BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Jauh Panggang dari Api

Jauh Panggang dari Api

Written By gusdurian on Rabu, 14 April 2010 | 13.21

Institusi pemerintahan belakangan kerap menyampaikan pesan-pesan publikasinya. Pesan tersebut antara lain diwujudkan melalui iklan-iklan kampanye.


Mari kita simak sejenak, apakah pesan tersebut sampai ke sasaran atau malah sesat ide sehingga menimbulkan persepsi melenceng dari tujuan? Paling mudah memulai penelusuran dengan beranjak dari kasus Gayus, si pegawai pajak. Maksudnya, mari menelaah iklan yang dikeluarkan institusi pajak.Masih ingat iklan yang muncul beberapa tahun lalu ketika pemerintah mulai mengambil kebijakan untuk menaikkan pendapatan negara dari pajak? Iklan ditayangkan dalam format cetak dan baliho.Tentu dengan maksud untuk menyebarluaskan kampanye agar rakyat taat membayar pajak, papan iklan tersebut amat mudah dijumpai di banyak titik, baik di Jakarta maupun luar Jakarta.Di jalan raya maupun di jalan bebas hambatan.

Ukurannya pun beragam, tetapi praktis semuanya mencuri perhatian. Sosok dalam iklan tersebut adalah seorang pria,berada dalam rentang usia sosok yang mulai mapan, 30–40 tahun. Berpakaian fulldress, jas lengkap dengan dasi, menggenggam telepon seluler. Melihat kostum dan gayanya, agaknya dia dicitrakan sebagai sosok wajib pajak yang bekerja sebagai pebisnis atau eksekutif sukses.Wajahnya pede, tersenyum lebar. Seakan lepas dari beban karena dia telah menutup semua kewajiban pajaknya. Pesan dari iklan tersebut: bila semua wajib pajak patuh, mereka berada di level sejahtera seperti sosok dalam iklan tersebut. Sayangnya, si sosok ini tampil tambun. (Mohon maaf, tak ada maksud mendiskreditkan siapa pun secara fisik).

Dalam asumsi lama,gemuk kerap identik dengan makmur. Lukisan kuno abad pertengahan selalu menampilkan wanita bertubuh gemuk dan montok. Atau pria-pria mapan yang chubby. Nilai yang hidup di masyarakat ketika itu menganggap gemuk sebagai simbol kemakmuran.Namun dalam persepsi masa kini, ketika masyarakat sudah memiliki orientasi yang benar tentang sehat, gemuk identik dengan tidak sehat. Tentu saja itu simplifikasi. Hanya saja, coba bayangkan apa persepsi yang muncul melihat sosok tak bijak terhadap kesehatan diri sendiri tersebut? Lalu,bagaimana dia akan bijak melakukan hal lain, termasuk membayar pajak? Memang ini logika sederhana yang terbuka untuk didiskusikan.

Maksud sesungguhnya adalah,mengapa tak mencoba bersikap lebih cermat mengeksekusi suatu pesan, terlebih bila pesan tersebut disebar kepada masyarakat luas dengan rentang status sosial demografi sangat lebar? Kisah iklan sesat ide tersebut kemudian diteruskan lagi pada iklan-iklan berikutnya.Yang terasa paling mencolok adalah pada penggunaan frase ala Nagabonar sebagai tagline iklan pajak berikutnya, yang dipakai sampai saat ini. Nagabonar, sebagaimana diketahui, adalah sosok imajiner dalam film berjudul serupa. Dia adalah raja copet pada zaman kemerdekaan yang oleh nasib terbelokkan tak sengaja menjadi pahlawan. Dia sering melontarkan frase,“Apa kata dunia?”Frase itu merupakan penggalan percakapan Nagabonar dalam film yang maknanya kalau mau maju perang, maju saja, jangan ragu.

Kalau pengecut, malulah kepada dunia. Coba kita renungkan sejenak saja, kok institusi yang harusnya dicitrakan menjalankan sistemnya secara tata kelola yang baik malah berkaca pada frase milik si raja copet? Institusi ini juga mengeluarkan idiom dalam kampanye mereka “bayar pajak Anda, awasi penggunaannya”. Idiom ini memberikan pesan bahwa sudah dilakukan upaya habis-habisan,jujur,transparan demi nusa-bangsa.Apakah pesan ini menimbulkan rasa simpati dan respek para wajib pajak sehingga berduyun-duyun mereka membayar pajak tanpa perlu bermainmain dengan petugasnya? Janganjangan malah publik bertanya: apa tidak yakin yasampai semua orang diminta mengawasi?

*** Sebenarnya penayangan materi iklan sesat ide ini banyak dijumpai. Hanya saja kali ini secara spesifik dibahas ranah institusi publik. Bila kasus institusi pajak yang dijadikan cantolan, itu semata kebetulan karena memang tengah menjadi topik hangat. Sederhananya, pesan sering kali dikirim dalam kemasan yang tak komprehensif. Kerap mengabaikan riset kultur dan kondisi psikologis masyarakat.Penyebabnya bisa macam-macam. Di antaranya, tim pembuat iklan tak cukup mendapatkan briefatau kurang inisiatif melakukan riset produk lengkap dengan latar belakang kultur dan psikologi sosialnya.Atau mungkin intervensi klien yang terlalu jauh, baik intervensi kreatif maupun intervensi bujet. Titik tolak mengekspos diri kepada publik melalui iklan berawal dari kebutuhan menyampaikan pesan.

Siapa pun pemilik pesan,konsepnya tetap sama: “membujuk” konsumen, customer ataupun publik untuk bersedia membeli,mendapatkan, memakai atau melakukan sesuatu sebagaimana dipesankan iklan. Format penyampaian pesan melalui iklan ini berhubungan erat dengan pencitraan dan positioning yang hendak dicapai si subjek. Akan tetapi, kerap terjadi si penyampai pesan sering merasa paling paham akan produk atau jasa yang mereka tangani sehari-hari sehingga tak memberi ruang kreatif yang leluasa. Cenderung mendikte. Akibatnya, materi publikasi atau iklan yang dihasilkan sering terasa garing, monoton, dan tidak membangkitkan dialog batin yang positif. Ketika materi sudah tayang, patut diyakini pasti ada masukan atau bahkan evaluasi dari berbagai pihak.

Akan tetapi, pertanyaannya: seberapa besar keterbukaan dan kebesaran hati serta rasionalitas digunakan untuk menerima masukan tersebut? Bila tak cukup besar pada materi berikut, tetap saja ide dan konsep yang dieksekusi akan meleset. Jadinya, pesan cenderung diabaikan orang. Maka ketika soal makelar kasus (markus) terbongkar, baik sosok pria tambun maupun frase mantan raja copet dan moto milik institusi ini seakan mendapatkan permafhumannya. Benang merah kebobrokan di dalamnya tampak jelas, terbuka, dan kasatmata. Ibarat gong, ya tinggal pukul saja, maka ia berbunyi.

*** Menyampaikan pesan simpatik dalam beriklan bukan perkara mudah meski aplikasinya sebenarnya sederhana saja.Kuncinya, jangan terlalu menuntut konsumen memahami begitu banyak pesan superlatif atau juga pesan verbal. Ketika akan menyampaikan pesan melalui iklan, pertimbangkanlah dahulu unsur penyeimbangnya. Hal itu adalah menyiapkan si subjek iklan itu sendiri secara internal. Maksudnya, si penyampai pesan harus yakin benar bahwa dirinya sudah “beres” dan layak ekspos. Dalam kaitan dengan model iklan institusi pajak, akan lebih bijak bila lembaga ini melakukan upaya sungguh-sungguh membereskan diri; secara internal melakukan pembersihan oknum-oknumnya.

Jangan menampilkan perbedaan mencolok antara imbalan gaji dengan gaya hidup. Sebagai pegawai negeri, dengan remunerasi khusus, mereka sudah dapat hidup layak. Akan tetapi untuk hidup mewah dari pendapatan resmi rasanya meragukan. Kemudian, cobalah mengekspos kasus-kasus pajak secara layak. Dengan demikian, masyarakat diberi tahu di mana peran mereka sebagaimana diminta dalam idiom kampanye “awasi penggunaannya”. Hal yang tidak dilakukan ini tentu membuat kampanye bernilai ratusan juta itu menjadi tidak efektif.

*** Melakukan kampanye tidak efektif tersebut juga banyak dijumpai pada institusi lain. Sering dijumpai, sosok tokoh pejabat muncul besar-besar dalam baliho di tengah kota. Uniknya, dalam baliho-baliho ini, si subjek iklan sering repot-repot menggandeng atasannya. Entah ini karena budaya ewuh-pakewuh atau memang demikian pakemnya.Kalau bupati, dia akan menggandeng gubernur. Bila gubernur, pilihannya tergantung situasi, bisa menteri atau presiden sekalian. Adapun bila menteri, sudah pasti akan menggandeng presiden. Seakan takut masyarakat tak yakin akan maksud kampanyenya. Kira-kira sama dengan mengatakan,“Nih, kalau tak percaya, ada bapak saya. Jadi percaya sajalah.

” Padahal, pesan yang menayangkan sosok pejabat itu saja sudah tak efektif. Masyarakat disodori begitu banyak klaim sukses si pejabat yang nyaris berbentuk fakta fisik semua. Selain klaim itu sering mengada-ada, lalu siapa yang diharapkan membaca pesan sebanyak itu di jalan raya? Seberapa banyak pelintas akan membacanya dalam waktu singkat dan secara cepat memahami pesan? Berkaca pada substansi demikian, apa boleh buat, kondisi antara pesan yang ditayangkan dengan kenyataan memang masih jauh panggang dari api.

Mungkin saja, penikmat pesan belum terlalu kritis, tetapi bukan menjadi halangan untuk mencoba mengubah eksekusi ke cara yang lebih baik. Sebelum mengeksekusi pesan ke publik, berbenah diri sendiri dululah secara internal. Bisa, dong.(*)

Safrita Ayu Hermawan
Praktisi PR dan Penulis Sejumlah Buku Tokoh-Tokoh Penting

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/316230/
Share this article :

0 komentar: