BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Risiko Melemahkan KPK

Risiko Melemahkan KPK

Written By gusdurian on Minggu, 20 September 2009 | 11.47

Risiko Melemahkan KPK

Daya dukung politik terhadap eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) ternyata tidak cukup kuat. Tak aneh jika gebrakan KPK dalam
memberantas korupsi direspons dengan sangat negatif.


Caranya dengan melakukan usaha sistematis untuk merontokkan KPK. Jika
pimpinan KPK dikriminalisasi melalui tindakan penyelidikan dan
penyidikan kasus korupsi oleh Mabes Polri,wewenang KPK dipreteli lewat
jalur alternatif, yakni RUU Pengadilan Tipikor.Dua wewenang KPK yang
terus menjadi target pemangkasan oleh elite politik adalah penuntutan
dan penyadapan. Tindakan Reskrim Mabes Polri dalam memeriksa Pimpinan
KPK sejak awal memang mencurigakan.

Bermula dari dugaan penyadapan ilegal, dugaan suap dalam kasus PT Masaro
yang diterima oleh oknum KPK, hingga yang terbaru, dugaan penyalahgunaan
wewenang oleh Pimpinan KPK atas penanganan kasus korupsi PT Masaro yang
melibatkan Anggoro. Bahkan dua hari lalu kita digemparkan dengan status
tersangka atas Candra Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Dalam kasus pertama
dan kedua, polisi nampaknya kecele karena tidak dapat menemukan bukti
hukum yang mendukung.

Sementara kasus yang terakhir, saya khawatir Mabes Polri tidak membaca
UU No 30 tahun 2002 tentang KPK. Dalam pasal 36 ayat 1 UU KPK diatur hak
untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan atau kompensasi apabila
seseorang dirugikan sebagai akibat dari penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan yang dilakukan oleh KPK. Ditambahkan dalam ayat 2, gugatan
rehabilitasi dan atau kompensasi tidak menghilangkan hak orang yang
dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan. Dengan aturan di
atas,semestinya Anggoro Wijaya, Direktur PT Masaro yang kasus korupsinya
tengah disidik KPK dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan dua
gugatan di atas.

Sementara di sisi lain, Kepolisian tidak memiliki wewenang sama sekali
untuk melakukan reviu atau pemeriksaan atas proses hukum kasus korupsi
yang tengah dilakukan KPK. Berdasarkan aturan hukum inilah, kita bisa
mengatakan bahwa yang telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan
sebenarnya adalah Reskrim Mabes Polri, bukan KPK.

Memangkas Wewenang KPK

Sikap pejabat Polri dan DPR setali tiga uang, yakni tidak menunjukkan
komitmen untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi di
Indonesia.Parlemen masih terus menggodok RUU Pengadilan Tipikor meski
kelompok masyarakat sipil telah menuntut supaya DPR tidak meneruskan
proses tersebut. Salah satu isu besar yang menjadi bahan diskusi publik
terkait pembahasan RUU Pengadilan Tipikor adalah upaya melemahkan KPK
dengan mengamputasi wewenang penuntutan dan penyadapan.

Untuk soal penuntutan, alasan yang diajukan parlemen cukup
sederhana,yakni adanya dualisme penuntutan antara KPK dan Kejaksaan.
Logika ini menyesatkan karena dua hal.Pertama, dualisme penegakan hukum
tidak hanya terjadi pada sisi penuntutan. Bahkan di tingkat
penyelidikan, bukan hanya dualisme yang terjadi, tapi sudah “triisme”.
Pasalnya polisi, jaksa dan KPK memiliki wewenang untuk melakukan
penyelidikan kasus korupsi.Sementara untuk penyidikan,dualisme juga
terjadi. Antara KPK dan Kejaksaan samasama memiliki wewenang itu.

Kedua, berhitung soal kinerja, penuntutan KPK justru lebih baik
dibandingkan dengan penuntutan oleh Kejaksaan. Indikatornya mudah, tidak
ada satu pun kasus korupsi yang dituntut KPK ke Pengadilan Tipikor
berakhir dengan vonis bebas. Berbeda dengan Kejaksaan, masih banyak dari
kasus korupsi yang dituntut Kejaksaan berujung bebas.Artinya, sejak
dimulainya penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan, ada satu aras
yang sejalan sehingga penuntutan KPK benar-benar dapat membuktikan
secara hukum bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi.

Secara teknis,mengembalikan wewenang penuntutan ke Kejaksaan juga
membuat urusan penegakan hukum menjadi tidak efektif dan tidak efisien.
Parlemen seharusnya dapat mengambil contoh antara Kepolisian dan
Kejaksaan. Bolak-balik berkas perkara antara Kepolisian dengan Kejaksaan
kerap terjadi.Kita tentu akan melihat hal serupa jika KPK hanya diberi
wewenang penyelidikan dan penyidikan, sementara wewenang penuntutan ada
di Kejaksaan.

Risiko yang paling buruk, fakta-fakta hukum yang telah dikumpulkan KPK
dapat dihilangkan dalam penuntutan oleh Kejaksaan.Pada akhirnya, kasus
yang diproses KPK bisa saja divonis bebas karena penuntutan yang
bermasalah.

Risiko bagi Agenda Pemberantasan Korupsi

Kita tentu merasa heran mengapa SBY sebagai Kepala Negara terkesan diam
seribu bahasa atas upaya pihak-pihak tertentu yang ingin melemahkan KPK.
Padahal pemberantasan korupsi merupakan isu yang dijual oleh SBYKalla
maupun SBYBoediono dalam setiap kampanyenya.

Secara diam-diam, SBY pun mengakui kinerja KPK mengingat dalam periode
kampanye Pilpres 2009 kemarin, materi kampanye keberhasilan
pemberantasan korupsi Pemerintahan SBYKalla justru menonjolkan sisi KPK.
Akan ada beberapa risiko besar jika secara politik,KPK tidak mendapatkan
dukungan dan terus dilemahkan. Pertama,Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Indonesia untuk tahun 2009 dan selanjutnya tidak akan sebaik capaian IPK
2008 atau bahkan merosot ke titik paling rendah.

Sebagaimana kita tahu, kontribusi KPK dalam mendongkrak IPK Indonesia
dari 2,3 pada tahun 2007 menjadi 2,6 pada 2008 merupakan hal yang tidak
dapat dibantah. Oleh karena itu, menjadi sangat ironis jika target
capaian IPK oleh SBY pada masa kedua kekuasaannya lebih tinggi daripada
capaian IPK 2008,akan tetapi pada saat bersamaan,faktor-faktor yang
mendukung peningkatan IPK tidak didukung secara politik.

Saya khawatir SBY terlalu percaya diri dengan agenda reformasi
birokrasinya sehingga tidak menganggap sama sekali KPK sebagai pemberi
kontribusi terbesar dalam mendongkrak IPK Indonesia 2008. Kedua,
merosotnya IPK adalah indikator buruknya kepercayaan masyarakat
internasional terhadap Indonesia. Lemahnya penegakan hukum, tiadanya
kepastian hukum,berjangkitnya suap dalam praktek berusaha, panjangnya
mata rantai birokrasi perizinan, tingginya ongkos ekonomi dan rendahnya
integritas aparat pemerintah menjadi faktor kunci buruknya citra Indonesia.

Padahal diberantasnya semua faktor di atas adalah kunci untuk
meningkatkan daya saing ekonomi nasional.KPK secara langsung maupun
tidak langsung berjasa untuk mengubah citra Indonesia yang negatif. Oleh
karena itu, jika SBY memiliki komitmen dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, seharusnya hal itu juga didukung oleh komitmen dalam
memberantas korupsi.

Kini,semua bola panas yang menghantam KPK menggelinding ke Istana
Negara. Sikap kenegarawanan seorang SBY tengah diuji menjelang
pelantikannya sebagai Presiden untuk periode kedua. Nasib KPK ke depan
berada dalam genggamannya.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/270640/
Share this article :

0 komentar: