpres 2009 kemarin, materi kampanye keberhasilan
pemberantasan korupsi Pemerintahan SBYKalla justru menonjolkan sisi KPK.
Akan ada beberapa risiko besar jika secara politik,KPK tidak mendapatkan
dukungan dan terus dilemahkan. Pertama,Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Indonesia untuk tahun 2009 dan selanjutnya tidak akan sebaik capaian IPK
2008 atau bahkan merosot ke titik paling rendah.

Sebagaimana kita tahu, kontribusi KPK dalam mendongkrak IPK Indonesia
dari 2,3 pada tahun 2007 menjadi 2,6 pada 2008 merupakan hal yang tidak
dapat dibantah. Oleh karena itu, menjadi sangat ironis jika target
capaian IPK oleh SBY pada masa kedua kekuasaannya lebih tinggi daripada
capaian IPK 2008,akan tetapi pada saat bersamaan,faktor-faktor yang
mendukung peningkatan IPK tidak didukung secara politik.

Saya khawatir SBY terlalu percaya diri dengan agenda reformasi
birokrasinya sehingga tidak menganggap sama sekali KPK sebagai pemberi
kontribusi terbesar dalam mendongkrak IPK Indonesia 2008. Kedua,
merosotnya IPK adalah indikator buruknya kepercayaan masyarakat
internasional terhadap Indonesia. Lemahnya penegakan hukum, tiadanya
kepastian hukum,berjangkitnya suap dalam praktek berusaha, panjangnya
mata rantai birokrasi perizinan, tingginya ongkos ekonomi dan rendahnya
integritas aparat pemerintah menjadi faktor kunci buruknya citra Indonesia.

Padahal diberantasnya semua faktor di atas adalah kunci untuk
meningkatkan daya saing ekonomi nasional.KPK secara langsung maupun
tidak langsung berjasa untuk mengubah citra Indonesia yang negatif. Oleh
karena itu, jika SBY memiliki komitmen dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, seharusnya hal itu juga didukung oleh komitmen dalam
memberantas korupsi.

Kini,semua bola panas yang menghantam KPK menggelinding ke Istana
Negara. Sikap kenegarawanan seorang SBY tengah diuji menjelang
pelantikannya sebagai Presiden untuk periode kedua. Nasib KPK ke depan
berada dalam genggamannya.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/270640/

Idul Fitri Bersama Si Miskin

Idul Fitri Bersama Si Miskin



Oleh Zuly Qodir

Umat Islam yang menjalankan puasa Ramadhan akan merayakan Idul Fitri
setelah menahan nafsu serakah, nafsu amarah, dan nafsu berlebihan.

Tiga hal itu merupakan nafsu Rahwana. Nafsu ini dapat menjerumuskan
umat yang berpuasa sehingga banyak orang berpuasa hanya mendapat lapar
dan haus, tetapi tidak mendapat pahala atas penderitaan yang dialami
sebulan penuh.

Memaafkan

Dalam Idul Fitri, hal yang tidak mungkin ditinggalkan adalah saling
memaafkan. Memaafkan adalah ajaran paling dasar dari Idul Fitri, sebab
hanya dengan saling memaafkan seseorang yang telah berpuasa akan
mendapat pahala dari Tuhan untuk tahun ini dan tahun mendatang.

Inilah ajaran yang memenuhi hakikat kemanusiaan sebab tidak banyak
orang bersedia memaafkan dan dimaafkan. Memaafkan dan dimaafkan
merupakan pekerjaan amat berat dan membutuhkan ketegaran jiwa serta
nurani. Hanya orang yang bernurani dan berjiwa bersih yang bersedia
memaafkan dan dimaafkan atas segala kekurangan dan kesalahan yang
telah dibuatnya.

Karena itu, memaafkan akan dihubungkan dengan ucapan, sikap, dan
tindakan kita kepada orang lain dan orang lain kepada kita.

Di sinilah sebenarnya esensi Idul Fitri yang selalu dirayakan dengan
semangat oleh umat Islam, yakni saling memaafkan atas sesama manusia.
Sebab, tidak ada manusia sempurna dari salah dan kekurangan, demikian
hadis Nabi mengajarkan kepada kita.

Kita mungkin amat kecewa dengan hasil pemilu legislatif karena ada
indikasi kecurangan dan aneka kesalahan yang dilakukan beberapa pihak.
Akibatnya, kita (caleg) gagal atau sudah lolos tetapi ada kabar hendak
digagalkan karena simpang siurnya peraturan. Semua itu membuat caleg
bukan saja marah, tetapi juga mengumpat-umpat.

Fenomena yang juga mungkin menjengkelkan adalah adanya berbagai dugaan
atas kecurangan dalam pemilu presiden sehingga harus berlarut-larut
menunggu hasil resmi KPU dan Mahkamah Konstitusi. Semua ini tentu
menjengkelkan meski akhirnya kemenangan diraih pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono.

Di tengah kemarahan itu, umat Islam disambut puasa Ramadhan, sebagai
bulan pengendalian tiga nafsu (amarah, serakah, dan berlebihan),
sehingga kita diharapkan menjadi manusia yang benar-benar saleh, bukan
hanya dalam ucapan, tetapi dalam sikap dan tindakan.

Rela menerima hasil pemilu legislatif maupun presiden adalah bentuk
aktualisasi ”pengendalian nafsu”.

Kaum miskin

Hal lain yang amat penting dalam merayakan Idul Fitri adalah ajaran
Tuhan tentang pentingnya memerhatikan kaum miskin. Oleh sebab
pentingnya Idul Fitri yang dirayakan kaum Muslim yang telah berpuasa
sebulan penuh, Nabi berpesan agar pada hari Idul Fitri jangan ada
orang miskin tak bisa menikmati hari kesenangan dan kemenangan orang
berpuasa.

Zakat fitrah adalah salah satu ajaran yang diperuntukkan bagi kaum
miskin (si miskin) agar mereka bersama orang lain dapat menikmati Idul
Fitri meski sehari-hari dalam kekurangan. Minimal dalam hari-hari Idul
Fitri si miskin tak menampakkan sebagai kaum miskin.

Terhadap kaum miskin, pesan mendasar tertulis, ”Tuhan akan bersemayam
di rumah si miskin! Tuhan tidak akan bersemayam di rumah si kaya
tetapi kikir atau si kaya tetapi angkuh. Namun, Tuhan akan bersemayam
di rumah si miskin meski dia tidak saleh secara formal”.

Dengan demikian, betapa berartinya si miskin di muka bumi dan dalam
ajaran agama Ibrahim dan Nabi Muhammad sehingga harus diperhatikan
saksama. Ingat pula pesan Tuhan, orang yang beribadah secara formal
(rajin shalat tetapi melupakan kaum miskin) akan celaka alias tidak
bermanfaat shalatnya. Shalat hanya pelengkap penderita, tetapi sama
sekali tak bernilai.

Karena itu, kaum miskin menempati kedudukan amat mulia dalam agama
Ibrahim dan Nabi Muhammad, bukan karena harus mendapat sedekah, tetapi
harus diperhatikan oleh mereka yang tidak miskin secara material dan
intelektual.

Pesan Tuhan yang lain, kemiskinan akan menyebabkan orang tak ingat
akan Tuhan (baca: ingkar) dan yang pertama kali disalahkan adalah
mereka yang tidak miskin.

Dengan memerhatikan memaafkan dan si miskin, Idul Fitri akan kian
bermakna dan bernilai humanis yang mendalam saat dapat menghadirkan
manusia-manusia saleh yang bersedia memaafkan atas sesama (bukan
selalu mencari-cari kesalahan dan kekurangan) dan memerhatikan si
miskin.

Jika dua hal ini dikerjakan, Idul Fitri akan benar-benar membawa kita
pada kesucian diri, jiwa, pikiran, dan tindakan atas segala perbuatan
yang telah dilakukan setahun penuh dengan memaafkan dan menyantuni si
miskin.

Zuly Qodir Mengajar di Pascasarjana UGM; Anggota Majelis Pemberdayaan
Masyarakat PP Muhammadiyah

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/02405625/idul.fitri.bersama.si.miskin

Menyegarkan Kembali Perekonomian Indonesia

Menyegarkan Kembali Perekonomian Indonesia

Presiden Barack Obama beberapa hari lalu menyampaikan pidato untuk
mendorong reformasi sistem kesehatan Amerika Serikat di depan anggota
legislatif.


Dia mengingatkan rakyatnya untuk tidak terjebak pada detail kebijakan,
tapi berpegang teguh dan bergerak berdasarkan pada prinsip keadilan
sosial dan karakter bangsa. Bila seorang Presiden dari negara yang
menepuk dada sebagai pengguna sistem kapitalis dan pasar bebas sudah
menyatakan keberpihakan demikian nyata dan amat mirip dengan prinsip
kemanusiaan yang adil dan beradab dari Pancasila, maka amatlah miris
apabila Indonesia justru mengabaikannya Untunglah dalam visi dari
presiden dan wakil presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan
Boediono, tercantum dengan anggunnya tujuan menuju terwujudnya Indonesia
yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan.

Sering disebut bahwa kekuatan ekonomi Indonesia adalah biaya tenaga
kerja yang murah.Namun apabila hanya faktor itu yang diandalkan maka
istilah Emil dan Theodor Helfferich kakak beradik bangsa Jerman yang
sempat tinggal bertahun-tahun di Indonesia semasa penjajahan Belanda dan
sering dikutip versi bahasa Inggrisnya oleh Soekarno,“Eine nation von
kuli und kuli unter den nationen”, akan menjadi sebuah kenyataan.

*** Dalam ilmu ekonomi dikenal empat faktor produksi, yaitu tenaga
kerja, modal, tanah dan kewirausahaan. Tenaga kerja yang terdidik dan
sehat akan lebih produktif dibandingkan yang tidak nikmati pendidikan
formal dan sakitsakitan. Indonesia, dengan bantuan keputusan Mahkamah
Konstitusi, telah bergerak menjadi negara yang memperhatikan dan
menanamkan investasi pendidikan di warganya dengan alokasi 20 % dari
anggaran negara untuk sektor tersebut.

Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan target pendidikan sembilan
tahun adalah target penting yang perlu didukung dengan segenap daya
upaya. Para singa ekonomi Asia (Asian economic tigers) seperti
Singapura, Taiwan,Hong Kong dan Korea Selatan adalah negara yang tidak
memiliki kekayaan sumber daya alam namun amat serius meningkatkan
kekayaan sumber daya manusia.Sampai kapan kita akan terus tertinggal
bila kekayaan alam tidak dapat ditransformasikan menjadi peningkatan
kualitas sumber daya manusia secara menyeluruh dan tidak hanya
penambahan rekening bank sekelompok orang.

Namun Indonesia masih suatu negara di mana warganya masih meninggal
karena tidak mampu menanggung biaya kesehatan padahal penyakitnya dapat
diobati. Tentu saja tidak mudah menyediakan pelayanan kesehatan yang
berkualitas segenap pelosok negara kepulauan seperti kita. Faktor
produksi modal dan tanah berkait amat erat dengan sistem perbankan.
Masalah yang terjadi di sektor perbankan terjadi di dua sisi. Dari sisi
dana masuk mereka takut kehilangan penabung apabila tingkat suku bunga
diturunkan.

Tapi dari segi dana disalurkan tidak banyak pengusaha, apalagi usaha
kecil dan koperasi,yang dapat menanggung tingkat bunga yang masih cukup
tinggi.Padahal tingkat bunga SBI sudah diturunkan oleh Bank Indonesia.
Untuk itu dibutuhkan langkah tegas dan strategis.Memang benar bila satu
bank menurunkan suku bunga maka nasabah yang rasional akan memindahkan
ke bank dengan suku bunga yang lebih tinggi setelah memperhitungkan
biaya transaksi pemindahan tabungan.

Tapi apabila semua bank di Indonesia menurunkan suku bunganya maka tidak
ada lagi pilihan bagi deposan selain menginvestasikan langsung ke sektor
riil yang justru lebih baik lagi. Hal ini dapat dilakukan dengan
menurunkan suku bunga yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
dan memublikasikan implikasinya.Tidak banyak nasabah yang memiliki akses
untuk perbankan di luar negeri.Apalagi perusahaan yang notabene
membutuhkan bank di Indonesia untuk transaksi dan operasi.

*** Hernando de Soto (2000) dalam Mystery of Capitalmenyatakan bahwa
kapasitas produksi negara berkembang banyak terhambat karena lemahnya
sistem administrasi pertanahan. Dengan kepemilikan tanah yang tidak
tercatat secara resmi maka rakyat tidak dapat menjaminkan tanah yang
mereka miliki untuk mendapatkan modal dan memulai usaha.

Padahal metode ini adalah jalan paling umum yang ditempuh di negara
maju. Peraih Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, juga menekankan bahwa
perbankan harusnya menyediakan pinjaman untuk yang miskin dan
membutuhkan.Bukan yang sudah kaya raya. Sering kali hambatan yang
dimiliki adalah agunan dan kemampuan administrasi. Grameen Bank yang
dibangunnya telah membuktikan bahwa rakyat miskin justru memiliki
tingkat kredit macet yang lebih rendah bila proses peminjaman dilakukan
secara benar.

Kapasitas administrasi usaha kecil dalam sistem akuntansi dan pengisian
formulir peminjaman bank secara benar menjadi bottle neck yang
sebenarnya tidak sulit diatasi dengan sistematis. Poin terakhir adalah
kewirausahaan. Pada sistem ekonomi dunia yang terglobalisasi maka proses
produksi dapat dilakukan di mana saja. China menjadi pabrik dunia
sementara India menjadi back officeyang mengurusi administrasi dan
customer services.

Tapi yang menikmati profit adalah pemilik merek dan pemegang sahamnya.
Selama Indonesia masih puas menjadi tukang jahit yang sekedar
mengerjakan orderan maka tidak akan banyak peningkatan kesejahteraan
yang terjadi. Ha Joon- Chang,ekonom asal Korea Selatan di Cambridge,
menjabarkan betapa Korea Selatan perlahan lahan menaiki tangga value
added chains dari tekstil, elektronik, dan mesinmesin berat serta
microchip.

*** Studi kewirausahaan global 2003–2005 meliputi 83 negara dari Bank
Dunia menempatkan Indonesia dalam katagori terendah munculnya usaha
baru. Hal ini harus diubah dan hambatan dalam berusaha harus dipangkas
jika kita perubahan yang nyata dan permanen. Padahal Indonesia memiliki
keunggulan sebagai negara kelautan tropis dengan keanekaragaman hayati
yang amat luas. Sudah saatnya berbagai produk buah dan obat serta sumber
daya laut dunia disuplai oleh Indonesia, bukan oleh Amerika,Australia
atau Thailand yang sinar mataharinya terbatas.

Itu semua bukan hal yang tidak mungkin dicapai dalam lima tahun
mendatang dengan riset dan pemasaran yang intens. Seperti dikatakan
Presiden Kennedy, “All this will not be finished in the first one
hundred days; nor even perhaps in our lifetime on this planet.But let us
begin.” Sudah saatnya Indonesia berhenti jadi kuli.(*)

Berly Martawardaya
Dosen FEUI dan Ekonom Senior INDEF


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/270642/
Teror Pasca-Noordin M Top



Oleh Andi Widjajanto

Akhirnya, Detasemen Khusus 88 berhasil menewaskan gembong teroris
Noordin M Top. Keberhasilan ini membuka berbagai skenario tentang
perkembangan jejaring teror di Indonesia. Skenario ini penting
dibangun untuk menentukan arah strategi kontrateror Indonesia.

Skenario terbaik yang bisa dibayangkan adalah tewasnya Noordin M Top
sekaligus menjadi akhir dari gerak jejaring teror di Indonesia. Semua
anggota jejaring diperkirakan akan mengalami proses demoralisasi.
Tidak ada anggota jejaring yang akan mampu menggantikan kepemimpinan
Noordin M Top. Jejaring teror di Indonesia tidak lagi mampu untuk
melakukan revitalisasi jejaring.

Namun, strategi kontrateror Indonesia harus dibangun untuk
mengantisipasi skenario terburuk. Skenario terburuk yang bisa dibangun
adalah terjadinya proses metamorfosis jejaring sehingga Indonesia akan
menghadapi ancaman teror dengan tingkat eskalasi lebih tinggi.

Balas dendam

Metamorfosis teror di Indonesia akan diawali suatu aksi retaliasi atas
kematian Noordin M Top. Aksi retaliasi ini merupakan balas dendam
sekaligus pembuktian bahwa jejaring tetap bisa bertahan tanpa
kehadiran Noordin.

Pengalaman Kolombia dalam penumpasan gembong-gembong teror
menunjukkan, aksi retaliasi ini biasanya tidak berwujud suatu serangan
teror dalam skala besar, tetapi lebih ditujukan terhadap individu-
individu yang dianggap paling bertanggung jawab atas tewasnya Noordin
M Top. Rencana Jatiasih juga menunjukkan bagaimana kelompok Noordin
berencana melakukan serangan Cikeas bukan karena Presiden Yudhoyono
memiliki ideologi politik yang mengancam mereka, tetapi karena
dianggap bertanggung jawab atas pelaksanaan eksekusi mati tiga pelaku
teror bom Bali I.

Aksi retaliasi ini sekaligus menjadi titik awal konsolidasi jejaring
teror. Pola retaliasi Tentara Republik Irlandia (IRA) menunjukkan,
saat melakukan retaliasi, jejaring teror akan menggunakan orang-orang
paling militan untuk melaksanakan serangan. Kemunculan semangat
militan baru ini akan menjadi landasan bagi jejaring teror untuk
melakukan revitalisasi jejaring.

Revitalisasi jejaring teror di Indonesia tampaknya akan sekaligus
menjadi kemunculan kelompok Al Qaeda Asia Tenggara. Dokumen Solo yang
ditemukan Densus 88 untuk pertama kali mengonfirmasi keberadaan
kelompok ini. Dalam dokumen itu, Noordin M Top, Syaifudin Zuhri, dan
Syahrir disebut sebagai pemimpin (qo’id) Tandzim Al Qaeda wilayah Asia
Tenggara.

Skenario buruk yang bisa diprediksikan muncul adalah Syaifudin Zuhri
dan Syahrir akan melanjutkan tandem kepemimpinan dengan cara
menjadikan Indonesia sebagai front kedua perlawanan Al Qaeda. Front
kedua ini dibutuhkan untuk mengalihkan konsentrasi gelar pasukan AS
yang saat ini memprioritaskan penghancuran front Al Qaeda di
Afganistan dan Pakistan barat.

Jika front kedua ini tercipta, Indonesia akan melihat suatu eskalasi
ancaman teror ke tingkat lebih tinggi. Karakter jejaring teror Noordin
M Top, yang selama ini mengandalkan perekrutan-perekrutan lokal dari
komunitas Jemaah Islamiyah maupun komunitas Negara Islam Indonesia
akan menguat menjadi jejaring teror transnasional. Jejaring teror
transnasional ini akan memperkokoh interaksi ad hoc yang sudah
tercipta antara front Indonesia-Moro-Pattani.

Sasaran

Kemungkinan terbentuknya jejaring teror transnasional di Indonesia
akan secara signifikan mengubah target serangan teror. Sebelumnya,
kelompok Noordin M Top melakukan serangan ke sasaran-sasaran biasa,
sasaran penting, dan sasaran yang berdampak besar. Karakter sasaran
ini dapat berubah dengan melihat pola serangan terorisme
internasional.

Dalam enam tahun terakhir, jejaring teroris transnasional cenderung
memilih fasilitas-fasilitas bisnis (58 persen) sebagai target serangan
utama. Namun, jejaring ini juga menyerang target-target militer dan
pemerintahan. Serangan jejaring teroris transnasional yang ditujukan
langsung ke fasilitas-fasilitas militer mengambil 1,8 persen kasus
dari semua populasi serangan teroris.

Serangan untuk fasilitas pemerintah dan diplomasi juga terjadi, yaitu
masing-masing 3,6 persen dan 7,5 persen.

Densus 88

Skenario penguatan jejaring teror di Indonesia harus diimbangi dengan
penguatan strategi kontrateror. Tewasnya Noordin M Top seharusnya
sudah dapat menepis segala bentuk keraguan tentang kemampuan Densus 88
untuk menggelar strategi kontrateror yang efektif. Untuk
mengantisipasi skenario terburuk metamorfosis jejaring teror pasca-
Noordin M Top dan sebagai penghargaan atas keberhasilan operasional
Densus 88, kapasitas Densus 88 harus diperkuat sehingga unit ini dapat
berperan sebagai penjuru implementasi strategi kontrateror di
Indonesia.

Penguatan peran Densus 88 sebagai penjuru harus disertai upaya untuk
mempertahankan tingkat kepercayaan publik terhadap Densus 88 yang saat
ini berada di tingkat sangat tinggi. Tingkat kepercayaan publik bisa
dipertahankan dengan memberi legitimasi politik bagi tiap gelar
operasional yang dilakukan Densus 88.

Legitimasi politik ini akan hilang jika pemerintah berusaha menerapkan
paradigma perang dan bukan paradigma pendekatan hukum sebagai landasan
operasional strategi kontrateror di Indonesia. Legitimasi ini akan
lenyap jika pemerintah berupaya merevisi UU Antiteror tahun 2003
dengan regulasi baru yang memiliki karakter otoritarian. Legitimasi
ini pasti pudar jika pemerintah berusaha membentuk badan antiteror
nasional yang memiliki kewenangan luas. Legitimasi ini pasti lenyap
jika pelaksanaan strategi kontrateror mencabut prinsip-prinsip
demokrasi dan hak asasi manusia.

Andi Widjajanto Dosen Pascasarjana Intelijen Strategis Universitas
Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/04533512/teror.pasca-noordin.m.top

The Right Man in The Right Place

The Right Man in The Right Place

Pidato kenegaraan Presiden SBY tanggal 14 dan 19 Agustus 2009
merupakan pidato yang disusun secara paripurna, menatap masa depan,
menggariskan suatu strategi dasar. Pidato ini melegakan bagi
pendengarnya.


Bangsa ini sudah lama terpuruk.Dalam Ramadan ini saya merenung.
Kecemasan sempat memuncak. Mengapa tiba-tiba saja yang terjadi di
negeri ini adalah sekadar “pembangunan di Indonesia”, bukan
“pembangunan Indonesia”? Lebih menyedihkan lagi, mengapa bangsa ini
telah lengah-budaya, tiba-tiba saja kita menjadi kuli di negeri
sendiri, sekadar menjadi jongos globalisasi?

Bukankah ketika Dr Helfferich mengatakan bahwa kita adalah eine Nation
von Kuli und Kuli unter den Nationen (bangsa kuli dan kulinya bangsa-
bangsa lain) disanggah keras oleh Mohammad Hatta dengan adagium “kita
harus menjadi tuan di negeri sendiri” menjadi “the Master in our-own
Homeland, not just to become the Host” (dikutipkan dari Meutia Hatta,
2008)? Pujangga besar Jerman Johann Christoph Friedrich von Schiller
(1759-1805), sahabat pujangga besar Johann Wolfgang von Goethe,
mengatakan “suatu masa besar dilahirkan abad, tetapi masa besar itu
menemui masa kerdil”. Ini adalah satire mengenai keterpurukan suatu
bangsa.

Apakah kedua pidato kenegaraan Presiden SBY mengisyaratkan akan
datangnya masa depan yang besar? Inikah masa besar yang kita tunggu-
tunggu? Bila kita sepakat dan bertekad demikian, harapan kita tentulah
bahwa “masa besar itu menemui pemimpin besar”.
Persatuan,kerukunan,kebersamaan, dan semangat nasionalisme harus
serentak dikerahkan oleh sang Pemimpin.

*** Dari kedua pidato kenegaraan, di bidang ekonomi ada “banting
setir”pro-sejarah,menjauh dari liberalisme dan neoliberalisme. Banyak
hal dapat dikemukakan, tetapi akan saya pilih empat hal saja. Pertama,
tekad mempertegas kedigdayaan bangsa, dengan istilah Presiden:
“kemandirian, daya saing, dan peradaban unggul”.Ketiganya merupakan
modal sosialkultural yang lama terabaikan. Perencanaan pembangunan
nasional kita selama ini memang kurang memberi tempat bagi
pengembangan modal sosial-kultural ini, tidak eksplisit menempatkan
modal sosial-kultural ini sebagai target-target pemberdayaan dan
kedigdayaan bangsa.

Kongres Budaya tahun lalu pun khilaf menggariskan strategi sosial-
budaya yang jelas menuju kedigdayaan bangsa ini, menjadi bangsa
tertempa oleh the culture of excellence. Modal sosial-kultural ini
menjadi perhatian kaum ekonom strukturalis karena peran dasarnya
sebagai booster bagi modal ekonomi (modal finansial) dan modal sumber
daya alam sejolinya. Kedua, kata Presiden SBY strategi export oriented
bukanlah pilihan yang tepat. Sejak sangat lama Indonesia terpaku pada
penggalakan ekspor, kebijakan export drives sembarang ekspor
bertubitubi, kecuali sekali-kali seperti melarang ekspor kayu dan
rotan gelondongan.

Pada Konferensi Ekonomi Yogyakarta 63 tahun lalu (3 Februari 1946)
telah dipesankan oleh Wapres perlunya kita tidak membalik “ujung”
menjadi “pangkal”. Ekspor jangan menjadi tujuan,artinya ekspor adalah
ujung, kekuatan pasar dalam negeri adalah pangkalnya, sebagai desain
bagi strategi utama untuk meningkatkan daya beli rakyat. Ekspor
dilakukan hanya setelah menjadi produk olahan sehingga nilai tambah
ekonomi terjadi di dalam negeri.Kebijakan export-economie ini kita
tolak sejak awal, kemudian lama diabaikan, sekarang ditegakkan kembali
oleh Presiden.

Ketiga, banting setir lain yang menggelegar adalah ketegasan Presiden
yang mengatakan: kita tidak boleh terjerat, menyerah, dan tersandera
oleh kapitalisme global yang fundamental. Ini menjadi suatu grand-
strategy yang tentulah inheren dengan tekad kemandirian dan
pengembangan kekuatan pasar dalam negeri. Dari penegasan ini, isu
neoliberalisme yang selama ini dipangku oleh pemerintah (baca: tim
ekonomi SBY) bolehlah sirna. Ini menjadi komitmen keras pemerintah
yang banyak ekonom nasionalis- strukturalis mendukungnya.

Keempat,di depan DPD tanggal 19 Agustus 2009 Presiden menyatakan:
dalam kenyataannya di banyak negara, termasuk Indonesia, teori trickle-
down effect gagal menciptakan kemakmuran untuk semua. Teori trickle-
down effect telah lama dihujat oleh kaum strukturalis yang pro-job dan
pro-poor.Menerima mekanisme trickle-down memang berarti menganggap
rakyat hanya berhak akan rembesan belaka, ini kejahatan pola pikir,
merupakan suatu moral-crime terhadap rakyat. Bukti-bukti menunjukkan
bahwa yang terjadi justru adalah trickle-up effect (Swasono, 1988).

Sebagai satu contoh saja, ekonomi rakyatlah yang menyediakan kehidupan
murah dan biaya hidup murah (low cost economy dan low cost of living)
bagi buruh-buruh korporasi yang berupah rendah, PNS dan prajurit yang
bergaji rendah. Jadi ekonomi rakyat di bawah menghidupi orang-orang
yang bekerja di korporasi dan birokrasi. Ekonomi rakyat menyubsidi
kegiatan nasional besar di atasnya.

*** Dengan berulang kalinya Presiden berbicara mengenai penegakan
hukum dan prinsip negara hukum (rechtsstaat), implisit berarti Pasal
33 UUD 1945 merupakan inherent commitment Presiden pula.Apa pun
istilah yang digunakan,apa itu “jalan ketiga”,“jalan tengah”, “ekonomi
Pancasila”, “ekonomi sosialisme Indoneia”, tidak boleh tidak, itu
adalah ekonomi Pasal 33 UUD 1945.

Saya teringat akan sentilan Pak Jakob Oetama di awal Agustus 2005
tatkala banyak ekonom kita mengagumi the third way (jalan ketiga)-nya
Anthony Giddens. Sesepuh Kompas ini mengatakan the third way Giddens
telah lebih awal menjadi the third way (Pasal 33)-nya Hatta.Saya
membenarkannya (saya tulis di Kompas 16/8/2005). Presiden yang mau
banting setir (menegakkan platform nasional Pancasila dan Pasal 33 UUD
1945) seperti yang saya kemukakan di atas menuntut pada diri Presiden
sendiri untuk menyusun kabinet secermat-cermatnya.

Hukum besi birokrasi dalam stelsel good governance, yaitu the right
man in the right place, merupakan suatu keharusan mutlak. Namun saya
mendengar pemberitaan di surat-surat kabar bahwa Presiden SBY
sepertinya “melemah” dan buru-buru mengatakan bahwa partai-partai
koalisi pasti akan mendapat jatah di kabinet. Hal seperti ini sempat
dicemaskan oleh Mohammad Hatta ketika karya monumentalnya Demokrasi
Kita (1960) memperingatkan, bila keinginan partai yang tidak selalu
sinkron dengan tuntutan kualifikasi terlalu diakomodasi, cita-cita
besar tidak akan mudah tercapai.

Apabila saja pilihan berdasar the right man in the right place
kebetulan sama dengan keinginan pilihan partai, tentulah itu
keberuntungan yang lebih baik. Sebagai contoh, jatah Menteri Koperasi
selaku jatuh pada partai tertentu, jauh dari dasar the right man in
the right place. Akibatnya koperasi di seluruh dunia senantiasa
mencatat kemajuan pesat, kecuali di Indonesia. Padahal banyak tokoh
muda yang mampu dan profesional.

*** Pertanyaannya menteri-menteri lama yang neoliberalistik,yang
setengah hati terhadap pengutamaan kepentingan nasional dibandingkan
kepentingan pasar, kurang pro-job dan pro-poor,kurang menempatkan
rakyat dalam posisi sentral-substansialnya (sebaliknya memosisikan
rakyat secara marginal-residual yang hanya dianggap berhak rembesan-
rembesan) dapatlah ikut melakukan banting setir seperti dikehendaki
oleh Presiden? Jawabannya tergantung, apakah menteri ekonomi di
Kabinet Lama sekadar teknokrat atau mereka ideolog pasar-bebas?

Kalau hanya teknokrat, dia adalah sekrup yang pasti bisa diperintah
Presiden untuk taat.Kalau mereka ideolog yang tidak Pancasilais, tentu
tidak bisa. Artinya apakah kedua pidato kenegaraan itu mampu
menggerakkan inspirasi dan kegiatan nyata bangsa ini untuk meraih
kejayaannya? Jawabannya adalah apakah masa besar melahirkan pemimpin
besar? Harapan saya demikian.(*)

Sri-Edi Swasono
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/270939/

Gusti Allah Ora Sare

Gusti Allah Ora Sare
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group

UCAPAN Bapak Jusuf Kalla, "Gusti Allah ora sare," dalam acara buka
puasa di Gedung Istana Wapres Minggu (13/9) malam--yang disebut
sebagai yang terakhir bagi JK--mengundang komentar. Ungkapan bernada
kepasrahan itu sesuai untuk bulan Ramadan, ketika umat Islam berserah
diri dan memohon sebesar-besarnya berkah maupun pengampunan dari
Tuhannya.
Apakah dalam ucapan itu ada nada kecewa?
Mungkin saja. Seperti kata JK, dalam pilpres dia dan tim suksesnya
sudah berupaya. Senja itu hadir pula Pak Wiranto serta tim sukses dari
dua partai yang mengusung mereka. Memang siapa pun akan mengalami
perubahan status dari waktu ke waktu, suatu proses yang tidak
terelakkan. Status baru menuntut penyandangnya menyesuaikan diri
dengan perspektif baru dalam hidupnya. Bagi JK, ikon sukses sejauh
ini, penyesuaian itu hanya akan berlangsung sejenak. Dinamika
kehidupan politik di Indonesia yang begitu menarik selanjutnya akan
banyak menyerap perhatiannya. Pikiran dan perasaan tidak akan sempat
berkubang pada yang sudah berlalu. Itu yang rasanya juga dipikirkan
para kader partai.

Ada harapan itu karena partai-partai politik di mana pun dianggap
sarana penting menciptakan demokrasi. Maka perlu selalu diwaspadai
bagaimana partai itu diorganisasi, bagaimana pendanaannya, bagaimana
dia menjalankan fungsinya, bagaimana dia merekrut para pimpinannya,
dan bagaimana dia mengambil keputusan. Latar belakang dan sikap para
kader utama akan selalu diikuti. Begitu juga bagaimana kecenderungan
partai dalam rasa kebangsaan, kesukuan/etnis, agama maupun ekonomi.
Para tokoh lama partai, seandainya mereka tidak lagi mengoperasikan
mesin partai, pastilah diharapkan masih akan terlibat. Paling tidak,
gagasan mereka diperlukan. Sebab pengalaman mereka mengajarkan, dalam
proses politik ada sistem give-and-take yang mewajibkan masing-masing
saling memberi kelonggaran kepada pesaing.
Masalahnya, kemenangan tidak pernah bisa mutlak dan utuh. Bukan
zamannya lagi orang bisa menang sendiri. Lagi pula, demi kestabilan
politik, perlu ada keseimbangan sikap yang menyerah dan pasif dengan
sikap yang aktif dan menuntut.

Kelengahan adalah sifat hakiki manusia Gusti Allah ora sare. Itu
keyakinan kita. Namun, manusia suka ber-siesta. Berlengah-lengah
itulah yang membawa petaka, apakah itu lewat partai atau tidak. Tujuan
partai politik membantu pengaturan kehidupan manusia. Agar asas itu
terjaga, dituntut pengawasan. Namun, kenyataannya, partai politik ada
kalanya terkesan kurang perhatian bahkan terhadap hal-hal yang
mengancam kenyamanan dan/atau kelangsungan hidup manusia. Platform
partai, misalnya, apakah pernah secara rinci mengedepankan persoalan
kependudukan dan lingkungan hidup yang makin menghimpit?
Menurut ramalan tiga dasawarsa yang lalu, penduduk dunia yang waktu
itu berjumlah sekitar 4 miliar akan meningkat menjadi satu setengah
kalinya pada waktu ini. Ternyata benar.
Sekarang penduduk bumi sudah 6,7 miliar, dan dua dasawarsa lagi akan
menjadi sekitar 8 miliar lebih. Penduduk Indonesia dalam dua dasawarsa
telah meningkat sekitar 70 juta lebih, sekarang menjadi kurang lebih
238 juta--yang keempat terbesar di dunia setelah China, India, dan
Amerika. Gerakan Keluarga Berencana, yang giat dilaksanakan di masa
Orde Baru, rupanya malahan terbengkalai di masa reformasi. Apa lagi
alasannya kalau bukan kelengahan.

Kemerosotan tanah yang terus-menerus dengan kecepatan seperti yang
berlangsung selama dua dasawarsa ini mengakibatkan hampir sepertiga
tanah yang bisa ditanami di bumi rusak, sedangkan hutan tropis yang
masih perawan hanya tinggal sekitar separuhnya. Padahal usaha
pelestarian memerlukan waktu. Misalnya, diperlukan waktu 50 tahun
sampai 150 tahun untuk meremajakan hutan. Kemungkinan yang menyeramkan
adalah bahwa jumlah manusia yang semakin banyak akan membutuhkan
sumbersumber yang semakin langka. Situasinya diperburuk lagi karena
laju konsumsi di negara-negara maju tidak sebanding dengan yang
terjadi di negara-negara berkembang. Tetapi gelagatnya, tanggung jawab
kerusakan lingkungan harus dipikul bersama, yang berarti negara-negara
berkembang harus berhemat-hemat sekalipun untuk mengentaskan ratusan
juta rakyat dari kemiskinan itu mereka terpaksa merusak sumber-sumber
yang justru mereka perlukan nantinya untuk meningkatkan kesejahteraan.
Ini dilema yang tidak berkesudahan. Diminta kewaspadaan semua pihak,
termasuk partai-partai politik.

Yang diharapkan dari partai politik Kita sudah lelah dengan asumsi
bahwa organisasi politik, termasuk partai-partai politik, hanya
mengutamakan persaingan meraih kekuasaan. Semua aktivis politik
dianggap penganut Machiavelli. Apa yang dilakukan setelah kekuasaan
ada di tangan, selalu dipertanyakan dan menjadi persoalan. Tesis
lingkungan hidup yang dipaparkan hanya sekadar contoh bahwa banyak
masalah kemanusiaan meminta perhatian. Apa kendala organisasi-
organisasi politik dalam usaha menjaga aspek-aspek kemanusiaan?
Daisaku Ikeda (1928- ), filosof dan pemuka ajaran Buddha, ketika
berbicara tentang nilainilai organisasi sosial mengatakan salah satu
yang selalu menggelitik tentang kultur modern adalah masalah
organisasi. Bersama dengan teknologi dan komunikasi, organisasi adalah
pilar penting bagi peradaban. Dengan demikian, organisasi adalah suatu
berkah bagi umat manusia. Namun, sebaliknya organisasi juga merupakan
ancaman. Masyarakat, yang juga suatu organisasi bentukan manusia,
mencerminkan apa maksud dan tujuan manusia. Namun, mekanisme sosial
kadang-kadang menjalankan fungsi yang sama sekali tidak diharapkan.
Salah satu tragedi yang kita hadapi adalah bahwa tindakan otonom suatu
kelompok yang terorganisasi kadang-kadang menekan dan bahkan menolak
kemanusiaan.

Memang kadang-kadang organisasi memberikan hasil yang berlawanan
dengan ide-ide para pendirinya. Seakan-akan organisasi memiliki
kemauan sendiri dengan sasaran-sasaran sendiri, yang berbeda dari yang
bahkan diinginkan anggota-anggotanya. Tentu bukan karena organisasi
itu menjadi satuan yang otonom, melainkan orang-orang yang menguasai
dan mengurusnya yang merasa bertanggung jawab atas kelangsungan hidup
organisasi.
Orang-orang itulah yang kadang-kadang menentukan tujuan jangka pendek
dan sempit, tanpa mempertimbangkan efek dan konsekuensinya secara
luas.

Maka Daisaku Ikeda menyarankan, organisasi memerlukan dasar spiritual
yang berakar pada nilai-nilai masyarakat. Nilai-nilai kemanusiaan
tidak boleh sempit. Jangan pernah berorientasi pada keinginan untuk
memuaskan kehendak individu, kelompok, suku, ras bahkan ideologi
tertentu. Nilai-nilai kemanusiaan harus bersifat universal. Di masa
lalu, nilai-nilai sempit telah menimbulkan tragedi. Nilai-nilai yang
dianut harus luas dan mendalam.

Penyebutan yang bersifat spiritual Di luar organisasi agama, umumnya
sebagian besar perhatian organisasi, termasuk partai politik, hanya
dicurahkan pada aspek-aspek sosial manusia, salah satu faset dari
eksistensinya. Dengan demikian, ucapan, "Gusti Allah ora sare," tidak
biasa terdengar untuk urusan kegiatan partai. Namun, kapasitas
spiritual memang ada pada tiap manusia, dengan kualitas dan intensitas
yang berbeda-beda.

Apakah unsur-unsur spiritual berkaitan dengan moralitas? Faktanya,
semua agama mempunyai ajaran moral. Studi mendalam tentang kehidupan
spiritual mengungkapkan bahwa ada keinginan manusia untuk mengetahui
nilainilai kehidupan, untuk mencari keyakinan bahwa hidup bukan suatu
kebetulan, bahwa hidup memiliki tujuan. Ada elemen intelektual dalam
usaha spiritual untuk menemukan tujuan dan nilai kehidupan, dan ada
elemen emosional dalam ketergantungannya pada kekuasaan yang
menciptakan atau menjamin nilainilai itu. Elemen-elemen intelektual
dan emosional ini memengaruhi sikap manusia. Maka kalau kita
mengatakan, "Gusti Allah ora sare,"
berarti elemen-elemen intelektual dan emosional sedang bekerja dalam
diri kita. Dalam mencari kebenaran, kita berserah diri kepada Tuhan.

Bagi yang berpuasa, "Selamat telah menjalani Ramadan yang hampir
selesai."

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/09/18/ArticleHtmls/18_09_2009_004_004.shtml?Mode=0