BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menyegarkan Kembali Perekonomian Indonesia

Menyegarkan Kembali Perekonomian Indonesia

Written By gusdurian on Minggu, 20 September 2009 | 11.34

Menyegarkan Kembali Perekonomian Indonesia

Presiden Barack Obama beberapa hari lalu menyampaikan pidato untuk
mendorong reformasi sistem kesehatan Amerika Serikat di depan anggota
legislatif.


Dia mengingatkan rakyatnya untuk tidak terjebak pada detail kebijakan,
tapi berpegang teguh dan bergerak berdasarkan pada prinsip keadilan
sosial dan karakter bangsa. Bila seorang Presiden dari negara yang
menepuk dada sebagai pengguna sistem kapitalis dan pasar bebas sudah
menyatakan keberpihakan demikian nyata dan amat mirip dengan prinsip
kemanusiaan yang adil dan beradab dari Pancasila, maka amatlah miris
apabila Indonesia justru mengabaikannya Untunglah dalam visi dari
presiden dan wakil presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan
Boediono, tercantum dengan anggunnya tujuan menuju terwujudnya Indonesia
yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan.

Sering disebut bahwa kekuatan ekonomi Indonesia adalah biaya tenaga
kerja yang murah.Namun apabila hanya faktor itu yang diandalkan maka
istilah Emil dan Theodor Helfferich kakak beradik bangsa Jerman yang
sempat tinggal bertahun-tahun di Indonesia semasa penjajahan Belanda dan
sering dikutip versi bahasa Inggrisnya oleh Soekarno,“Eine nation von
kuli und kuli unter den nationen”, akan menjadi sebuah kenyataan.

*** Dalam ilmu ekonomi dikenal empat faktor produksi, yaitu tenaga
kerja, modal, tanah dan kewirausahaan. Tenaga kerja yang terdidik dan
sehat akan lebih produktif dibandingkan yang tidak nikmati pendidikan
formal dan sakitsakitan. Indonesia, dengan bantuan keputusan Mahkamah
Konstitusi, telah bergerak menjadi negara yang memperhatikan dan
menanamkan investasi pendidikan di warganya dengan alokasi 20 % dari
anggaran negara untuk sektor tersebut.

Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan target pendidikan sembilan
tahun adalah target penting yang perlu didukung dengan segenap daya
upaya. Para singa ekonomi Asia (Asian economic tigers) seperti
Singapura, Taiwan,Hong Kong dan Korea Selatan adalah negara yang tidak
memiliki kekayaan sumber daya alam namun amat serius meningkatkan
kekayaan sumber daya manusia.Sampai kapan kita akan terus tertinggal
bila kekayaan alam tidak dapat ditransformasikan menjadi peningkatan
kualitas sumber daya manusia secara menyeluruh dan tidak hanya
penambahan rekening bank sekelompok orang.

Namun Indonesia masih suatu negara di mana warganya masih meninggal
karena tidak mampu menanggung biaya kesehatan padahal penyakitnya dapat
diobati. Tentu saja tidak mudah menyediakan pelayanan kesehatan yang
berkualitas segenap pelosok negara kepulauan seperti kita. Faktor
produksi modal dan tanah berkait amat erat dengan sistem perbankan.
Masalah yang terjadi di sektor perbankan terjadi di dua sisi. Dari sisi
dana masuk mereka takut kehilangan penabung apabila tingkat suku bunga
diturunkan.

Tapi dari segi dana disalurkan tidak banyak pengusaha, apalagi usaha
kecil dan koperasi,yang dapat menanggung tingkat bunga yang masih cukup
tinggi.Padahal tingkat bunga SBI sudah diturunkan oleh Bank Indonesia.
Untuk itu dibutuhkan langkah tegas dan strategis.Memang benar bila satu
bank menurunkan suku bunga maka nasabah yang rasional akan memindahkan
ke bank dengan suku bunga yang lebih tinggi setelah memperhitungkan
biaya transaksi pemindahan tabungan.

Tapi apabila semua bank di Indonesia menurunkan suku bunganya maka tidak
ada lagi pilihan bagi deposan selain menginvestasikan langsung ke sektor
riil yang justru lebih baik lagi. Hal ini dapat dilakukan dengan
menurunkan suku bunga yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
dan memublikasikan implikasinya.Tidak banyak nasabah yang memiliki akses
untuk perbankan di luar negeri.Apalagi perusahaan yang notabene
membutuhkan bank di Indonesia untuk transaksi dan operasi.

*** Hernando de Soto (2000) dalam Mystery of Capitalmenyatakan bahwa
kapasitas produksi negara berkembang banyak terhambat karena lemahnya
sistem administrasi pertanahan. Dengan kepemilikan tanah yang tidak
tercatat secara resmi maka rakyat tidak dapat menjaminkan tanah yang
mereka miliki untuk mendapatkan modal dan memulai usaha.

Padahal metode ini adalah jalan paling umum yang ditempuh di negara
maju. Peraih Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, juga menekankan bahwa
perbankan harusnya menyediakan pinjaman untuk yang miskin dan
membutuhkan.Bukan yang sudah kaya raya. Sering kali hambatan yang
dimiliki adalah agunan dan kemampuan administrasi. Grameen Bank yang
dibangunnya telah membuktikan bahwa rakyat miskin justru memiliki
tingkat kredit macet yang lebih rendah bila proses peminjaman dilakukan
secara benar.

Kapasitas administrasi usaha kecil dalam sistem akuntansi dan pengisian
formulir peminjaman bank secara benar menjadi bottle neck yang
sebenarnya tidak sulit diatasi dengan sistematis. Poin terakhir adalah
kewirausahaan. Pada sistem ekonomi dunia yang terglobalisasi maka proses
produksi dapat dilakukan di mana saja. China menjadi pabrik dunia
sementara India menjadi back officeyang mengurusi administrasi dan
customer services.

Tapi yang menikmati profit adalah pemilik merek dan pemegang sahamnya.
Selama Indonesia masih puas menjadi tukang jahit yang sekedar
mengerjakan orderan maka tidak akan banyak peningkatan kesejahteraan
yang terjadi. Ha Joon- Chang,ekonom asal Korea Selatan di Cambridge,
menjabarkan betapa Korea Selatan perlahan lahan menaiki tangga value
added chains dari tekstil, elektronik, dan mesinmesin berat serta
microchip.

*** Studi kewirausahaan global 2003–2005 meliputi 83 negara dari Bank
Dunia menempatkan Indonesia dalam katagori terendah munculnya usaha
baru. Hal ini harus diubah dan hambatan dalam berusaha harus dipangkas
jika kita perubahan yang nyata dan permanen. Padahal Indonesia memiliki
keunggulan sebagai negara kelautan tropis dengan keanekaragaman hayati
yang amat luas. Sudah saatnya berbagai produk buah dan obat serta sumber
daya laut dunia disuplai oleh Indonesia, bukan oleh Amerika,Australia
atau Thailand yang sinar mataharinya terbatas.

Itu semua bukan hal yang tidak mungkin dicapai dalam lima tahun
mendatang dengan riset dan pemasaran yang intens. Seperti dikatakan
Presiden Kennedy, “All this will not be finished in the first one
hundred days; nor even perhaps in our lifetime on this planet.But let us
begin.” Sudah saatnya Indonesia berhenti jadi kuli.(*)

Berly Martawardaya
Dosen FEUI dan Ekonom Senior INDEF


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/270642/
Share this article :

0 komentar: