BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Perempuan Penjaga Moral

Perempuan Penjaga Moral

Written By gusdurian on Rabu, 14 April 2010 | 13.17

Perempuan Penjaga Moral
Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group

DENGAN nada menggoda, perem- puan cantik itu sambil tersenyum lebar berkata, “Apa Kata Dunia?” Iklan itu sangat mengesankan.

Mungkin juga efektif untuk mengerahkan pem- bayaran pajak. Tetapi akhir-akhir ini ada kera- guan, apakah itu imbauan jujur, atau garapan mafi a pajak? Berbagai cobaan silih berganti menghantui masyarakat ini. Apakah tidak ada yang bisa dipercaya lagi? Rasanya perlu ada gerakan moral besar-besaran untuk keselamatan dan kemaslahatan bersama; dimulai dari diri pri- badi, dari keluarga sendiri. Kita harap saja pembenahan oleh segenap keluarga nuklir-- ayah, ibu, dan anak-anak--akan meluas ke masyarakat yang notabene adalah himpunan keluarga-keluarga nuklir.

bahwa, untuk pertama kali dalam sejarah repu- blik ini, kita berhasil menumpas mafi a hukum yang berimbas pada matinya budaya korupsi.

Budaya yang mulai berkecamuk dengan ban- jirnya petrodollar sejak tahun tujuh puluhan itu tampaknya makin lama makin menjadi-jadi.

Mungkin mereka yang korup merasa sudah terlalu lama hidup sederhana. Feodalisme yang tersisa, yang terbiasa dan selalu mengangankan kemewahan, tumbuh merajalela.

Siapa yang salah? Semua telunjuk mencari sasaran. Yang terlepas dari perhatian adalah peran kaum perempuan. Dalam kehidupan bermasyarakat, hukum secara universal me- netapkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban sama. Tetapi kenyataan membuktikan lain. Laki-laki umum- nya masih saja mengontrol setiap jejak kehidup- an dan penghidupan. Di lain pihak, hasil-hasil pengamatan antropologis dan sosiologis meng- anggap perempuan umumnya sebagai penge- lola kasih sayang dan penjaga kehidupan moral. Alasannya, karena dia berbeda genetika dengan laki-laki. Dia mencintai keadaban dan perdamaian. Hatinya lebih banyak berbicara daripada akalnya.

Dengan nada lain, ada anggapan akal dan pikiran perempuan kurang dinamis. Intelektu- alitasnya rendah. Perempuan tidak secerdas laki- laki yang pada dasarnya memang lebih agresif

Apa kata perempuan? Bahwa perempuan lebih banyak berbicara dengan hati, memang sering terbukti. Demi kedamaian, dia tidak sampai hati kalau bukan tidak berani mengingatkan suami yang melaku- kan korupsi. Bisa juga karena dia tidak menger- ti, atau tidak peduli. Dengan bersikap demikian dia merasa menjaga kefemininannya--sifat yang menjadi pujaan laki-laki.

Alasan lain, perhatian istri terlepas dari tin- dak pidana suami karena merasa terlalu sibuk dengan urusannya sendiri: sebagai istri, ibu yang harus mengurus dan membesarkan anak- anak dan penjaga citra keluarga. Bahkan mung- kin dia merasa lega keluarga tidak hidup kekurangan--malahan hidup berlebihan--tanpa dia harus peduli dari mana datangnya rezeki.

Lagi pula kalau tidak percaya kepada suami, kepada siapa lagi? Pikiran semacam ini bahkan ada pada perempuan-perempuan terdidik, tetapi yang pasrah dan pasif terhadap hirukpikuk kehidupan dan penghidupan di sekitarnya.

Pertanyaannya, "Apa kata perempuan"? Seandainya ada gugatan semacam itu, semacam iklan yang digencarkan kantor pajak, mau tak mau tentu ada rasa bersalah pada pihak perempuan pendamping koruptor kakap. Ada ungkapan: di belakang setiap tokoh, selalu ada perempuan perkasa yang mendukungnya.
Asalkan bukan justru sang istri yang membuat suami menjalankan korupsi. Sering, mungkin tanpa sadar, justru perempuan-perempuan semacam itu yang memamerkan kemewahan berlebihan dalam segenap tindak-tanduknya, seperti yang dilakukan perempuan-perempuan kelas atas Eropa di abad 17-18, ketika fungsi mereka antara lain dengan sengaja memamerkan kekayaan suami demi citra keluarga.

Di masa Orde Baru, pernah diumumkan berlakunya pola hidup sederhana. Waktu itu pun barangkali dirasakan berjangkitnya pameran kekayaan yang berlebihan. Atas kesepakatan, 10 tahun setelah reformasi, kita pun bisa mengumumkan berlakunya `pola hidup sederhana', demi percepatan matinya budaya korupsi.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/04/09/ArticleHtmls/09_04_2010_017_002.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: