BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » The Right Man in The Right Place

The Right Man in The Right Place

Written By gusdurian on Minggu, 20 September 2009 | 11.24

The Right Man in The Right Place

Pidato kenegaraan Presiden SBY tanggal 14 dan 19 Agustus 2009
merupakan pidato yang disusun secara paripurna, menatap masa depan,
menggariskan suatu strategi dasar. Pidato ini melegakan bagi
pendengarnya.


Bangsa ini sudah lama terpuruk.Dalam Ramadan ini saya merenung.
Kecemasan sempat memuncak. Mengapa tiba-tiba saja yang terjadi di
negeri ini adalah sekadar “pembangunan di Indonesia”, bukan
“pembangunan Indonesia”? Lebih menyedihkan lagi, mengapa bangsa ini
telah lengah-budaya, tiba-tiba saja kita menjadi kuli di negeri
sendiri, sekadar menjadi jongos globalisasi?

Bukankah ketika Dr Helfferich mengatakan bahwa kita adalah eine Nation
von Kuli und Kuli unter den Nationen (bangsa kuli dan kulinya bangsa-
bangsa lain) disanggah keras oleh Mohammad Hatta dengan adagium “kita
harus menjadi tuan di negeri sendiri” menjadi “the Master in our-own
Homeland, not just to become the Host” (dikutipkan dari Meutia Hatta,
2008)? Pujangga besar Jerman Johann Christoph Friedrich von Schiller
(1759-1805), sahabat pujangga besar Johann Wolfgang von Goethe,
mengatakan “suatu masa besar dilahirkan abad, tetapi masa besar itu
menemui masa kerdil”. Ini adalah satire mengenai keterpurukan suatu
bangsa.

Apakah kedua pidato kenegaraan Presiden SBY mengisyaratkan akan
datangnya masa depan yang besar? Inikah masa besar yang kita tunggu-
tunggu? Bila kita sepakat dan bertekad demikian, harapan kita tentulah
bahwa “masa besar itu menemui pemimpin besar”.
Persatuan,kerukunan,kebersamaan, dan semangat nasionalisme harus
serentak dikerahkan oleh sang Pemimpin.

*** Dari kedua pidato kenegaraan, di bidang ekonomi ada “banting
setir”pro-sejarah,menjauh dari liberalisme dan neoliberalisme. Banyak
hal dapat dikemukakan, tetapi akan saya pilih empat hal saja. Pertama,
tekad mempertegas kedigdayaan bangsa, dengan istilah Presiden:
“kemandirian, daya saing, dan peradaban unggul”.Ketiganya merupakan
modal sosialkultural yang lama terabaikan. Perencanaan pembangunan
nasional kita selama ini memang kurang memberi tempat bagi
pengembangan modal sosial-kultural ini, tidak eksplisit menempatkan
modal sosial-kultural ini sebagai target-target pemberdayaan dan
kedigdayaan bangsa.

Kongres Budaya tahun lalu pun khilaf menggariskan strategi sosial-
budaya yang jelas menuju kedigdayaan bangsa ini, menjadi bangsa
tertempa oleh the culture of excellence. Modal sosial-kultural ini
menjadi perhatian kaum ekonom strukturalis karena peran dasarnya
sebagai booster bagi modal ekonomi (modal finansial) dan modal sumber
daya alam sejolinya. Kedua, kata Presiden SBY strategi export oriented
bukanlah pilihan yang tepat. Sejak sangat lama Indonesia terpaku pada
penggalakan ekspor, kebijakan export drives sembarang ekspor
bertubitubi, kecuali sekali-kali seperti melarang ekspor kayu dan
rotan gelondongan.

Pada Konferensi Ekonomi Yogyakarta 63 tahun lalu (3 Februari 1946)
telah dipesankan oleh Wapres perlunya kita tidak membalik “ujung”
menjadi “pangkal”. Ekspor jangan menjadi tujuan,artinya ekspor adalah
ujung, kekuatan pasar dalam negeri adalah pangkalnya, sebagai desain
bagi strategi utama untuk meningkatkan daya beli rakyat. Ekspor
dilakukan hanya setelah menjadi produk olahan sehingga nilai tambah
ekonomi terjadi di dalam negeri.Kebijakan export-economie ini kita
tolak sejak awal, kemudian lama diabaikan, sekarang ditegakkan kembali
oleh Presiden.

Ketiga, banting setir lain yang menggelegar adalah ketegasan Presiden
yang mengatakan: kita tidak boleh terjerat, menyerah, dan tersandera
oleh kapitalisme global yang fundamental. Ini menjadi suatu grand-
strategy yang tentulah inheren dengan tekad kemandirian dan
pengembangan kekuatan pasar dalam negeri. Dari penegasan ini, isu
neoliberalisme yang selama ini dipangku oleh pemerintah (baca: tim
ekonomi SBY) bolehlah sirna. Ini menjadi komitmen keras pemerintah
yang banyak ekonom nasionalis- strukturalis mendukungnya.

Keempat,di depan DPD tanggal 19 Agustus 2009 Presiden menyatakan:
dalam kenyataannya di banyak negara, termasuk Indonesia, teori trickle-
down effect gagal menciptakan kemakmuran untuk semua. Teori trickle-
down effect telah lama dihujat oleh kaum strukturalis yang pro-job dan
pro-poor.Menerima mekanisme trickle-down memang berarti menganggap
rakyat hanya berhak akan rembesan belaka, ini kejahatan pola pikir,
merupakan suatu moral-crime terhadap rakyat. Bukti-bukti menunjukkan
bahwa yang terjadi justru adalah trickle-up effect (Swasono, 1988).

Sebagai satu contoh saja, ekonomi rakyatlah yang menyediakan kehidupan
murah dan biaya hidup murah (low cost economy dan low cost of living)
bagi buruh-buruh korporasi yang berupah rendah, PNS dan prajurit yang
bergaji rendah. Jadi ekonomi rakyat di bawah menghidupi orang-orang
yang bekerja di korporasi dan birokrasi. Ekonomi rakyat menyubsidi
kegiatan nasional besar di atasnya.

*** Dengan berulang kalinya Presiden berbicara mengenai penegakan
hukum dan prinsip negara hukum (rechtsstaat), implisit berarti Pasal
33 UUD 1945 merupakan inherent commitment Presiden pula.Apa pun
istilah yang digunakan,apa itu “jalan ketiga”,“jalan tengah”, “ekonomi
Pancasila”, “ekonomi sosialisme Indoneia”, tidak boleh tidak, itu
adalah ekonomi Pasal 33 UUD 1945.

Saya teringat akan sentilan Pak Jakob Oetama di awal Agustus 2005
tatkala banyak ekonom kita mengagumi the third way (jalan ketiga)-nya
Anthony Giddens. Sesepuh Kompas ini mengatakan the third way Giddens
telah lebih awal menjadi the third way (Pasal 33)-nya Hatta.Saya
membenarkannya (saya tulis di Kompas 16/8/2005). Presiden yang mau
banting setir (menegakkan platform nasional Pancasila dan Pasal 33 UUD
1945) seperti yang saya kemukakan di atas menuntut pada diri Presiden
sendiri untuk menyusun kabinet secermat-cermatnya.

Hukum besi birokrasi dalam stelsel good governance, yaitu the right
man in the right place, merupakan suatu keharusan mutlak. Namun saya
mendengar pemberitaan di surat-surat kabar bahwa Presiden SBY
sepertinya “melemah” dan buru-buru mengatakan bahwa partai-partai
koalisi pasti akan mendapat jatah di kabinet. Hal seperti ini sempat
dicemaskan oleh Mohammad Hatta ketika karya monumentalnya Demokrasi
Kita (1960) memperingatkan, bila keinginan partai yang tidak selalu
sinkron dengan tuntutan kualifikasi terlalu diakomodasi, cita-cita
besar tidak akan mudah tercapai.

Apabila saja pilihan berdasar the right man in the right place
kebetulan sama dengan keinginan pilihan partai, tentulah itu
keberuntungan yang lebih baik. Sebagai contoh, jatah Menteri Koperasi
selaku jatuh pada partai tertentu, jauh dari dasar the right man in
the right place. Akibatnya koperasi di seluruh dunia senantiasa
mencatat kemajuan pesat, kecuali di Indonesia. Padahal banyak tokoh
muda yang mampu dan profesional.

*** Pertanyaannya menteri-menteri lama yang neoliberalistik,yang
setengah hati terhadap pengutamaan kepentingan nasional dibandingkan
kepentingan pasar, kurang pro-job dan pro-poor,kurang menempatkan
rakyat dalam posisi sentral-substansialnya (sebaliknya memosisikan
rakyat secara marginal-residual yang hanya dianggap berhak rembesan-
rembesan) dapatlah ikut melakukan banting setir seperti dikehendaki
oleh Presiden? Jawabannya tergantung, apakah menteri ekonomi di
Kabinet Lama sekadar teknokrat atau mereka ideolog pasar-bebas?

Kalau hanya teknokrat, dia adalah sekrup yang pasti bisa diperintah
Presiden untuk taat.Kalau mereka ideolog yang tidak Pancasilais, tentu
tidak bisa. Artinya apakah kedua pidato kenegaraan itu mampu
menggerakkan inspirasi dan kegiatan nyata bangsa ini untuk meraih
kejayaannya? Jawabannya adalah apakah masa besar melahirkan pemimpin
besar? Harapan saya demikian.(*)

Sri-Edi Swasono
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/270939/
Share this article :

0 komentar: