BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Hak-hak Wanita di atas Kertas versus Praktiknya

Hak-hak Wanita di atas Kertas versus Praktiknya

Written By gusdurian on Sabtu, 06 Desember 2008 | 10.21

Hak-hak Wanita di atas Kertas versus PraktiknyaSaba Jamal

Islamabad – Dalam tahun-tahun belakangan ini, pemerintah Pakistan tampak telah membuat langkah untuk melindungi hak-hak wanita. Melalui Pasal 25 Konstitusi, juga adopsi Konvensi Eliminasi Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) PBB 1996, pemerintah Pakistan telah menjanjikan para wanita negara itu makanan, jaminan sosial, perumahan, pendidikan, standar kehidupan yang memadai, serta kesehatan. Tapi komitmen kebijakan ini jarang diterjemahkan ke dalam praktik, dan gagal mengubah kehidupan banyak wanita Pakistan.Sebaliknya, para wanita ini terus menghadapi rintangan yang luar biasa. Konsekuensi yang paling merusak dari ketidak-majuan dalam setiap masyarakat adalah angka kematian yang tinggi, dan Pakistan memiliki angka kematian bayi dan ibu yang lebih tinggi dari banyak negara berkembang di Asia dan Afrika. Angka kematian ibu yang bisa dicegah adalah gejala ketidakadilan sosial yang lebih luas dari diskriminasi terhadap wanita dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi wanita.
Wanita di Pakistan merupakan korban dari beberapa kejahatan terkeji yang bisa dibayangkan, termasuk penyiraman asam dan pembunuhan untuk kehormatan. Misalnya, di beberapa desa di Pakistan, jika seorang wanita berusaha menikah dengan keinginan sendiri dia dikatakan telah membawa aib kepada keluarganya dan dia bisa dibunuh. Tak ada pertanyaan dilontarkan, meskipun ada hukum yang melarang praktik ini. Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan dan sejumlah LSM telah berjuang untuk hak-hak wanita selama beberapa waktu. Dana Populasi PBB memperkirakan bahwa jumlah total korban pembunuhan untuk kehormatan di seluruh dunia per tahunnya mencapai 5000 wanita, meskipun tak ada angka resmi yang tersedia di Pakistan tentang kekerapan praktik ini. Pakistan baru-baru ini menerapkan hukum untuk memerangi kekerasan domestik, seperti Undang-Undang Perlindungan Wanita 2006 (Amandemen Hukum Kriminal), tapi undang-undang ini hanya berbuat sedikit untuk membawa para pelaku ke pengadilan. Naheeda Mehboob Illahi, wakil pengacara umum dan pakar dalam hukum keluarga yang baru-baru ini dipromosikan sebagai hakim Pengadilan Tinggi, mengakui bahwa hukum tidak diterapkan dalam semangat yang sebenarnya, itulah sebabnya dalam banyak kasus motif tidak dibangun dan pembunuhan dianggap “kecelakaan”.Sementara pembunuhan untuk kehormatan menarik lebih banyak perhatian di media, budaya sosial lain juga sangat mengganggu bagi wanita. Pait likkhi, yang secara harfiah berarti “tertulis di perut”, adalah salah satu budaya di mana seorang gadis dan jejaka ditunangkan sebelum mereka lahir atau sejak masih kanak-kanak. Hukum Islam, sebaliknya, menyatakan bahwa seorang suami harus mampu menafkahi istrinya dan bahwa keduanya harus menyetujui pernikahan itu tanpa paksaan.Meskipun pada 1929, di bawah pendudukan India Inggris, Undang-Undang Pengendalian Pernikahan Anak-Anak di Bawah Umur dikeluarkan, yang melarang pernikahan anak-anak di bawah umur, budaya kesukuan dan tradisi masih tetap berlaku dan pemerintah seringkali mengabaikan hukum ini karena para tuan tanah feodal yang berpengaruh terlibat dalam praktiknya.
Swara dan Vani adalah juga tipe-tipe pernikahan anak-anak di mana perempuan-perempuan muda dipaksa menikahi anggota klan yang berbeda untuk menyelesaikan permusuhan. Baru-baru ini, pengadilan Pakistan mulai serius menangani praktik ilegal ini dan telah berupaya untuk bertindak menentang keberlanjutannya. Tapi lagi-lagi, mereka yang terlibat cenderung berkuasa baik secara sosial maupun politik. Watta satta menciptakan masalah yang serupa. Pada saat pernikahan, kedua keluarga bertukar pengantin wanita. Agar seorang ayah dapat menikahkan putranya, dia juga harus memiliki seorang putri untuk dinikahkan dengan anggota keluarga calon mempelai wanita. Dalam praktik ini, wanita diperlakukan sebagai komoditas yang bisa dijual ketimbang sebagai manusia. Praktik-praktik seperti ini harus dihentikan. Pertanyaannya adalah kapan dan bagaimana. Ada dua solusi terhadap rintangan yang dihadapi wanita di Pakistan, dan itu harus berasal dari mereka yang memiliki kekuasaan dan dari wanita sendiri. Pertama, para pembuat kebijakan harus bangkit dan mengakui kenyataan yang dihadapi para wanita Pakistan dan mengambil langkah-langkah keras untuk mencegah ketidakadilan ini muncul. Kedua, mereka harus memastikan adanya hukum yang diterapkan secara sepenuhnya dan semestinya.Lebih jauh, akses ke semua tingkat pendidikan amat penting untuk memberdayakan wanita agar berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi, sosial dan politik dari masyarakat mereka. Pemerintah harus berkonsentrasi khusus terutama tentang pendidikan wanita.Pendidikan adalah faktor kunci dalam kesejahteraan dan perkembangan negara manapun. Ini membuka potensi wanita, dan disertai dengan peningkatan dalam kesehatan, nutrisi dan kesejahteraan keluarga mereka, juga masa depan yang lebih cerah dan menjanjikan bagi generasi mendatang.
###* Saba Jamal (sabajamal@yahoo.com) adalah seorang pembuat film, analis sosio-politik, dan pemandu sebuah acara bincang-bincang. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 5 Desember 2008, www.commongroundnews.orgTelah memperoleh hak cipta.
Share this article :

0 komentar: