BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Gusti Allah Ora Sare

Gusti Allah Ora Sare

Written By gusdurian on Minggu, 20 September 2009 | 11.22

Gusti Allah Ora Sare
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group

UCAPAN Bapak Jusuf Kalla, "Gusti Allah ora sare," dalam acara buka
puasa di Gedung Istana Wapres Minggu (13/9) malam--yang disebut
sebagai yang terakhir bagi JK--mengundang komentar. Ungkapan bernada
kepasrahan itu sesuai untuk bulan Ramadan, ketika umat Islam berserah
diri dan memohon sebesar-besarnya berkah maupun pengampunan dari
Tuhannya.
Apakah dalam ucapan itu ada nada kecewa?
Mungkin saja. Seperti kata JK, dalam pilpres dia dan tim suksesnya
sudah berupaya. Senja itu hadir pula Pak Wiranto serta tim sukses dari
dua partai yang mengusung mereka. Memang siapa pun akan mengalami
perubahan status dari waktu ke waktu, suatu proses yang tidak
terelakkan. Status baru menuntut penyandangnya menyesuaikan diri
dengan perspektif baru dalam hidupnya. Bagi JK, ikon sukses sejauh
ini, penyesuaian itu hanya akan berlangsung sejenak. Dinamika
kehidupan politik di Indonesia yang begitu menarik selanjutnya akan
banyak menyerap perhatiannya. Pikiran dan perasaan tidak akan sempat
berkubang pada yang sudah berlalu. Itu yang rasanya juga dipikirkan
para kader partai.

Ada harapan itu karena partai-partai politik di mana pun dianggap
sarana penting menciptakan demokrasi. Maka perlu selalu diwaspadai
bagaimana partai itu diorganisasi, bagaimana pendanaannya, bagaimana
dia menjalankan fungsinya, bagaimana dia merekrut para pimpinannya,
dan bagaimana dia mengambil keputusan. Latar belakang dan sikap para
kader utama akan selalu diikuti. Begitu juga bagaimana kecenderungan
partai dalam rasa kebangsaan, kesukuan/etnis, agama maupun ekonomi.
Para tokoh lama partai, seandainya mereka tidak lagi mengoperasikan
mesin partai, pastilah diharapkan masih akan terlibat. Paling tidak,
gagasan mereka diperlukan. Sebab pengalaman mereka mengajarkan, dalam
proses politik ada sistem give-and-take yang mewajibkan masing-masing
saling memberi kelonggaran kepada pesaing.
Masalahnya, kemenangan tidak pernah bisa mutlak dan utuh. Bukan
zamannya lagi orang bisa menang sendiri. Lagi pula, demi kestabilan
politik, perlu ada keseimbangan sikap yang menyerah dan pasif dengan
sikap yang aktif dan menuntut.

Kelengahan adalah sifat hakiki manusia Gusti Allah ora sare. Itu
keyakinan kita. Namun, manusia suka ber-siesta. Berlengah-lengah
itulah yang membawa petaka, apakah itu lewat partai atau tidak. Tujuan
partai politik membantu pengaturan kehidupan manusia. Agar asas itu
terjaga, dituntut pengawasan. Namun, kenyataannya, partai politik ada
kalanya terkesan kurang perhatian bahkan terhadap hal-hal yang
mengancam kenyamanan dan/atau kelangsungan hidup manusia. Platform
partai, misalnya, apakah pernah secara rinci mengedepankan persoalan
kependudukan dan lingkungan hidup yang makin menghimpit?
Menurut ramalan tiga dasawarsa yang lalu, penduduk dunia yang waktu
itu berjumlah sekitar 4 miliar akan meningkat menjadi satu setengah
kalinya pada waktu ini. Ternyata benar.
Sekarang penduduk bumi sudah 6,7 miliar, dan dua dasawarsa lagi akan
menjadi sekitar 8 miliar lebih. Penduduk Indonesia dalam dua dasawarsa
telah meningkat sekitar 70 juta lebih, sekarang menjadi kurang lebih
238 juta--yang keempat terbesar di dunia setelah China, India, dan
Amerika. Gerakan Keluarga Berencana, yang giat dilaksanakan di masa
Orde Baru, rupanya malahan terbengkalai di masa reformasi. Apa lagi
alasannya kalau bukan kelengahan.

Kemerosotan tanah yang terus-menerus dengan kecepatan seperti yang
berlangsung selama dua dasawarsa ini mengakibatkan hampir sepertiga
tanah yang bisa ditanami di bumi rusak, sedangkan hutan tropis yang
masih perawan hanya tinggal sekitar separuhnya. Padahal usaha
pelestarian memerlukan waktu. Misalnya, diperlukan waktu 50 tahun
sampai 150 tahun untuk meremajakan hutan. Kemungkinan yang menyeramkan
adalah bahwa jumlah manusia yang semakin banyak akan membutuhkan
sumbersumber yang semakin langka. Situasinya diperburuk lagi karena
laju konsumsi di negara-negara maju tidak sebanding dengan yang
terjadi di negara-negara berkembang. Tetapi gelagatnya, tanggung jawab
kerusakan lingkungan harus dipikul bersama, yang berarti negara-negara
berkembang harus berhemat-hemat sekalipun untuk mengentaskan ratusan
juta rakyat dari kemiskinan itu mereka terpaksa merusak sumber-sumber
yang justru mereka perlukan nantinya untuk meningkatkan kesejahteraan.
Ini dilema yang tidak berkesudahan. Diminta kewaspadaan semua pihak,
termasuk partai-partai politik.

Yang diharapkan dari partai politik Kita sudah lelah dengan asumsi
bahwa organisasi politik, termasuk partai-partai politik, hanya
mengutamakan persaingan meraih kekuasaan. Semua aktivis politik
dianggap penganut Machiavelli. Apa yang dilakukan setelah kekuasaan
ada di tangan, selalu dipertanyakan dan menjadi persoalan. Tesis
lingkungan hidup yang dipaparkan hanya sekadar contoh bahwa banyak
masalah kemanusiaan meminta perhatian. Apa kendala organisasi-
organisasi politik dalam usaha menjaga aspek-aspek kemanusiaan?
Daisaku Ikeda (1928- ), filosof dan pemuka ajaran Buddha, ketika
berbicara tentang nilainilai organisasi sosial mengatakan salah satu
yang selalu menggelitik tentang kultur modern adalah masalah
organisasi. Bersama dengan teknologi dan komunikasi, organisasi adalah
pilar penting bagi peradaban. Dengan demikian, organisasi adalah suatu
berkah bagi umat manusia. Namun, sebaliknya organisasi juga merupakan
ancaman. Masyarakat, yang juga suatu organisasi bentukan manusia,
mencerminkan apa maksud dan tujuan manusia. Namun, mekanisme sosial
kadang-kadang menjalankan fungsi yang sama sekali tidak diharapkan.
Salah satu tragedi yang kita hadapi adalah bahwa tindakan otonom suatu
kelompok yang terorganisasi kadang-kadang menekan dan bahkan menolak
kemanusiaan.

Memang kadang-kadang organisasi memberikan hasil yang berlawanan
dengan ide-ide para pendirinya. Seakan-akan organisasi memiliki
kemauan sendiri dengan sasaran-sasaran sendiri, yang berbeda dari yang
bahkan diinginkan anggota-anggotanya. Tentu bukan karena organisasi
itu menjadi satuan yang otonom, melainkan orang-orang yang menguasai
dan mengurusnya yang merasa bertanggung jawab atas kelangsungan hidup
organisasi.
Orang-orang itulah yang kadang-kadang menentukan tujuan jangka pendek
dan sempit, tanpa mempertimbangkan efek dan konsekuensinya secara
luas.

Maka Daisaku Ikeda menyarankan, organisasi memerlukan dasar spiritual
yang berakar pada nilai-nilai masyarakat. Nilai-nilai kemanusiaan
tidak boleh sempit. Jangan pernah berorientasi pada keinginan untuk
memuaskan kehendak individu, kelompok, suku, ras bahkan ideologi
tertentu. Nilai-nilai kemanusiaan harus bersifat universal. Di masa
lalu, nilai-nilai sempit telah menimbulkan tragedi. Nilai-nilai yang
dianut harus luas dan mendalam.

Penyebutan yang bersifat spiritual Di luar organisasi agama, umumnya
sebagian besar perhatian organisasi, termasuk partai politik, hanya
dicurahkan pada aspek-aspek sosial manusia, salah satu faset dari
eksistensinya. Dengan demikian, ucapan, "Gusti Allah ora sare," tidak
biasa terdengar untuk urusan kegiatan partai. Namun, kapasitas
spiritual memang ada pada tiap manusia, dengan kualitas dan intensitas
yang berbeda-beda.

Apakah unsur-unsur spiritual berkaitan dengan moralitas? Faktanya,
semua agama mempunyai ajaran moral. Studi mendalam tentang kehidupan
spiritual mengungkapkan bahwa ada keinginan manusia untuk mengetahui
nilainilai kehidupan, untuk mencari keyakinan bahwa hidup bukan suatu
kebetulan, bahwa hidup memiliki tujuan. Ada elemen intelektual dalam
usaha spiritual untuk menemukan tujuan dan nilai kehidupan, dan ada
elemen emosional dalam ketergantungannya pada kekuasaan yang
menciptakan atau menjamin nilainilai itu. Elemen-elemen intelektual
dan emosional ini memengaruhi sikap manusia. Maka kalau kita
mengatakan, "Gusti Allah ora sare,"
berarti elemen-elemen intelektual dan emosional sedang bekerja dalam
diri kita. Dalam mencari kebenaran, kita berserah diri kepada Tuhan.

Bagi yang berpuasa, "Selamat telah menjalani Ramadan yang hampir
selesai."

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/09/18/ArticleHtmls/18_09_2009_004_004.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: