Kongres Pengukuhan Politik Dinasti
Hanta Yuda A.R., ANALIS POLITIK THE INDONESIAN INSTITUTE
Kongres III Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah resmi menetapkan kembali secara aklamasi Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum terpilih 2010-2015, sekaligus sebagai formatur tunggal penyusun kepengurusan. Kongres ini sesungguhnya memang telah usai sebelum dimulai. Jika suksesi dan regenerasi kepemimpinan partai secara berkala yang menjadi tolak ukurnya, kongres PDIP sama sekali tidak menarik dalam perspektif demokratisasi kelembagaan partai. Pasalnya, kongres di Bali itu hanyalah seremoni pengukuhan kembali Megawati sebagai ketua umum sekaligus “patron tunggal” di PDIP. Inilah kongres pengukuhan politik dinasti.
Isu kontestasi perebutan posisi strategis—wakil ketua umum dan sekjen—serta isu pilihan untuk tetap beroposisi ataukah berkoalisi dengan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, seolah hanya menjadi wacana pemanis yang sengaja dimunculkan agar kongres lebih menarik perhatian publik. Tanpa kedua isu itu, Kongres PDIP menjadi “garing” dan tidak menarik sama sekali.
Regenerasi PDIP pasca-Megawati memang mulai diwacanakan di lingkup internal, tetapi lagi-lagi nama yang muncul hanyalah dari kalangan keturunan biologis Megawati, yaitu Puan Maharani dan Muhammad Prananda Prabowo. Keduanya sejak awal memang tidak disiapkan menjadi ketua umum pada Kongres 2010, tapi digadang-gadang untuk menjadi ketua umum berikutnya (2015-2020). Pertarungan kandidat ketua umum ke depan (2015) tampaknya hanya akan jadi ajang kontestasi para cucu Bung Karno, sekaligus mengukuhkan politik dinasti di kalangan internal PDIP.
Sementara itu, nama-nama kader potensial di luar trah Soekarno hampir tak berpeluang menjadi ketua umum.
dengan PDIP itu sendiri (PDIP = Megawati). Dengan konstruksi seperti ini, menjadi mudah mentransformasikan kehendak personal--Ketua Umum Megawati-menjadi kehendak institusi PDIP.
Bahkan, pada beberapa hal, pandangan dan harapan pribadi figur sentral Megawati dimaknai sebagai ideologi bagi aktivis dan simpatisan PDIP di arus bawah.
Dalam jangka pendek, hal ini memang menguntungkan PDIP , baik dalam konteks soliditas partai maupun dampak secara elektoral.
Paling tidak, potensi faksionalisme dapat diredam dan PDIP masih dapat "menjual"ketokohan dan karisma politik Megawati serta Bung Karno dalam kampanye pemilu. Namun, untuk konteks masa depan partai, kondisi ini tentu akan membahayakan proses demokrasi dan keberlangsungan PDIP ke depan, karena politik dinasti akan merusak sendi-sendi kelembagaan politik internal PDIP .
Memang politik dinasti juga banyak terjadi di negara-negara yang sudah lama dan matang menjalan kan sistem demokrasi, seperti Amerika Serikat dan India. Namun, di tengah situasi politik Indonesia yang belum memiliki tradisi berdemokrasi yang baik dan desain perangkat institusi demokrasi yang belum kukuh, gejala ini amat berbahaya. Politik dinasti justru akan terjebak pada konflik kepentingan, penyalahgunaan kewenangan (abuse of power), dan otoritarianisme partai. Untuk jangka panjang, pada saatnya nanti—ketika karisma dan daya tarik Megawati sebagai patron tunggal melemah—faksionalisme akan menajam, kaderisasi tersendat, terjadi krisis ideologi, dan kekuatan elektoral partai semakin menurun. Pada titik inilah PDIP akan terancam mengalami degradasi kekuatan elektoral dan akan runtuh. Ideologi partai mestinya diletakkan di atas figur ketua umum, sehingga roh dan semangat perjuangan partai berbasis ideologi, bukan sekadar kehendak individu ketua umum. Selain itu, strategi “menjual”ketokohan Megawati harus mulai ditransformasikan dengan strategi menawarkan platform dan program yang menarik dan inovatif. Selain itu, agenda ideologisasi diperlukan untuk meningkatkan militansi kader PDIP.
Sebab, kalau hal itu tidak segera dilakukan, pragmatisme kian menggerogoti internal PDIP pasca-kepemimpinan Megawati.
Kedua, reformasi dan demokratisasi sistem internal, terutama demokratisasi mekanisme rekrutmen di kalangan internal partai.
Hal itu berkaitan dengan sejauh mana PDIP mampu menciptakan prosedur internal yang demokratis dan memperhatikan faktor meritokrasi dalam sistem seleksi dan penjaringan, baik di legislatif maupun jabatan publik di tingkat eksekutif. Model rekrutmen tertutup dalam sistem penjaringan perlu segera ditinggalkan.
Ketiga, PDIP perlu segera melakukan regenerasi dan perbaikan sistem kaderisasi. Regenerasi kepengurusan secara terbuka—tidak hanya bertumpu pada “kader biologis”Megawati—mutlak diperlukan PDIP untuk melakukan penyegaran dan demokratisasi partai. PDIP memang mulai mengakomodasi anak-anak muda di posisi strategis partai. Namun, hal itu perlu diteruskan dengan membuka peluang dan kesempatan yang sama bagi semua kader untuk memimpin partai hingga level ketua umum. Karena itu, yang perlu dipersiapkan adalah kader ideologis sebagai ahli waris ideologi perjuangan yang mampu mentransformasikan PDIP dari partai figur (keluarga) ke partai sistem (institusi).
Agenda demokratisasi dan modernisasi PDIP ini dalam jangka panjang ditujukan untuk memutus mata rantai oligarki elite keluarga di tubuh partai secara bertahap sekaligus mengantarkan PDIP sebagai partai modern dan demokratis. Paling tidak, untuk menyelamatkan PDIP dari bencana dinastiokrasi politik. Jika PDIP hanya mengandalkan figur Megawati dan terus menjadikan ketokohan Megawati sebagai “jualan politik”, sesungguhnya PDIP sedang menggali kuburnya sendiri, sembari menunggu habisnya napas buatan dari karisma Megawati yang kian luntur. Jika itu yang terjadi, bersiaplah menjadi partai masa lalu dalam sejarah kepartaian Indonesia. Karena itu, untuk kepentingan masa depan partai, ada dua pilihan bagi PDIP: pelan-pelan meruntuhkan politik dinasti, atau justru PDIP yang akan runtuh? ●
http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/04/10/ArticleHtmls/10_04_2010_010_013.shtml?Mode=1
Kongres Pengukuhan Politik Dinasti
Written By gusdurian on Rabu, 14 April 2010 | 12.48
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar