Beragama Nirkekerasan
Oleh *Masdar Hilmy*
”In fact, as far as the Qur’an is concerned, the concept of jihad has
nothing to do with violence” (Asghar Ali Engineer, On Developing
Theology of Peace in Islam, 2005: 27).
Madinah, 1 Januari 630 M/8 H. Muhammad SAW beserta sekitar 10.000
tentara Muslim bersenjata lengkap bergerak dari Madinah ke Mekkah dengan
misi: ”penaklukan”.
Saat itu rombongan sedang berpuasa karena bertepatan dengan bulan
Ramadhan. Namun, Nabi memberi dispensasi bagi mereka yang hendak
membatalkan puasa.
Pergerakan pasukan Muslim itu tercium sebagian penduduk Mekkah. Sejumlah
pemimpin Quraish memprediksi bakal terjadi pertumpahan darah hebat (yawm
al-malhamah). Ternyata, Nabi justru mengembuskan angin kasih (yawm
al-marhamah). Nabi menyerukan kedua masyarakat itu untuk saling
memaafkan dan merajut kehidupan baru yang penuh kasih sayang. Peristiwa
itu belakangan dikenal sebagai hari ”pembukaan” Mekkah (fath Makkah).
*”Lompatan kuantum”*
Penaklukan Mekkah oleh pasukan Muslim merefleksikan ”lompatan kuantum”
dalam lanskap peradaban bangsa Arab yang saat itu dihegemoni tradisi
kekerasan dan perang. Dikatakan demikian karena kekerasan dan perang
adalah metode resolusi yang hampir selalu dipakai untuk menyelesaikan
segala masalah di kalangan suku-suku Arab.
Penaklukan Mekkah itu mengintrodusir tradisi yang lebih maju dan
beradab, yaitu nirkekerasan dalam struktur sosial-politik masyarakat Arab.
Kekerasan dan perang adalah nomenklatur politik yang lazim saat itu.
Namun, pilihan damai memberi nuansa baru dalam lanskap peradaban
manusia. Pesan moral yang harus ditangkap dari fath Makkah adalah, Islam
hendak menceraikan—setidaknya menjaga jarak—elemen kekerasan dari
peradaban manusia.
”Lompatan kuantum” semacam inilah yang oleh Bellah sering dirujuk
sebagai ”terlalu modern untuk zamannya” (Robert N Bellah, Beyond Belief,
1970). Memang Bellah tidak secara spesifik merujuk peristiwa fath
Makkah, tetapi pada Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Memang, banyak
eksemplar tradisi nirkekerasan, di luar kedua peristiwa itu, yang bisa
diklasifikasi sebagai ”lompatan kuantum”. Karena itu, menjadi tidak adil
jika mengatribusi watak kekerasan sebagai sesuatu yang intrinsik dalam
Islam.
*Involusi keberagamaan*
Seharusnya apa yang sudah diinisiasi Nabi Muhammad SAW perlu diapresiasi
secara obyektif sebagai investasi kemanusiaan yang anakronistik pada
zamannya, tetapi diakronistik untuk peradaban manusia sekarang. Dengan
demikian, yang perlu diambil dari perilaku Nabi adalah semangat
nirkekerasan yang menempatkan keselamatan jiwa dan kehidupan manusia
sebagai kata kunci yang mendasari kesadaran keberagamaan modern.
Sayang, banyak umat beragama terjebak pemahaman tekstual-skripturalistik
dan mengesampingkan model keberagamaan kontekstual-transformatif. Tafsir
jihad ala Noordin M Top adalah salah satu contohnya. Dalam bahasa Sir
Muhammad Iqbal (Reconstruction of Religious Thought in Islam, 2004:15),
banyak umat beragama lebih suka mengambil abu, ketimbang api, agama.
Semestinya, yang diambil adalah yang tersirat dan bukan yang tersurat.
Perilaku ”mengambil abu ketimbang api” adalah bentuk involusi
keberagamaan, terutama saat yang mengemuka semangat duplikasi dan
replikasi tanpa cadangan atas apa yang tampak di permukaan. Kenyataan
semacam ini disebabkan proses fermentasi sosial-budaya atas sejumlah
doktrin keagamaan yang seharusnya diapresiasi sebagai kontekstual pada
zamannya.
Proses fermentasi atas doktrin keagamaan bahkan tersedimentasi sebagai
praktik atau tradisi keagamaan yang diterima secara lumrah dan
turun-menurun. Doktrin jihad yang semula tidak terkait kekerasan lalu
dimaknai secara tunggal sebagai ”perang suci”. Ini dapat dilihat,
misalnya, dalam kamus bahasa Arab tulisan Elias Antoon, Qamus Al-’Asri
(1972), jihad dimaknai ”militansi” dan atau ”perang suci”.
Padahal, sebagaimana ditegaskan Asghar Ali Engineer, semula konsep jihad
tidak terkait dengan kekerasan. Namun, pengalaman peperangan telah
mereduksi pemaknaan jihad yang hakiki. Sejatinya, tidak satu pun
ayat-ayat jihad yang berkonotasi kekerasan atau peperangan.
*Metamorfosis diri*
Dalam konteks ini, puasa adalah memberi ruang dan peluang luas bagi
setiap umat Islam untuk memetamorfosiskan diri menjadi Muhammad-muhammad
kecil di tengah kehidupan masing-masing. Dalam diri Muhammad ada
eksemplar keberagamaan nirkekerasan sebagaimana didemonstrasikan dalam
peristiwa ”penaklukan” Mekkah yang terjadi pada bulan Ramadhan.
Model keberagamaan semacam ini memungkinkan kita lebih mengedepankan
tradisi nirkekerasan dalam ruang-ruang kehidupan. Beragama yang benar
harus meneladani perilaku Nabi dalam setiap aspeknya. Namun, hal
demikian tidak bisa dilakukan secara membabi buta tanpa mempertimbangkan
konteksnya.
Mari kita ”menyambung” kontinum sejarah yang tonggaknya sudah
ditancapkan Nabi Muhammad SAW pada zamannya.
*Masdar Hilmy* /Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya
/
/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/03030983/beragama.nirkekerasan
Oleh *Masdar Hilmy*
”In fact, as far as the Qur’an is concerned, the concept of jihad has
nothing to do with violence” (Asghar Ali Engineer, On Developing
Theology of Peace in Islam, 2005: 27).
Madinah, 1 Januari 630 M/8 H. Muhammad SAW beserta sekitar 10.000
tentara Muslim bersenjata lengkap bergerak dari Madinah ke Mekkah dengan
misi: ”penaklukan”.
Saat itu rombongan sedang berpuasa karena bertepatan dengan bulan
Ramadhan. Namun, Nabi memberi dispensasi bagi mereka yang hendak
membatalkan puasa.
Pergerakan pasukan Muslim itu tercium sebagian penduduk Mekkah. Sejumlah
pemimpin Quraish memprediksi bakal terjadi pertumpahan darah hebat (yawm
al-malhamah). Ternyata, Nabi justru mengembuskan angin kasih (yawm
al-marhamah). Nabi menyerukan kedua masyarakat itu untuk saling
memaafkan dan merajut kehidupan baru yang penuh kasih sayang. Peristiwa
itu belakangan dikenal sebagai hari ”pembukaan” Mekkah (fath Makkah).
*”Lompatan kuantum”*
Penaklukan Mekkah oleh pasukan Muslim merefleksikan ”lompatan kuantum”
dalam lanskap peradaban bangsa Arab yang saat itu dihegemoni tradisi
kekerasan dan perang. Dikatakan demikian karena kekerasan dan perang
adalah metode resolusi yang hampir selalu dipakai untuk menyelesaikan
segala masalah di kalangan suku-suku Arab.
Penaklukan Mekkah itu mengintrodusir tradisi yang lebih maju dan
beradab, yaitu nirkekerasan dalam struktur sosial-politik masyarakat Arab.
Kekerasan dan perang adalah nomenklatur politik yang lazim saat itu.
Namun, pilihan damai memberi nuansa baru dalam lanskap peradaban
manusia. Pesan moral yang harus ditangkap dari fath Makkah adalah, Islam
hendak menceraikan—setidaknya menjaga jarak—elemen kekerasan dari
peradaban manusia.
”Lompatan kuantum” semacam inilah yang oleh Bellah sering dirujuk
sebagai ”terlalu modern untuk zamannya” (Robert N Bellah, Beyond Belief,
1970). Memang Bellah tidak secara spesifik merujuk peristiwa fath
Makkah, tetapi pada Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Memang, banyak
eksemplar tradisi nirkekerasan, di luar kedua peristiwa itu, yang bisa
diklasifikasi sebagai ”lompatan kuantum”. Karena itu, menjadi tidak adil
jika mengatribusi watak kekerasan sebagai sesuatu yang intrinsik dalam
Islam.
*Involusi keberagamaan*
Seharusnya apa yang sudah diinisiasi Nabi Muhammad SAW perlu diapresiasi
secara obyektif sebagai investasi kemanusiaan yang anakronistik pada
zamannya, tetapi diakronistik untuk peradaban manusia sekarang. Dengan
demikian, yang perlu diambil dari perilaku Nabi adalah semangat
nirkekerasan yang menempatkan keselamatan jiwa dan kehidupan manusia
sebagai kata kunci yang mendasari kesadaran keberagamaan modern.
Sayang, banyak umat beragama terjebak pemahaman tekstual-skripturalistik
dan mengesampingkan model keberagamaan kontekstual-transformatif. Tafsir
jihad ala Noordin M Top adalah salah satu contohnya. Dalam bahasa Sir
Muhammad Iqbal (Reconstruction of Religious Thought in Islam, 2004:15),
banyak umat beragama lebih suka mengambil abu, ketimbang api, agama.
Semestinya, yang diambil adalah yang tersirat dan bukan yang tersurat.
Perilaku ”mengambil abu ketimbang api” adalah bentuk involusi
keberagamaan, terutama saat yang mengemuka semangat duplikasi dan
replikasi tanpa cadangan atas apa yang tampak di permukaan. Kenyataan
semacam ini disebabkan proses fermentasi sosial-budaya atas sejumlah
doktrin keagamaan yang seharusnya diapresiasi sebagai kontekstual pada
zamannya.
Proses fermentasi atas doktrin keagamaan bahkan tersedimentasi sebagai
praktik atau tradisi keagamaan yang diterima secara lumrah dan
turun-menurun. Doktrin jihad yang semula tidak terkait kekerasan lalu
dimaknai secara tunggal sebagai ”perang suci”. Ini dapat dilihat,
misalnya, dalam kamus bahasa Arab tulisan Elias Antoon, Qamus Al-’Asri
(1972), jihad dimaknai ”militansi” dan atau ”perang suci”.
Padahal, sebagaimana ditegaskan Asghar Ali Engineer, semula konsep jihad
tidak terkait dengan kekerasan. Namun, pengalaman peperangan telah
mereduksi pemaknaan jihad yang hakiki. Sejatinya, tidak satu pun
ayat-ayat jihad yang berkonotasi kekerasan atau peperangan.
*Metamorfosis diri*
Dalam konteks ini, puasa adalah memberi ruang dan peluang luas bagi
setiap umat Islam untuk memetamorfosiskan diri menjadi Muhammad-muhammad
kecil di tengah kehidupan masing-masing. Dalam diri Muhammad ada
eksemplar keberagamaan nirkekerasan sebagaimana didemonstrasikan dalam
peristiwa ”penaklukan” Mekkah yang terjadi pada bulan Ramadhan.
Model keberagamaan semacam ini memungkinkan kita lebih mengedepankan
tradisi nirkekerasan dalam ruang-ruang kehidupan. Beragama yang benar
harus meneladani perilaku Nabi dalam setiap aspeknya. Namun, hal
demikian tidak bisa dilakukan secara membabi buta tanpa mempertimbangkan
konteksnya.
Mari kita ”menyambung” kontinum sejarah yang tonggaknya sudah
ditancapkan Nabi Muhammad SAW pada zamannya.
*Masdar Hilmy* /Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya
/
/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/03030983/beragama.nirkekerasan