BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Obama dan Perjuangan Melawan Rasisme

Obama dan Perjuangan Melawan Rasisme

Written By gusdurian on Sabtu, 31 Januari 2009 | 12.21

Obama dan Perjuangan Melawan Rasisme
Mustofa Liem,
DEWAN PENASIHAT JARINGAN TIONGHOA UNTUK KESETARAAN


“All men are created equal; that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights; that among these are life, liberty, and the pursuit of happiness.”
(Thomas Jefferson).

Obama adalah semacam “brand” global yang punya kedekatan dengan Indonesia. Bukan hanya karena pernah tinggal di negeri ini lalu bersekolah di Menteng. Tapi, seperti sudah diketahui, Obama juga punya adik tiri berdarah Indonesia, yakni Maya Sutoro (saudara seibu, beda ayah). Ikatan darah itu menjadi penghubung abadi antara sosok Obama, Amerika Serikat, dan kita bangsa Indonesia. Tak mengherankan, misalnya, saat Obama menelepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan menyatakan kangen dengan nasi goreng, bakso, dan rambutan, semua media kita serentak memuat beritanya, tak terkecuali koran ini (Koran Tempo, 26 November 2008).

Memang sebelum dan sesudah menang dalam pemilihan presiden AS pada 4 November 2008 dan menjadi Presiden AS ke-44 serta menjadi presiden berkulit hitam pertama, sudah banyak hal ditulis tentang sosok berumur 47 tahun itu. Dari berbagai hal menarik tentang Obama, ada satu kalimat yang ditulis Obama sendiri yang menarik untuk dielaborasi. Dalam buku The Dream from My Father, Obama menulis bahwa hidupnya diwarnai dengan cacian rasialis. Stanley Ann Dunham, ibu Obama yang berkulit putih, dan Barack Hussein, ayahnya yang berkulit hitam, beragama Islam, serta beristri empat, membuat Obama tak bebas dari sentimen ras. Kita sudah membaca bagaimana isu Islam dan warna kulitnya begitu dimainkan kubu Hillary dan McCain dalam upaya menuju Gedung Putih.

Syukurlah, mayoritas warga AS terbukti mau memakai akal sehatnya, sehingga tidak menjadikan isu Islam atau warna kulit Obama sebagai kendala untuk memilihnya sebagai presiden baru AS. Namun, jangan lupa, ada sebagian kecil warga AS yang terus mengungkit-ungkit masalah ras ini. Bukti terbaru menunjukkan bahwa rasisme meningkat sejak Obama terpilih (AFP, 19 November 2008).

Memang sebagian kecil warga kulit putih AS, khususnya pengikut Ku Klux Klan dan Council of Conservative Citizens yang masih mengagungkan superioritas ras kulit putih, merasa negara AS yang dirintis nenek moyang mereka (kaum imigran asal Eropa) sejak 200-300 tahun lalu kini sudah dirampas oleh orang berkulit hitam seperti Obama. Kaum rasis itu juga takut dominasi warga kulit putih AS (kini 52 persen dari 300 juta populasi AS) suatu saat juga akan tergeser oleh warga kulit hitam (Afro-Amerika, 24 persen), keturunan Hispanik (14 persen), dan sisanya (7 persen) yang merupakan keturunan Asia, termasuk Timur Tengah.

Tidak aneh jika spirit “White, Anglo-Saxon, Protestant” (WASP) sebagai identitas nasional AS sekarang justru menguat lagi. Jadi bukan malah berakhir, seperti diungkapkan para analis politik masalah internasional. Dan dalam berbagai segi, bangkitnya spirit WASP berarti mengandung makna diskriminasi. Jadi, walau AS sudah punya presiden berkulit hitam, negeri itu masih belum akan bebas total dari persoalan diskriminasi atau rasisme.

Apalagi, dalam sejarah negeri itu, perjuangan warga kulit hitam agar hak-haknya bisa setara dengan warga kulit putih masih relatif belum begitu lama. Perjuangan itu dipelopori Martin Luther King Jr sejak 1955, tapi baru pada 10 Mei 1963 ada Perjanjian Birmingham, yang melahirkan “Civil Rights Act” pada 1964 yang mengakhiri praktek segregasi atas kaum kulit hitam. Lalu, pada 1965 lahir “Voting Rights Act”, hak bagi warga kulit hitam untuk ikut pemilu. Tragisnya, pada 4 April 1968, Martin Luther King Jr justru tewas ditembak pada tenggorokannya oleh James Earl Ray atas nama kebencian ras. Inilah ironi AS yang dalam deklarasi kemerdekaannya mengutip kalimat Thomas Jefferson bahwa “semua orang diciptakan setara, bahwa mereka dianugerahi oleh sang Pencipta hak pasti yang tak boleh dirampas orang lain, yakni hak akan kehidupan, kebebasan, dan kebahagiaan” (teks aslinya seperti di atas).

Jadi, seperti diprediksi oleh Anthony Giddens dan sudah penulis sebutkan di atas, AS setelah terpilihnya Obama masih akan menghadapi sentimen ras. Tapi, untungnya, regulasi di AS cukup tegas, ada jaminan negara secara tertulis bahwa siapa pun yang melakukan praktek rasisme akan divonis atau dihukum sesuai dengan undang-undang.

Apa yang bisa kita timba di sini? Lewat berbagai regulasi, pemerintah SBY juga punya good will mengakui kesetaraan antarwarga negara. Sebagaimana “Civil Rights Act” di AS, UU Kewarganegaraan No. 12/2006 yang disahkan oleh Presiden SBY pada 1 Agustus 2006 juga menjamin kesetaraan setiap warga negara, termasuk keturunan Tionghoa yang lahir di negeri ini sebagai WNI. Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis juga baru disahkan oleh DPR akhir Oktober lalu.

Namun, perjuangan menghapus diskriminasi, rasisme, serta segala bentuk kebencian rasial lainnya di negeri ini belum berarti sudah selesai. Ini perjuangan panjang dan berliku. Yang penting, regulasi kita harus tegas menghukum siapa pun yang melakukan praktek diskriminasi atau rasisme. Jadi, baik Obama maupun kita di sini sama-sama punya panggilan mulia mewujudkan kesetaraan dan mengakhiri segala bentuk diskriminasi atau rasisme yang melecehkan keluhuran martabat manusia.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/28/Opini/krn.20090128.155041.id.html
Share this article :

0 komentar: