BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Gayus dan Gunung Es Republik Mafia

Gayus dan Gunung Es Republik Mafia

Written By gusdurian on Rabu, 14 April 2010 | 13.14

Pegawai negeri sipil (PNS) di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu) dengan golongan IIIA,Gayus Tambunan,30 thn,mengguncang republik ini akibat uang dalam rekening miliknya yang dianggap melampaui batas kewajaran.

Jumlahnya sangat fantastis untuk ukurannya, yakni sekitar Rp25 miliar.Itu semua belum termasuk harta tak bergerak berupa rumah mewah dan apartemen di lokasi elite di Jakarta beserta sejumlah kendaraan (mobil dan sepeda motor). Kasus ini dicuatkan oleh mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji dalam jumpa persnya setelah bertemu dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dengan sekaligus memberi isyarat adanya beberapa oknum pejabat di jajaran kepolisian yang turut “memanfaatkannya”.

Gayus sebenarnya sudah berstatus tersangka sejak November tahun lalu. Uang di rekeningnya pun, menurut Susno,sebenarnya sudah dalam status diblokir,tetapi ternyata belakangan kembali dicairkan dengan peran sejumlah oknum polisi yang disebut oleh putra Palembang itu. Dalam kaitan pencairan uang tersebut, Gayus menyebut sejumlah oknum polisi, kejaksaan, dan hakim yang menerima masingmasing Rp5 miliar––suatu sinyalemen yang sejalan dengan pernyataan Susno Duadji, padahal semula sempat dibantah keras oleh jajaran pimpinan Polri.

Fenomena ini memang sungguh memprihatinkan.Ada tiga hal yang dapat kita simpulkan dari kekisruhan ini. Pertama, penyelenggara negara, baik di jajaran penegak hukum maupun eksekutif, tak bisa dimungkiri lagi sebagai mafia yang saling bekerja sama dan atau berkonspirasi dalam menggerogoti uang negara (uang rakyat) untuk memperkaya diri.

Para oknum itu sudah mengetahui berbagai sumber uang yang bisa dikerjasamakan untuk dinikmati bersama dalam rangka menunjang atau memenuhi hasrat hidup mewah mereka; suatu bukti bahwa moralitas sebagian aparat kita sudah berada di bawah titik nadir. Fenomena ini sebenarnya sudah sering diungkapkan, sudah menjadi wacana di publik,dengan mengharapkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk secara serius menanganinya.

Namun,kalau mau jujur diakui, pembiaran terus berlangsung. Betapa tidak? Berbagai laporan dari masyarakat tentang kasus-kasus korupsi atau praktik permafiaan sangat jarang yang ditindaklanjuti dan hanya menjadi tumpukan dokumen di jajaran penegak hukum. Bahkan, lebih parah lagi,sejumlah pejabat yang sudah terindikasi melakukan penyimpangan dalam jabatan justru terus dipertahankan oleh pimpinan penyelenggara negara ini.

Lihat saja, misalnya, hasil temuan dan rekomendasi Pansus Hak Angket Bank Century DPR yang secara langsung menyebut sejumlah nama di jajaran eksekutif justru memperoleh pembelaan dari Presiden SBY. Demikian juga dengan kasus seorang pejabat di Bank Indonesia yang sudah sekian lama disebut terkait dengan suap-menyuap (melalui travelers check) dalam proses pemilihannya di DPR.Maka,tidak perlu heran kalau tidak sedikit oknum yang justru memanfaatkan kasus-kasus penyimpangan yang ditemukan karena sangat menyadari kekuasaan eksekusi berada di tangan mereka, sementara “sang Bos” membiarkannya.

*** Kedua,Gayus sebenarnya merupakan bagian dari fenomena gunung es. Hanya satu kasus dari tumpukan kasus di semua lini dan level birokrasi penyelenggara negara/pemerintahan di negeri ini. Setiap atasan suatu instansi sebenarnya mengetahui kasus-kasus sejenis itu, termasuk di dalamnya tender (procurement) berbagai proyek yang dilakukan secara formalitas di mana sang pemenang sudah terlebih dahulu ditentukan.

Semua itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan,lahan basah dari pihak pemegang otoritas tertinggi di instansi bersangkutan. Karena itu,tidak mengherankan kalau harta kekayaan para pejabat biasanya jauh melampaui pendapatan resminya. Ironisnya, justru para pejabat seperti itulah yang terus dipertahankan, bahkan diberi penghargaan oleh pimpinan penyelenggara “republik mafia”ini.

Persoalannya adalah,memang, di tengah pembiaran dari pihak atasan seperti itu, kita tidak memiliki budaya pengungkapan kasus dengan memanfaatkan saksi dari dalam (witnesses from within). Susno Duadji yang mengungkap kasus Gayus ini pun baru “berteriak” setelah di-non job-kan sehingga terkesan “sedang sakit hati saja”. Sementara para aparat pemerintah lain, selain menikmati, juga terus merasa takut akan kehilangan jabatan seperti akan terancam dikenai sanksi administrasi.

Atau, kalau ada aparat yang memiliki derajat integritas yang tinggi serta berkeinginan untuk membongkar kasus, biasanya ia t e r l eb i h dahulu diisolasi atau dimatikan karakternya. Apalagi memang kalau yang bersangkutan harus “kerja sendiri” dengan sumber daya yang sangat terbatas, lamakelamaan akan mengalami rasa bosan dan kemudian berhenti untuk bersikap kritis.

Ketiga, kasus Gayus membuktikan gagalnya asumsi bahwa pemberian gaji yang tinggi akan secara efektif meniadakan korupsi. Sebab Kemenkeu (ditambah beberapa instansi lain) sejak 2007 lalu sudah menerapkan sistem remunerasi sebagai bagian dari pilot project reformasi birokrasi dengan menerapkan sistem kinerja bagi aparatnya.

Namun, ternyata, praktik kotor di lingkup internal justru terus berlangsung yang sekaligus merupakan bagian dari bukti kegagalan Menteri Sri Mulyani Indrawati dalam mengendalikan aparat di lingkup internalnya. Yang terjadi adalah bahwa aparat penyelenggara negara justru sudah terjebak dengan orientasi perolehan materi dengan memanfaatkan semua peluang dalam jabatan sehingga berapa pun remunerasi dari negara yang diberikan kepada mereka pasti akan selalu dirasa kurang.

Mereka yang telanjur berpola hidup konsumtif mengikuti tren produk kapitalisme niscaya tak bisa bertahan dengan pendapatan resmi dari instansi tempat kerjanya.Dalam kondisi seperti inilah akan sulit mengharapkan idealisme dari kalangan aparat negara, termasuk di dalamnya para penegak hukum.Apalagi terbuka setiap kesempatan untuk menyalahgunakan jabatan secara berjamaah. Begitulah perilaku aparat negara di “republik mafia”.(*)

Laode Ida Sosiolog,
Wakil Ketua DPD RI,
penulis buku Negara Mafia (2010)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/316504/
Share this article :

0 komentar: