BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Etika Jabatan Publik

Etika Jabatan Publik

Written By gusdurian on Minggu, 20 September 2009 | 11.51

Etika Jabatan Publik



Oleh *TA Legowo*

Empat menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu menyatakan mundur dari
jabatan karena akan segera dilantik sebagai anggota DPR periode
2009-2014. Sementara dua menteri lainnya akan tetap pada jabatannya
hingga akhir masa bakti 20 Oktober 2009.

Kedua macam tindakan itu tampak dianggap wajar. Jika dicermati, setiap
tindakan itu membawa nuansa ”pelanggaran” terhadap etika pejabat atau
jabatan publik.

*Dua tuan*

Dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia, menteri adalah
pembantu Presiden. Maka, ketika seseorang diminta Presiden dan bersedia
menjadi menteri dalam kabinet pemerintahannya, pada saat itu juga dia
terikat komitmen, bahkan jika pun tanpa kontrak politik tertulis, secara
etis untuk mengabdi dan melayani Presiden hingga masa akhir jabatan.

Namun, sistem pemilu dan kepartaian Indonesia memberi peluang kepada
para menteri kabinet, terutama mereka yang mengikatkan diri dalam partai
politik, untuk diajukan sebagai calon anggota badan perwakilan (DPR,
DPD, DPRD) dalam suatu proses pemilu. Tidak ada keharusan untuk mundur
dari jabatan saat seorang menteri dipastikan sebagai calon tetap anggota
Dewan.

Ketika hasil pemilu memastikan seorang menteri sebagai calon anggota
Dewan terpilih, saat itu juga dia telah terikat kepada ”tuan” baru,
yaitu pemilih. Apalagi jika penetapan calon terpilih itu berdasar
prinsip suara terbanyak, ikatan etik politik calon bersangkutan dengan
pemilih (konstituen) makin nyata dan kuat.

Kompleksitas etika muncul dari kesejajaran waktu antara menyelesaikan
tugas sebagai menteri dan menepati komitmen sebagai perwakilan rakyat
terpilih. Pada waktu bersamaan seorang menteri harus menyatakan komitmen
dan pengabdian untuk dua tuan yang secara substantif bertolak kepentingan.

*Pelecehan kepercayaan*

Menteri yang memastikan tetap pada jabatannya mengambil risiko untuk
kehilangan semua jabatan publik. Sebab, dia harus menyerahkan kursi DPR
yang sudah di depan mata kepada orang lain, sementara untuk waktu tidak
lama lagi dia harus pensiun dari jabatan menteri.

Keputusan ini mungkin sekali dinilai ”bagus” di mata presiden. Juga ada
kandungan komitmen etik untuk menyelesaikan tugas hingga akhir masa
jabatan. Tindakan seperti ini dapat saja berefek pada peluang untuk
diminta kembali oleh presiden—yang terpilih untuk masa bakti kedua—untuk
berada dalam jajaran kabinet baru.

Bukan tidak mungkin bersit harapan seperti itu dapat dibaca sebagai
sikap pragmatis. Sebab, diakui atau tidak, jabatan menteri lebih memberi
keuntungan ekonomi-politik daripada jabatan sebagai anggota DPR.

Namun, jelas tidak ada jaminan menteri bersangkutan pasti akan mendapat
tempat di kabinet baru mendatang. Dinamika dan tuntutan kekuasaan baru
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mungkin mengubah konstalasi/kalkulasi
politik yang berdampak tersingkirnya menteri bersangkutan dari
pertimbangan politik presiden.

Di mata konstituen, keputusan menolak jabatan sebagai anggota DPR akan
dengan mudah dipahami sebagai pelecehan kepercayaan. Penetapan calon
anggota Dewan, terpilih berdasar perolehan suara terbanyak memastikan,
menteri bersangkutan memperoleh kepercayaan terbesar dibandingkan dengan
para calon lain yang separtai. Melepas kepercayaan pemilih demi
mempertahankan jabatan menteri sama dengan mengingkari makna kedaulatan
rakyat dalam proses pemilu.

*Oportunisme berkelanjutan*

Meletakkan jabatan menteri di pengujung akhir masa bakti demi jabatan
sebagai anggota DPR untuk waktu lima tahun mendatang juga menimbulkan
sinisme publik.

Sekilas, keputusan itu terkesan bijak karena memantulkan komitmen
politik yang menghormati kepercayaan pemilih. Presiden harus dikalahkan
demi suara terbanyak yang memercayakan keperwakilan politik kepada
menteri bersangkutan. Namun, sulit untuk memastikan bahwa para mantan
menteri itu akan tegas dalam komitmen menjalankan mandat pemilih sebagai
perwakilan politik hingga akhir masa bakti.

Jika tidak salah mengingat, bukankah beberapa di antara mereka pada
pengalaman lima tahun lalu melepaskan keanggotaan DPR demi jabatan
menteri yang ditawarkan Presiden saat itu? Jabatan menteri tetap dilihat
lebih memberi keuntungan ekonomi-politik daripada jabatan sebagai
anggota DPR.

Karena itu, bukan tidak mungkin para mantan menteri akan dengan senang
hati menanggalkan keanggotaan DPR-nya jika tawaran kembali dibuka
Presiden Yudhoyono untuk kelak duduk dalam jajaran kabinet baru.

Jika tawaran terbuka kembali dan anggota DPR yang mantan menteri maupun
anggota DPR terpilih menerima tawaran itu, peluang dan keputusan semacam
ini hanya akan menegaskan tradisi politik yang secara berulang-ulang
terus menerabas etika jabatan publik.

Hasilnya, bukan tegaknya etika jabatan publik, tetapi oportunisme
politik berkelanjutan. Hasil ini hanya akan membuktikan kegagalan demi
kegagalan yang dialami Indonesia untuk membangun tata kelola
pemerintahan yang baik dan demokratis.

*Perlu makin beretika*

Masa depan Indonesia tampak akan menuntut makin tegaknya etika jabatan
publik. Hingga kini, banyak pembaruan kelembagaan telah dicapai.
Demikian pula, pengaturan dan peraturan baru telah dibuat untuk
memastikan prosedur politik transparan dan partisipatif, serta tata
kelola pemerintahan efisien dan bertanggun jawab.

Namun, kelembagaan dan pengaturan baru itu tampak menjadi sia-sia karena
tidak dilambari etika para aktor untuk secara sukarela, konsisten, dan
konsekuen mematuhinya. Yang ada hanya siasat menelikung demi kepentingan
pragmatis.

*TA Legowo* /Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/03051445/etika.jabatan.publik
Share this article :

0 komentar: