BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Jauh Panggang dari Api

Written By gusdurian on Rabu, 14 April 2010 | 13.21

Institusi pemerintahan belakangan kerap menyampaikan pesan-pesan publikasinya. Pesan tersebut antara lain diwujudkan melalui iklan-iklan kampanye.


Mari kita simak sejenak, apakah pesan tersebut sampai ke sasaran atau malah sesat ide sehingga menimbulkan persepsi melenceng dari tujuan? Paling mudah memulai penelusuran dengan beranjak dari kasus Gayus, si pegawai pajak. Maksudnya, mari menelaah iklan yang dikeluarkan institusi pajak.Masih ingat iklan yang muncul beberapa tahun lalu ketika pemerintah mulai mengambil kebijakan untuk menaikkan pendapatan negara dari pajak? Iklan ditayangkan dalam format cetak dan baliho.Tentu dengan maksud untuk menyebarluaskan kampanye agar rakyat taat membayar pajak, papan iklan tersebut amat mudah dijumpai di banyak titik, baik di Jakarta maupun luar Jakarta.Di jalan raya maupun di jalan bebas hambatan.

Ukurannya pun beragam, tetapi praktis semuanya mencuri perhatian. Sosok dalam iklan tersebut adalah seorang pria,berada dalam rentang usia sosok yang mulai mapan, 30–40 tahun. Berpakaian fulldress, jas lengkap dengan dasi, menggenggam telepon seluler. Melihat kostum dan gayanya, agaknya dia dicitrakan sebagai sosok wajib pajak yang bekerja sebagai pebisnis atau eksekutif sukses.Wajahnya pede, tersenyum lebar. Seakan lepas dari beban karena dia telah menutup semua kewajiban pajaknya. Pesan dari iklan tersebut: bila semua wajib pajak patuh, mereka berada di level sejahtera seperti sosok dalam iklan tersebut. Sayangnya, si sosok ini tampil tambun. (Mohon maaf, tak ada maksud mendiskreditkan siapa pun secara fisik).

Dalam asumsi lama,gemuk kerap identik dengan makmur. Lukisan kuno abad pertengahan selalu menampilkan wanita bertubuh gemuk dan montok. Atau pria-pria mapan yang chubby. Nilai yang hidup di masyarakat ketika itu menganggap gemuk sebagai simbol kemakmuran.Namun dalam persepsi masa kini, ketika masyarakat sudah memiliki orientasi yang benar tentang sehat, gemuk identik dengan tidak sehat. Tentu saja itu simplifikasi. Hanya saja, coba bayangkan apa persepsi yang muncul melihat sosok tak bijak terhadap kesehatan diri sendiri tersebut? Lalu,bagaimana dia akan bijak melakukan hal lain, termasuk membayar pajak? Memang ini logika sederhana yang terbuka untuk didiskusikan.

Maksud sesungguhnya adalah,mengapa tak mencoba bersikap lebih cermat mengeksekusi suatu pesan, terlebih bila pesan tersebut disebar kepada masyarakat luas dengan rentang status sosial demografi sangat lebar? Kisah iklan sesat ide tersebut kemudian diteruskan lagi pada iklan-iklan berikutnya.Yang terasa paling mencolok adalah pada penggunaan frase ala Nagabonar sebagai tagline iklan pajak berikutnya, yang dipakai sampai saat ini. Nagabonar, sebagaimana diketahui, adalah sosok imajiner dalam film berjudul serupa. Dia adalah raja copet pada zaman kemerdekaan yang oleh nasib terbelokkan tak sengaja menjadi pahlawan. Dia sering melontarkan frase,“Apa kata dunia?”Frase itu merupakan penggalan percakapan Nagabonar dalam film yang maknanya kalau mau maju perang, maju saja, jangan ragu.

Kalau pengecut, malulah kepada dunia. Coba kita renungkan sejenak saja, kok institusi yang harusnya dicitrakan menjalankan sistemnya secara tata kelola yang baik malah berkaca pada frase milik si raja copet? Institusi ini juga mengeluarkan idiom dalam kampanye mereka “bayar pajak Anda, awasi penggunaannya”. Idiom ini memberikan pesan bahwa sudah dilakukan upaya habis-habisan,jujur,transparan demi nusa-bangsa.Apakah pesan ini menimbulkan rasa simpati dan respek para wajib pajak sehingga berduyun-duyun mereka membayar pajak tanpa perlu bermainmain dengan petugasnya? Janganjangan malah publik bertanya: apa tidak yakin yasampai semua orang diminta mengawasi?

*** Sebenarnya penayangan materi iklan sesat ide ini banyak dijumpai. Hanya saja kali ini secara spesifik dibahas ranah institusi publik. Bila kasus institusi pajak yang dijadikan cantolan, itu semata kebetulan karena memang tengah menjadi topik hangat. Sederhananya, pesan sering kali dikirim dalam kemasan yang tak komprehensif. Kerap mengabaikan riset kultur dan kondisi psikologis masyarakat.Penyebabnya bisa macam-macam. Di antaranya, tim pembuat iklan tak cukup mendapatkan briefatau kurang inisiatif melakukan riset produk lengkap dengan latar belakang kultur dan psikologi sosialnya.Atau mungkin intervensi klien yang terlalu jauh, baik intervensi kreatif maupun intervensi bujet. Titik tolak mengekspos diri kepada publik melalui iklan berawal dari kebutuhan menyampaikan pesan.

Siapa pun pemilik pesan,konsepnya tetap sama: “membujuk” konsumen, customer ataupun publik untuk bersedia membeli,mendapatkan, memakai atau melakukan sesuatu sebagaimana dipesankan iklan. Format penyampaian pesan melalui iklan ini berhubungan erat dengan pencitraan dan positioning yang hendak dicapai si subjek. Akan tetapi, kerap terjadi si penyampai pesan sering merasa paling paham akan produk atau jasa yang mereka tangani sehari-hari sehingga tak memberi ruang kreatif yang leluasa. Cenderung mendikte. Akibatnya, materi publikasi atau iklan yang dihasilkan sering terasa garing, monoton, dan tidak membangkitkan dialog batin yang positif. Ketika materi sudah tayang, patut diyakini pasti ada masukan atau bahkan evaluasi dari berbagai pihak.

Akan tetapi, pertanyaannya: seberapa besar keterbukaan dan kebesaran hati serta rasionalitas digunakan untuk menerima masukan tersebut? Bila tak cukup besar pada materi berikut, tetap saja ide dan konsep yang dieksekusi akan meleset. Jadinya, pesan cenderung diabaikan orang. Maka ketika soal makelar kasus (markus) terbongkar, baik sosok pria tambun maupun frase mantan raja copet dan moto milik institusi ini seakan mendapatkan permafhumannya. Benang merah kebobrokan di dalamnya tampak jelas, terbuka, dan kasatmata. Ibarat gong, ya tinggal pukul saja, maka ia berbunyi.

*** Menyampaikan pesan simpatik dalam beriklan bukan perkara mudah meski aplikasinya sebenarnya sederhana saja.Kuncinya, jangan terlalu menuntut konsumen memahami begitu banyak pesan superlatif atau juga pesan verbal. Ketika akan menyampaikan pesan melalui iklan, pertimbangkanlah dahulu unsur penyeimbangnya. Hal itu adalah menyiapkan si subjek iklan itu sendiri secara internal. Maksudnya, si penyampai pesan harus yakin benar bahwa dirinya sudah “beres” dan layak ekspos. Dalam kaitan dengan model iklan institusi pajak, akan lebih bijak bila lembaga ini melakukan upaya sungguh-sungguh membereskan diri; secara internal melakukan pembersihan oknum-oknumnya.

Jangan menampilkan perbedaan mencolok antara imbalan gaji dengan gaya hidup. Sebagai pegawai negeri, dengan remunerasi khusus, mereka sudah dapat hidup layak. Akan tetapi untuk hidup mewah dari pendapatan resmi rasanya meragukan. Kemudian, cobalah mengekspos kasus-kasus pajak secara layak. Dengan demikian, masyarakat diberi tahu di mana peran mereka sebagaimana diminta dalam idiom kampanye “awasi penggunaannya”. Hal yang tidak dilakukan ini tentu membuat kampanye bernilai ratusan juta itu menjadi tidak efektif.

*** Melakukan kampanye tidak efektif tersebut juga banyak dijumpai pada institusi lain. Sering dijumpai, sosok tokoh pejabat muncul besar-besar dalam baliho di tengah kota. Uniknya, dalam baliho-baliho ini, si subjek iklan sering repot-repot menggandeng atasannya. Entah ini karena budaya ewuh-pakewuh atau memang demikian pakemnya.Kalau bupati, dia akan menggandeng gubernur. Bila gubernur, pilihannya tergantung situasi, bisa menteri atau presiden sekalian. Adapun bila menteri, sudah pasti akan menggandeng presiden. Seakan takut masyarakat tak yakin akan maksud kampanyenya. Kira-kira sama dengan mengatakan,“Nih, kalau tak percaya, ada bapak saya. Jadi percaya sajalah.

” Padahal, pesan yang menayangkan sosok pejabat itu saja sudah tak efektif. Masyarakat disodori begitu banyak klaim sukses si pejabat yang nyaris berbentuk fakta fisik semua. Selain klaim itu sering mengada-ada, lalu siapa yang diharapkan membaca pesan sebanyak itu di jalan raya? Seberapa banyak pelintas akan membacanya dalam waktu singkat dan secara cepat memahami pesan? Berkaca pada substansi demikian, apa boleh buat, kondisi antara pesan yang ditayangkan dengan kenyataan memang masih jauh panggang dari api.

Mungkin saja, penikmat pesan belum terlalu kritis, tetapi bukan menjadi halangan untuk mencoba mengubah eksekusi ke cara yang lebih baik. Sebelum mengeksekusi pesan ke publik, berbenah diri sendiri dululah secara internal. Bisa, dong.(*)

Safrita Ayu Hermawan
Praktisi PR dan Penulis Sejumlah Buku Tokoh-Tokoh Penting

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/316230/

KIAI SAJA IMANNYA NAIK

Mochamad Tjiptardjo, Direktur Jenderal Pajak:
Tiga pekan terakhir, nama Gayus HaloT moan Tambunan menyesaki ruang pemberitaan media. Penjemputan dan penahanan pegawai golongan III A Direktorat Jenderal Pajak itu dari Singapura, Selasa pekan lalu, yang melibatkan jenderal polisi berbintang tiga, menambah keheranan sekaligus keingintahuan publik tentang apa sesungguhnya yang dilakukan pria yang baru berusia 30 tahun itu.

Kasus Gayus terkuak setelah Komisaris Jenderal Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, mengungkapkan dugaan kongkalikong pencairan duit di rekening pegawai pajak itu sebesar Rp 25 miliar, yang diduga melibatkan petinggi kepolisian. "Seluruh Kementerian Keuangan malu," kata Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo. Di sela jadwalnya yang sangat padat, Tjiptardjo menjelaskan kepada Tempo bagaimana jajarannya menangani kasus Gayus Tambunan. Berikut ini petikannya.

Betulkah Anda tak tahu sama sekali kasus Gayus hingga Susno Duadji berbicara?
Waktu saya masih Direktur Intelijen, saya mendengar informasi ada kasus di Direktorat Keberatan dan Banding sedang ditangani Ba dan Reserse Kriminal Polri. Kami ikuti saja karena itu bukan kewenangan kami.

Kapan?
Awal 2009. Badan Reserse Kriminal memanggil beberapa orang untuk diperiksa, seperti kasus PT First Media. Informasi itu saya sampaikan ke pimpinan. Ketika saya dilantik menjadi Dirjen Pajak pada Juli lalu, saya ingat kasus itu, tapi belum ada kabar sampai di mana penanganannya. Pada awal November 2009, saya kirim surat ke Badan Reserse Kriminal menanyakan perkembangan penanganan kasus ini. Dua minggu kemudian, mereka memberikan kronologi kasusnya. Ketika itu, kasusnya sudah sampai penyidikan dan berkasnya kemudian dilimpahkan ke kejaksaan dengan tersangka Gayus Tambunan. Gayus sendiri sudah dicopot dari posisinya sebagai penelaah banding pada Agustus 2009.

Setelah ada pernyataan Susno, apa yang Anda lakukan?
Saya minta Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur menanganinya. Pada 22 Maret, Direktur Kepatuhan memanggil dan memeriksa Gayus. Kami juga membentuk tim yang dikirim ke Pengadilan Negeri Tangerang menanyakan salinan vonis sebagai dasar penindakan. Panitera mengatakan kepada kami, vonis ke Gayus bebas murni, tapi salinannya menunggu ketua majelis hakim yang masih umrah. Sehari kemudian, kami kembali memeriksa Gayus.

Apa yang didapat dari pemeriksaan itu?
Kami menemukan pelanggaran berat, karena sebagai pegawai negeri dia mengaku me nerima duit. Tapi Gayus hanya mengaku menerima Rp 370 juta seperti disampaikannya di pengadilan. Direktur Kepatuhan mengusulkan dia diberhentikan dengan tidak hormat.
Hari Kamis dipanggil lagi, ternyata dia mangkir. Menurut pengacaranya, Gayus sakit.

Waktu dia masih berstatus tersangka, belum bisa dijatuhi sanksi?
Belum bisa. Kami tunggu prosesnya berkekuatan hukum tetap.

Gayus melakukan tindakan itu sejak 2007.
Apakah pengawasan internal pajak tak pernah mendeteksi?
Kejahatannya terbongkar setelah dia ketahuan menerima duit. Kalau aliran duit itu tidak terungkap, ya, kami tak pernah tahu ada permainan di situ. Sebab, kami melihat pekerjaannya sudah sesuai dengan prosedur standarnya.

Apa tidak ada evaluasi kemungkinan kebocoran atau penyalahgunaan wewenang?
Kami itu bekerja berdasarkan prosedur standar. Tahap-tahap kerjanya jelas. Kalau tidak ada laporan dari wajib pajak atau publik, ya, kami anggap semua pekerjaannya beres.
Tak ada masalah. Baru kalau ada laporan dari masyarakat, kami bergerak. Contohnya hukuman terhadap 516 pejabat pajak. Itu juga dari informasi masyarakat. Baru kemudian diadakan perbaikan, pergeseran, dan hukuman, tergantung kesalahannya.

Modus Gayus ini sepertinya baru di pajak?
Kami masih meraba-raba. Tempo hari dia mengaku uang itu milik Andi Kosasih. Tapi sekarang kan terbukti uang itu bukan milik Andi Kosasih. Kami periksa lagi apakah uang itu terkait dengan pekerjaan dia sebagai penelaah banding. Sudah kami bekukan semua pekerjaan dia. Dari 51 kasus yang dia tangani, 80 persennya kami kalah di pengadilan pajak. Dia sudah tertangkap dan mengatakan akan mengungkap siapa saja wajib pajaknya. Pada waktu pemeriksaan, kami sudah mendapatkan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Menurut analisis itu, semua uang yang masuk ke 23 rekening Gayus, baik tabungan maupun deposito, dalam bentuk tunai. Kalau tunai seperti ini, kan, susah menelusurinya.
Yang tahu, ya, hanya Gayus.

Jadi belum ketahuan siapa yang menyuap Gayus?
Nanti akan terang apakah yang memberikan uang itu wajib pajak yang dimenangkan di pengadilan banding. Jadi jelas polanya, apakah dia memberikan uang karena dimenangkan. Gayus mengaku sendiri reformasi perpajakan membuat susah mencari celah untuk "bermain".

Kuncinya ada di Gayus. Kalau dia menyebut nama wajib pajaknya, proses berikutnya gampang. Kalaupun dia bohong, misalnya menyebut nama wajib pajak sembarangan, kami panggil wajib pajaknya dan dikonfrontasikan dengan Gayus. Kalau mereka mau berantem, ya, silakan berantem.

Berarti wajib pajaknya akan kena kasus pidana?
Pasti. Kalau benar memberikan uang, dia akan dikenai pasal penyuapan. Dan kedua, pembayaran pajaknya bisa diperiksa ulang.

Pembenahannya seperti apa?
Sekarang sudah ada prosedur standarnya. Kalau kami kalah di pengadilan pajak, saya minta Direktur Kepatuhan memeriksa apakah pihak pajak mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Kalau ada pengajuan peninjauan, berarti ada mekanisme kontrol.

Dalam semua kasus yang ditangani Gayus dan kalah di pengadilan itu, apakah Dirjen Pajak mengajukan permohonan peninjauan?
Sedang kami periksa. Bisa jadi dia mengajukan peninjauan, tapi pasalpasalnya diperlemah. Pengajuan itu hanya formalitas. Jadi substansi kasusnya mesti diperiksa. Bisa jadi kasus Gayus ini juga melibatkan kon sultan pajak. Boleh jadi bukan hanya Robertus, tapi ada konsultan lain lagi.
Atau ada orang pajak yang jadi konsultan pajak.

Kasus serupa pernah terjadi?
Kalau di tingkat banding, yang terbongkar baru kasus ini. Saya belum tahu yang tidak terbongkar. Kalau nanti sudah jelas modusnya, akan diperiksa kasus-kasus banding pajak lainnya.

Seperti apa pengawasan kekayaan pegawai pajak?
Semua daftar kekayaan pegawai pajak dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Kami mengawasi laporan kekayaan yang ada di surat pemberitahuan tahunan pajak. Kami menunggu laporan dari publik, apakah ada kekayaan yang tidak wajar.
Sejak saat ini pengawasannya diperketat. Menteri Keuangan sudah meminta surat pemberitahuan tiga tahun terakhir dicek. Saya juga sudah minta Pusat Pelaporan memeriksa rekening pegawai pajak yang bekerja di tempat-tempat yang rawan korupsi, yakni bagian pemeriksaan pajak, account representative, juru sita, dan penelaah keberatan. Kalau mereka punya data transaksi keuangan mencurigakan pada orang-orang ini, tolong segera kirim ke Dirjen Pajak.

Bagaimana Gayus berani melakukan tindakan itu? Apakah karena faktor lingkungan kerja?
Ini menyangkut iman. Bukan hanya Gayus. Ini kan kultur di Indonesia.
Kalau kita menikah itu kan perka winan dua keluarga. Kalau ada keponakan akan masuk sekolah atau orang tua sakit, sementara ada anak atau menantu bekerja di kantor pajak dan pada saat bersamaan dia menangani kasus pajak, dari situ semuanya bermula. Sementara itu, secara alamiah, wajib pajak ingin menekan biaya, termasuk dalam membayar pajak.

Atau mungkin ada yang perlu dibereskan dalam proses rekrutmen?
Dalam rekrutmen, kami sudah mencari yang bagus. Tapi kan tidak ada teknik untuk meramal orang ini bakal jadi penjahat atau tidak. Kiai saja imannya naik-turun. Pas kepepet dan kebetulan ada peluang korupsi, ya, diambil. Lama-lama ketagihan.
Apalagi ternyata tidak ketahuan.

Apa pegawai pajak tidak saling memperhatikan kekayaan, misalnya kalau kolega memiliki rumah atau mobil mewah?
Kami tidak mengetahui soal itu.
Apalagi ternyata dia juga tidak memasukkan rumah-rumah itu ke dalam laporan pajak. Sekarang kami juga sudah membuka jaringan khusus untuk menampung laporan whistleblower internal. Pegawai pajak yang baik kan masih banyak.

Di luar mulai ada suara miring soal remunerasi pegawai pajak yang tinggi, tapi tetap melakukan korupsi.

Ya, wajar jika mereka sakit hati dan memandang sinis. Dulu metromini kalau berhenti di depan kantor Dirjen Pajak teriaknya, "Pajak? pajak?
pajak." Sekarang mereka teriaknya, "Gayus... Gayus...Gayus...." Kasus ini juga memberikan beban psikologis terhadap pasukan saya. Fokus saya sekarang, jangan sampai institusi pajak goyang sehingga penerimaan negara terganggu.

Bagaimana reaksi Menteri Keuangan?
Bu Menteri juga marah bukan main. Yang terpukul bukan saya saja.
Menteri Keuangan terpukul. Semua eselon satu Kementerian Keuangan malu. Setiap hari kami melakukan rapat, apa yang harus dilakukan. Misalnya membahas bagaimana jika seluruh staf Direktorat Keberatan dinonaktifkan. Padahal ada 120 orang.
Saya minta bertahap, bergantian yang diperiksa. Jika hasil pemeriksaan bersih, silakan kembali bekerja.
Pabrik ini tidak boleh terganggu.
Menteri ada di London saja setiap hari minta laporan.

Wajib pajak menuntut ada badan tersendiri untuk mengelola sengketa pajak?
Wacana ini boleh-boleh saja. Pajak ini kan milik negara. Kalau ada kemauan politik, ya, silakan. Masalahnya, kalau dipisah, apakah menyelesaikan masalah. Kami monggo saja.
Tinggal mana yang terbaik untuk negeri ini dan tuangkan dalam undangundang.



http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/04/05/ArticleHtmls/05_04_2010_013_004.shtml?Mode=1

Point of no Return PDI Perjuangan

Point of no Return PDI Perjuangan
Oleh Ansel Alaman Pengajar character building Unika Atma Jaya dan Binus Jakarta


MAJU terus, jangan mundur.

Mundur-hancur, mendeg ambleg; bongkar, maju ter- us, kita tak bisa dan tak boleh berbalik lagi. Kita telah mencapai point of no return!” Kata-kata Bung Karno itu diang- kat kembali oleh Ketua Umum DPP PDI Per- juangan Megawati Soekarnoputri saat pidato politik acara pembukaan Kongres III PDI Per- juangan di Hotel Inna Grand Bali Beach, 6 April 2010. Pidato politik di depan ribuan kader, undangan, simpatisan, beberapa pejabat perwakilan diplomatik itu benar-benar spek- takuler, cerdas, menantang, bahkan dalam arti tertentu ‘membebaskan’ kader PDI Perjuangan dari pesimisme atau apa tisme politik ke de- pan.

Kongres III yang bertemakan Berjuang untuk kesejahteraan rakyat ini, menurut Ketua Penye- lenggara Kongres III PDIP Puan Maharani, dalam laporannya, dihadiri seluruhnya 1.489 peserta. Mereka terdiri dari 1.410 orang utusan daerah dari 470 DPC (dewan pimpinan cabang kabupaten/kota) dan 33 DPD (dewan pimpinan daerah/provinsi). Hadir juga Korwil PDI Per- juangan beberapa negara seperti Australia, AS, Arab Saudi, Jerman, Belanda dan lainnya. Para tokoh nasional dan tokoh parpol seperti Ketum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua DP Ge- rindra Prabowo Subiyanto, Ketum Partai Ha- nura Wiranto, Surya Paloh, Akbar Tanjung, Hamengku Bowono X dan istri, beberapa wakil ketua DPR-RI, dari PPP, PKS, PAN, PKB, juga hadir. Juga peninjau, pakar politik, ekono- mi dan komunikasi politik, selaku opinion lead- ers.

gi bangsa dan sikap pragmatisme yang me- ngaburkan tujuan berbangsa. “Saya sungguh berduka karena politik telah direduksi tidak lebih daripada sekadar urusan perebutan dan pembagian kekuasaan antarkekuatan politik,” tegas Megawati.

Dengan pernyataan itu, jelas Megawati meno- lak koalisi yang meninggalkan inti etis dan ideologis, sebagai seni berbudaya politik untuk mewujudkan kedaulatan di bidang politik, keberdikarian ekonomi dan jati diri di bidang kebudayaan. Semua utusan seluruh Indonesia melalui pemandangan umum 33 daerah me- negaskan pilihan sikap oposisi tidak bisa dita- war-tawar. Boleh jadi ada keinginan mengu- rangi tensi dari hard oposition menjadi soft-opo- sition (dengan istilah penyeimbang), bagi

Megawati silakan saja. Persoalan format atau model pelembagaan oposisi dalam konteks sistem presidensial memang perlu dikaji ulang secara akademis dalam konteks culture (budaya) politik Indonesia.

Arah sikap Megawati jelas. Oposisi atau pe- nyeimbang, bukan tujuan, melainkan instrumen (utama) menyehatkan demokrasi substansial.

Yang tidak bisa ditawar-tawar adalah ideologi negara Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 45,

kedaulatan bangsa dalam wadah NKRI, ke- bhinekaan dan pluralisme/kemajemukan dan roh kerakyatan. Semua itu tidak boleh menjadi ‘proyek’ ideologi developmentalisme yang adalah ‘anak kandung’ dari kapitalisme.

Ideologi yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, dan mengesampingkan pemerataan dan keadil an, yang sangat mungkin disusupi komrador dari korporatokrasi yang menguras hasil bumi negara-negara demi ekonomi neo- liberalisme (Lihat John Perkins, The Secret His- tory of The American Empire, 2007), termasuk WTO, AFTA, dan ACFTA.

nipulasi daftar pemilih tetap (DPT) pemilu lalu.

Pelaksanaan yang amburadul, tampak sebagai demokrasi yang manipulatif. Dugaan pelang- garan serius seperti penghilangan hak warga untuk menyalurkan hak pilih karena tidak didaftar, jutaan nama yang dobel/sama, anak di bawah umur bahkan ada yang sudah men- inggal masih terdaftar. Pencetakan surat suara yang melampaui batas memudahkan perbuatan manipulasi. Dengan itu, politik kehilangan

keutamaan dan moralitas karena hanya dipersembahkan demi kekuasaan bahkan keuntungan finansial.

Namun, PDI Perjuangan tidak boleh larut dalam kegagalan dan kebencian, tetapi harus berada di garda depan membangun demokrasi yang deliberatif. Bagi perjuangan bangsa ke depan, demokrasi deliberatif harus menjadi cara hidup bukan sekadar pilihan politik lima tahunan. Demokrasi deliberatif yang diusulkan Megawati dalam pidato politik itu adalah bekerja bukan sekadar melindungi citra. Demokrasi yang dibangun di atas keutamaan kolektivitas yang mandiri, musyawarah untuk mufakat, menerima pluralitas/kemajemukan bangsa sebagai anugerah Tuhan. Demokrasi yang menghargai dan melindungi suara minoritas, yang tidak mengobjekkan kaum miskin dan terpinggir dalam percaturan ekonomi-politik di era digitalisme komunikasi.

Demokrasi deliberatif bersendi pada akar budaya Indonesia. Memang, political culture Indonesia masih berciri parochial, seperti telah lama diungkapkan Gabriel Almond, dengan demokrasi Amerika. Salah satu apresiasi budaya untuk mendukung budaya politik Indonesia uang sempat diangkat Megawati ialah ungkapan Bung Karno, "Karma nevad ni adikaraste Ma Phaleshu kada chana." Kerjakanlah kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitungkan akibatnya. Ungkapan yang dikutip dari Kitab Baghawad Gita itu merupakan percakapan Kresna dan Arjuna di medan perang Kurusetra, saat Arjuna bimbang menghadapi lawannya.
Salah satu pekerjaan rumah bagi political culture Indonesia ke depan ialah pemberantasan mafia hukum, mafia korupsi.

Skandal Century sebagai kasus besar yang mengambang antara politik, hukum, dan budaya. Korupsi yang membudaya akan semakin mengakar dalam hidup rakyat Indonesia, jika hukum hanya berlaku bagi orang kecil yang mencuri tiga buah kakao dan membebaskan penjahat kakap pencuri Rp6,7 triliun, yang lari ke Singapura. Termasuk mafi a pajak Gayus Tambunan yang melibatkan petinggi Polri dan kejaksaan, menarasikan borok moral bangsa.

Dan, point of no return PDI Perjuangan harus menjadi pelopor memberantas mafia hukum dan mafia politik. Berani beroposisi demi tegaknya kebenaran, berani bersuara lantang jika mencederai nurani bangsa, berani menentang jika kelaliman menjadi alat ketaatan dan keserakahan tersembul dari balik tebar senyum pencitraan. Namun, jika benar kongres ini kongresnya wong cilik, kongres kaum militan ideologi bangsa, kongres kejujuran energi politik, mulailah dari kader PDI Perjuangan sendiri, sekarang juga!

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/04/09/ArticleHtmls/09_04_2010_017_018.shtml?Mode=0

Amien Rais, Reposisi dan Regenerasi

Asep Purnama Bahtiar, KEPALA PUSAT STUDI MUHAMMADIYAH DAN PERUBAHAN SOSIAL POLITIK UMY

Ada berita yang mengejutkan, Amien Rais batal maju dalam pencalonan menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang akan dipilih dalam Muktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta pada 3-8 Juli 2010. Alasannya, ada tarikmenarik antara kembali ke Muhammadiyah atau tetap berkecimpung di Partai Amanat Nasional (PAN), yang sudah dirintis dan dipimpinnya. Pilihan akhirnya tetap di PAN, sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Partai.

Sebelumnya, ramai beredar kabar bahwa Amien mau pulang ke rumah Muhammadiyah: Amien Rais come back to Muhammadiyah; Amien ingin melanjutkan kepemimpinannya yang dulu di Muhammadiyah. Isu dan berita yang berkembang di lingkungan keluarga besar Muhammadiyah dan di kalangan luar, baik langsung dari mulut ke mulut maupun melalui pesan pendek dan jejaring mailis, memang sempat menghebohkan banyak pihak.

Lalu apa yang menarik dari fenomena batalnya rencana Amien untuk kembali ke Muhammadiyah itu? Sebetulnya, selama ini pun Amien tetap berada di Muhammadiyah, minimal ia tidak pernah menyatakan diri keluar dari organisasi yang membesarkan dirinya dan sekaligus juga pernah dibesarkannya itu. Setelah tidak menjadi Ketua PP Muhammadiyah (1995-1998), karena memilih berkecimpung di PAN sebagai Ketua Umum DPP (1998-2005), maka pascamuktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang (2005), Amien diamanahi menjadi salah satu penasihat PP Muhammadiyah bersama Buya Ahmad Syafii Maarif, Prof Drs H Asjmuni Abdurrahman, Prof Dr H Ismail Suny, SH, M.Cl, dan KH Abdur Rahim Noor, MA.

Sebagai seorang anak didik Muhammadiyah dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muhammadiyah tulen, maka Kemuhammadiyahan Amien sebenarnya tidak diragukan lagi. Pengkhidmatan, dedikasi, dan kontribusinya terhadap Muhammadiyah ia rintis sejak kuliah di UGM dan IAIN Sunan Kalijaga serta aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) hingga menjadi Ketua Majelis Tablig PP Muhammadiyah (1985-1990) dan selanjutnya masuk elite 13 selaku anggota PP Muhammadiyah hasil muktamar ke42 di Yogyakarta (1990). Hatta, ketika menjadi Ketua MPR RI (19992004), perhatian dan sumbangsih Amien terhadap Muhammadiyah,

baik secara moril maupun materiil, terus mengalir.

Dengan kata lain, Amien sebenarnya sudah lebih dari sekadar kuyup dalam hal partisipasinya di Muhammadiyah selama ini, baik bagi pengembangan persyarikatan sendiri maupun kreditnya bagi penguatan civil society dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Ketika masih berada di biduk Muhammadiyah, Amien dengan lantang menggemakan gagasan suksesi nasional pada waktu Tanwir Muhammadiyah di Surabaya (1993); dan kemudian menggelorakan gerakan reformasi (1997-1998), yang berhasil mengubah konstelasi sosial-politik serta rezim kekuasaan di republik ini.

Paling tidak, fenomena Amien ini menarik untuk ditilik dari dua aspek, yakni reposisi dan regenerasi. Reposisi Amien Rais ini perlu didesain pada pencuatan dan pengorbitan yang harus jauh lebih luas dan kian besar daripada di Muhammadiyah. Hal ini tidak berarti mengecilkan Muhammadiyah, tetapi Amien butuh ranah anyar atau dunia baru yang lebih lapang dan menantang.

Dengan demikian, maka posisi baru Amien harus diupayakan bisa diperolehnya pada ranah organisasi dan gerakan yang berskala dunia atau bertaraf internasional. Kapasitas dan pengalamannya selama menjadi Ketua PP Muhammadiyah, Ketua Umum DPP PAN, dan Ketua MPR RI—yang dinilai banyak kalangan termasuk sukses—sudah bisa menjadi garansi bagi Amien untuk unjuk diri dan membuktikan kompetensinya pada konteks lintas negara dan bangsa, umpamanya untuk mendobrak ketidakadilan global dan memperkuat posisi tawar-menawar negara-negara yang sedang berkembang, dua isu yang sering ia kemukakan secara artikulatif.

Dengan demikian, catatan pentingnya adalah jangan sampai reposisi Amien ini malah memperkecil atau mempersempit kapasitas gerakan dan jangkauan gagasan lokomotif reformasi ini untuk kemajuan bangsa dan kepentingan masyarakat dunia; juga membatasi akses bagi munculnya kader-kader muda persyarikatan. Bila Amien dipaksa atau memaksakan diri kembali ke pucuk pimpinan Muhammadiyah, selain bisa kontraproduktif dengan potensi Amien, akan menimbulkan diskredit dari pihak luar pada citra ketokohan

Regenerasi biasanya berjalin kelindan dengan kaderisasi atau pengkaderan. Sebagai organisasi yang sudah berumur satu abad ini, Muhammadiyah sejak awal telah memprogramkan pentingnya pengkaderan dan pembinaan generasi muda di lingkungan persyarikatan, baik yang melalui pembinaan anggota keluarga, organisasi otonom, maupun dengan jalur lembaga-lembaga pendidikan milik Muhammadiyah.

Dalam konteks regenerasi dan kaderisasi ini pula Amien sebetulnya termasuk orang yang menaruh perhatian besar.

Dalam berbagai kesempatan, ketika penulis masih aktif di IMM Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1990-an, Amien sering menyatakan bahwa Muhammadiyah, di samping sebagai organisasi massa, juga merupakan organisasi kader. Dalam alam pikiran yang pro-kaderisasi dan regenerasi ini, bisa dimaklumi bila Amien lantang berani meneriakkan ide suksesi nasional pada waktu Tanwir Muhammadiyah 1993.

Dengan demikian, jika Amien tetap bergeming atau ada pihak dan kelompok tertentu yang mendorong-dorongnya untuk maju dalam persaingan pemilihan anggota PP Muhammadiyah dalam muktamar satu abad ini, semuanya perlu mengingat betul hukum sejarah regenerasi dan kaderisasi. Hukum sejarah regenerasi dan kaderisasi menggarisbawahi pembeliaan atau pemudaan. Karena itu, harus dijaga pula agar organisasinya tidak cenderung menua, menurun, melamban, dan mandek.

Dengan demikian, yang urgen adalah memprioritaskan kaum muda untuk tampil dalam gelanggang organisasi dan generasi tua bersikap bijak untuk mendorong dan menasihati—tut wuri handayani. Pola alami dan by design regenerasi ini akan memberikan semacam harapan kuat dan sekaligus daya pandang yang segar bagi kelangsungan dinamika organisasi ke depan.

Reposisi dan regenerasi yang terkait dengan Amien ini penting dilakukan secara bermartabat dan proporsional, selain agar tidak terjadi pembonsaian terhadap penggagas dan penggerak suksesi nasional ini, juga supaya tidak terjadi pengerdilan terhadap institusi Muhammadiyah dan potensi sumber daya kadernya. Tabik, Pak Amien. ●

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/04/09/ArticleHtmls/09_04_2010_012_015.shtml?Mode=1

Perempuan Penjaga Moral

Perempuan Penjaga Moral
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group

DENGAN nada menggoda, perem- puan cantik itu sambil tersenyum lebar berkata, “Apa Kata Dunia?” Iklan itu sangat mengesankan.

Mungkin juga efektif untuk mengerahkan pem- bayaran pajak. Tetapi akhir-akhir ini ada kera- guan, apakah itu imbauan jujur, atau garapan mafi a pajak? Berbagai cobaan silih berganti menghantui masyarakat ini. Apakah tidak ada yang bisa dipercaya lagi? Rasanya perlu ada gerakan moral besar-besaran untuk keselamatan dan kemaslahatan bersama; dimulai dari diri pri- badi, dari keluarga sendiri. Kita harap saja pembenahan oleh segenap keluarga nuklir-- ayah, ibu, dan anak-anak--akan meluas ke masyarakat yang notabene adalah himpunan keluarga-keluarga nuklir.

bahwa, untuk pertama kali dalam sejarah repu- blik ini, kita berhasil menumpas mafi a hukum yang berimbas pada matinya budaya korupsi.

Budaya yang mulai berkecamuk dengan ban- jirnya petrodollar sejak tahun tujuh puluhan itu tampaknya makin lama makin menjadi-jadi.

Mungkin mereka yang korup merasa sudah terlalu lama hidup sederhana. Feodalisme yang tersisa, yang terbiasa dan selalu mengangankan kemewahan, tumbuh merajalela.

Siapa yang salah? Semua telunjuk mencari sasaran. Yang terlepas dari perhatian adalah peran kaum perempuan. Dalam kehidupan bermasyarakat, hukum secara universal me- netapkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban sama. Tetapi kenyataan membuktikan lain. Laki-laki umum- nya masih saja mengontrol setiap jejak kehidup- an dan penghidupan. Di lain pihak, hasil-hasil pengamatan antropologis dan sosiologis meng- anggap perempuan umumnya sebagai penge- lola kasih sayang dan penjaga kehidupan moral. Alasannya, karena dia berbeda genetika dengan laki-laki. Dia mencintai keadaban dan perdamaian. Hatinya lebih banyak berbicara daripada akalnya.

Dengan nada lain, ada anggapan akal dan pikiran perempuan kurang dinamis. Intelektu- alitasnya rendah. Perempuan tidak secerdas laki- laki yang pada dasarnya memang lebih agresif

Apa kata perempuan? Bahwa perempuan lebih banyak berbicara dengan hati, memang sering terbukti. Demi kedamaian, dia tidak sampai hati kalau bukan tidak berani mengingatkan suami yang melaku- kan korupsi. Bisa juga karena dia tidak menger- ti, atau tidak peduli. Dengan bersikap demikian dia merasa menjaga kefemininannya--sifat yang menjadi pujaan laki-laki.

Alasan lain, perhatian istri terlepas dari tin- dak pidana suami karena merasa terlalu sibuk dengan urusannya sendiri: sebagai istri, ibu yang harus mengurus dan membesarkan anak- anak dan penjaga citra keluarga. Bahkan mung- kin dia merasa lega keluarga tidak hidup kekurangan--malahan hidup berlebihan--tanpa dia harus peduli dari mana datangnya rezeki.

Lagi pula kalau tidak percaya kepada suami, kepada siapa lagi? Pikiran semacam ini bahkan ada pada perempuan-perempuan terdidik, tetapi yang pasrah dan pasif terhadap hirukpikuk kehidupan dan penghidupan di sekitarnya.

Pertanyaannya, "Apa kata perempuan"? Seandainya ada gugatan semacam itu, semacam iklan yang digencarkan kantor pajak, mau tak mau tentu ada rasa bersalah pada pihak perempuan pendamping koruptor kakap. Ada ungkapan: di belakang setiap tokoh, selalu ada perempuan perkasa yang mendukungnya.
Asalkan bukan justru sang istri yang membuat suami menjalankan korupsi. Sering, mungkin tanpa sadar, justru perempuan-perempuan semacam itu yang memamerkan kemewahan berlebihan dalam segenap tindak-tanduknya, seperti yang dilakukan perempuan-perempuan kelas atas Eropa di abad 17-18, ketika fungsi mereka antara lain dengan sengaja memamerkan kekayaan suami demi citra keluarga.

Di masa Orde Baru, pernah diumumkan berlakunya pola hidup sederhana. Waktu itu pun barangkali dirasakan berjangkitnya pameran kekayaan yang berlebihan. Atas kesepakatan, 10 tahun setelah reformasi, kita pun bisa mengumumkan berlakunya `pola hidup sederhana', demi percepatan matinya budaya korupsi.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/04/09/ArticleHtmls/09_04_2010_017_002.shtml?Mode=0

Mereka yang Kian Terjepit

Oleh Doty Damayanti

Rudi Djunaedi (38), pemilik usaha konfeksi rumahan di belakang Pasar Cipulir, Jakarta Selatan, sudah dua bulan ini pusing. Tagihan ke toko tempat ia menitipkan pakaian anak-anak jumlahnya sudah Rp 27 juta.

Yang punya toko bilang pembeli sepi, terutama dari daerah. Jumlahnya berkurang jauh,” kata ayah dua anak itu, akhir Maret, seraya menunjukkan dua lembar bon tagihan. Ia tinggal di rumah kontrakan sekaligus tempat usaha konfeksinya di permukiman padat di Kelurahan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Pemilik toko menawarkan solusi ”membeli putus” barang Rudi, tetapi harga baju per kodi (isi 20 lembar) dipotong dari Rp 200.000 jadi Rp 150.000. ”Saya enggak mau. Modalnya saja sudah Rp 170.000. Lebih baik bertahan saja,” ungkap Rudi. Dia mengaku lebih memilih berutang ke rentenir untuk membayar upah para penjahit.

Laki-laki asal Padang itu memulai usaha konfeksi pakaian anak-anak dari sisa-sisa bahan garmen pada tahun 2001. Potongan bahan garmen berbagai jenis, ukuran, dan corak itu disambung sedemikian rupa sehingga menghasilkan baju anak yang lucu-lucu.

Bermodal satu mesin jahit seharga Rp 1 juta yang dibayar mencicil tiap bulan, sekarang Rudi mempekerjakan tujuh penjahit. Ia sebenarnya berharap mendapat fasilitas kredit usaha rakyat alias KUR, tetapi informasi mengenai program yang kerap dipidatokan pejabat pemerintah itu sulit didapat.

Apa yang dialami Rudi juga dirasakan Agus Salim (50), pemilik PT Gerimis Garment yang memproduksi celana jins dan kaus. Sebagai pengusaha garmen skala menengah, ia mulai merasakan persaingan dari kehadiran garmen asal China di pasar lokal sejak tahun 2004. Dua tahun terakhir, penurunan permintaan itu semakin memberatkan. Tahun lalu, dari produksi sebanyak 8.000 lusin, yang terserap pasar hanya sekitar 2.000 lusin. Padahal, selain biaya operasional, ia juga harus membayar cicilan pinjaman ke bank. Puncaknya, sejak pertengahan tahun lalu ia tekor Rp 40 juta sampai Rp 80 juta per bulan.

Awal 2010, Agus memutuskan menutup satu pabriknya yang memiliki 250 pekerja. ”Sulit bersaing dengan produk China. Untuk kualitas sama, harga produksi mereka bisa lebih murah 30 persen dibandingkan barang lokal,” ujarnya.

Kalah bersaing

Rudi dan Agus adalah bagian dari ribuan pelaku industri usaha pakaian jadi yang yang terkena dampak negatif kesepakatan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China. Pemerintah telah mengidentifikasi industri tekstil dan produk tekstil sebagai yang paling sulit bersaing dengan produk China, terutama untuk jenis yang diproduksi dalam volume besar dan harga murah. Mereka yang punya akses informasi, teknologi, dan akses permodalan sejak beberapa tahun lalu mengganti produknya ke kelas menengah atau berganti usaha sama sekali.

”Bagaimana sanggup bersaing jika kapas untuk bahan baku diimpor dari China. Di sini pelaku usaha dicekik bunga kredit 14 persen, sedangkan pengusaha China menikmati bunga kredit 5-6 persen,” kata Haji Mawi, pemilik Toko Ega Citra di Blok F, Pusat Grosir Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Mawi semula menjual celana jins dan pakaian Muslim konfeksi sendiri. Namun, sejak tahun 2000 usaha itu semakin sulit bersaing dengan produk berbahan impor dari China. Banyak pelanggan di daerah beralih ke pedagang grosir lain yang bisa memberi harga lebih murah.

”Tahun 2007, semakin banyak distributor produk China menawari memesan langsung ke mereka. Akhirnya saya pun pesan langsung ke pabrik mereka di Huang Ming,” kata Mawi.

Pasar Cipulir, Pasar Tanah Abang, Pasar Jatinegara, dan Pasar Pagi Mangga Dua merupakan pusat grosir garmen yang memasok keperluan konsumen di sekitar Jakarta dan hampir seluruh wilayah Indonesia. Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) mencatat, sejak dua bulan terakhir ada penurunan permintaan dari pembeli di daerah.

”Penurunannya hampir 50 persen,” kata Ketua APPSI Hasan Basri.

Ia menengarai distributor barang-barang China semakin leluasa bergerak langsung ke daerah sejak perjanjian kerja sama perdagangan yang memangkas bea masuk resmi per 1 Januari lalu. Saat ini produk China menguasai hampir semua pasar grosir utama di Jakarta.

Di Pusat Grosir Tanah Abang, sekitar 70 persen produk tekstil, mulai dari pakaian anak sampai busana Muslim, berasal dari China. Di Pasar Jatinegara, yang dikenal sebagai pusat aksesori, sekitar 75 persen barang dari China. ”Di Pasar Pagi Mangga Dua, sekitar 80 persen barangnya buatan China,” kata Hasan.

Ia mengaku gemas dengan sikap pemerintah yang hanya bicara normatif. ”Terus terang, kami pesimistis ketika yang dihadapi adalah negara China yang kompak: ya pemerintahnya, ya perbankannya, ya pengusahanya,” kata Hasan.

Sebagai Ketua APPSI, Hasan berharap pejabat pemerintah tidak melihat persoalan dari belakang meja, tetapi melihat kondisi sebenarnya di lapangan.

”Sekarang semua menteri kelihatannya mencari pembenaran bahwa perjanjian perdagangan bebas ini membuka kesempatan. Coba tengok di lapangan. Nyatanya bukan hidup, tetapi malah pada mati,” kata Hasan.

Kini rakyat menunggu janji pemerintah bahwa ACFTA akan menguntungkan rakyat secara merata, adil, dan sejahtera.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/09/05330782/mereka.yang.kian.terjepit

Seberapa Besar Seharusnya Perolehan Pajak Kita?

Kasus Gayus Tambunan menimbulkan tanda tanya, apakah perilakunya anomali dari kelompoknya atau sebenarnya fenomena umum,gunung es yang muncul di permukaan? Kasus seperti ini di masa lalu, taruhlah sebelum diterapkan sistem remunerasi, merupakan kasus umum.

Kwik Kian Gie dalam buku putihnya menyatakan, kita tidak perlu utang atau bisa melunasi utang apabila dapat menertibkan pemasukan pajak yang diduga hanya masuk setengahnya.Ditambah dengan penertiban hutan dan laut, utang pemerintah akan dapat dilunasi atau diturunkan dan kesejahteraan rakyat akan dapat ditingkatkan.

Perlu dicatat bahwa setelah remunerasi, pemasukan pajak memang meningkat,tetapi dalam persentase terhadap produk domestik bruto (PDB) persentase penerimaan negara dari pajak terlihat menurun. Peningkatan-peningkatan tersebut memberikan sinyal peningkatan kinerja Direktorat Jenderal Pajak,tetapi mengapa menurun persentasenya terhadap PDB, menyisakan tanda tanya.Apakah jumlah pajak yang semestinya lebih besar dari yang dapat diraih? Artinya,banyak kegiatan ekonomi yang meningkat, tetapi luput dari kewajiban pembayaran pajak.

*** Marilah kita perbandingkan pemasukan pajak dibandingkan dengan total produksi domestik bruto di berbagai negara sedang berkembang dan negara maju.Pada 2003, perbandingan penerimaan negara terhadap PDB mencapai 17%,menurun kembali pada 2009 menjadi 15,5% setelah meningkat pada 2008.

Perbandingan tahun 2008 dan 2009 khusus penerimaan pajak dalam nominal sebenarnya meningkat dari Rp609,2 triliun rupiah menjadi Rp661,8 triliun rupiah, tetapi persentasenya terhadap PDB menurun dari 13,6% menjadi 12,1%.Persentase total penerimaan negara terhadap PDB pada 2009 juga menurun dari 20% menjadi 15,5% dibandingkan tahun 2008.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga pun Indonesia masih memiliki potensi untuk menggenjot pemasukannya dari pajak. Misalnya bila dibandingkan dengan negara Afrika Utara, khususnya Mesir,dan juga negara Asia seperti Korea Selatan, pemasukan Indonesia dari pajak tertinggal jauh.

Terlihat jauh di belakang. Mesir mampu memungut penerimaan negara sebesar 27% dari PDB 2007 dan Korea Selatan sebesar 25% dari PDB-nya. Indonesia baru sebanding jika dihadapkan dengan negara sedang berkembang seperti Filipina yang pajaknya mencapai 16% PDB tahun 2007. Indonesia baru terlihat lebih baik jika dibandingkan dengan Pakistan yang hanya mencapai 14% PDB dan Bangladesh yang hanya mampu memungut pajak 10% dari PDB.

Jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa––yang terkenal sebagai welfare state di mana negara memungut pajak yang tinggi dan memberikan berbagai jaminan kepada penduduknya yang tinggi pula––, Indonesia tertinggal jauh. Misalnya Inggris dengan penerimaan negara dari pajak mencapai 38% dari nilai PDB. Sementara Amerika Serikat yang terlihat sebagai negara yang lebih liberal memiliki penerimaan pajak 20%.

Pemerintahan Obama diduga akan meningkatkan kadar program kesejahteraan dan tentu saja akan meningkatkan persentase penerimaan negara dibandingkan nilai produksi seluruh penduduknya. Memang menjadi pertanyaan, kenapa penerimaan pajak kita dan penerimaan total kita menurun dalam persentase terhadap PDB? Padahal di berbagai negara yang penulis paparkan tersebut kesemuanya memperlihatkan kenaikan penerimaan pajak terhadap PDB yang konsisten.

Penurunan ini sekaligus menunjukkan bahwa remunerasi tidaklah memberi efek yang signifikan. Sementara perkembangan kemampuan memungut penerimaan negara rata-rata dunia naik dari 24% ke 27%.Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah di seluruh dunia mengambil peran lebih aktif dalam aktivitas melakukan aktivitas ekonomi di luar pasar.

Dengan kata lain, jika pajak benar-benar mengucur kepada masyarakat, pemerintah di banyak negara lebih terlibat dalam program kesejahteraan warga negaranya.Amerika Serikat menjadi contoh ketika pada tahun ini mengesahkan reformasi undang-undang jaminan kesehatannya yang baru.

Black Economy

Kemampuan negara-negara sedang berkembang untuk memungut pajak sebagai inti dari penerimaan negara menghadapi kendala berupa besarnya kegiatan ekonomi informal dan nonformal yang transaksinya tidak tercatat dengan baik. Kegiatankegiatan ini termasuk black economy walaupun yang diproduksi dan diperdagangkan bukan merupakan barang terlarang yang membahayakan masyarakat, tetapi aktivitasnya tidak memberi dukungan terhadap penerimaan negara.

Besarnya aktivitas informal dan nonformal lambat laun menurun seiring dengan kemajuan pendidikan, modernisasi bentuk usaha, dan perubahan pola konsumsi masyarakat yang juga cenderung beralih dari produk-produk tradisional ke produk-produk yang dikelola secara modern. Menurunnya aktivitas black economy semestinya meningkatkan kesempatan memungut pajak dan penerimaan negara pada umumnya.

Apakah Pajak Kita Sudah Sesuai?

Seperti dunia perbankan yang memberi target kepada para pegawai, Direktorat Jenderal Pajak juga mengaitkan target dan remunerasi. Akibatnya ketika target tercapai, usaha memungut pajak diturunkan atau dihentikan. Sistem target juga sering kali mengakibatkan kemajuan yang ditunda, misalnya jika ditargetkan tahun ini sejumlah X rupiah,pada waktu tercapai cenderung dihentikan supaya di tahun depan masih ada potensi untuk meningkatkan.

Apabila target tahun ini tercapai,umumnya tahun depan ditentukan target baru yang lebih tinggi.Target dalam rupiah yang tercapai mungkin sebenarnya belum sesuai dengan aktivitas ekonomi riil yang berkembang yang bagaimanapun secara hukum harus dipungut pajaknya. Mengaitkan penurunan persentase pajak terhadap PDB dikaitkan dengan tercapainya target pemasukan adalah pikiran positif.

Adapun jika mengaitkannya dengan aktivitas Gayus atau sekelompok perilaku yang sama merupakan pikiran negatif atau pikiran waspada. Jangan-jangan sebagian dari aktivitas ekonomi juga tidak dipajaki sebagaimana mestinya dengan jalan membagi sisanya untuk wajib pajak dan pemungut pajak.Kasus Gayus memang harus dituntaskan dan perbaikan serta reformasi di instansi terkait seperti di kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman menuntut hal serupa.(*)

Prof Bambang Setiaji
Rektor Universitas
Muhammadiyah Surakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/316501/

Dua Keniscayaan Polri (?)

Oleh Reza Indragiri Amriel

Sesungguhnya sangat menggelikan ketika Mabes Polri beberapa pekan lalu tetap bersikukuh tidak ada makelar kasus atau markus di organisasi Tribrata itu. Toh, sangat banyak ilmuwan yang berpandangan tindak korupsi di lingkungan kepolisian termasuk manipulasi perkara adalah sama usianya dengan umur korps penegak hukum itu sendiri.

Jadi, bantahan atau pengingkaran Polri tentang keberadaan markus benar-benar terdengar bagaikan utopia di siang bolong.

Keniscayaan pertama

Munculnya rupa-rupa ketidaksemenggahan perilaku (misconduct), termasuk tindak korupsi, di organisasi kepolisian tak berlebihan untuk disebut sebagai kondisi yang kodrati. Para akademisi biasa menyebut kondisi itu sebagai akibat yang dimunculkan oleh faktor-faktor konstan. Disebut ”konstan” karena menunjuk pada unsur-unsur institusional yang relatif tidak bisa dihilangkan.

Faktor pertama adalah diskresi. Diskresi, bagi polisi, merupakan ”senjata” terandal. Dalam metafora Farouk Muhammad, mantan Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, diskresi ibarat pedang bermata ganda. Ketika digunakan melalui filter kognitif dan diselimuti oleh bisikan hati nurani, diskresi menjadi amunisi terdahsyat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Namun, manakala diskresi dimanfaatkan secara semena-mena, diskresi tak ubahnya senjata pemusnah hak asasi manusia yang paling mematikan.

Agar efektif, diskresi, dengan demikian, benar-benar tergantung pada diri masing-masing personel polisi. Sadar akan kekuatan diskresi, personel tak pelak dapat tergoda sewaktu-waktu menggunakannya untuk keperluan menyimpang.

Faktor kedua, kerja polisi menyangkut penggunaan kekuasaan, bahkan sebagian di antaranya mengerahkan kekerasan. Pada saat yang sama, tak sedikit area kerja polisi yang berada di wilayah tertutup. Penyalahgunaan kekuasaan dan kekerasan di wilayah tertutup, jadi prakondisi bagi berlangsungnya penyimpangan perilaku personel polisi.

Faktor ketiga, supervisi yang tidak memadai dari atasan. Sekian banyak survei, termasuk yang dilakukan terhadap polisi Chech, menemukan bahwa kebanyakan personel polisi memandang atasan sebagai pihak yang sejatinya paling bisa diandalkan sebagai model ideal dalam rangka pembersihan organisasi. Persoalannya, pada saat yang sama, polisi-polisi tersebut juga menilai para penyelia mereka bukanlah personel polisi yang bersih. Alih-alih, para senior itu justru menjadi model bagi berseminya tindak-tanduk koruptif.

Faktor keempat, persepsi negatif polisi terhadap masyarakat. Arogansi yang awalnya bersifat individual mewabah menjadi arogansi korps. Sorotan publik terhadap integritas dan profesionalitas institusi kepolisian acap ditanggapi sebagai sesuatu yang mengada-ada. Resistensi polisi terhadap tekanan masyarakat sangat kuat. Pandangan yang merendahkan publik tak pelak jadi warna budaya organisasi polisi dan bukan lagi tingkah laku individu per individu semata.

”Beruntung”, keempat faktor konstan yang membuat korupsi menjadi—nyaris—keniscayaan tersebut selalu bisa ditutupi dari waktu ke waktu berkat adanya the Code atau the Blue Curtain atau the Code of Silence. Ketiga istilah itu merupakan padanan jiwa korsa (semangat korps) yang distortif, yakni solidaritas untuk menutup-nutupi kesalahan sesama anggota korps.

Berkat the Blue Curtain pula, hampir tak pernah terungkap sama sekali angka riil tindak korupsi di institusi kepolisian. Angka-angka yang mengemuka hanya sebatas indikasi, yakni besaran yang datang dari tindakan antikorupsi. Bukan dari nominal sebenarnya yang dikorupsi.

The Code of Silence sebagai kultur menyimpang baru bisa didobrak manakala peniup peluit (whistle blower) beraksi. Dalam kehebohan makelar kasus pajak di Mabes Polri, Komisaris Jenderal Susno Duadji adalah sang peniup peluit itu.

Berkat Susno pula, publik jadi tahu sebagian angka riil korupsi di Mabes Polri. Susno kini sedang di atas angin. Namun, terlepas bagaimana akhir perang bintang antara Susno dan Mabes Polri, ada sejumlah konsekuensi yang tampaknya akan muncul. Pertama, baku hantam ini terutama sekali akan meruntuhkan wibawa personel polisi di lapangan, khususnya para personel Polri berpangkat rendah. Masyarakat yang pada dasarnya sudah tak begitu simpati kepada Polri akan kian memandang enteng kewibawaan aparat berseragam coklat itu. Mental aparat pun tak terelakkan anjlok akibat pandangan mencibir yang ditunjukkan khalayak luas.

Kedua, siapa pun yang akan—katakanlah—menang dalam adu gelut antara Susno dan Mabes Polri, harga diri (dignity) Polri tetap saja runtuh. Yang khalayak lihat sesungguhnya bukan pertaruhan antara seorang Susno dan para individu yang menjabat petinggi Mabes Polri belaka. Nama baik korps Tribrata, bukan yang lain, adalah yang paling dipertaruhkan. Dan, celakanya, ini adalah pertaruhan yang teramat mudah untuk diterka bagaimana akhirnya. Itu tadi: dignitiy atau kehormatan Polri yang porak poranda, siapa pun ”juara”-nya.

Ketiga, apa yang sesungguhnya tengah diperjuangkan Susno? Juga, apa sebenarnya yang sedang dipertahankan Polri? Mereka mudah-mudahan tidak lupa, kodrat polisi adalah sebagai anak kandung masyarakat. Jadi, jangan sampai akibat dua gajah bertarung, pelanduk yang terjepit di tengah-tengah. Jangan sampai dua kubu Polri saling unjuk taring, tetapi justru masyarakat yang terengah-engah kehilangan napas.

Keempat, friksi antarsesama anggota Polri akan mudah dibaca oleh para bandit sebagai kesempatan emas melakukan serbaneka tindak kejahatan. Polemik tentang markus membuat Polri lengah, energi terforsir, kewaspadaan dan kesigapan kerja menurun. Konsekuensinya, angka dan kualitas kejahatan yang ditakutkan akan meningkat.

Keniscayaan kedua

Kasus Gayus Tambunan semestinya tidak dibingkai sebagai manipulasi kasus perpajakan semata. Kasus Gayus harus dijadikan momentum pembersihan organisasi Polri beserta lembaga penegak hukum lainnya.

Dalam konteks yang lebih luas tersebut, dengan segala hormat saya, sepertinya Jenderal Bambang Hendarso Danuri tidak cukup kuat untuk menghadapi guncangan internal di lembaga yang dipimpinnya. Terlebih, setelah sebelumnya sempat terkesan melindungi dua jenderalnya yang disebut-sebut Susno sebagai markus, kini Kapolri kembali mengingkari adanya kebiasaan pemberian setoran dari bawahan kepada atasan di institusi Polri. Padahal, sudah sejak lama, hal-hal semacam itu, termasuk ”lelang jabatan”, menjadi obrolan sehari-hari di ruang publik.

Apa boleh buat; tanpa maksud menihilkan catatan positif yang telah dicapai oleh Kapolri saat ini, bisa jadi Indonesia butuh rezim Polri baru untuk mengakhiri masalah markus dalam kasus Gayus. Lebih mendasar lagi, untuk membenahi Polri secara lebih radikal. Polri butuh reformasi organisasi. Polri butuh revitalisasi spirit profesionalisme. Tentu saja, seberat apa pun masalah yang mereka hadapi, Polri butuh dukungan kita: masyarakat Indonesia. Wallahualam.

Reza Indragiri Amriel Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/09/0358027/dua.keniscayaan.polri.

Gayus dan Gunung Es Republik Mafia

Pegawai negeri sipil (PNS) di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu) dengan golongan IIIA,Gayus Tambunan,30 thn,mengguncang republik ini akibat uang dalam rekening miliknya yang dianggap melampaui batas kewajaran.

Jumlahnya sangat fantastis untuk ukurannya, yakni sekitar Rp25 miliar.Itu semua belum termasuk harta tak bergerak berupa rumah mewah dan apartemen di lokasi elite di Jakarta beserta sejumlah kendaraan (mobil dan sepeda motor). Kasus ini dicuatkan oleh mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji dalam jumpa persnya setelah bertemu dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dengan sekaligus memberi isyarat adanya beberapa oknum pejabat di jajaran kepolisian yang turut “memanfaatkannya”.

Gayus sebenarnya sudah berstatus tersangka sejak November tahun lalu. Uang di rekeningnya pun, menurut Susno,sebenarnya sudah dalam status diblokir,tetapi ternyata belakangan kembali dicairkan dengan peran sejumlah oknum polisi yang disebut oleh putra Palembang itu. Dalam kaitan pencairan uang tersebut, Gayus menyebut sejumlah oknum polisi, kejaksaan, dan hakim yang menerima masingmasing Rp5 miliar––suatu sinyalemen yang sejalan dengan pernyataan Susno Duadji, padahal semula sempat dibantah keras oleh jajaran pimpinan Polri.

Fenomena ini memang sungguh memprihatinkan.Ada tiga hal yang dapat kita simpulkan dari kekisruhan ini. Pertama, penyelenggara negara, baik di jajaran penegak hukum maupun eksekutif, tak bisa dimungkiri lagi sebagai mafia yang saling bekerja sama dan atau berkonspirasi dalam menggerogoti uang negara (uang rakyat) untuk memperkaya diri.

Para oknum itu sudah mengetahui berbagai sumber uang yang bisa dikerjasamakan untuk dinikmati bersama dalam rangka menunjang atau memenuhi hasrat hidup mewah mereka; suatu bukti bahwa moralitas sebagian aparat kita sudah berada di bawah titik nadir. Fenomena ini sebenarnya sudah sering diungkapkan, sudah menjadi wacana di publik,dengan mengharapkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk secara serius menanganinya.

Namun,kalau mau jujur diakui, pembiaran terus berlangsung. Betapa tidak? Berbagai laporan dari masyarakat tentang kasus-kasus korupsi atau praktik permafiaan sangat jarang yang ditindaklanjuti dan hanya menjadi tumpukan dokumen di jajaran penegak hukum. Bahkan, lebih parah lagi,sejumlah pejabat yang sudah terindikasi melakukan penyimpangan dalam jabatan justru terus dipertahankan oleh pimpinan penyelenggara negara ini.

Lihat saja, misalnya, hasil temuan dan rekomendasi Pansus Hak Angket Bank Century DPR yang secara langsung menyebut sejumlah nama di jajaran eksekutif justru memperoleh pembelaan dari Presiden SBY. Demikian juga dengan kasus seorang pejabat di Bank Indonesia yang sudah sekian lama disebut terkait dengan suap-menyuap (melalui travelers check) dalam proses pemilihannya di DPR.Maka,tidak perlu heran kalau tidak sedikit oknum yang justru memanfaatkan kasus-kasus penyimpangan yang ditemukan karena sangat menyadari kekuasaan eksekusi berada di tangan mereka, sementara “sang Bos” membiarkannya.

*** Kedua,Gayus sebenarnya merupakan bagian dari fenomena gunung es. Hanya satu kasus dari tumpukan kasus di semua lini dan level birokrasi penyelenggara negara/pemerintahan di negeri ini. Setiap atasan suatu instansi sebenarnya mengetahui kasus-kasus sejenis itu, termasuk di dalamnya tender (procurement) berbagai proyek yang dilakukan secara formalitas di mana sang pemenang sudah terlebih dahulu ditentukan.

Semua itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan,lahan basah dari pihak pemegang otoritas tertinggi di instansi bersangkutan. Karena itu,tidak mengherankan kalau harta kekayaan para pejabat biasanya jauh melampaui pendapatan resminya. Ironisnya, justru para pejabat seperti itulah yang terus dipertahankan, bahkan diberi penghargaan oleh pimpinan penyelenggara “republik mafia”ini.

Persoalannya adalah,memang, di tengah pembiaran dari pihak atasan seperti itu, kita tidak memiliki budaya pengungkapan kasus dengan memanfaatkan saksi dari dalam (witnesses from within). Susno Duadji yang mengungkap kasus Gayus ini pun baru “berteriak” setelah di-non job-kan sehingga terkesan “sedang sakit hati saja”. Sementara para aparat pemerintah lain, selain menikmati, juga terus merasa takut akan kehilangan jabatan seperti akan terancam dikenai sanksi administrasi.

Atau, kalau ada aparat yang memiliki derajat integritas yang tinggi serta berkeinginan untuk membongkar kasus, biasanya ia t e r l eb i h dahulu diisolasi atau dimatikan karakternya. Apalagi memang kalau yang bersangkutan harus “kerja sendiri” dengan sumber daya yang sangat terbatas, lamakelamaan akan mengalami rasa bosan dan kemudian berhenti untuk bersikap kritis.

Ketiga, kasus Gayus membuktikan gagalnya asumsi bahwa pemberian gaji yang tinggi akan secara efektif meniadakan korupsi. Sebab Kemenkeu (ditambah beberapa instansi lain) sejak 2007 lalu sudah menerapkan sistem remunerasi sebagai bagian dari pilot project reformasi birokrasi dengan menerapkan sistem kinerja bagi aparatnya.

Namun, ternyata, praktik kotor di lingkup internal justru terus berlangsung yang sekaligus merupakan bagian dari bukti kegagalan Menteri Sri Mulyani Indrawati dalam mengendalikan aparat di lingkup internalnya. Yang terjadi adalah bahwa aparat penyelenggara negara justru sudah terjebak dengan orientasi perolehan materi dengan memanfaatkan semua peluang dalam jabatan sehingga berapa pun remunerasi dari negara yang diberikan kepada mereka pasti akan selalu dirasa kurang.

Mereka yang telanjur berpola hidup konsumtif mengikuti tren produk kapitalisme niscaya tak bisa bertahan dengan pendapatan resmi dari instansi tempat kerjanya.Dalam kondisi seperti inilah akan sulit mengharapkan idealisme dari kalangan aparat negara, termasuk di dalamnya para penegak hukum.Apalagi terbuka setiap kesempatan untuk menyalahgunakan jabatan secara berjamaah. Begitulah perilaku aparat negara di “republik mafia”.(*)

Laode Ida Sosiolog,
Wakil Ketua DPD RI,
penulis buku Negara Mafia (2010)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/316504/

Korupsi, Fasad, dan Jihad

Oleh Azyumardi Azra

Kasus Gayus Tambunan, pegawai golongan III A, dengan masa kerja kurang dari sepuluh tahun, dengan uang di sejumlah rekeningnya sekitar Rp 28 miliar, sekali lagi mengungkapkan betapa endemik dan latennya korupsi dalam kelembagaan birokrasi kita.

Selain Gayus, ada lagi BA, mantan kepala salah satu kantor pajak di wilayah DKI Jakarta, yang memiliki rekening konon lebih dari Rp 70 miliar. Kasus-kasus ini hampir bisa dipastikan hanyalah ”puncak” dari gunung es yang lebih besar, yang tersembunyi di bawah permukaan.

Kasus-kasus ini memperlihatkan betapa rapuhnya kelembagaan birokrasi—dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak—terhadap penyelewengan. Padahal, para pegawai di instansi ini bertugas mengumpulkan dana wajib pajak untuk ketersediaan keuangan negara; mereka seyogianya memelihara amanah, tak menyerah pada godaan hawa nafsu untuk korupsi karena kerakusan.

Pemberian remunerasi kepada para pegawai pemungut pajak ini yang membuat mereka mendapatkan take home pay yang berlipat-lipat terbukti belum cukup memuaskan kerakusan. Ini membuat kian tercederainya rasa keadilan publik.

Aparat birokrasi mana lagi yang bisa dipercayai publik? Karena, mereka yang terlibat korupsi ternyata ada di hampir seluruh lembaga penegak hukum dan keadilan, mulai dari kepolisian, kejaksaan, peradilan hingga hakim-hakimnya. Kita selalu berapologi dan ”menghibur diri” dengan menyatakan, para pelaku tersebut hanyalah ”oknum-oknum”, padahal publik juga melihat berbagai indikasi bahwa korupsi semacam itu berlangsung cukup sistemik di antara orang-orang di sebuah instansi tertentu ataupun antarinstansi.

Fasad dan nafsu syaitaniyyah

Mencermati skala endemi korupsi seperti itu, tidak ragu lagi, ia telah menjadi ”kriminalitas luar biasa”, yang pertama-tama telah merusak lembaga-lembaga birokrasi pemerintahan dan penegak hukum. Tidak kurang negatifnya adalah rusaknya trust, kepercayaan publik kepada aparat birokrasi dan penegak hukum. Padahal, trust merupakan salah satu modal sosial yang instrumental untuk membangun negara dan pemerintahan yang kredibel dan akuntabel sehingga pada gilirannya dapat memajukan bangsa.

Pada segi ini, para pelaku korupsi dari sudut pandang Islam telah melakukan fasad, kerusakan yang bahkan luar biasa (mafsadat) terhadap kehidupan masyarakat, pemerintahan, dan negara-bangsa. Lagi-lagi, dari sudut pandang Islam, para pelaku kerusakan mestilah sama sekali tidak ditoleransi dalam bentuk apa pun dan mereka wajib dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Mentoleransi dan berlaku ”lunak” (lenient) kepada mereka hanya membuat publik dan negara yang menjadi korban juga dapat hanyut dan tenggelam dalam arus mafsadat.

Mafsadat, khususnya korupsi yang terutama disebabkan kerakusan, bersumber dari hawa nafsu yang tidak terkendali, yang dalam Islam disebut al-nafs al-syaithaniyyah—hawa nafsu setan. Karena itu, terdapat banyak ayat Al Quran yang memperingatkan manusia untuk tak hanyut mengikuti hawa nafsu, yang bakal menjerumuskan diri ke dalam kesesatan dan kehancuran di dunia dan akhirat.

Manusia yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsu setannya tidak hanya merusak dirinya, tetapi sebagaimana dikemukakan dalam Hadis Nabi Muhammad SAW, juga merusak umat dan bangsa. Nabi Muhammad SAW juga menyatakan, jihad terbesar (al-jihad al-akbar) adalah jihad melawan hawa nafsu setan yang dapat bernyala-nyala dalam diri manusia, yang membawanya ke dalam berbagai tindakan mafsadat yang menghancurkan diri dan masyarakat lingkungannya.

Hukuman berat

Merupakan tanggung jawab lembaga dan ormas keagamaan untuk juga berbicara lantang tentang mafsadat korupsi dan pada saat yang sama memaklumkan jihad—dalam hal ini bermakna, bersungguh-sungguh—melawan korupsi. Ini salah satu bentuk jihad, kesungguhan tekad dan tindakan, yang sangat dibutuhkan negara-bangsa ini pada masa ini. Lebih daripada itu, lembaga dan ormas keagamaan hendaknya mengembangkan berbagai bentuk program jihad anti-korupsi dan terus melakukan penyadaran publik tentang pentingnya bersama melakukan jihad, kesungguhan melawan korupsi dalam berbagai bentuk.

Salah satu ”hikmah” positif dari terungkapnya kasus Gayus dan juga BA adalah meningkatnya ”kemarahan” publik terhadap korupsi. Terdapat kecenderungan kuat, publik menginginkan hukuman seberat-beratnya terhadap koruptor. Bentuknya, mulai dari hukuman mati seperti dikemukakan Menhuk dan HAM Patrialis Akbar, atau hukuman seumur hidup, penyitaan seluruh kekayaan, sampai sanksi sosial, dikeluarkan dari masyarakat adat, pengucilan sosial, dan seterusnya.

Hemat saya, berbagai alternatif hukum ini sepatutnya dapat segera diterapkan; tentu saja dengan tetap mempertimbangkan tingkat korupsi yang dilakukan. Namun, pada prinsipnya, dari sudut hukum dan perundangan serta agama, hukuman maksimal mestilah diterapkan kepada para koruptor tanpa pandang bulu dan tanpa ampun. Bahkan, dapat pula dipertimbangkan penjara khusus koruptor untuk membuat jera sehingga mereka yang punya niat untuk mencuri dana publik berpikir seribu kali sebelum melakukan korupsi.

Para ahli fiqh (hukum Islam) sepakat, hukuman berat terhadap pencuri kekayaan milik negara dan publik sangat perlu dalam rangka menjaga kemaslahatan publik agar tidak terjerumus ke dalam mafsadat yang dapat menghancurkan kehidupan negara-bangsa, yang di dalamnya juga termasuk umat beragama.

Hukuman berat juga sangat penting dalam rangka menegakkan prinsip perlindungan terhadap harta (hifdz al-maal), baik milik pribadi maupun milik negara atau publik. Hifdz al-maal merupakan salah satu dari lima kemaslahatan publik (al-kulliyat al-khamsah) yang mesti ditegakkan sungguh-sungguh oleh negara dan pemerintah yang telah memperoleh otoritas (tawliyyah) dari rakyat. Jika kita masih juga gagal melakukan pemberantasan korupsi sehingga para koruptor terus gentayangan dengan al-nafs al-syaithaniyyahnya, negara-bangsa ini bakal terjerumus ke dalam jurang fasad dan mafsadat tanpa dasar. Na’udzubillah min dzalik.

Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/09/04015821/korupsi.fasad.dan.jihad

Fatwa dan Fatwa

Mustofa Bisri: Fatwa dan Fatwa
Oleh A. Mustofa Bisri

FATWA akhir-akhir ini merupakan tren baru, bahkan sudah mirip dengan latah. Dulu, fatwa hampir identik dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia), yang memang paling sering mengeluarkan fatwa. Fatwa yang dinilai sering tidak menjadi solusi, melainkan malah meresahkan. Pak Jusuf Kalla waktu menjadi wakil presiden sampai berpesan dalam pembukaan Ijtimak Komisi Fatwa MUI agar MUI jangan mengeluarkan fatwa yang meresahkan dan menjadi ketakutan baru, melainkan menjadi solusi (Jawa Pos, Minggu 25 Januari 2009).

Tapi kini, fatwa tidak lagi menjadi monopoli MUI. Rupanya, MUI mendapatkan banyak saingan.

Fatwa bermunculan dari berbagai penjuru, dari berbagai lembaga dan organisasi. Berbagai hal dan masalah difatwakan. Mulai fatwa tentang aliran sesat, bunga bank, golput, yoga, rokok, pembangkit tenaga nuklir, rebonding, prewedding, infotainment, ringtone ayat-ayat Alquran, Facebook, sampai naik ojek.

Kecanggihan dan keaktifan pers ikut dan sangat membantu tersiarnya fatwa-fatwa dari berbagai pihak itu serta menjadikannya bahan pembicaraan berkepanjangan sehingga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bahkan, ada yang menilainya meresahkan. Di sisi lain, ada pula yang khawatir, dengan sering dan mudahnya fatwa dikeluarkan, fatwa akan kehilangan wibawa dan kesakralan. Padahal, sejak dulu organisasi NU dengan bahtsul masail-nya dan Majelis Tarjih Muhammadiyah selalu menjawab masalah-masalah keagamaan yang ditanyakan anggotanya.

Di banyak pesantren juga ada tradisi musyawarah di kalangan santri. Mereka berlatih menjawab masalah-masalah keagamaan di masyarakat. Hanya, dulu mungkin tidak ada media massa yang tertarik menyiarkannya.

Di koran ini, saya pernah sedikit menjelaskan perbedaan antara fatwa, wacana, dan vonis yang sering dirancukan. Gara-gara kerancuan itu, sering terjadi fatwa dianggap vonis. Celakanya, ada yang mengeksekusi berdasar fatwa tersebut. Itu merupakan kesalahan bertumpuk. Yakni, kesalahan menganggap fatwa sebagai vonis serta melakukan eksekusi dan penghakiman sendiri. Saya menjelaskan istilah-istilah tersebut terutama agar masyarakat tidak terlalu bingung dan resah terhadap fatwa-fatwa MUI.

Ternyata, sekarang masih atau semakin banyak keluhan mengenai kian maraknya fatwa, tidak hanya dari MUI. Masyarakat kembali ramai membicarakan dan sebagian malah menyatakan semakin bingung. Apalagi, kemudian ada yang membesar-besarkan perbedaan fatwa, seperti fatwa yang mengharamkan rokok dan yang hanya memakruhkannya. Maka, saya teringat akan hal yang pernah saya kemukakan -mengutip keterangan para ulama- tentang fatwa lebih dari setahun lalu.

Fatwa dalam istilah agama (sempitnya: fikih) mirip dengan pengertian bahasanya, yakni jawaban mufti terhadap masalah keberagamaan. Dulu -dan sampai sekarang di beberapa negara Timur Tengah- fatwa memang diminta dan diberikan oleh mufti secara perorangan. Dalam kitab-kitab fikih, mufti atau pemberi fatwa dibedakan dengan hakim. Mufti hanya memberikan informasi kepada dan sesuai dengan pertanyaan si peminta fatwa. Sementara itu, hakim memutuskan hukuman setelah mendengarkan berbagai pihak, seperti penuntut, terdakwa, dan saksi-saksi. Berbeda dengan putusan hakim, fatwa tidak memiliki kekuatan memaksa. Ia tidak mengikat, kecuali bagi si peminta fatwa.Itu pun berlaku dengan beberapa catatan. Antara lain, si peminta fatwa hanya mendapatkan fatwa dari satu pihak atau pemberi fatwa dan fatwa yang diberikan sesuai dengan kemantapan hatinya. Apabila ada dua pihak yang memberikan fatwa berbeda, dia mengikuti fatwa yang sesuai dengan kata hatinya. Itu berdasar hadis Nabi Muhammad SAW, "Istafti qalbak/nafsak wain aftaaka an-naas..." Arti hadis tersebut, mintalah fatwa hati nuranimu meski orang-orang sudah memberimu fatwa.

Sementara itu, mufti yang boleh ditanya dan memberikan fatwa adalah orang yang memenuhi kriteria tertentu. Bukan sembarang orang. Misalnya, pensiunan pegawai tinggi Depag (kini Kementerian Agama) atau ketua umum organisasi tidak bisa dijadikan ukuran. Para ulama punya pendapat berbeda mengenai rincian kriteria mufti; ada yang ketat, ada juga yang agak longgar. Ada yang mensyaratkan mufti harus mujtahid. Ada yang sekadar menyatakan -seperti Imam Malik- orang alim tidak seyogianya memberikan fatwa sampai tahu bahwa orang melihatnya pantas memberikan fatwa dan dirinya juga merasa pantas. Secara garis besar, semua menyepakati bahwa yang diperkenankan dimintai dan memberikan fatwa hanyalah mereka yang memang ahli.

Pemberian fatwa, menurut para ulama, juga punya etika. Misalnya, mufti tidak boleh tergesa-gesa dalam memberikan fatwa. Ibn Qayyim, misalnya, dalam salah satu kitabnya menyatakan, "Dulu salaf, para sahabat nabi, dan tabiin tidak suka cepat-cepat memberikan fatwa. Masing-masing justru mengharap fatwa diberikan oleh selain dirinya. Apabila sudah jelas bahwa fatwa itu harus diberikan olehnya, dia akan mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk mengetahui hukum masalah yang dimintakan fatwa tersebut dari Alquran, sunah Rasulullah, dan pendapat Khalifah Rasyidin."

Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal, mufti tidak boleh menjawab apa saja yang ditanyakan kepadanya. Selain itu, orang tidak boleh mengajukan dirinya untuk memberikan fatwa, kecuali telah memenuhi lima hal. Pertama, dia punya niat tulus lillahi taala, tidak mengharapkan kedudukan dan sebagainya. Kedua, dia berdiri di atas ilmu, sikap lapang dada, keanggunan, dan ketenangan. Sebab, bila tidak demikian, dia tidak bisa menjelaskan hukum-hukum agama dengan baik. Ketiga, dia harus kuat pada posisi dan pengetahuannya. Keempat, mufti harus punya kecukupan. Bila tidak, dia membuat masyarakat tidak senang. Sebab, dia membutuhkan masyarakat dan mengambil (materi) dari tangan mereka. Masyarakat bakal merasa dirugikan. Kelima, mufti harus mengenal masyarakat. Artinya, dia harus tahu tentang kejiwaan si peminta fatwa serta mengerti benar akan pengaruh dan tersebarnya fatwa tersebut di masyarakat.

Sebab, intinya, fatwa adalah kemaslahatan bagi masyarakat. Maka, menurut Imam Syatibi, mufti yang mencapai derajat puncak adalah yang membawa masyarakat ke kondisi tengah-tengah, seperti yang dikenal masyarakat. Mufti itu tidak menempuh aliran yang keras, tidak pula terlalu longgar. (c11/kum)

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=127875

Korupsi Manusia Indonesia

Oleh Yonky Karman

Rupa-rupanya sekali telah melangkahkan kaki di gelanggang korupsi, orang tak ada melihat jalan kembali. (Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, 108-9).

Saat bermukim enam bulan di Belanda (1953), Pramoedya menulis roman yang memproyeksikan kenyataan sosial pascakemerdekaan. Jadilah sebuah karangan yang mendahului zaman, sebelum korupsi menggurita dengan makelar kasus dan mafia hukum menjadi sebuah bagian dari sejarah Indonesia. Bakir telah mengabdi 20 tahun sebagai pegawai negeri dengan posisi terakhir kepala bagian. Namun, kehidupan dan penampilannya sederhana. Penghasilannya pas-pasan, tidak mampu memberi nilai tambah bagi kesejahteraan orang lain. Bakir pun kurang dihormati di luar rumah meski di rumah ia menerima cinta tulus dari istri dan anak.

Sebagai manusia Indonesia yang beragama, awalnya Bakir mengalami pergumulan batin yang berat antara godaan korupsi mengikuti rekan-rekannya dan mempertahankan integritas. Akhirnya, ia menyerah. Ia meninggalkan sikap pasif menunggu kenaikan gaji. Ia menggunakan kemerdekaannya untuk memperkaya diri sendiri dengan cara yang mengkhianati tujuan Indonesia merdeka.

Ia melakukan penggelembungan proyek dan memanipulasi kuitansi. Demikianlah ia jadi bagian kelompok masyarakat yang memperoleh kebahagiaan dan kekayaan di atas kerugian negara. Hilanglah kesederhanaan hatinya. Persetan sumpah jabatan. Untuk meredam protes batin sendiri, ia aktif memberi kontribusi bagi kegiatan amal. Ia percaya Tuhan memiliki matematika yang adil berapa dikorupsi dan berapa yang diamalkan.

Dengan dua filter moral, sanksi di dunia ini dan di dunia akhirat, sebenarnya manusia Indonesia lebih sulit korupsi dibandingkan dengan insan sekuler ataupun komunis. Nyatanya, indeks korupsi Indonesia tahun lalu adalah 2,8 dan itu berarti belum beranjak dari skor 2 sejak kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi. Sementara itu skor indeks korupsi negara-negara sekuler di Barat di atas 5 dan China 3,6.

Mengapa sepintas tidak ada hubungan antara keberagamaan dan korupsi? Saat korupsi, terjadi deaktivasi hukum moral. Dengan rasionalisasi yang bukan lagi bersumber dari kebutuhan (need), korupsi di Indonesia menjadi istana keserakahan (greed). Di lingkungan pegawai negeri, tak sulit mendapati orang yang hidup bukan dari gajinya, bahkan dengan bangga memamerkan kekayaannya.

Korupsi di Indonesia adalah masalah kegagalan pemerintah membangun karakter bangsa (character and nation building). Mengalihkan persoalan korupsi kepada agama hanya bentuk kambing hitam sebab keberagamaan di Indonesia sendiri bersikap ambigu. Penghayatan agama belum sampai memotivasi orang untuk jihad melawan korupsi. Pemerintah pun lebih serius memerangi terorisme daripada korupsi.

Sosiologi korupsi

Masyarakat Indonesia pun sudah terbiasa dengan fenomena korupsi dan cenderung menerimanya sebagai bagian dari realitas keindonesiaan. Apalagi, belum ada kemauan pemerintah untuk melakukan asas pembuktian kekayaan secara terbalik. Secara konstitusional, korupsi diakui sebagai kejahatan luar biasa. Dalam praktiknya, kasus korupsi yang terungkap cenderung direduksi jadi persoalan oknum, bukan persoalan sistem ataupun kultur.

Maka, penanganan secara internal didahulukan. Penyelesaian secara adat diutamakan. Itu semua untuk memelihara citra. Kalaupun ada sanksi, biasanya pejabat terkait dimutasi agar yang bersangkutan tidak terlalu sakit hati dan bernyanyi tentang kebobrokan instansinya. Rekan sejawat dan atasan saling melindungi. Kultur tahu sama tahu dan pembiaran menyuburkan perilaku koruptif.

Tidak sulit menemukan kultur koruptif di instansi pemerintah. Salah satu godaan kuat orang berani korupsi adalah koruptor merasa tidak sendirian. Korupsi dilakukan beramai-ramai dan tertib, dalam lingkungan yang saling kenal, dengan pengaplingan jatah, semua kebagian. Kawanan koruptor merasa negara tidak mungkin memproses hukum banyak personel suatu instansi secara bersamaan, dengan risiko layanan publik terganggu.

Negara disandera kawanan koruptor. Sesat logika membuat korupsi yang dilakukan beramai-ramai menjadi seperti bukan pelanggaran lagi. Sejawat yang membocorkan kebusukan praktik korupsi di instansinya akan dicap pengkhianat. Penanggung jawab instansi merasa lebih penting menjaga citra, bukan penguatan lembaga dengan birokrasi yang bersih dan efektif. Warga yang tak mau melayani kemauan oknum korup dipersulit.

Benar, sejak ada KPK, tak sedikit pejabat dan penegak hukum dijerumuskan ke dalam bui. Namun, niat korupsi tidak menjadi surut. Malah, risiko tertangkap membuat korupsi berbiaya tinggi melibatkan jumlah uang yang semakin besar. Dalam kultur korup, yang tertangkap tangan dianggap sedang sial. Jauh lebih besar tingkat keberhasilan daripada kegagalan.

Kegawatan korupsi di Indonesia sejatinya sudah di tingkat sabotase ekonomi. Berhadapan dengan kepentingan swasta, negara sering dikalahkan di pengadilan pajak ataupun perdata. Abdi negeri diam-diam merekayasa perkara sehingga swasta diuntungkan di atas kerugian negara. Begitu seringnya negara dirugikan sehingga kemampuan untuk menyejahterakan pun digerogoti.

Program remunerasi yang dibangga-banggakan menyedot dana lebih dari Rp 10 triliun dari pinjaman Bank Dunia. Besar pasak daripada tiang. Malu kita untuk urusan gaji pegawai harus berutang, sementara kita memakai uang untuk menyervis pejabat dengan kemewahan yang tidak perlu. Sebaiknya dana remunerasi diambil dari hasil pengetatan anggaran belanja untuk servis pejabat, seperti pembelian mobil mewah. Jika ada teladan dari pejabat yang bergaji puluhan juta untuk sementara ditunda kenaikan gajinya agar negara mampu meningkatkan kesejahteraan pegawai rendahan lebih baik lagi, niscaya Indonesia akan dibangun di atas pengorbanan dan cinta negeri. Orang tidak akan mengorupsi yang dicintainya.

Gaji rendah penyebab korupsi adalah simplifikasi masalah kultural dan struktural. Saat Indonesia masih dijajah Belanda, Indonesia tidak dikenal sebagai bangsa korup, bahkan jauh lebih berdisiplin daripada sekarang. Remunerasi penting, tetapi harus berbasis prestasi. Dan, lebih penting lagi, internalisasi ”cukupkanlah dirimu dengan gajimu”. Tanpa keutamaan merasa cukup, berapa pun gaji yang diterima akan selalu dirasa kurang, terlebih di era konsumtif.

Korupsi manusia Indonesia adalah masalah maju mundur sikap eksekutif dan legislatif (political will). Dan, sikap politik itu ditangkap oleh yudikatif. Penegakan hukum pun jadi beraroma politik dan tebang pilih. Indonesia Inc(orporated) dapat tinggal angan-angan jika penegakan hukum tak konsisten, administrasi pemerintahan tak tertib, pemerintah miskin manusia Indonesia yang berkualitas.

Yonky Karman Penulis adalah Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/10/03125354/korupsi.manusia.indonesia

Ya..., Apa Kata Dunia...?

Oleh Andi Suruji

Hari giini, tidak bayar pajak..., apa kata dunia...?” Begitulah teriakan sejumlah bintang iklan, personifikasi pekerja kelas menengah, orang-orang berkesadaran tinggi atas kewajibannya sebagai warga negara yang taat membayar pajak.

Intinya, iklan itu mengajak masyarakat untuk membayar pajak dengan baik dan benar, sekaligus ejekan bagi mereka yang tidak membayar pajak. Soalnya, banyak orang yang disinyalir tidak membayar pajak sesuai ketentuan. Padahal, pajak bukan saja menjadi andalan utama sumber penerimaan untuk belanja negara. Pajak juga idealnya menjadi instrumen fiskal untuk pembangunan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Iklan itu mungkin cukup ampuh membangun kesadaran masyarakat untuk memenuhi kewajibannya. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pajak, penyerahan surat pemberitahuan (SPT) tahunan Pajak Penghasilan sampai batas akhir tanggal 31 Maret 2010 mencapai 5.910.629 SPT. Jumlah itu naik 29,75 persen dibandingkan dengan kinerja periode yang sama tahun lalu, 4.555.274 SPT.

Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2010, belanja negara yang dibiayai dari penerimaan perpajakan telah mencapai 71 persen. Sebaliknya, porsi pembiayaan dari utang luar negeri kian menyusut.

Menurut pandangan ekonom senior Faisal Basri dalam analisis ekonominya beberapa waktu lalu, betapa perpajakan kian penting—yang menunjukkan bahwa kita semakin mandiri—terlihat juga dari porsinya yang mencapai 78 persen dari keseluruhan penerimaan negara.

Namun, menurut Faisal, apabila ditilik dari indikator nisbah pajak atau tax ratio (persentase penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto) yang hanya 12,4 persen, pencapaian sejauh ini masih sangat tertinggal dari negara tetangga. Reformasi perpajakan dan birokrasi yang menyertainya dalam empat tahun terakhir tampaknya belum berimbas pada peningkatan nisbah pajak.

Bahkan, dalam Rancangan APBN Perubahan 2010, justru tax ratio diturunkan dari target APBN 2010, yakni dari 12,4 persen menjadi 11,7 persen. Alasannya, nominal PDB naik dari Rp 5.981,37 triliun menjadi Rp 6.259,745 triliun. Atas dasar itu, penerimaan perpajakan diusulkan Rp 733,2 triliun. Target awal Rp 742,7 triliun.

Orang yang memiliki penghasilan lebih banyak pajaknya juga lebih besar. Pajak-pajak itu dikumpulkan sedikit demi sedikit sebagai pendapatan negara kemudian dibelanjakan lagi oleh negara untuk membayar gaji pegawai negeri sipil, tentara, polisi, presiden, wakil presiden, dan menteri. Pajak itu pula yang dipakai untuk membiayai kegiatan rutin pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan dan pelayanan kepada rakyat. Pajak itu jugalah yang dipakai pemerintah untuk membiayai pembangunan fisik, seperti membangun jalan, jembatan, irigasi pengairan, dan puskesmas.

Dengan demikian, orang yang taat membayar pajak sesuai ketentuan bukan saja bijak seperti jargon Ditjen Pajak, ”orang bijak taat membayar pajak”; lebih dari itu, mereka telah menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab, bersikap dan berperilaku mulia.

Ah, andai saja semua orang—tentu yang memang terkena kewajiban—membayar kewajiban pajaknya sesuai ketentuan, dan pajak itu tidak dikorupsi, boleh jadi bangsa ini tak perlu berutang kiri-kanan, mengemis kepada bangsa lain, untuk membiayai pembangunan kesejahteraan rakyat. Pajak-pajak itu bisa digunakan untuk membuka lapangan pekerjaan sehingga mengurangi penganggur, memberantas kemiskinan.

Oleh karena itu, orang-orang yang tidak membayar pajak sesuai ketentuan termasuk golongan masyarakat yang melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang baik. Mereka juga melakukan tindak kriminal dan pantas dihukum.

Hukuman lebih keras tentu lebih wajib lagi hukumnya dikenakan kepada oknum-oknum pajak yang masih gemar menilap pajak, padahal negara sudah memberinya remunerasi yang jauh lebih besar ketimbang pegawai negeri sipil lainnya.

Tentu saja pembayar pajak yang taat memenuhi kewajibannya sangat kesal, jengkel, ketika masih muncul ”tikus-tikus” perpajakan. Lihatlah ketika kasus makelar pajak yang diduga melibatkan aparat pajak Gayus Tambunan terkuak, komentar miring pun bermunculan di sejumlah media arus utama ataupun media sosial. Gayus berstatus pegawai negeri golongan tiga dengan gaji pokok tidak sampai 5 juta rupiah, tetapi memiliki uang puluhan miliar di rekening banknya—itu baru yang terlacak—sungguh merobek rasa keadilan masyarakat.

Simak pula fakta yang diungkapkan Dirjen Pajak Tjiptardjo. Pada periode Januari-Maret 2010, sudah 200 pegawai Ditjen Pajak, termasuk Gayus, yang dikenai sanksi karena ”main-main” pajak. Sanksi itu mulai dari paling ringan berupa peringatan hingga terberat berupa pemberhentian secara tidak hormat. Gayus diberhentikan tidak hormat.

Tidak heran kalau muncul anekdot begini: kalau orang tak punya banyak teman, itu namanya ”gak gaul”; kalau sudah lama bekerja, tetapi tidak kaya juga... itu namanya ”gak gayus”.

Bersihkan semua! Begitu perintah Presiden.

Kita tunggu. Hanya sapu yang bersih yang bisa membersihkan sesuatu yang akan disapu bersih. Jika tidak, ya..., apa kata dunia?

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/10/04343017/ya....apa.kata.dunia...

Kembali ke Perguruan Tinggi Negeri

Darmaningtyas ANGGOTA PENGURUS MAJELIS LUHUR TAMANSISWA DAN PENULIS BUKU TIRANI KAPITAL DALAM PENDIDIKAN, MENOLAK UNDANG-UNDANG BHP
Dunia pendidikan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri yang telah diprivatisasi menjadi PTBHMN (perguruan tinggi badanhukum milik negara), tiba-tiba heboh. Kehebohan itu dipicu oleh keputusan Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) dengan alasan melanggar konstitusi. Kehebohan itu terjadi karena semula para pemimpin PT BHMN berharap dapat memperoleh payung hukum yang jelas dari UU BHP . Ternyata apa yang mereka harapkan itu hilang begitu saja ditelan oleh palu Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Maret 2010.

Dengan dibatalkannya UU BHP tersebut, ketidakjelasan landasan hukum bagi kegiatan operasional PT BHMN tetap berlangsung sampai sekarang. Sebagai contoh, PT BHMN, seperti UI, UGM, IPB, dan ITB, berjalan berdasarkan PP No. 152155/2000. Bila kita simak PP tersebut, yang menjadi salah satu konsideran PP itu adalah UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sedangkan undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku setelah muncul Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru (No. 20/2003, pasal 76). Sehingga, tanpa disadari, pascakeluarnya Undang-Undang Sisdiknas yang baru, sampai sekarang PT BHMN sebetulnya berjalan tanpa payung hukum yang jelas alias liar. Bila kondisi itu terjadi pada pedagang kaki lima di Jakarta atau kotakota lain, pasti mereka sudah digusur. Tapi, ironisnya, justru pada suatu institusi yang di dalamnya terdapat para ahli hukum, ketidakjelasan ini tidak pernah dipersoalkan.
Bahkan mungkin di antara mereka ada yang turut menikmatinya atau minimal memberikan dukungan untuk tetap eksis.

Dilihat dari ketidakjelasan payung hukum itulah, bisa dipahami keresahan para pemimpin PT BHMN atas pembatalan UU BHP tersebut. Lalu mereka kemudian mencari-cari pembenaran atas kebijakankebijakannya di PT BHMN. Mereka menuntut adanya peraturan baru yang dapat memayunginya atau perubahan kelembagaan yang dinilai sesuai dengan semangat otonomi sekarang ini. Usulan bentuk kelembagaan yang mereka pilih adalah badan layanan umum (BLU), bukan kembali ke perguruan tinggi negeri (PTN).
Badan layanan umum BLU merupakan bentuk kelembagaan yang banyak dipilih oleh para pemimpin PT BHMN setelah bertemu dengan Menteri Pendidikan, 5 April lalu, dan para pe mimpin PTN pada umumnya. BLU banyak dipilih karena memberikan otonomi dan keleluasaan bagi PTN untuk mengelola sendiri keuangan. Tapi pilihan kelembagaan berupa BLU juga menimbulkan permasalahan karena landasan hukumnya. Perguruan tinggi, baik PT BHMN maupun PTN, merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Karena itu, berjalannya lembaga tersebut mutlak atau wajib mengacu pada keberadaan UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU Sisdiknas tidak dikenal adanya istilah BLU.Yang ada hanyalah sekolah dan perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah (negeri) dan dikelola oleh masyarakat (swasta). Karena itu, aturan untuk mengatur PTN maupun PT BHMN tentu harus diturunkan dari UU Pendidikan Nasional, bukan dari UU Kementerian lain.
Kecuali PTN dan PT BHMN berubah menjadi badan usaha di bawah Kementerian Keuangan, maka aturan-aturan di bawahnya mengikuti undang-undang di kementerian tersebut.

Pengalaman menarik adalah BLU Transjakarta. Ternyata BLU Transjakarta tidak bisa otonom sepenuhnya, karena ia hanya merupakan unit pelaksana teknis (UPT) dari Dinas Perhubungan DKI, sehingga hal-hal yang sifatnya strategis tidak bisa mereka putuskan sendiri, melainkan harus meminta persetujuan ke Dinas Perhubungan. Konsekuensi yang sama itu akan terjadi pada BLU di perguruan tinggi. BLU perguruan tinggi hanyalah merupakan UPT dari Departemen Pendidikan Nasional. Jadi, tidak sepenuhnya otonom. Bentuk BLU menurut saya justru makin tidak jelas, karena di satu sisi belum tentu otonom dan di sisi lain statusnya di bawah Kementerian Pendidikan Nasional atau Kementerian Keuangan. Perguruan tinggi negeri Mengingat PT BHMN maupun BLU itu tidak punya landasan hukum yang jelas dalam sistem pendidikan nasional, berarti keduanya bukan pilihan yang tepat.Yang tepat adalah mengembalikan PT BHMN menjadi perguruan tinggi negeri milik publik, agar tetap terjangkau oleh semua warga dan menjalankan peran pencerdasan bangsa.
Persoalan otonomi tidak berkaitan dengan persoalan bentuk kelembagaan, melainkan dengan kemauan politik penguasa. Bisa saja bentuknya BLU.Tapi, kalau penguasa tidak punya kemauan politik untuk memberikan otonomi, ya, tetap tidak otonom. Sebaliknya, meskipun dalam bentuk PTN, kalau penguasanya punya kemauan politik untuk memberikan otonomi seperti di negara-negara maju, pimpinan PTN punya otonomi mengelola perguruan tinggi. Jadi, yang penting adalah pemerintah (Kementerian Pendidikan) mau legowo memberikan otonomi pengelolaan kepada perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta, bukan mengubah PTN menjadi BLU/PT BHMN.

Bila persoalannya adalah menyangkut masalah fleksibilitas penggunaan anggaran, yang perlu diubah adalah mekanisme penggunaan keuangan negara (UU Keuangan). Perlu ada aturan secara klausul khusus mengenai penggunaan anggaran untuk institusi-institusi negara yang melakukan pelayanan sosial, seperti lembagalembaga pendidikan dan rumah sakit atau puskesmas. Jangan digeneralisasi dengan institusi pemerintah lainnya.

Jangan justru dibalik. Hal yang prinsip/mendasar (pencerdasan bangsa) justru harus menyesuaikan dengan hal yang teknis-manajerial (aturan penggunaan anggaran negara). Undang-Undang Keuangan itu bukanlah hal yang keramat untuk diubah.
Jadi, keberadaan undang-undang itu harus menyesuaikan dengan tugas utama negara untuk mencerdaskan bangsa. Bukan justru membatasi dengan aturan yang kaku.

Konsekuensi dari kelembagaan yang berbentuk PTN adalah pendanaan utama di PTN dari pemerintah. Masyarakat sifatnya memberi sumbangan dalam bentuk SPP (sumbangan pembiayaan pendidikan) yang terjangkau sesuai dengan kemampuan mereka. Negara dapat mengalokasikan anggaran yang tinggi untuk PTN dengan cara memanfaatkan hasil sumber daya alam secara lebih efisien dan produktif, serta memobilisasi dana dari masyarakat melalui pajak progresif.Yang penting, pajak itu dikelola secara benar dan tidak dikemplang oleh para pemungutnya.

Tugas para guru besar di perguruan tinggi sekarang adalah memberikan masukan yang benar kepada pemerintah mengenai bagaimana cara mengefisienkan dan memproduktifkan penggunaan sumber daya alam serta mengoptimalkan pajak untuk kemakmuran masyarakat serta pelayanan kebutuhan sosial dasar (pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan). Bukan justru mencari pembenaran untuk tetap mempertahankan PT BHMN atau berubah menjadi BLU, yang belum tentu betul-betul otonom.

Guru besar itu bagian dari golongan cendekiawan kampus. Karena itu, tugas utamanya adalah mencari kebenaran yang universal, tindakannya perlu berjarak dengan kekuasaan, bukan justru memberikan back-up pada penguasa yang salah. Sebab, kalau cendekiawan sudah berkolusi dengan kekuasaan, siapa lagi yang harus menjaga kebenaran tersebut.

Kesimpulannya, baik bentuk PT BHMN maupun BLU bukan yang terbaik untuk pencerdasan bangsa, melainkan merupakan jalan sesat yang perlu dihindari dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi (negeri). Bentuk itu hanya menguntungkan para pemimpin lembaga dan pemerintah, tapi merugikan masyarakat. Bagi masyarakat, yang utama adalah penyelenggaraan pendidikan tinggi yang terjangkau dan bermutu. Sejarah sudah membuktikan, PTN kita di masa lalu terbukti mampu melahirkan ilmuwan yang mempunyai kaliber dunia. Bahkan para pemimpin PT BHMN sekarang ini pun dan pimpinan negara merupakan produk dari PTN masa lalu. Jadi, apa yang diragukan dari bentuk PTN? Sedangkan bentuk BHMN maupun BLU sekarang masih dalam taraf coba-coba. Tidak ada alasan rasional untuk tetap bertahan menjadi PT BHMN ataupun berubah menjadi BLU.Yang rasional adalah kembali ke PTN. Untuk apa harus harus coba-coba bentuk yang terbukti gagal.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/04/10/ArticleHtmls/10_04_2010_009_003.shtml?Mode=1

Kongres Pengukuhan Politik Dinasti

Kongres Pengukuhan Politik Dinasti
Hanta Yuda A.R., ANALIS POLITIK THE INDONESIAN INSTITUTE


Kongres III Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah resmi menetapkan kembali secara aklamasi Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum terpilih 2010-2015, sekaligus sebagai formatur tunggal penyusun kepengurusan. Kongres ini sesungguhnya memang telah usai sebelum dimulai. Jika suksesi dan regenerasi kepemimpinan partai secara berkala yang menjadi tolak ukurnya, kongres PDIP sama sekali tidak menarik dalam perspektif demokratisasi kelembagaan partai. Pasalnya, kongres di Bali itu hanyalah seremoni pengukuhan kembali Megawati sebagai ketua umum sekaligus “patron tunggal” di PDIP. Inilah kongres pengukuhan politik dinasti.

Isu kontestasi perebutan posisi strategis—wakil ketua umum dan sekjen—serta isu pilihan untuk tetap beroposisi ataukah berkoalisi dengan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, seolah hanya menjadi wacana pemanis yang sengaja dimunculkan agar kongres lebih menarik perhatian publik. Tanpa kedua isu itu, Kongres PDIP menjadi “garing” dan tidak menarik sama sekali.

Regenerasi PDIP pasca-Megawati memang mulai diwacanakan di lingkup internal, tetapi lagi-lagi nama yang muncul hanyalah dari kalangan keturunan biologis Megawati, yaitu Puan Maharani dan Muhammad Prananda Prabowo. Keduanya sejak awal memang tidak disiapkan menjadi ketua umum pada Kongres 2010, tapi digadang-gadang untuk menjadi ketua umum berikutnya (2015-2020). Pertarungan kandidat ketua umum ke depan (2015) tampaknya hanya akan jadi ajang kontestasi para cucu Bung Karno, sekaligus mengukuhkan politik dinasti di kalangan internal PDIP.

Sementara itu, nama-nama kader potensial di luar trah Soekarno hampir tak berpeluang menjadi ketua umum.

dengan PDIP itu sendiri (PDIP = Megawati). Dengan konstruksi seperti ini, menjadi mudah mentransformasikan kehendak personal--Ketua Umum Megawati-menjadi kehendak institusi PDIP.
Bahkan, pada beberapa hal, pandangan dan harapan pribadi figur sentral Megawati dimaknai sebagai ideologi bagi aktivis dan simpatisan PDIP di arus bawah.

Dalam jangka pendek, hal ini memang menguntungkan PDIP , baik dalam konteks soliditas partai maupun dampak secara elektoral.
Paling tidak, potensi faksionalisme dapat diredam dan PDIP masih dapat "menjual"ketokohan dan karisma politik Megawati serta Bung Karno dalam kampanye pemilu. Namun, untuk konteks masa depan partai, kondisi ini tentu akan membahayakan proses demokrasi dan keberlangsungan PDIP ke depan, karena politik dinasti akan merusak sendi-sendi kelembagaan politik internal PDIP .

Memang politik dinasti juga banyak terjadi di negara-negara yang sudah lama dan matang menjalan kan sistem demokrasi, seperti Amerika Serikat dan India. Namun, di tengah situasi politik Indonesia yang belum memiliki tradisi berdemokrasi yang baik dan desain perangkat institusi demokrasi yang belum kukuh, gejala ini amat berbahaya. Politik dinasti justru akan terjebak pada konflik kepentingan, penyalahgunaan kewenangan (abuse of power), dan otoritarianisme partai. Untuk jangka panjang, pada saatnya nanti—ketika karisma dan daya tarik Megawati sebagai patron tunggal melemah—faksionalisme akan menajam, kaderisasi tersendat, terjadi krisis ideologi, dan kekuatan elektoral partai semakin menurun. Pada titik inilah PDIP akan terancam mengalami degradasi kekuatan elektoral dan akan runtuh. Ideologi partai mestinya diletakkan di atas figur ketua umum, sehingga roh dan semangat perjuangan partai berbasis ideologi, bukan sekadar kehendak individu ketua umum. Selain itu, strategi “menjual”ketokohan Megawati harus mulai ditransformasikan dengan strategi menawarkan platform dan program yang menarik dan inovatif. Selain itu, agenda ideologisasi diperlukan untuk meningkatkan militansi kader PDIP.

Sebab, kalau hal itu tidak segera dilakukan, pragmatisme kian menggerogoti internal PDIP pasca-kepemimpinan Megawati.

Kedua, reformasi dan demokratisasi sistem internal, terutama demokratisasi mekanisme rekrutmen di kalangan internal partai.

Hal itu berkaitan dengan sejauh mana PDIP mampu menciptakan prosedur internal yang demokratis dan memperhatikan faktor meritokrasi dalam sistem seleksi dan penjaringan, baik di legislatif maupun jabatan publik di tingkat eksekutif. Model rekrutmen tertutup dalam sistem penjaringan perlu segera ditinggalkan.

Ketiga, PDIP perlu segera melakukan regenerasi dan perbaikan sistem kaderisasi. Regenerasi kepengurusan secara terbuka—tidak hanya bertumpu pada “kader biologis”Megawati—mutlak diperlukan PDIP untuk melakukan penyegaran dan demokratisasi partai. PDIP memang mulai mengakomodasi anak-anak muda di posisi strategis partai. Namun, hal itu perlu diteruskan dengan membuka peluang dan kesempatan yang sama bagi semua kader untuk memimpin partai hingga level ketua umum. Karena itu, yang perlu dipersiapkan adalah kader ideologis sebagai ahli waris ideologi perjuangan yang mampu mentransformasikan PDIP dari partai figur (keluarga) ke partai sistem (institusi).

Agenda demokratisasi dan modernisasi PDIP ini dalam jangka panjang ditujukan untuk memutus mata rantai oligarki elite keluarga di tubuh partai secara bertahap sekaligus mengantarkan PDIP sebagai partai modern dan demokratis. Paling tidak, untuk menyelamatkan PDIP dari bencana dinastiokrasi politik. Jika PDIP hanya mengandalkan figur Megawati dan terus menjadikan ketokohan Megawati sebagai “jualan politik”, sesungguhnya PDIP sedang menggali kuburnya sendiri, sembari menunggu habisnya napas buatan dari karisma Megawati yang kian luntur. Jika itu yang terjadi, bersiaplah menjadi partai masa lalu dalam sejarah kepartaian Indonesia. Karena itu, untuk kepentingan masa depan partai, ada dua pilihan bagi PDIP: pelan-pelan meruntuhkan politik dinasti, atau justru PDIP yang akan runtuh? ●

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/04/10/ArticleHtmls/10_04_2010_010_013.shtml?Mode=1