RMOL.Kalangan DPR sibuk memilih jalur politik atau hukum untuk menyelesaikan kasus Bank Century yang diduga melibatkan Wapres Boediono.
Tapi bagi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, kalangan DPR tidak perlu meributkan hal itu. Penanganannya bisa dilakukan pararel, yakni secara politik dan secara hukum.
“KPK dan DPR bisa bersamaan menggarap kasus Bank Century terkait dugaan keterlibatan Wapres. Ini artinya,’DPR bisa melakukan penyelidikan dan hasilnya dibawa ke MK,’’ kata Mahfud MD kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Bekas Menteri Pertahanan itu menegaskan, KPK bisa memeriksa dugaan pidana yang dilakukan Wapres Boediono.
“KPK itu berhak periksa siapa saja, termasuk presiden dan wapres serta pejabat lainnya,’’ ujarnya.
Menurut Mahfud, kasus Bank Century bisa berjalan paralel antara DPR dan KPK. Karena jalur, tujuan, dan produknya berbeda. Yakni, proses hukum tata negara dan satu lagi proses hukum pidana.
Berikut kutipan selengkapnya:
Apa mungkin dilakukan bersamaan?
Itu mungkin saja. Tapi itu terserah DPR dan KPK. Yang jelas, peradilan pidana produknya adalah vonis dengan pembuktian menurut hukum acara pidana yang isi vonisnya bisa menghukum penjara atau membebaskan.
Selain itu, tidak dibatasi waktu, bisa berlangsung lama. Buktinya, kasus Century ini penyidikannya saja tidak kelar-kelar. Ini berbeda dengan peradilan di MK.
Di mana bedanya?
Peradilan di MK itu produknya membenarkan atau tidak membenarkan pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden melanggar hukum tertentu.
Misalnya, korupsi atau penyuapan. MK itu mengadili dakwaan atau impeachment DPR yang lebih politis.
Produknya bukan hukuman melainkan konfirmasi atas pendapat DPR. MK tidak menghukum, sebab hukuman dalam impeachment berupa hukuman politik yang dijatuhkan oleh MPR.
Bagaimana dengan batas waktu peradilan?
Peradilan impeachment di MK itu dibatasi harus selesai 90 hari. Sedangkan di peradilan pidana, waktunya tidak terbatas.
Kalau begitu MK dulu yang memutus baru peradilan pidana?
Tidak begitu juga. Kalau saling menunggu begitu, bisa kacau. Misalnya, MK menyatakan benar presiden atau wapres bersalah seperti dakwaan DPR. Tetapi MK kan tidak menentukan hukuman. Pengadilan tetap harus bersidang lagi untuk menentukan hukuman pidananya.
Bukankah di Amerika Serikat tidak melakukan seperti itu?
Betul. Di sana kalau presiden sudah diadili dengan impeachment, peradilan pidananya ditiadakan dengan alasan ne bis in idem.
Tetapi di Indonesia itu kan tidak pernah disetujui seperti itu.
Dulu sudah diperdebatkan di MPR sampai habis-habisan. Tapi tidak mengambil keputusan tegas seperti Amerika Serikat.
Makanya ada perbedaan penafsiran dan itu sah saja. Bahkan perbedaan itu terjadi di kalangan anggota MPR yang ikut membuat UUD 1945. Yang jelas, kita sudah punya pengalaman bahwa keduanya berjalan paralel.
Pengalaman yang mana?
Lho, dulu Presiden Gus Dur diperiksa secara pidana dalam kasus Bulog dan Brunei dan tidak terbukti bersalah oleh Kajaksaan Agung. Tapi, impeachment terus jalan sampai memorandum II. Proses pidana dan hukum tata negaranya berjalan sendiri-sendiri. Ini artinya, Gus Dur dulu dilakukan pararel, sekarang juga bisa seperti itu.
Melihat DPR mayoritas pendukung pemerintah, apa mungkin ada proses politik itu?
Saya tidak percaya akan ada impeachment dalam kasus ini. Itu impossible. Sebab, untuk mengeluarkan pernyataan pendapat bagi keperluan impeachment DPR harus dihadiri oleh 2/3 dari seluruh anggota DPR dan 2/3 dari yang hadir itu harus setuju mengeluarkan pernyataan pendapat itu. Nah, kalau dalam sidang itu, Partai Demokrat dan koalisinya tidak mau hadir sidang, maka pernyataan pendapat tidak bisa dibuat.
Misalnya saja, Partai Demokrat, PAN, dan PKB tidak hadir dalam sidang, maka proses impeachment tidak akan bisa terjadi. Sangat mustahil akan ada impeachment.
Solusinya bagaimana?
KPK terus terang saja. Apakah ada tersangka lain dalam kasus itu atau bagaimana. Kalau ada, ya tetap saja. Tapi kalau tidak ada, ya bilang bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk menambah tersangka lagi.
Tapi kalau ada bukti untuk menambah tersangka, ya kerjakan proses hukum itu dengan cepat. Tidak perlu takut. Kasus ini sangat membosankan. Makanya perlu dituntaskan. [Harian Rakyat Merdeka]
http://www.rmol.co/read/2012/11/26/86904/Mahfud-MD:-Di-Amerika,-Peradilan-Pidana-Ditiadakan-Jika-Diimpeachment-
Latest Post
Di Amerika, Peradilan Pidana Ditiadakan Jika Diimpeachment
Written By gusdurian on Kamis, 29 November 2012 | 11.54
Kenapa Takut Tuntaskan Skandal Century
Kenapa Takut Tuntaskan Skandal Century
Bambang Soesatyo Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
Kalau rakyat yang ditanya, bukan jawaban yang diperoleh, melainkan pertanyaan balik; kenapa harus takut menuntaskan kasus Century?"
MENGAPA harus takut menyelesaikan persoalan? Hak menyatakan pendapat atas skandal Bank Century yang diwacanakan DPR belakangan ini dilandasi semangat menyelesaikan persoalan. Implikasi politiknya memang tak terhindarkan.
Mengapa juga harus takut dengan implikasi politik dari hak menyatakan pendapat? Itulah risiko yang harus ditanggung bangsa ini, jika ada kemauan politik yang sungguhsungguh untuk menyelesaikan hingga tuntas skandal Bank Century. Mengambangkan penyelesaian hukum dan penyelesaian politik skandal Bank Century merefleksikan sikap pengecut. Kalau pengecut, jelas Anda tidak layak memangku jabatan-jabatan strategis untuk mengelola kepentingan negara dan kepentingan rakyat.
Tentu akan lebih buruk lagi kalau motif mengambangkan penyelesaian skandal Century adalah menyembunyikan pelanggaran hukum yang diduga dilakukan elite penguasa. Itu kebiasaan buruk yang coba diulang-ulang.
Kalau kebiasaan buruk itu tidak dihentikan, perjalanan sejarah bangsa memasuki
dekade-dekade selanjutnya akan sarat dengan dosa sejarah karena ketakutan generasi saat ini menyelesaikan persoalan.
Ada begitu banyak kasus KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang terjadi pada era sebelumnya tidak pernah ditangani.
Kasus BLBI bahkan nyaris sudah menjadi dosa sejarah karena generasi terkini pun tidak berani menuntaskan kasus itu.
Haruskah nasib skandal Century dibiarkan sama dengan kasus BLBI karena bangsa ini takut menyelesaikan persoalanpersoalan besar? Indonesia tidak boleh terperangkap dalam rasa takut itu. Mewujudkan Indonesia negara hukum menuntut konsistensi. Konsistensi harus dibuktikan dengan kemauan dan keberanian politik yang sungguh-sungguh dalam menyelesaikan hingga tuntas persoalan-persoalan hukum, baik skala besar maupun kecil.
Sebesar atau sekecil apa pun persoalan hukum itu, penyelenggara negara dan pemerintahan harus memastikan tidak ada pertanyaan yang tersisa di benak rakyat dari setiap kasus atau persoalan hukum. Itulah konsistensi yang dibutuhkan untuk mewujudkan Indonesia negara hukum.
Sistem hukum dan sistem politik Amerika Serikat (AS) saat ini sedang menyelesaikan skandal perselingkuhan yang melibatkan mantan Direktur Badan Intelijen AS (CIA), David Petraeus, dan John Allen, jenderal bintang empat yang menjabat Panglima Pasukan AS di Afghanistan. Di Prancis, mantan Presiden Nicolas Sarkozy diajukan ke pengadilan karena dituduh menerima dana sumbangan ilegal untuk kampanye tahun 2007 dari ahli waris industri kosmetika L’Oreal, Liliane Bettencourt.
Sementara itu, di Italia, mantan Perdana Menteri Silvio Berlusconi juga harus dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan menyalahgunakan kekuasaan dan membayar remaja usia 17 tahun untuk melakukan hubungan seksual. Itulah contoh negara yang mencoba konsisten menegakkan keadilan dan contoh konsistensi tentang menempatkan semua orang sama di hadapan hukum. Tidak ada implikasi politik yang luar biasa di tiga negara itu berkat kedewasaan dan kematangan berpolitik.
Pertanyaan kemudian adalah mengapa harus terjadi ketakutan luar biasa manakala muncul desakan agar skandal Bank Century segera dituntaskan, baik melalui mekanisme hukum maupun mekanisme poli
tik? Kalau yang dijaga sematamata stabilitas pemerintahan, berarti aspek keadilan yang dikorbankan. Kalau seperti itu maunya, jangan lagi beranganangan mewujudkan Indonesia negara hukum. Kalau dikhawatirkan pemakzulan Wakil Presiden (Wapres) Boediono akan memakan biaya politik sangat besar, berarti benar bahwa budaya politik kita masih jauh dari tahap dewasa.
Kalaupun harus terjadi pergantian figur wakil presiden, mestinya tidak mahal. Juga tidak harus menimbulkan implikasi politik yang luar biasa. Sebab hanya dibutuhkan kesepakatan sejumlah partai politik anggota koalisi yang mendukung pemerintahan saat ini.
Soal pilihan KPK sudah menemukan fakta tindak pidana korupsi oleh dua pejabat Bank Indonesia (BI) dalam pemberian fasilitas pin jaman jangka pendek (FPJP) untuk eks Bank Century, sehingga merugikan keuangan negara.
Selain itu, kedua pejabat BI itu diduga menyalahgunakan wewenang mereka saat menetapkan status Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemis. Sangat logis juga kalau KPK sampai pada kesimpulan bahwa Gubernur BI waktu itu, Boediono (kini menjabat Wapres RI), juga mengerti dan berperan dalam pemberian FPJP sebesar Rp6,7 triliun pada 2008 itu.
Tim Pengawas (Timwas) Kasus Bank Century DPR tentu saja harus memberi perhatian ekstra ketika KPK menegaskan bahwa Boediono tidak kebal hukum. Dia bisa diperiksa lagi oleh KPK, dan tak tertutup kemungkinan menjadi tersangka jika KPK sudah memeriksa dua pejabat BI yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Mengacu pada progres yang diperlihatkan KPK, sebuah tim kecil yang dibentuk Timwas Bank Century DPR mulai menyusun draf laporan akhir. Laporan itu akan dibahas dalam rapat pleno internal timwas pada awal Desember 2012.
Pleno timwas akan menetapkan sebuah keputusan yang akan dibacakan dalam forum sidang paripurna DPR untuk penutupan masa sidang 2012,
yang dijadwalkan pertengahan Desember 2012.
Bagaimanapun, timwas menggarisbawahi keputusan KPK yang telah meningkatkan penanganan kasus Bank Century ke tahap penyidikan karena telah ditemukannya fakta tindak pidana korupsi, perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, dan unsur kerugian negara. Karena fakta-fakta itu terjadi saat Boediono menjabat Gubernur BI, timwas amat mungkin akan merekomendasikan kepada DPR untuk menggunakan hak menyatakan pendapat. Itu dianggap sangat penting karena hak menyatakan pendapat akan memberi kepastian hukum dan kepastian politik bagi Boediiono.
Timwas sadar betul bahwa agenda hak menyatakan pendapat tak mudah. Bukan pekerjaan ringan untuk bisa mendapatkan dukungan mayoritas di DPR. Sebab pelaksanaan hak menyatakan pendapat harus didukung dua pertiga suara anggota DPR. Publik tahu bahwa di atas kertas, mayoritas anggota DPR adalah pendukung pemerintah. Belum lagi waktu yang diperlukan untuk menunggu pandangan akhir Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk sampai pada penilaian akhir, MK bisa butuh waktu 90 hari.
Kalau menurut MK tidak ditemukan cukup bukti adanya perbuatan melawan hukum, Boediono otomatis bebas. Nama baiknya wajib dipulihkan. Dengan demikian, sejarah akan
mencatat bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono tidak memiliki beban lagi atau tersandera kasus Bank Century. Sebaliknya, jika penilaian MK sejalan dengan temuan BPK dan Pansus DPR, terbuka peluang bagi tokoh-tokoh Partai Demokrat untuk menduduki kursi wapres yang ditinggalkan Boediono. Sebab wewenang untuk mengajukan pengganti Boediono dalam Sidang Istimewa MPR adalah milik Presiden Yudhoyono.
Idealnya, wacana tentang hak menyatakan pendapat dipahami sebagai niat menyelesaikan persoalan hukum yang selama ini menyandera pemerintahan SBY-Boediono. Hak menyatakan pendapat punya implikasi politis memang tak terhindarkan karena menyentuh jabatan politis. Maka implikasi politik dari hak menyatakan harus diterima sebagai konsekuensi logis. Apa yang ditakutkan dari implikasi itu? Pilihannya sebenarnya sangat jelas dan sederhana. Tetap membiarkan pemerintahan ini tersandera plus citra buruk yang harus ditanggung Boediono, atau membebaskan pemerintahan SBY dari kecurigaan dan tuduhan sekaligus memulihkan nama baik Boediono? Siapa yang bisa dan berhak memilih tak perlu disebutkan lagi.
Namun, kalau rakyat yang ditanya, bukan jawaban yang diperoleh, melainkan pertanyaan balik; kenapa harus takut menuntaskan kasus Century?
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/11/27/ArticleHtmls/Kenapa-Takut-Tuntaskan-Skandal-Century-27112012020021.shtml?Mode=1
Mengkritisi politik dinasti
Perbincangan tentang politik dinasti keluarga kembali mencuat ke permukaan. Perbincangan ini tidak hanya menjadi obrolan serius para politisi, pejabat pemerintahan pusat maupun daerah, aktivis partai politik; tetapi juga telah menjadi obrolan warung kopi masyarakat biasa.
Hal ini tidak lepas dari beberapa suksesi politik di daerah yang diramaikan oleh fenomena banyaknya istri, anak, mertua, sanak saudara, yang menjadi kandidat calon bupati,wali kota, atau gubernur. Bahkan di beberapa daerah tertentu, politik dinasti keluarga seakan-akan mendapatkan legitimasi yang kuat dan menjadi inspirasi daerah lain ketika para keluarga incumbent (petahana) berhasil memenangi pertarungan pilkada.
Peneliti senior LSI, Burhanuddin Muhtadi (http://fokus.- news.viva.co.id), mengatakan bahwa kemenangan para keluarga incumbent ini sangat masuk akal.Mereka, kata Burhanudin, unggul karena beberapa alasan. Sah-sah saja semua anggota keluarga terjun dalam dunia politik. Semua warga negara memiliki hak asasi untuk mencalonkan dan dicalonkan.
Semua warga negara dijamin secara hukum dan perundangundangan untuk memilih dan dipilih dalam setiap momentum politik pemilihan umum, baik pemilhan kepala desa, pemilihan kepala daerah,maupun pemilihan presiden. Paling tidak ada beberapa catatan penting yang seyogianya perlu kita pertimbangkan ketika politik dinasti keluarga ini mendominasi dalam berbagai momen suksesi kepemimpinan.
Pertama, mekanisme organisasi kepartaian harus tetap on the track dilakukan,sehingga tidak menimbulkan gejolak internal di kalangan para pengurus dan para kader partai politik ketika akan mengusung kandidat dari tokoh sanak saudaraincumbent. Hal ini sematamata mesti dipahami dalam konteks bagaimana kita konsisten dan berkomitmen dalam melakukan kaderisasi.
Kedua, siapa pun keluarga politik yang mempunyai trah politik keluarga yang mau tampil seyogianya dia adalah kader partai yang dibuktikan dengan keanggotaan dan keaktifannya di dalam membesarkan partai politik. Hal ini semata-mata dipahami agar institusi partai politik yang selama ini kita pahami sebagai institusi pencipta kader pemimpin benarbenar dihormati harkat, martabat, dan marwah politiknya.
Ketiga, bahwa partai politik bukanlah semata-mata "kendaraan rental politik" yang setiap waktu dan setiap saat bisa "direntalkan" atas dasar motif ekonomi-politik.Kita harus merawat partai politik adalah institusi yang sah dalam melahirkan kader-kader kepemimpinan yang mumpuni.
Keempat, kualitas dari trah dinasti politik harus teruji dan tepercaya, sehingga kualitas dan keberhasilan dalam konteks kepemimpinannya akan berakibat positif terhadap perkembangan dan kebesaran partai itu sendiri.Sebaliknya, jika kualitasnya banyak tidak dirasakan manfaatnya bagi rakyat itu sendiri, dipastikan yang terkena dampak negatif dari kualitas negatif kepemimpinannya akan berakibat negatif pula terhadap citra dan kondisi partai politik pengusungnya.
Namun, penting untuk mengevaluasi dan mengeliminasi dampak negatif dari kecenderungan politik dinasti yang memanfaatkan tokoh incumbent hanya semata-mata untuk "menumpang" popularitas. Apalagi jika para sanak saudara yang mencalonkan diri dalam setiap momentum politik lagi-lagi adalah mereka yang tidak pernah menempa diri dan terjun langsung dalam dinamika partai politik.
Padahal, seyogianya para kader-kader pemimpin yang akan kita tawarkan untuk dipilih masyarakat adalah mereka yang telah berjibaku menempa diri dengan aktif di ormas,partai politik atau organisasi profesi, termasuk juga organisasi militer.Dengan "terjun langsung"dalam dinamika berbagai organisasi inilah mental dan skill dalam mengelola organisasi bisa teruji.
Beda halnya jika tokoh yang digadang-gadang sebagai penerus kekuasaan,walaupun masih dari unsur keluarga petahana itu memang memiliki kemampuan, kecakapan,kecerdasan, intelektualitas, kapasitas,kapabilitas, dan keterampilan politik yang mumpuni. Tentu saja partai politik harus "shopping" dan membuat daftar atas dasar kesepakatan internal yang diuji oleh survei pemilih yang valid dan tepercaya.
Menurut hemat penulis, patut kiranya kita apresiasi ketika Kementerian Dalam Negeri kini melakukan terobosan dengan menyusun draf Rancangan Undang-Undang Pemilukada yang di dalamnya berisi mengenai pembatasan politik dinasti keluarga.Pada draf undang-undang yang salah satunya berinti materi tentang pembatasan politik dinasti keluarga dengan mengatur hak politik dan hak asasi untuk dipilih dengan jeda waktu tertentu adalah bisa dipandang melanggar hak asasi manusia.
Karena siapa pun yang terlahir di dunia ini tidak pernah sebelumnya bercita-cita harus terlahir dari keluarga trah politik, keluarga pengusaha,keluarga presiden,ataukeluargalainnya. Manusia terlahir dan terdidik karena sudah given menjadi bagian dari manusia yang terlahir dari pasangan manusia sebelumnya. Artinya soal hak asasi dan hak untuk dipilih pada prinsip keadilan dan kesempatan yang sama tidak bisa harus diatur dalam sebuah undang-undang.
Karena jelas hal ini dapat melanggar hak asasi setiap manusia. Karena itu, untuk mengeliminasi dampak negatif politik dinasti keluarga dalam konteks mencari suplai kader pemimpin, soal ini merupakan pekerjaan rumah bagi partai politik di dalam membenahi soal sistem rekrutmen dan soal kaderisasi kader-kader partai politik. Bisa saja suplai kader salah satunya bersumber dari proses politik dinasti keluarga.
Akan tetapi secara prinsip partai politik harus mempunyai perlakuan yang sama terhadap siapa pun yang direkrut dan dikader di dalam partai tersebut. Bahkan kemudian, menurut penilaian yang dipandang objektif, ada beberapa kader partai yang dipandang kapabel, kredibel, dan pantas dijadikan top leader yang realitasnya ternyata berasal dari trah keluarga dinasti politik,itusoallain.Semuakader harus diperlakukan sama.
Dengan perlakuan yang sama inilah kemudian para kader partai politik baik yang muncul sebagai buah kaderisasi struktural internal partai politik atau hasil "shopping" yang didasari mekanisme peraturan internal partai politik, maka diharapkan tercipta kompetisi yang sehat. Perlakuan dan kesempatan yang sama akan memacu persaingan yang sehat.
Persaingan yang sehat akan memaksa mereka yang maju dalam pilkada untuk lebih kreatif dan produktif di dalam menyiapkan berbagai strategi yang positif untuk memenangi pertarungan. Dengan kreativitas inilah kemudian diharapkan munculnya berbagai gagasan dan solusi konkret yang amat dibutuhkan masyarakat di tengah impitan dan problem-problem ekonomi-sosial- politik yang terjadi saat ini.
Karena, bisa jadi, solusi yang kreatif dan sederhana justru merupakan jawaban yang cukup signifikan di dalam menjawab berbagai problema yang sedang dihadapi bangsa kita saat ini.
SAAN MUSTOPA
Wasekjen Partai Demokrat
Mahasiswa S-3 Ilmu Politik Universitas Indonesia
http://nasional.sindonews.com/read/2012/11/27/18/691835/mengkritisi-politik-dinasti
Teladan Konsistensi Nalar Socrates
Asep Salahudin Dekan IAILM Suryalaya
SEPERTI banyak ditulis dalam traktat filsafat, Socrates ialah seorang filsuf yang pernah menjadi terdakwa dari sebuah dakwaan yang absurd. Itu terjadi di 399 SM. Ia dituduh telah meracuni kaum muda dengan pemikirannya yang liberal, antikemapanan, dan selalu mempertanyakan ihwal yang dianggap kebenaran. Kedua, Socrates dianggap telah melecehkan agama karena menolak melakukan upacara dogmatis terhadap dewa di Yunani, mempersoalkan iman yang telah dikukuhi masyarakat Athena tentang dewa-dewa di Kahyangan sekaligus dituduh menodai kesakralan keyakinan karena mempersoalkan teks agama yang telah baku.
Dua tuduhan itu tentu sangat serius karena dianggap bisa meruntuhkan wibawa status quo baik yang berkaitan dengan wibawa agama ataupun karisma negara. Apabila tidak dihentikan, nalar Socrates bisa menjadi wabah yang meracuni kaum muda dan masyarakat Athena. Itu artinya pada suatu saat akan menjadi energi dahsyat yang bisa merobohkan pranata sosial dan sistem keyakinan yang tertutup.
Socrates bukanlah terdakwa yang cengeng. Dia datang ke majelis pengadilan dengan wajah tengadah karena sejak awal merasa tidak pernah bersalah.
Tidak ada pembela. Yang menjadi penuntutnya simpul dari tiga pilar kekuatan. Pertama Anytus (politikus demokratik di kota itu). Kedua, Meletus (penyair dengan kepandaian mengolah logika dan menangkap makna kata), dan ketiga Lykon (pakar retorika yang kata-katanya bisa meyakinkan khalayak).
Yang terjadi berbeda dengan para terdakwa di negara kita, apalagi terdakwa korupsi yang menjadikan pengadilan sebagai panggung berkelit dan bersilat lidah, menjadi arena untuk mempertontonkan kedunguannya dengan terusmenerus memproduksi dusta dan memperlihatkan penyakit amnesia seperti dalam kasus Hambalang dan Wisma Atlet SEA Games di Palembang.
Socrates tidak. Justru pengadilan dijadikan medan untuk mempertaruhkan kebenaran dan membuktikan prinsip yang diyakininya. Pengadilan pun dalam sekejap jadi ruang ceramah filosofis mencerahkan sang terdakwa yang ditengarai sang Apollo sebagai manusia terpandai dan hadiah para dewa untuk Athena.
Argumen Socrates benarbenar dijangkarkan dalam dialektika nalar yang kukuh, logika yang runtut, dan akal budi yang ajek. Tidak sekadar membantah, tetapi juga sekaligus menawarkan letak kesalahan para penuntutnya. Bukan apologia agar dianggap benar, melainkan spirit logika menunjukkan makna kebenaran yang autentik.
Pembelaan yang dilakukannya bukan sebagai pembenaran, melainkan cermin untuk meneguhkan reputasi kebenaran dan kejujuran yang h harus dijunjung tinggi oleh s siapa pun. Kebenaran dan kejujuran sebagai kebajikan utama dari keseluruhan konstruksi moralitas kebudayaan manusia. Mengingatkan saya pada sabda sang Nabi, “Kejujuran pintu kepada kebenaran dan kebenaran awal dari tergelarnya keadaban publik.“ Dia berdebat dengan tiga prosecutor dengan sangat meyakinkan sekaligus mematahkan selu ruh dakwaan yang sangat tidak berdasar.
Tentu kuasa ber bicara dengan logikanya sendiri. Sejak awal telah dipersiapkan strategi untuk membungkam terdakwa, rekayasa. Ujung kayasa. Ujung cerita dari pengadilan itu dapat d i t e r k a ke mana muaranya. nya.
Socrates sadar bahwa ia tengah berbicara dengan `tembok' kekuasaan yang tuli, dan dengan massa yang telah t e r p r o vokasi.
Socrates semakin tersudutkan.
Namun, dia tetap tidak mau berkompromi. Negosiasi untuk mengatur perkara ditampik.
Kesempatan untuk memenga ruhi jaksa dan hakim dengan cara disogok tidak diterimanya.
Ditolak juga tawaran para muridnya yang dapat membantunya kabur ke `luar negeri' dengan cara menyumpal para penjaga.
Socrates lebih terpikat memilih bersama kebenaran dan keyakinannya. Kematian bahkan dianggap sebagai ruang untuk meneruskan renungan renungan filosofisnya. Katanya, “Orang mesti ikhlas menerima kematian. Di seberang kematian ada kehidupan yang lebih indah dan ramah. Setelah mati pertanyaan-pertanyaan filsafat itu akan aku lanjutkan walaupun tidak akan pernah menemukan jawaban.“
Kemudian dia sampaikan juga, “Tidak ada yang harus disesali. Sebuah kematian yang saya hadapi demi menyambut fajar kehidupan yang lebih indah bagi generasi masa de pan, bagi kaum muda yang suatu saat akan larut atu saat akan larut dalam nalar filosofis yang mencerahkan seperti yang kua jarkan! Untuk dicatat bahwa pernah ada manusia yang ti dak mau larut dalam keadaan; menjadi limbo sejarah logika yang kacau, dari massa yang tidak memiliki pendirian kecuali sekadar mengikuti sabda sang raja.“
Socrates sangat bertanggung jawab dengan pilihannya, diambillah salah satu cawan dari tiga cawan yang diserahkannya. Cawan yang dipilihnya tak lain racun. Diteguknya dengan tenang. Tidak berkelit, apalagi mundur. Bukankah sedari awal dia sudah berujar bahwa hukum harus dipatuhi walaupun hakim yang menjatuhkannya keliru.
Penuh pesona Dahsyat. Itulah kesan saya ketika membaca fragmenfragmen kehidupan Socrates.
Itu pula yang kemudian menyebabkan filsuf eksistensial Denmark Soren Keargaard di kemudian hari menahbiskan Socrates sebagai contoh manusia yang telah sampai pada maqom etis. Sosok yang telah berhasil menjadi `manusia' sempurna karena hidupnya berbanding lurus dengan etika, prinsip dasarnya tidak pernah dibarterkan dengan kuasa, benda, dan kepentingan diri. Satu level di bawah manusia religius serupa Ibrahim yang mencapai keutamaan dengan cara `lompatan iman'; seluruh miliknya dipertaruhkan termasuk anak yang dicintainya atas nama Tuhan (kebenaran dengan K besar).
Yang paling rendah tentu, dalam tipologi Keargaard, ialah manusia estetis yang hidupnya berporos untuk menghamba kan diri pada kepentingan sesaat, keserakahan, dan kebendaan.
Socrates sesungguhnya tengah menyampaikan pidato etik yang sangat relevan dalam konteks kebangsaan.
Relevansinya justru ketika hukum dan politik hari ini tidak meresapkan rasa keadilan yang merata. Politik tidak membawa keberkahan bagi khalayak kecuali hanya kegaduhan yang berujung pada uang, transaksi, dan atraksi berebut jabatan dan mencuri anggaran.
Pengadilan menjadi panggung yang dengan sangat sempurna memerankan dramaturgi kejujuran dan kebenaran yang terus mengalami defisit.
Tentu pada saat yang sama ialah surplus arogansi, dusta, dan rekayasa.
Itulah yang menjadi alasan utama mengapa koruptor tidak pernah jera. Korupsi terus menampakkan grafik menaik.
Kasus mafia anggaran, Wisma Atlet, mafia pajak, pengemplangan BUMN, titipan pejabat di setiap kementerian sebagai sapi perah partai, dan lain sebagainya semakin meneguhkan bahwa sesungguhnya kita tengah menerapkan sistem kleptokrasi. Korupsi dilakukan secara berjemaah, sistemis, dan terorganisasi.
Di titik ini rakyat yang tempo hari direpresentasikan Deddy Sugardi dengan geram membacok seorang mantan jaksa korup di Kejaksaan Tinggi Cibinong Bogor, Sistoyo, karena melihat justru pengadilan yang seharusnya menjadi pilar utama tegaknya keadilan malah menjadi bagian dari lembaga korup.
Alhasil, Socrates menjadi sebuah terdakwa yang sangat panas pada masanya. Kita menunggu terdakwa-terdakwa (dan calon terdakwa) dengan tegap mengikuti langkah Socrates. `Meminum racun' untuk membuktikan kebenarannya.
Bukan sekadar pernyataan siap digantung di Monas, sumpah pocong, dan lain sebagainya yang sekadar retorika.
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/11/28/ArticleHtmls/Teladan-Konsistensi-Nalar-Socrates-28112012020018.shtml?Mode=1
Capres pilihan orang pintar
Nama Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, menjadi 'bintang' dalam hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis Rabu (28/11) kemarin. Mahfud mendapat skor tertinggi dari responden survei, para tokoh yang dikategorikan sebagai opinion leader.
Ada lima kategori yang dirangkum dari survei LSI tersebut. Pertama, kategori tokoh yang mampu memimpin negara dan pemerintahan. Kedua, kategori tidak melakukan atau diopinikan melakukan KKN. Ketiga, kategori tidak melakukan atau diopinikan melakukan pelanggaran HAM. Keempat, kategori Jujur, amanah atau bisa dipercaya. Kelima, kategori mampu berdiri di atas semua kelompok atau golongan.
Kecuali untuk kategori pertama yang 'dimenangkan' Jusuf Kalla, empat kategori lainnya diambil Mahfud MD, meski skor dengan tokoh di bawahnya cukup ketat.
Direktur Eksekutif LSI Dodi Ambardi menjelaskan, survei ini merupakan non probability sampling. Artinya, sampel survei telah ditetapkan terlebih dahulu dengan responden terdiri dari 223 opinion leader. Dari jumlah itu, hanya 178 orang yang mau dipublikasikan namanya sebagai responden atau penilai.
Opinion leader yang ditetapkan adalah tokoh-tokoh yang biasa menjadi narasumber di media massa dan berpendidikan S-3 dari latar belakang yang beragam.
Beberapa nama itu adalah Bambang Harrymurti, Fahrul Razi, Franz Magnis Suseno, Ignas Kleden, Iman Sugema, Karni Ilyas, Luhut Binsar Panjaitan, Syafii Maarif, Nono Anwar Makarim, Said Agil Siraj, Saldi Isra, Sri Adiningsih, Subagyo HS, Todung Mulya Lubis dan beberapa tokoh lainnya.
Mereka diwawancarai dan diberikan semacam lembar penilaian dengan nama-nama tokoh di dalamnya yang dianggap layak sebagai capres. Skor yang diberikan menggunakan skala 0-100.
Dodi menambahkan, eksplorasi tokoh-tokoh dilakukan antara Januari-Mei 2012. Sedangkan wawancara dengan opinion leader dilakukan Juni-Oktober. "Namun demikian masing-masing tokoh punya nilai yang cukup beragam dari 5 indikator kualitas personal menjadi presiden," imbuhnya.
Menanggapi hasil survei yang mengunggulkan dirinya, Mahfud yang hadir dalam rilis survei kemarin menyatakan senang dirinya selalu masuk dalam survei berbagai lembaga. Namun dia mengatakan, senang bukan berarti dia ingin mencapreskan dirinya.
Mahfud menyatakan tahu diri. "Saya tahu diri, karena harus punya partai dan uang. Mungkin dua itu bisa dinego, tapi idealisme tidak bisa dinego," tukas mantan politikus PKB ini.
Hingga kini, Mahfud menegaskan, belum berani mengatakan iya atau tidak soal pencalonan. "Pada saatnya, saya akan katakan iya atau tidak," kata Mahfud.
"Pada akhirnya, rakyat yang menentukan," ujar Mahfud.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indobarometer Muhammad Qodari yang dihubungi merdeka.com secara terpisah menilai, metode survei dengan non probability sampling memang jarang digunakan. Metode ini memang digunakan untuk kepentingan tertentu.
"Survei seperti ini memang bermaksud mencari gambaran dari kalangan masyarakat tertentu. Ini semacam pandangan elit terhadap sejumlah tokoh-tokoh yang ada yang layak menjadi capres. Tentu saja hasilnya berbeda dengan survei terhadap responden yang merupakan voters dengan metode random sampling," papar Qodari.
Dia menambahkan, tidak ada masalah dengan metode survei seperti ini, karena hasil survei tersebut merupakan pandangan masing-masing opinion leader terhadap tokoh-tokoh yang dianggap layak menjadi capres.
Soal munculnya nama Mahfud MD di urutan teratas, Qodari mengatakan justru hal ini merupakan temuan yang menarik. Jika membandingkan dengan survei konvensional lain, nama Mahfud belum pernah unggul.
"Kalau pakai kriteria lain, mungkin saja yang muncul tokoh lain, bukan Pak Mahfud. Survei ini menawarkan nama-nama yang di luar nama capres yang sudah ada, membuka ruang alternatif bagi pemilih. Saya kira ini bagus," tutupnya.
http://www.merdeka.com/politik/mahfud-md-capres-pilihan-orang-pintar.html
Sekongkol Mabes Polri dan DPR Senayan
Pekan lalu kita menyaksikan adegan-adegan baru yang mulai lagi memojokkan KPK. Dengan dalih melakukan pengawasan, Komisi III DPR memanggil sejumlah mantan penyidik dan mantan penuntut KPK dari kepolisian dan kejaksaan.
Beberapa jaksa dan polisi menyampaikan pengalaman dan catatannya atas proses penelitian, penyidikan dan penututan di KPK. Namun keterangan mereka tidak memuaskan Komisi III DPR. Maklum, mereka bertugas pada zaman Antasari Azhar, padahal DPR ingin mengetahui situasi kekinian.
Maka, awal pekan ini, Komisi III memanggil mantan penyidik yang baru saja meninggalkan tugas di KPK, baik karena masa kerja telah habis, atau karena mendapat panggilan kembali ke markas oleh Mabes Polri. Mereka itulah yang lebih mengetahui situasi kekinian KPK.
Selanjutnya, seperti kita ikuti melalui media massa, sekeluar dari ruangan rapat Komisi III, para mantan penyidik KPK itu langsung mengeluarkan pernyataan.
Para wartawan yang meliput pun terkesima. Biasanya keluar dari rapat tertutup, peserta rapat selalu bungkam. Kali ini tidak, begitu alat perekam disodorkan dan kamera di-on-kan, para penyidik langsung menyerocos, bercerita segala macam hal.
Intinya, mereka menyampaikan informasi negatif atas apa yang dialami selama menjadi penyidik KPK, khususnya selama kepemimpinan Abraham Samad. Banyak hal, mulai dari penyidikan yang tidak sesuai prosedur, intervensi terhadap penyidik, pemaksaan kehendak, keputusan personal jadi keputusan lembaga, dll.
Nyanyian para mantan penyidik KPK itu menjadi sesuatu yang aneh: tidak hanya melanggar kepatutan aparatur, tetapi juga merusak akal sehat masyarakat.
Sejak kapan ada aparat atau mantan aparat leluasa mengungkap ke masyarakat pengalamannya dalam menjalankan tugas? Apalagi ini dilakukan oleh para perwira polisi yang masih aktif?
Padahal, sudah menjadi doktrin: bagi polisi, hirarki dan disiplin adalah kata kunci. Adegan-adegan mempermalukan KPK di Senayan oleh para mantan penyidik KPK, jelas bertentangan dengan hirarki dan disiplin polisi.
Mabes Polri bisa saja berkilah, mereka tidak bisa mencegah undangan Komisi III DPR untuk menghadirkan para mantan penyidik KPK. Tetapi, mengapa mereka dibiarkan bernyanyi di depan kamera televisi? Jika rapat dengan Komisi III berlangsung tertutup, bukankah seharusnya para mantan penyidik juga diam seribu bahasa sekeluarnya dari ruang rapat?
Sudah demikian burukkah etika para perwira polisi itu, sehingga mereka tidak bisa membedakan mana yang bisa diomongkan ke publik, dan mana yang tidak? Bukankah mereka dahulu adalah penyidik-penyidik yang hebat saat bekerja di KPK; mengapa kini, setelah kembali ke Mabes Polri, peringainya berubah buruk?
Hanya orang tidak waras saja yang berani menyatakan, bahwa nyanyian para penyidik KPK itu atas inisiatif para perwira sendiri.
Menurut saya, apa yang terjadi di Senayan itu, bukan saja soal pembiaran Mabes Polri meliarkan para mantan penyidik KPK bernyanyi soal keburukan KPK, tetapi menyangkut pemaknaan hirarki dan disiplin yang salah.
Tegasnya, tanpa perintah petinggi di Mabes Polri, tidak mungkin para penyidik itu bernyanyi sumbang tentang KPK. Sebagai perwira Mabes Polri, mereka hanya menjalankan perintah untuk menyerang KPK.
Perintah itu adalah buah persekongkolan Mabes Polri dengan DPR yang diwakili oleh Komisi III. Mereka adalah sama-sama jadi korban kesungguhan KPK dalam memberantas korupsi. Perlawanan dilakukan dengan memanfaatkan posisi dan fungsi masing-masing.
Dengan dalih pengawasan, yang disertai embel-embel memperbaiki mekanisme internal KPK, Komisi III DPR memanggil para mantan penyidik KPK yang kini kembali bertugas di Mabes Polri. Mabes Polri tentu saja tidak bisa melarang para penyidiknya untuk memenuhi undangan KPK.
Tetapi apalah artinya, membicarakan KPK di ruang tertutup? Maka, dibiarkanlah para mantan penyidik KPK itu bernyanyi di hadapan kamera wartawan.
Dalam persekongkolan ini tampak Mabes Polri semakin buruk rupa, juga para penyidiknya. Sementara Komisi III DPR, sambil kipas-kipas bisa menyatakan, kami menggelar rapat tertutup; kami tidak membocorkan hasil rapat tertutup.
Kejadian ini menunjukkan para jenderal polisi dengan gampang bisa dikerjain politisi Senayan. Namun apapun yang dilakukan dan akan dilakukan oleh para politisi dan jenderal polisi itu, mereka takkan berhasil mengacaukan logika masyarakat.
http://www.merdeka.com/khas/sekongkol-mabes-polri-dan-dpr-senayan-kolom-selasa.html
Mengukur kinerja gubernur baru DKI Jakarta
Harapan besar masyarakat Jakarta tersandar di bahu Jokowi-Ahok. Tangan dingin Jokowi benar-benar dinantikan hasilnya, bukan saja oleh warga Jakarta, tetapi juga oleh seluruh rakyat Indonesia yang merindukan model kepemimpinan merakyat yang mengutamakan kerja dan hasil nyata.
Harapan besar masyarakat Jakarta tersandar di bahu Jokowi-Ahok. Tangan dingin Jokowi benar-benar dinantikan hasilnya, bukan saja oleh warga Jakarta, tetapi juga oleh seluruh rakyat Indonesia yang merindukan model kepemimpinan merakyat yang mengutamakan kerja dan hasil nyata.
Sebenarnya mudah saja bagi warga Jakarta untuk menilai kinerja gubernur mereka yang baru, lihat saja apakah Jakarta dalam 2-3 tahun ke depan akan terbebas dari masalah kemacetan dan banjir, karena kedua hal tersebutlah yang selama ini memang menjadi beban utama warga dan kota Jakarta. Dalam literatur ilmu manajemen, ada banyak metode yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja pemimpin dan organisasi, salah satunya Maclom Baldrige.
Ada satu anekdot yang sangat relevan untuk hal ini "we can not manage what we can not measure"artinya kita tidak dapat mengelola sesuatu yang tidak dapat kita ukur. Metode Malcom Baldrige (MB) pada awalnya (tahun 1987) merupakan penghargaan yang diberikan oleh kongres Amerika Serikat bagi organisasi atau perusahaan yang mempunyai komitmen tinggi dalam mencapai kinerja terbaiknya.
Organisasi atau perusahaan itu kemudian diukur berdasarkan kriteria MB yang disebut Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellent (MBCPE).MB diambil dari nama menteri perdagangan Amerika Serikat periode 1981- 1987. Ada tujuh kriteria yang diukur dalam MBCPE dengan bobot yang telah ditentukan: kepemimpinan (120); perencanaan strategis (85); fokus pada pelanggan dan pasar (85); pengukuran, analisa dan pengelolaan pengetahuan (90); fokus kepada sumber daya manusia (85); manajemen proses (85); dan hasil (450).
Total poin seluruhnya 1.000, yang terbesar adalah hasil, yaitu 450 poin dan yang kedua kepemimpinan 120 poin. Kita akan kupas masingmasing kriteria untuk menilai Pemerintahan DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi.
Pertama, kepemimpinan (120). Pada kriteria ini diukur bagaimana model kepemimpinan Jokowi, model komunikasi dan efektivitasnya, kepekaan terhadap kinerja organisasi, tanggung jawab publik, serta perilaku dan etika.Jika kita menilai, Jokowi tentu mempunyai nilai tinggi pada poin ini, paling tidak sampai dengan saat ini. Seharusnya Jokowi dapat mempertahankan model kepemimpinan dan gaya komunikasinya selama ini,untuk mencapai hasil yang maksimal nantinya.
Kedua, perencanaan strategis (85). Dalam perencanaan strategis akan dinilai efektivitas pemimpin dalam menurunkan semua target dan tujuan yang hendak dicapai ke dalam suatu perencanaan program kerja dengan memperhitungkan segala kekuatan dan kelemahan organisasi, menentukan skala prioritas, membuat tahapan program, serta mencari cara terbaik agar suatu program dapat dilaksanakan.
Ketiga,fokus pada pelanggan (85).Hal yang dimaksud dengan pelanggan di sini tentu warga Jakarta dan siapa pun yang berada di Jakarta.Di sini dinilai kepekaan pemimpin dan organisasi dalam menerjemahkan semua harapan dan keinginan warga kota ke dalam program kerja yang dilaksanakan. Semua janji kampanye Jokowi selama ini telah mencerminkan kepekaan beliau terhadap keinginan dan harapan masyarakat, tinggal bagaimana konsistensi Jokowi dalam mengonversi janji kampanye ke dalam program kerja.
Keempat, pengukuran analisa dan pengelolaan informasi/ pengetahuan (90). Dalam kriteria ini kita akan dilihat bagaimana Jokowi mampu membuat sistem pengukuran terhadap program-program kerja yang dijalankan untuk menilai kinerja aparat di dalam organisasinya. Misalnya, dalam program pilot proyek pembangunan transportasi publik harus sudah ada: pilihan model transportasi publik; pilihan jalur pilot project; potensi daya angkut dan tingkat kemacetan yang dapat dikurangi di jalur tersebut; bagaimana cara melaksanakannya; dan seterusnya.
Kelima, fokus pada sumber daya manusia (85).Aspek sumber daya manusia (SDM) harus menjadi perhatian juga. Bagaimana Jokowi bisa memahami kekuatan SDM yang tersedia untuk semaksimal mungkin mendukung semua target dan program kerja yang telah dicanangkan. Pemilihan orang yang tepat pada posisi yang tepat amat menentukan dalam proses ini.Pelaksanaan program kerja untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan SDM yang tersedia juga menjadi ukuran keberhasilan dari kriteria ini--bukan saja teknis, tetapi juga non-teknis, yang terkait dengan moral,perilaku,dan disiplin pegawai.Pembentukan lingkungan dan suasana yang kondusif di kalangan SDM serta keselarasan visi dan misi pemimpin dengan seluruh jajaran SDM dalam organisasi menjadi ukuran yang sangat penting.
Keenam, pengelolaan proses (85).Peningkatan efisiensi pada semua proses baik proses di dalam organisasi maupun proses keluar organisasi berupa pelayanan publik menjadi fokus pada aspek ini. Peningkatan tersebut bisa diukur dari kecepatan maupun kemudahan dalam menjalankannya. Pemotongan proses dan birokrasi yang tidak penting harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja di area ini. Demikian juga proses untuk melaksanakan suatu program atau proyek, semua harus dibuat lebih cepat transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika dilihat dari pengalaman sebelumnya, ketika menjadi wali kota Solo,Jokowi telah berhasil melakukan terobosanterobosan di area ini, sehingga berbagai macam proses pelayanan publik di Solo berhasil ditingkatkan menjadi lebih singkat, mudah, dan transparan.
Ketujuh,hasil yang diperoleh (450). Hasil yang diperoleh memiliki bobot tertinggi pada MBCPE, ini menunjukkan bahwa MBCPE memang berorientasi kepada hasil.Namun, kriteria MBCPE ini juga menyiratkan pesan bahwa hasil ini tidak mungkin tercapai jika pemimpin suatu organisasi tidak menjalankan keenam kriteria lain yang berkontribusi sebesar 55 persen dari keseluruhan bobot penilaian. Dengan lain perkataan, jika seorang pemimpin organisasi menjalankan keenam kriteria tersebut, maka tingkat keberhasilan sudah mencapai 55 persen.
Untuk kasus Jokowi-Ahok ini hasil akhir yang harus dicapai misalnya terbebasnya Jakarta dari masalah kemacetan dan banjir, maka hasil akhir inilah yang akan memberikan bobot terbesar bagi tinggi atau rendahnya kinerja pemerintahan DKI Jakarta di bawah kepemimpinan mereka.
Beberapa kriteria seperti yang tercantum dalam indeks MBCPE juga sudah terlihat pada gaya kepemimpinan Jokowi dan kita sebagai warga yang baik juga dapat memantau apakah dia menjalankan semua kriteria MBCPE tersebut secara konsisten dan benar. Jika dilaksanakan, maka keberhasilan Jokowi untuk membawa Jakarta pada keadaan yang lebih baik tinggal menunggu waktu saja.
Handi Sapta Mukti
Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan, Mahasiswa Program Pasca Sarjana, Magister Manajemen PPM-Jakarta
http://nasional.sindonews.com/read/2012/11/29/18/692632/mengukur-kinerja-gubernur-baru-dki-jakarta
Bank Century dan Utang Politik KPK
Oleh Indriyanto Seno Adji
Komisi Pemberantasan Korupsi seolah melepas duri dari lembaganya.
Pertemuan Tim Pengawas DPR dengan KPK menjelaskan perkembangan penyelidikan kasus Bank Century, terutama sejauh mana penelusuran bukti- bukti yang akan ditingkatkan ke proses penyidikan.
Hasil analisis, memang ada peningkatan proses ke penyidikan. Bahkan dari hasil progress report, KPK membidik dua mantan Deputi Gubernur BI, Budi Mulya dan Siti Fadjrijah, sebagai tersangka.
Keduanya diduga bertanggung jawab atas kebijakan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Century. Kasus Century adalah perkara yang memiliki keistimewaan karena penyelidikannya paling lama dan mendapat ”perlakuan khusus” DPR. Century mengalami krisis keuangan internal yang membuat negara melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan melibatkan Gubernur BI dan Menteri Keuangan, mengucurkan dana talangan hampir Rp 6,7 triliun.
Penyelamatan Century sebagai bank gagal yang dianggap berpotensi berdampak sistemik ini menimbulkan kontroversi. Karena diduga terjadi penyimpangan, DPR meminta KPK memeriksa dugaan penyimpangan itu.
Adakah penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum dalam proses penetapan kebijakan pemberian FPJP ini, dalam konteks Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi?
Kepentingan politik
Perlu catatan analisis terhadap kemajuan KPK dengan meningkatkan status kasus Century ke penyidikan. Pertama, muncul kesan di masyarakat bahwa peningkatan status kasus Century, dari penyelidikan ke penyidikan oleh KPK ini adalah karena
adanya tekanan politik dari kalangan politisi DPR yang multifraksi terhadap KPK, yang dilatari kepentingan politik terkait kekuatan salah satu partai berkuasa. Jadi, bukan semata penegakan hukum murni atau untuk kepentingan pemulihan kinerja Century.
Peningkatan status kasus Century ke proses penyidikan ini dianggap sebagai penyelesaian politik atas menggantungnya kasus Century. Asumsinya, seolah penanganan kasus Century merupakan tekanan politik DPR pada KPK.
Menuntaskan kasus Century pada akhir 2012 sendiri merupakan janji politik KPK ke DPR dan publik. Ada indikasi politisasi hukum atau tarik-menarik antara penegakan hukum dan kepentingan politik di sini.
Kriminalisasi kebijakan?
Pemberian dana talangan kepada Century merupakan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang dibentuk berdasarkan Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan yang menetapkan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Eksistensi KKSK sendiri jadi polemik tersendiri karena Perppu JPSK ditolak DPR pada 18 Desember 2008. Kebijakan pemberian dana talangan dalam bentuk FPJP ini merupakan keputusan KKSK secara kolegial bukan BI semata.
Kedua, kebijakan dana talangan dalam bentuk FPJP merupakan tindakan aparatur negara berdasarkan kebijakan negara atau staat beleid yang tak dapat dinilai oleh disiplin ilmu hukum pidana karena staat beleid atau aparatur pelaksananya (overheidsbeleid) merupakan ranah hukum administrasi negara, terlepas dari ada tidaknya kebenaran substansi atas kebijakan itu.
Kebijakan itu dikeluarkan dalam kondisi mendesak, urgen, darurat, bahkan instan sehingga umumnya secara substansial tak sesuai, bahkan bertentangan dengan peraturan tertulis. Karena itu, kebijakan abnormal ini tidak dapat dinilai atau diukur dengan produk regulasi dalam keadaan normal, baik terhadap unsur penyalahgunaan wewenang maupun tindakan melawan hukum, termasuk substansi kebijakannya. Perbuatan yang dikategorikan penyalahgunaan wewenang ataupun melawan hukum ini karakter perbuatan dalam ranah hukum administrasi negara, selain hukum pidana.
Karakter perbuatan yang sama di antara kedua disiplin hukum inilah yang kemudian menjadi wilayah abu-abu sebagai kriminalisasi kebijakan.
Sebagai perbandingan, kebijakan dana talangan oleh Federal Reserve dalam peristiwa krisis keuangan AS tahun 2008, yang tetap memberikan imunitas atas intervensi penegak hukum; kecuali intervensi penegak hukum atas penyalahgunaan wewenang atau melawan hukum dari penerima kebijakan, seperti dilakukan Bernard Madoff, yang diperbolehkan.
Terhadap kebijakan itu sendiri harus dihindari intervensi penegak hukum.
Ketiga, terkait perdebatan yang masih berlangsung mengenai kriminalisasi kebijakan dalam kaitan kasus tindak pidana korupsi. Lembaga yudikatif pun memiliki pandangan dan interpretasi berbeda untuk kasus korupsi yang sama dalam kaitan kebijakan yang dapat atau tidak dapat dikriminalisasikan.
Dalam kaitan penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), misalnya,
Putusan Mahkamah Agung yang diketuai oleh Bagir Manan mengakui bahwa BLBI merupakan suatu kebijakan pemerintah, tetapi MA menghukum para mantan Direktur BI akibat kebijakan ini.
Contoh lain, kasus korupsi Akbar Tandjung. Ia telah dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum melalui putusan MA No 572 K/Pid/2003 tanggal 4 Februari 2004 yang menyatakan bahwa kebijakan program pengadaan dan penyaluran sembako yang dijalankannya merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh seorang koordinator/Mensesneg dalam keadaan darurat sesuai kewenangan diskresioner. Putusan MA menegaskan bahwa kebijakan tak dapat dinilai dalam kompetensi hukum pidana.
Diskresioner ini biasa terjadi karena peraturan perundang-undangan tak mengatur kewenangan pemerintahan sama sekali atau peraturan perundang-undangan mengatur suatu norma yang tidak jelas atau samar (vague norm). Selain itu, suatu dikresioner dapat dilakukan aparatur negara dalam keadaan penting, perlu, dan mendesak. Filosofinya tentunya berpijak pada anggapan bahwa mekanisme BI tak dapat berhenti semenit pun karena alasan wewenang tak memiliki suatu landas hukum.
Kebijakan Dewan Gubernur BI sebagai ranah hukum administrasi negara tegas tercantum pada Pasal 45 UU 23/1999 mengenai BI bahwa ”Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan atau pejabat BI tidak dapat dihukum karena mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud UU ini sepanjang dilakukan dengan itikad baik”. Kebijakan tidak termasuk penilaian oleh hukum pidana, yang memfokuskan diri pada soal rechtmatigheid dan bukan doelmatigheid sebagai ranah hukum administrasi negara.
Keempat, andaikata pun nanti kebijakan ditetapkan sebagai perbuatan pidana korupsi, KPK harus secara cermat membuktikan adanya niat jahat (mens rea) atas pelaksanaan actus reus (perbuatan yang mengandung tindak pidana, seperti penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum). Mens rea adalah pembuktian yang tak mudah karena bermakna mengandung faktor subyektif dari pembuat kebijakan saat membuat kebijakan FPJP, yaitu Gubernur BI, Menkeu, LPS (yang tergabung pada KKSK). Rasionalitasnya, KPK harus berasumsi peningkatan ke penyidikan adalah langkah penegakan hukum, bukan pelunasan utang politik KPK ke DPR!
Indriyanto Seno Adji Guru Besar Hukum Pidana/Pengajar Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum FHUI
http://nasional.kompas.com/read/2012/11/29/09491274/Bank.Century.dan.Utang.Politik.KPK?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
Wamendikbud: Jangan Mudah Percaya Survei-survei
JAKARTA, KOMPAS.com - Menanggapi hasil penelitian yang dilakukan oleh firma pendidikan Pearson, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim meminta pada masyarakat agar tidak mudah percaya begitu saja. Pasalnya, banyak bukti yang menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia memiliki standar yang baik.
"Jangan mudah percaya. Sekarang siapa saja bisa membuat survei dengan mengatasnamakan lembaga internasional. Kita lihat buktinya saja sekarang, anak-anak kita banyak yang berprestasi," kata Musliar kepada Kompas.com, Rabu (28/11/2012).
Seperti hari ini, pihaknya baru saja memberikan penghargaan kepada 46 siswa Sekolah Dasar (SD) yang berprestasi di ajang olimpiade matematika dan sains tingkat internasional. Anak-anak ini berhasil menyabet medali emas, perak dan perunggu dalam olimpiade yang digelar di Romania, Hongkong, Taiwan dan India.
Sementara mengenai status dan perlakuan terhadap guru, ia menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah berhenti memberikan apresiasi yang tinggi pada guru. Bahkan guru sudah merupakan sebuah profesi yng diatur jelas dalam UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen.
"Kami selalu memberikan apresiasi lebih pada guru. Guru sudah sebagai profesi saat ini. Gaji guru untuk PNS juga lebih dua kali lipat dibanding PNS lain," ungkap Musliar.
"Jadi sekali lagi, jangan percaya begitu saja pada lembaga survei. Kami terus berbenah untuk menyediakan pendidikan yang baik dan bermutu," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan Firma Pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia berada pada level terendah bersama dengan Meksiko dan Brazil. Hasil penelitian ini didasarkan pada status guru di negara tersebut. Sementara dua negara yang berada pada level tertinggi terkait sistem pendidikan adalah Finlandia dan Korea Selatan.
http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/29/09124469/Wamendikbud.Jangan.Mudah.Percaya.Surveisurvei?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Ktswp
Demokrasi Yes, Parpol No
Written By gusdurian on Senin, 22 Oktober 2012 | 12.50
Beberapa waktu lalu Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI melansir hasil temuan penelitian survei mengenai persepsi masyarakat Indonesia atas demokrasi. Proses survei itu dilakukan sekitar dua pekan dengan melibatkan 1.700 responden dari seluruh Indonesia.
Salah satu temuan penting dari survei LIPI ini adalah sikap positif masyarakat Indonesia terhadap demokrasi. Dari responden yang diwawancarai hanya 2% saja di antara mereka yang beranggapan bahwa sistem demokrasi dengan ide “kedaulatan rakyat”adalah sistem yang buruk. Sekitar 79% responden melihat bahwa sistem pemerintahan demokrasi adalah sistem pemerintahan yang lebih baik dibanding sistem pemerintahan lainnya.
Bahkan 7% di antaranya meyakini bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik. Sejalan dengan pandangan itu,55% responden menyatakan bahwa demokrasi cocok bagi bangsa Indonesia dan hanya 7% saja yang memandangnya tidak sesuai bagi bangsa. Dari sepenggalan temuan hasil survei tersebut dapat dikatakan bahwa daya dukung masyarakat Indonesia terhadap demokrasi cukup memadai.
Kekhawatiran akan masih cukup kuatnya dukungan atas sebentuk pemerintahan yang berkarakter otoriter— sebagaimana yang diasumsikan telah menjangkiti masyarakat karena dianggap telah membawa beberapa capaian positif di masa lalu—melalui survei ini, ternyata tidak terbukti. Meski dari survei ini juga terungkap bahwa sebagian besar responden mengakui ada berbagai titik lemah demokrasi,
seperti cenderung menyulitkan pelaksanaan pembangunan ekonomi dan menciptakan konflik sesama anak bangsa,namun temuan mengindikasikan bahwa mayoritas responden tidak melihat sistem di luar demokrasi sebagai pilihan yang lebih baik dan cocok bagi mereka. Tampaknya pandangan filosof Inggris,Thomas Hobbes, bahwa adanya serba-ketidakpastian politik merupakan legitimasi bagi segera munculnya sebuah negara absolut (Leviathan), kurang relevan dalam kasus masyarakat kita.
Hasil survei LIPI ini justru dapat ditafsirkan sebagai sebuah peringatan akan potensi besar kegagalan bagi siapa pun yang mencoba untuk mengedepankan ide-ide dan prilaku politik otoriter. Selain itu, kekhawatiran bahwa demokrasi dengan asas kedaulatan rakyat akan dipahami, terutama oleh umat Islam, sebagai tantangan atas “kedaulatan Tuhan” (atau hukum Tuhan) jugatidakterdukung olehsurveiini.Sebaliknya survei ini mengindikasikan bahwa cita-cita demokrasi yang mengedepankan asas kedaulatan rakyat dapat diterima oleh sebagian besar warga di negara yang berpenduduk mayoritas bergama Islam ini.
Paradoks
Hal menarik lain dari temuan survei LIPI yang patut diperhatikan adalah adanya tren negatif persepsi masyarakat kita terhadap eksistensi parpol. Survei ini memperlihatkan 41,8% responden menyatakan dengan jelas bahwa kepentingan mereka merasa tidak terwakili oleh partai politik. Hanya 48,3% yang menyatakan kepentingan mereka terwakili oleh partai politik.
Jumlah yang hampir berimbang ini menunjukkan bahwa secara umum masih cukup besar jumlah masyarakat yang merasakan adanya jurang antara kepentingannya dan kepentingan partai. Lebih dari itu, survei ini menunjukkan bahwa hanya sekitar 23% masyarakat yang masih percaya pada parpol. Kondisi ini cukup menyedihkan mengingat keberadaan parpol sebagai sebuah institusi yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat ternyata justru dipandang sebagai “elemen asing yang tidak bisa dipercaya” oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Sikap responden itu memperlihatkan, meski demokrasi secara umum dipandang positif,tidak demikian dengan partai politik.Kepercayaan yang cukup tinggi masyarakat terhadap demokrasi ternyata tidak diikuti oleh kepercayaan atas partai politik. Dalam kaitannya dengan dukungan terhadap demokrasi, kondisi ini jelas merupakan sebuah paradoks.
Hasil survei ini sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan berbagai survei yang telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa lembaga survei atau penelitian, yang mengindikasikan tren rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada partai. Tren semacam ini ternyata tidak khas Indonesia. Di Bangladesh, misalnya,muslim merupakan mayoritas, sistem politik sekuler di sana mempraktikkan demokrasi secara relatif genuine,tapi situasinya hampir mirip juga.
Di negara itu, berdasarkan hasil survei pada 2011 yang dilansir oleh Shompriti Forum dengan judul “Democracy Perception Survei” sekitar 76% responden menyatakan demokrasi adalah sistem politik terbaik, dan 79% menyatakan dukungan terhadap demokrasi.Namun, survei itu juga menunjukkan bahwa hanya sekitar 31% responden yang berpandangan positif terhadap partai politik.
Peringatan terhadap Partai
Sinisme terhadap parpol bisa jadi memang telah makin merasuk dalam berbagai segmen masyarakat. Dari berbagai pengalaman penelitian yang telah penulis lalui ide ini muncul tidak saja di kalangan awam, namun juga kalangan mahasiswa, akademisi, pengusaha hingga birokrat. Ide menghidupkan demokrasi tanpa parpol tak dapat dimungkiri makin berkembang diwacanakan mulai di ruang-ruang kelas perkuliahan hingga percakapan warung kopi.
Tren ini seolah mengisyaratkan bahwa ide demokrasi tanpa partai politik bukan lagi sesuatu yang aneh. Dalam kenyataannya, meski bertolak belakang dengan pandangan kebanyakan ilmuwan politik yang meyakini “kebutuhan alamiah” demokrasi atas partai politik (Linz dan Stephan, 1996), kondisi demokrasi tanpa parpol memang telah dipraktikkan di masa modern saat ini. Kasus di Porto Alegre, Brasil, misalnya,memperlihatkan bahwa ide semacam itu secara substansi bisa berjalan.
Di wilayah yang dulu termasuk daerah paling miskin di Brasil, warga Porto Alegre mengimplementasikan model demokrasi permusyawaratan langsung (deliberative democracy) yang secara sistematis melibatkan secara langsung masyarakat dan menyingkirkan peran partai dalam pembuatan kebijakan. Model ini telah tidak saja terbukti dapat dipraktikkan, namun pula terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan bagi warganya.
Kasus Porto Alegre ini seharusnya menjadi catatan bagi siapa saja bahwa ke depan peran partai politik bukan tidak tak tergantikan, setidaknya pada level pemerintahan lokal. Lepas dari itu,kecenderungan sikap antipartai di antara pendukung demokrasi jelas merupakan cerminan bahwa performance partai politik masih belum meyakinkan di mata masyarakat.Untuk itu jelas diperlukan sebuah upaya besar parpol untukmembalikkansituasi ini.
Salah satunya adalah dengan meningkatkan komitmen dan kualitas kader-kader partai dalam menunjukkan keberpihakan mereka terhadap kepentingan dan aspirasi masyarakat dan mengawal kepentingan itu hingga pada level yang bisa dilakukan oleh sebuah partai. Sudah saatnya karier seorang kader partai lebih banyak ditentukan oleh kiprahnya di masyarakat,bukan semata oleh kecerdikannya meyakinkan kolega di internal partai untuk terus mendukung dan melindunginya. ●
FIRMAN NOOR
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI;
Pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP UI
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/535774/
Gaya Hidup Sihanouk
Senin, 15 Oktober 2012, Norodom Sihanouk,raja legendaris Kamboja, wafat di Beijing pada usia menjelang 90. Dalam wawancara blak-blakan dengan wartawati Italia Oriana Fallaci (Interview with history) Sihanouk mengakui, “Saya memiliki gaya hidup yang luar biasa.
Saya seorang kepala negara yang unik…. Saya senang mobil balap, saya punya sebuah Lancia, sebuah Alfa Romeo, sebuah Mercedez 250 SL. Saya menceburkan diri dalam kegembiraan duniawi. Raja dan presiden negara lain biasanya tidak memimpin orkestra.Saya meniup saksofon dan klarinet. Saya menciptakan lagu dan saya pergi ke daerah-daerah untuk menyanyikannya bersama rakyat.
” Dalam pengasingan di China, Sihanouk masih menggubah lagu. Bahkan sebuah di antaranya, Hiduplah RRC, hiduplah Mao Tse Tung, dinyanyikan di semua sekolah di China. Selain itu, dia juga produser film merangkap sutradara dan pemain utama.Tahun 1968 dia mengadakan Festival Film Internasional Pnom Penh.Pemenangnya memperoleh Apsara Emas.
Secara berturut-turut tahun 1968 dan 1969 Sihanouk yang menjadi pemenangnya. Sihanouk pernah mengatakan bahwa dia adalah perpaduan dari Soekarno dan Nasser. Pangeran yang lahir tahun 1922 (tanggal 31 Oktober pukul 19.00) mengakui bahwa dia adalah seorang playboy. Cinta pertamanya menancap pada penari istana bernama Kanhol.
Hasilnya dua anak: putri Bopha Devi (lahir 1943) dan Pangeran Ranariddh yang lahir setahun kemudian (Ranariddhsekarang pengganti Sihanouk. Dari belasan anak Sihanouk dialah satu-satunya yang berpendidikan tinggi, doktor ilmu hukum dari Universitas Aix-en- Provence, Prancis). Perkawinan ini kurang disenangi oleh istana, karena Kanhol berasal dari keluarga biasa, bahkan ibunya pencandu minuman keras.
Atas desakan keluarga kerajaan, Sihanouk terpaksa menceraikan istrinya.Tahun 1942, Sihanouk menikah dengan “orang dalam” yang masih tergolong tantenya, yakni Sisowath Pongsanmoni. Tujuh anak lahir dari perkawinan ini. Tapi dia belum merasa cukup. “Monogami itu Monoton,” kata Sihanouk. Setelah Nyonya Thach, Sihanouk pun memperistri Sisowath Monikesan, saudara sepupu istrinya.
Anak mereka lahir tahun 1944 bernama Narodipo, dibunuh Khmer merah setelah tahun 1975. Tahun 1955, Sihanouk mengawini saudara sepupunya, Norodom Narleak, yang baru menjadi janda.Hanya 24 jam setelah itu dia pun menikahi Monique Izzi, istrinya yang sekarang. Sebelumnya Norodom Sihanouk juga bermain asmara dengan seorang dara Laos bernama Manivan yang ketika itu masih berusia 12 tahun.
Pekawinan ini(tahun 1949—1952) melahirkan dua putri. Faktor takhayul juga cukup kuat di lingkungan istana. Tatkala Sihanouk dilahirkan pada tahun 1992, dukun istana meramalkan bahwa dia akan mati muda jika tidak dipisahkan dari orang tuanya. Karena itu Sihanouk diasuh oleh buyutnya, Nyonya Chau Khun Pat (73 tahun). Sewaktu Sihanouk akan digulingkan,menurut kepercayaan istana,telah terlihat buaya putih di pinggir Kota Pnom Penh.
Itu pertanda akan terjadi suatu malapetaka.Dan Sihanouk pun setelah dikudeta tidak berani ke Kamboja. Kucing hutan pun dipercayai sebagai pertanda sial. Ketika menikah tahun 1959, putri sulung Sihanouk, Bopha Dewi, menerima kado sebuah kucing hitam yang diawetkan. Bopha cepat-cepat melemparkan kado tersebut, yang sayangnya tidak dibuang keluar istana.Akibatnya, perkawinan itu gagal; telah gonta-ganti kawin-cerai Bopha belum menemukan jodoh yang mantap (gara-gara seekor kucing hitam).
Korupsi Merajalela
Charles Mayer dalam buku Darriere le sourire khmer, menyatakan bahwa selama 15 tahun pemerintahan Sihanouk (1955—1970) praktik korupsi merajalela.Ibu Kota Kamboja, Pnom-Penh, bertambah luas 3 kali sejak tahun 1953 dan menjadi salah satu kota yang teranggun di Asia. Jumlah mobil pribadi selama 20 tahun meningkat 25 kali lipat.
Semua ini, menurut Meyer, bukan berkat boom ekonomi, melainkan karena korupsi yang melahirkan orang kaya baru yang membangun gedung-gedung dan rumah baru. Korupsi sudah menjadi institusi. Seorang pegawai negeri bergaji 5.000 riel bisa mempunyai vila senilai 2 juta riel dan sebuah mobil sedan baru seharga 200.000 riel.
Seorang menteri, jenderal, dan pejabat tinggi yang gaji berkisar 10 sampai 25 ribu riel saja mampu memiliki beberapa rumah mewah serta mobil luks. Tanpa mencoba membasmi sampai ke akar-akarnya, Sihanouk pernah mengangkat seorang jenderal yang terkenal “bersih“, Saukham Koy, sebagai direktur jenderal Bea dan Cukai.
Tapi ini hanya bertahan beberapa bulan. Setelah itu semua pihak di sekeliling Sihanouk meminta supaya jenderal yang jujur itu dicopot.Hal yang sama terjadi terhadap paman Sihanouk yang diangkat menjadi menteri “pembersihan” aparatur negara pada 15 September 1956.Sang Paman yang memiliki integritas tinggi itu langsung mengumumkan untuk melaksanakan operasi “sapu bersih”. Gelombang pertama belasan pejabat tinggi yang korupsi siap untuk diumumkan.
Pada sidang kabinet, dia menyatakan niatnya untuk melaksanakan pengadilan luar biasa dalam kasus pidana korupsi. Terjadi kepanikan di Kamboja. Akhirnya Sihanouk meminta pamannya ini untuk mengundurkan diri. Sebulan kemudian terjadi krisis pemerintahan. Pembersihan memang dilakukan, tapi hanya terbatas kepada koruptor kelas teri,terutama pegawai rendahan. Sihanouk pernah bermukim di Beijing.
Dia diberi sebuah istana yang dilengkapi satu skuadron juru masak kaliber internasional, serta sopir, satpam dan pembantu yang semuanya berjumlah seratus orang. Perjalanannya hilir mudik keliling dunia dibiayai oleh China. Apakah semuanya itu hanya hadiah dari China? Ternyata tidak! China dengan teliti menghitung semua pengeluaran Sihanouk sejak dia hengkang ke Beijing.Semuanya berupa utang tanpa bunga, yang harus dibayar oleh Sihanouk,30 tahun setelah ia kembali memerintah di Kamboja.●
ASVI WARMAN ADAM
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/535777/
People's Law dan Presiden Perangi Koruptor
Jawahir Thontowi Guru Besar dan Direktur CLDS Fakultas Hukum UII
KOMITMEN masya rakat Indonesia ter hadap perang mela wan korupsi tidak akan pernah redup. Kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah menimbulkan pemiskinan masyarakat dan negara secara sistemis. Tidak hanya mentalitas sumber daya manusia yang rusak, sumber daya alam pun turut hancur akibat praktik korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir berdasarkan UU No 30 Tahun 2002, dengan melekat kewenangan dasar yang luar biasa pula. Namun, kewenangan luar biasa KPK tersebut terhadang oleh jajaran institusi lain seperti kepolisian dan kejaksaan.
Gerakan people's law Sejak KPK berdiri, ekspektasi masyarakat begitu besar mengingat institusi kepolisian dan kejaksaan kurang memperoleh kepercayaan.
Hukum rakyat (people's law), wujud kegigihan rakyat dalam perang melawan korupsi, telah mengilhami pernyataan Presiden untuk menolak pelemahan kewenangan KPK. Tak terhindarkan, baik DPR maupun kepolisian dan kejaksaan terkesan menempatkan KPK sebagai musuh bersama.
Tak pelak, ketika para elite politik dan oknum aparat pene gak hukum berkonspirasi hendak melemahkan KPK, people's law serentak menghadangnya tatkala hukum negara (state law) kurang efektif memihak kepentingan masyarakat. Dengan kebebasan berekspresi, masyarakat menyampaikan saran dan nasihat di kantor, kritik dan protes di media massa, dan demonstrasi di jalan-jalan, yang dimobilisasi secara efektif oleh tokoh-tokoh keagamaan, LSM, pimpinan perguruan tinggi, mahasiswa dan alumni, serta budayawan untuk menolak kebijakan politik dan hukum mengebiri kewenangan KPK.
Perlawanan people's law terhadap elite partai politik dan penegak hukum prokoruptor nyaris menimbulkan instabilitas nasional. Presiden segera hadir membuat pernyataan yang berpihak kepada masyarakat dan KPK.
Tidak sedikit cercaan dan hujatan timbul dari para pengacara yang selama ini menjadi pembela koruptor. Intervensi Presiden dipandang sebagai kebijakan bertentangan dengan KUHAP dan sumber hukum positif. Cara pandang para pengacara tersebut disayangkan karena dua hal. Pertama, mereka tidak menyadari bahwa kebijakan Presiden dibuat sebagai solusi yang dibutuhkan untuk tujuan men ciptakan kepastian hukum, mengingat konflik kewenang gan antara KPK dan Polri bel lum diatur secara jelas dengan undang-undang. Kedua, jika pun Presiden melakukan intervensi, pernyataan ter sebut tidak mengganggu kemandirian pengadilan.
Karena itu, pernyataan Presiden menjadi tepat dengan kebutuhan masyarakat.
Moral politik kebijakan presiden Secara teoretis, kebijakan bukan sekadar hak prerogatif presiden, melainkan juga pengadilan. Hal itu acap kali muncul dalam kondisi yang memang diperlukan. Watak peraturan hukum yang tidak sempurna acap kali melahirkan w i l ay a h h u k u m abu-abu (grey area of law). Solusi cepat perlu dibuat agar kepastian hukum segera tercipta.
John Rawls mengajukan tiga syarat yang harus dipenuhi ketika pemerintahan demokratis-konstitusional berhada pan dengan situasi krisis.
Syarat itu ialah kewajiban memenuhi kepentingan dasar warga negara, kesamaan pemihakan atau simpati secara nasional, serta moral politik yang mendorong nilai kebenaran d a n ke a d i l a n (John Rawls, The Law of Peoples, 2000: 23).
Di satu pihak, gerakan people's law sempat mengguncangkan arus perpolitikan Indonesia. Itu tidak mustahil dapat menimbulkan suasana chaos jika kepala negara tidak segera merespons untuk menciptakan kepastian hukum.
Moral politik kebijakan presiden terjadi ketika e sensi kebenaran dan kea dilan terakomodasi dan berkesesuaian dengan kehendak people's law.
Di lain pihak, kebijakan Pre siden Susilo Bambang Yudhoyono, 8 Oktober lalu, ter bilang berani, te gas, dan piawai serta b e r imbas positif terhadap Komisi III DPR. Mengu rungkan niat un tuk mengamende men UU KPK dan menyetujui ang garan biaya gedung KPK merupakan bukti good will DPR. Keberpi hakan Presiden menyatu dengan people's law sekaligus menunaikan kewajiban untuk mengabulkan tuntutan rakyat.
Sebelumnya, gelagat politik DPR untuk memperlemah peran KPK tidak dapat dimungkiri. Ketua DPR RI dan beberapa anggotanya mengusulkan `pembubaran jika KPK tidak mampu menangkap koruptor kelas kakap'. Ketidaksepahaman anggota DPR terhadap KPK dapat dikaitkan dengan fakta.
Dalam kenyataannya, DPR justru akan memangkas kewenangan lembaga superbodi KPK. Pasal-pasal terkait dengan penyelidikan dan penyidikan dikembalikan ke kepolisian.
Penuntutan dikembalikan sebagai kewenangan untuk kejaksaan. Pasal kewenangan penyadapan pun harus mendapatkan izin dari pengadilan.
Sejak instruksi presiden mengabulkan tuntutan people's law, KPK tampak jelas semakin kukuh.
Putusan pengadilan tipikor telah memenjarakan 40 anggota DPR RI dan 8 gubernur.
Hal itu diperparah fakta kebanyakan ruling parties, seperti Golkar, PDIP, dan Demokrat, yang dipenjarakan. Bila instruksi presiden dikeluarkan dan menyatu dengan people's law, sangat masuk akal ketika kekuasaan legislatif sebagai ancaman paling berbahaya.
Ketika Komisi III DPR bermaksud mengubah UU Nomor 30 Tahun 2002 untuk penyempurnaan fungsi KPK, hal itu tidak mudah ditolak.
Kemandirian KPK Dengan people's law dan campur tangan Presiden, ekspektasi masyarakat terhadap KPK semakin tinggi. Kewenangan mereka semakin legitimate karena segala bentuk upaya konspiratif melemahkan KPK telah mendapatkan perlawanan. Saatnya KPK membangun kemandirian. Dukung-men dukung, termasuk campur tangan Presiden, sepertinya cukuplah sudah. Jika tidak, KPK akan terus bersifat kekanak-kanakan.
Dukungan kemandirian KPK semakin terbuka lebar. Sejak Putusan MK No 73/PUUIX /2011 dikeluarkan, tidak ada lagi izin presiden untuk melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah yang bermasalah. Sesuai dengan yurisdiksi masing-masing, kepolisian, kejaksaan, dan KPK dapat melakukan proses hukum secara lebih cepat dan kecenderungan untuk tebang pilih semakin tertutup.
Ekspektasi masyarakat terhadap KPK tampaknya bukan sekadar kewajiban lembaga tersebut merespons secara cepat, tepat, dan berani dalam menuntaskan kasus bailout Bank Century dan kasus Hambalang. Masyarakat juga berjuang agar KPK memperoleh yurisdiksi kewenangan lebih fokus. Dalam upaya mencegah tarik ulur kasus antara polisi dan kejaksaan, perlu menjadi catatan jika KPK ke depan diberi kewenangan penuh mengusut aparat penegak hukum, polisi, jaksa, dan hakim. Kendala struktural dan historis KPK selama ini ialah timbulnya konflik kepentingan di antara institusi penegak hukum. Itu tidak mudah ditengahi meskipun presiden dimungkinkan mengeluarkan kebijakan.
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPK harus benar-benar digunakan KPK untuk membuktikan diri sebagai lembaga superbodi yang mandiri. Keberhasilan people'law dan kebijakan Presiden tidak hanya berdampak bagi pihak Polri, tetapi juga bagi DPR yang telah mendengar aspirasi rakyat, yaitu bersama-sama KPK berperang melawan korupsi
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/10/17/ArticleHtmls/Peoples-Law-dan-Presiden-Perangi-Koruptor-17102012021003.shtml?Mode=1
Anak Tangga Hambalang
Untuk keseskian kalinya kita ingatkan bahwa Century, Hambalang, dan Wisma Atlet ialah barometer keberhasilan KPK pimpinan Abraham Samad.''
PENANGANAN kasus dugaan korupsi proyek sarana olahraga Hambalang, Bogor, Jawa Barat, belum juga beranjak.
Padahal, sejak 20 Juli Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Deddy Kusdinar, sebagai tersangka.
Deddy bukanlah pejabat tinggi di Kemenpora. Dia cuma pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemenpora. Artinya, masih ada pejabat di atasnya. Ada kuasa pengguna anggaran (KPA) yang dijabat sekretaris kementerian. Di atasnya lagi ada pengguna anggaran yang dijabat menteri.
Saat KPK menetapkan Deddy sebagai tersangka, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyebutkan Deddy ha nyalah anak tangga pertama.
KPK berjanji secara bertahap menyusun anak tangga untuk menggapai puncak dalam membongkar kasus Hambalang.
Namun, setelah tiga bulan Deddy menjadi tersangka kasus proyek berbiaya Rp2,4 triliun itu, belum ada penambahan anak tangga. Anak tangga masih saja tunggal, Deddy Kusdinar. Belum ada tanda-tanda segera menyusul anak tangga kedua, ketiga, dan selanjutnya.
Publik tentu saja menunggu kerja KPK berhasil membuat anak-anak tangga Hambalang.
Alasannya inilah salah satu kasus yang bertaburan bintang elite partai penguasa, Partai Demokrat. Nama Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pun bahkan masuk ke pusaran kasus Hambalang.
Siapa pun yang masih memiliki akal sehat tidak akan percaya bahwa Deddy Kusdinar ialah pemain tunggal dalam kasus Hambalang. Begitu berkuasakah Deddy hingga bisa mengubah nilai proyek Hambalang mencapai triliunan rupiah? Dia hanyalah pelaksana yang menjalankan perintah atasannya, sedangkan kebijakan tetap ada di tampuk pimpinan.
“Kalau saya yang mengatur penuntasan anggaran dan segala macam, kenapa tidak diusulkan saja saya menjadi menterinya?“ kata Deddy. Dia benar.
DPR pun tampak risau melihat perkembangan kasus Hambalang. Melalui Panja Hambalang Komisi X DPR, pada Juli, dewan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi atas proyek sport centre Hambalang.
Hasil audit itu bisa menjadi amunisi bagi KPK untuk mengurai kasus Hambalang. Namun, hingga sekarang audit BPK itu pun belum sampai di DPR.
Padahal, Ketua BPK Hadi Poernomo pada awal Oktober (2/10) di Gedung MPR/DPR, Senayan, mengatakan dari hasil audit BPK terlihat bahwa sejak dalam kandungan, proyek Hambalang itu sudah sakit.
Lamanya BPK menyerahkan audit Hambalang ke DPR sungguh merisaukan kita. Kini berkembang spekulasi miring tentang badan tersebut. BPK dituding `main mata' dan menahan hasil audit itu.
Sesungguhnya kita khawatir kasus Hambalang mengalami nasib serupa dengan Century. Untuk kesekian kalinya kita ingatkan bahwa Century, Hambalang, dan Wisma Atlet ialah barometer keberhasilan KPK pimpinan Abraham Samad.
Karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali KPK harus serius menangani ketiga kasus yang sarat dengan aroma politik itu.
Jangan sampai Century, Hambalang, dan kasus Wisma Atlet akhirnya ke laut.
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/10/18/ArticleHtmls/EDITORIAL-Anak-Tangga-Hambalang-18102012001041.shtml?Mode=1
Mengatasi Ekonomi Berbiaya Tinggi
Berly Martawardaya Dosen FE UI dan pengurus Indec
MASUKNYA Indonesia pada kate gori investment grade mendo rong investor global untuk masuk ke negeri ini. Ada banyak kemudahan investasi yang diluncurkan, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa peraturan di atas kertas dan praktik bisa berbeda hasilnya.
Salah satu kendala utama dalam berinvestasi di daerah ialah ekonomi berbiaya tinggi yang sering juga disebut praktik pungli (pungutan liar).
Pada masa Orde Baru korupsi berpusat pada lingkaran elite rezim pemerintah, tetapi di era desentralisasi praktik korupsi ini justru terdesentralisasi dan menyebar ke daerah.
Seperti yang pernah ditulis Media Indonesia (4/10), nyata-nyata bahwa praktik ekonomi biaya tinggi kian memojokkan dunia usaha dan berimbas ke kesejahteraan pekerja. Para buruh beberapa kali harus turun ke jalan untuk menuntut adanya aturan yang menjamin kehidupan layak dan kesejahteraan bagi mereka. Bahkan, akibat aksi tersebut, banyak industri
yang tutup beroperasi selama sehari dengan kerugian yang bisa menembus triliunan rupiah.
Namun, pengusaha juga tidak punya cukup ruang bernapas untuk mewujudkan rupa-rupa tuntutan para pekerja tersebut. Masalahnya jelas, karena para pengusaha dibelit rantai birokrasi yang panjang (dipanjangpanjangkan) dan besarnya biaya siluman.
Birokrasi yang berbelit dan besarnya pungutan liar itu menjadikan pengusaha harus merogoh kocek lebih mahal untuk menjalankan bisnis. Akibatnya, perusahaan tidak dapat membayar pekerjanya dengan upah lebih layak. Keluhan pengusaha itu mendapatkan justifi kasi dari penelitian yang pernah dilakukan Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia yang menunjukkan besarnya biaya siluman mencapai 20%-30% dari total ongkos produksi.
Kalau biaya tinggi itu bisa dihilangkan, LP3E memprediksi bahwa upah buruh bisa naik dua kali lipat. Jika
itu benarbenar terjadi, i industri bisa l lebih fokus meningkatkan produksi mereka dengan pekerja yang juga lebih berdaya saing. Tampak benar bahwa selain birokrasi kita menghabiskan APBN dalam jumlah besar, pemerintah juga membikin ekonomi biaya tinggi.
Euforia demokrasi tidak diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia di pemerintahan. Menjadi kepala daerah tidak dipandang sebagai pelayan publik, tapi sebagai jalan menambah kekuasaan dan mempertebal kantong pri badi. Apalagi menjadi kepala daerah sekarang umumnya membutuhkan biaya kampanye yang amat besar untuk survei, pencitraan, dan pendekatan kepada pemilih.
Sumber utama dana kampanye tersebut biasanya antara dari tabungan dan penjualan aset kandidat yang perlu balik modal setelah terpilih atau dari pengusaha hitam yang ingin mendapatkan fasilitas dan proyek dari kepala daerah. Keduanya berujung pada inefisiensi dan ekonomi biaya tinggi.
Kewenangan kepala daerah di era otonomi daerah saat ini cukup besar dan rawan penyalahgunaan. Investor, apalagi yang akan melakukan investasi dalam jumlah besar, tidak jarang yang izin dan proses usahanya dipersulit dan diminta memberikan upeti kepada kepala daerah.
Kondisi tersebut yang di padu dengan menguatnya penegakan hukum khususnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebabkan sampai dengan Mei 2012, sedikitnya 173 kepala daerah yang dipilih secara langsung dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) tersangkut kasus korupsi. Jumlah itu berarti setara dengan 37% dari total kepala daerah yang dipilih langsung. Korupsi di daerah adalah salah satu pe nyebab Indo nesia me nempati rangking 100 dari 183 negara pada corruption perception index. Situasi itu tidak bisa terus-menerus dibiarkan. Investor potensial menjadi enggan untuk berinvestasi di daerah karena tidak adanya kepastian hukum. Jangan sampai setelah membayar biaya tambahan yang diminta oleh pemerintah daerah lalu dinyatakan menyuap sehingga sudah jatuh tertimpa tangga. Kasus seperti Siti Hartati Murdaya dan Bupati Buol harus diselidiki secara tuntas sehingga tidak terulang lagi.
Di sisi lain, minimnya infrastruktur juga sering menjadi kendala. Survei Doing Business 2012 yang dilakukan Bank Dunia menemukan bahwa dibutuhkan waktu 108 hari untuk mendapatkan sambungan listrik di Indone sia. Jauh lebih lama jika dibandingkan dengan di Malaysia yang hanya membutuhkan 51 hari.
Padahal tanpa listrik, sulit bagi perusahaan untuk memulai operasi.
Kalaupun memaksa meng gunakan genset, hanya akan menambah biaya perusa haan untuk pembelian dan transpor bahan bakar.
Sarana transportasi di daerah, khususnya jalan dan jembatan, kondisinya masih banyak yang memprihatinkan. Situasi itu jelas meng h a m b a t penjualan produk pe rusahaan. Kemen terian Pekerjaan U m u m merupa kan urat nadi pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di Indonesia. Namun, kinerja kementerian tersebut masih belum optimal. Sekitar 11,5% atau senilai Rp6,529 triliun baru terserap dari total anggaran Kementerian Pekerjaan Umum (PU) 2011 sebesar Rp56,912 triliun.
Koordinasi antara perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan merupakan syarat mutlak untuk mengurangi ekonomi berbiaya tinggi. Sistem politik yang lebih hemat biaya kampanye, de-bottle-necking regulasi, perbaikan infrastruktur, dan peningkatan penyerapan anggaran merupakan tantangan yang tidak bisa dielakkan lagi.
Bersiap kecewa Penegakan dan kepastian hukum yang efektif masih jauh panggang dari api. Perlu penantian bertahun-tahun dalam proses banding sampai ke Mahkamah Agung dan peninjauan kembali. Jangan terkejut kalau kemudian Indonesia hanya menempati rangking 156 dari 183 negara pada kategori kepastian hukum berdasarkan survei Doing Business.
Beberapa minggu yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato pada Indonesia Investment Day di Wall Street, New York, Amerika Serikat, yang dihadiri banyak lembaga investasi besar dunia. Kita tidak ingin para investor yang datang ke Indonesia dengan bersemangat berinvestasi hanya untuk kecewa menghadapi permasalahan ekonomi biaya tinggi dan tidak kembali lagi. Sudah saatnya Indonesia berubah menjadi negara low cost, high growth economy.
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/10/18/ArticleHtmls/Mengatasi-Ekonomi-Berbiaya-Tinggi-18102012020020.shtml?Mode=1
Komitmen Bersama di RUU Kamnas
TB Hasanuddin Wakil Ketua Komisi I DPR RI
Perjalanan RUU Kamnas memang masih panjang dan berliku. Akan tetapi, arah perjalanannya akan menentukan apakah bangsa Indonesia konsisten dengan komitmennya terhadap kemajuan demokrasi atau malah mengalami kemunduran sembari menjamin keamanan warganya."
SAAT ini Pansus Rancang an Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) DPR RI tengah menunggu draf revisi yang diajukan pemerintah. Berdasarkan catatan, beberapa kali RUU Kamnas hilir mudik antara DPR dan pemerintah karena tidak adanya revisi substansial dari pemerintah. Sebelum dibahas dalam tingkat pansus, RUU Kamnas telah terlebih dahulu dibedah di Komisi I DPR. Melalui Panja RUU Kamnas, Komisi I telah menerima beragam masukan mengenai draf RUU yang ada yang kemudian dapat dikelompokkan menjadi tiga isu utama, yaitu hakikat keamanan nasional, sinkronisasi peraturan perundang-undangan, serta fenomena pasal karet dan kekhawatiran publik.
M e n g e n a i i s u h a k i k a t keamanan nasional, yang selalu menjadi topik pembicaraan ialah seputar apa itu keamanan nasional. Pertanyaan itu menjadi dasar pemikiran bagi kita semua ketika mendiskusikan RUU Kamnas. Dalam logika sederhana, sebuah keamanan (rasa aman) akan muncul ketika ketidakamanan dieliminasikan. Akan tetapi, jika memang seseder
hana itu, bisa dipastikan semua negara di dunia memiliki defi nisi yang sama dan tentunya persoalan membahas RUU Kamnas menjadi sederhana.
Sebagian besar argumentasi yang masuk ke Komisi I DPR pada waktu itu memberikan beberapa definisi keamanan nasional, mulai dari keamanan dengan ‘k’ kecil dan keamanan dengan ‘K’ besar, keamanan dalam arti sempit dan dalam arti luas, keamanan tradisional, keamanan nontradisional, keamanan negara, keamanan manusia, hingga tujuh dimensi keamanan kemanusiaan yang dibuat oleh UNDP 1994.
Kesepahaman yang dominan dalam diskusi di Komisi I DPR pada waktu itu ialah keamanan nasional sebagai sebuah instrumen yang menjembatani semua aktor, institusi, dan regulasi di semua tingkatan yang bertanggung jawab dalam mewujudkan tujuan berdirinya bangsa tersebut. Pendek kata, keamanan nasional adalah keamanan seluruh bangsa, bukan keamanan pemerintah semata.
Kemudian kehadiran RUU Kamnas juga menghasilkan sebuah pertanyaan besar bagi beberapa pihak jika ditinjau dari perspektif sinkronisasi
perundang-undangan. Ada yang berpendapat bahwa RUU Kamnas akan menjadi payung regulasi bagi tumpang-tindihnya peraturan perundang-undangan mengenai pertahanan dan keamanan negara. Ada juga yang berpendapat RUU Kamnas akan sebaliknya menjadi permasalahan baru.
Harapan mengenai RUU K a m n a s s e b a g a i p ay u n g regulasi muncul ketika RUU Kamnas akan mengatur sistem keamanan nasional yang memang secara kontekstual sangat dibutuhkan mengingat perkembangan ancaman terhadap keamanan secara nasional, regional, dan global saat ini. RUU Kamnas kemudian akan mengatur alokasi sumber daya manusia dan sumber daya nasional yang ada dalam merespons ancaman. Sebagai contoh sederhana, meningkatnya frekuensi fenomena bencana alam di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Bencana alam dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap keamanan nasional karena menimbulkan dampak langsung kelaparan yang mengancam keamanan insani dan berpotensi menimbulkan gangguan keamanan publik apabila tidak ditangani secara cepat. Hal itu tentunya membutuhkan koordinasi di antara instansi pemerintah baik itu secara vertikal mau
pun horizontal.
Sementara itu, argumentasi yang berbeda mengenai RUU Kamnas melihat kehadiran RUU tersebut hanya akan menghasilkan masalah baru. Hal itu karena berdasarkan UUD RI 1945, tidak dikenal konsep atau terminologi keamanan nasional, melainkan konsep sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat 2 UUD RI 1945 yang berbunyi `Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung'.
Argumentasi tersebut juga didukung oleh adanya indikasi RUU Kamnas dapat menjadi super lex specialis atau menjadi payung hukum bagi semua persoalan keamanan nasional sehingga peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan RUU ini dapat dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 59 draf RUU Kamnas).
Yang tidak bisa dimungkiri ialah pemikiran adanya fenomena pasal karet dan kekhawatiran publik. Sepertinya eksistensi pasal karet atau pasal multitafsir masih menjadi kelaziman dalam setiap proses legislasi di Indonesia.
Dalam konteks RUU Kamnas, fenomena itu kemudian menghasilkan banyak sekali kekhawatiran akan potensi munculnya kembali rezim kekerasan.
Misalnya, beberapa pihak mencatat bahwa Pasal 17 ayat 2 huruf c RUU Kamnas yang menyebut bentuk ancaman tidak bersenjata terhadap keamanan publik dan insani antara lain anarki (nomor 3), ideologi (nomor 10), dan radikalisme (nomor 11). Definisi itu dianggap dapat ditafsirkan sangat luas dan berpotensi menjadi alat bagi penguasa untuk menerapkan aturan subversif seperti di masa lalu.
Dalam konteks ini, mungkin saja nantinya pemerintah/ presiden menetapkan bahwa demonstrasi damai sebagai tindakan mengancam ideologi atau aksi protes sebagai ancaman anarki. Kemudian, penjelasan Pasal 17 ayat 2 juga memasukkan kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, ketidaktaatan hukum, korupsi, dan lain-lain.
Penggunaan kata ‘dan lainlain’ menjadi berbahaya karena memiliki fl eksibilitas tinggi sehingga dapat disalahgunakan oleh penguasa. Pemerintah seharusnya menghindari penggunaan bahasa-bahasa yang mengambang karena implikasi hukumnya bisa sangat berbahaya.
Kekhawatiran akan potensi superioritas lembaga kepresidenan atas legislatif kembali muncul ketika dalam bagian penjelasan Pasal 17 ayat 2 juga disebutkan bahwa diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi juga dapat menjadi ancaman tidak bersenjata. Hal itu juga diperkuat dengan Pasal 17 ayat 4 yang memberikan wewenang kepada presiden untuk menetapkan ancamanancaman tersebut.
Diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi adalah konsep yang sangat abstrak dan sulit untuk diidentifi kasi.
Tanpa defi nisi yang jelas, adalah sebuah keniscayaan jika suatu saat mosi tidak percaya kepada presiden yang sudah melanggar peraturan perundang-undangan bisa dianggap sebagai diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi.
Sehingga, mungkin saja bagi seorang presiden untuk menetapkan parlemen sebagai ancaman keamanan. Konsep baru semacam itu penting untuk didiskusikan secara publik agar tidak terjadi penyimpangan di masa mendatang.
Kritik juga muncul terhadap Pasal 54 huruf e jo Pasal 20 dalam pembahasan di Komisi I DPR. Di sini ada permasalahan yang cukup signifikan mengenai wewenang khusus seperti menyadap, memeriksa, dan menangkap dari para unsur keamanan nasional non-projusticia. Ada indikasi bahwa RUU Kamnas telah memberikan cek kosong kepada para aktor-aktor keamanan yang non-projusticia untuk melakukan penyadapan dan penangkapan. Hal itu kemudian telah menjadikan RUU Kamnas sebagai ancaman terhadap HAM karena melegalkan penculikan.
Perjalanan RUU Kamnas memang masih panjang dan berliku. Akan tetapi, arah perjalanannya akan menentukan apakah bangsa Indonesia konsisten dengan komitmennya terhadap kemajuan demokrasi atau malah mengalami kemunduran sembari menjamin keamanan warganya. Jika memang ingin meraih kemajuan dalam berdemokrasi sembari mengawal usaha mencapai tujuan bangsa, sekiranya beberapa catatan dari proses pembahasan RUU Kamnas di Komisi I DPR di atas patut untuk dijadikan pedoman dasar dalam mendiskusikan RUU Kamnas di ruang publik.
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/10/18/ArticleHtmls/Komitmen-Bersama-di-RUU-Kamnas-18102012020045.shtml?Mode=1
Jatuhnya Hawk dan Tindakan Pemukulan
Berita hangat minggu ini adalah berita tentang jatuhnya pesawat terbang tempur Hawk di Pekanbaru. Beruntung, sang Pilot dapat menyelamatkan diri denganmenggunakankursilontar (ejection seat).
Kali ini yang menjadi sangat berbeda adalah bukan tentang jatuhnya pesawat yang mencuat jadi berita utama, melainkan justru pemukulan yang menjadi top issue. Menyimak berita yang beredar, sangat dapat dimengerti kemarahan banyak pihak yang muncul sebagai reaksi dari peristiwa tersebut. Kemarahan ini menjadi sangat besar skalanya karena melibatkan seorang personel Angkatan Udara berseragam dinas yang terlihat “menganiaya” seorang berpakaian sipil yang berprofesi sebagai wartawan.
Solidaritas korps tentu saja menambah runyam masalah bagi Angkatan Udara dengan derasnya peredaran berita tersebut. Terlepas dari itu semua, peristiwa ini patut disesalkan sampai terjadi. Sangat dapat dipahami bila kemudian banyak tuntutan yang dialamatkan kepada pimpinan TNI Angkatan Udara berkait peristiwa yang memalukan tersebut.
*** Menarik sekali untuk membahas tentang hal ini.Tindakan pemukulan apa pun alasannya dalam konteks kejadian tersebut sekali lagi patut sangat disesalkan. Namun, apa pun yang menjadi penyebab harus dipahami bahwa peristiwa pemukulan, sekali lagi apa pun alasannya, pasti terjadi sebagai akibat dari satu proses interaksi dari dua pihak yang bertemu. Siapa yang bersalah dan siapa yang memulai kelak akan dapat diketahui dengan jernih.
Khusus tentang peristiwa jatuhnya pesawat tempur Hawk yang terjadi tidak berapa lama setelah take off.Tidak banyak diketahui bahwa ketika sebuah pesawat tempur jatuh sesaat setelah take off,bahaya yang sangat besar akan sangat mengancam daerah sekitar jatuhnya pesawat tersebut. Pesawat tempur adalah pesawat yang relatif kecil dari segi ukuran dibanding dengan pesawat terbang penumpang, dan hanya akan berisi sebuah atau dua buah mesin, tangki bahan bakar yang besar, serta persenjataan yang berupa “bahan” yang mudah meledak seperti bom,roket,peluru dan lainnya,serta kokpit yang hanya berisi satu atau dua pilot.
Itu sebabnya , begitu pesawat jatuh, terutama sesaat setelah take off, kemungkinan pesawat akan meledak sangat besar sekali. Itu pula sebabnya tindakan pengamanan saat pesawat terbang tempur jatuh harus segera ditangani dengan cepat oleh satu regu pengamanan yang menguasai teknik pesawat,sistem senjata, dan prosedur pengamanan amunisi.
Pesawat yang tengah mengalami musibah itu tengah latihan sehingga belum tentu membawa banyak bahan yang mudah meledak seperti bom, roket,peluru,dan amunisi atau hanya membawa senjata yang berupa “dummy”tidaklah berpengaruh terhadap tindakan penyelamatan dan atau pengamanan dari prosedur penanganan kecelakaan pesawat tempur yang terjadi terutama di daerah populasi penduduk.
Itu sebabnya penanganan terhadap pesawat Hawk terjadi seperti itu. Lebih jauh lagi, bagaimana menyikapi pengambilan gambar dari pesawat tempur yang tengah mengalami kecelakaan. Apa sebenarnya yang menyebabkan pengambilan gambar kemudian menjadi sesuatu yang kesannya “dilarang”? T i d a k mudah memang untuk dapat menjelaskannya denganbaik. Salah satu yang bisa dijelaskan di sini bahwa sebenarnya tidak atau bukan sekadar kerahasiaan belaka.
Semua peralatan senjata yang dimiliki satu negara, ada saatsaat yang khusus diperuntukkan bagi keperluan publikasi atau pameran, dan ada pula saatnya tidak atau merupakan momen yang tidak lazim dibuka untuk umum dalam wujud materi publikasi. Salah satunya adalah di waktu sebuah pesawat tempur mengalami kecelakaan.
Di kalangan dunia intelijen, pengumpulan data tertutup dari sistem senjata yang dimiliki oleh suatu angkatan perang kerap dilakukan.Kegiatan yang sangat kritikal adalah saat satu sistem senjata tengah berada dalam ruang dan waktu yang tidak disiapkan untuk dipamerkan. Saat pesawat terbang tempur mengalami kecelakaan dalam penerbangan latihan adalah merupakan salah satu dari momen yang dimaksud.
*** Kembali kepada peristiwa di Pekanbaru, informasi yang seperti ini seyogianya sudah harus dapat dikomunikasikan dengan baik oleh pihak angkatan perang kepada media massa dan masyarakat luas. Ini akan menjadi salah satu cara yang dapat dipastikan tidak akan mendorong kejadian yang sama-sama tidak kita inginkan tersebut. Apa pun yang menjadi pangkal penyebabnya, kejadian telah telanjur terjadi di Pekanbaru.
Ke depan kiranya semua pihak terkait dengan tindakan penyelamatan terhadap kecelakaan pesawat terbang,terutama pesawat terbang tempur yang merupakan bagian dari sistem persenjataan, dapat sama-sama memahaminya. Memahami dalam konteks dapat mengerti apa yang kiranya boleh dan tidak boleh dilakukan dalam momen yang sangat kritikal pada kecelakaan pesawat terbang tempur,terutama di daerah permukiman penduduk.
Angkatan Udara harus lebih profesional dalam menjalankan prosedur tetapnya, demikian pula media massa dapat memahami tentang apa yang harus dilakukan, dan masyarakat luas hendaknya dapat pula memperoleh informasi yang cukup mengenai hal tersebut. Hanya dengan hubungan yang saling mengerti,saling menghormati,dan saling membantu, kita dapat mencegah terulangnya kembali peristiwa Pekanbaru yang sama-sama tidak kita inginkan.●
CHAPPY HAKIM
Chairman CSE Aviation
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/536118/
Pembangunan dan Trilogi Ketimpangan
Seiring dengan prestasi stabilitas ekonomi yang terus meningkat,bahkan ketika diterpa krisis ekonomi, mencuat pula masalah akut yang harus segera diatasi di Indonesia.Persoalan itu tidak lain adalah ketimpangan pembangunan.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, investasi yang terus meroket, dan cadangan devisa yang makin banyak ternyata menimbulkan ongkos yang besar pula. Pembangunan ekonomi di Indonesia menghasilkan residu ketimpangan yang sulit diurai jika tak segera ditangani dengan serius. Ketimpangan itu minimal mengambil tiga bentuk (trilogi) yaitu ketimpangan antarwilayah, disparitas antarsektor ekonomi, dan kesenjangan pendapatan antarpenduduk.
Sejarah mencatat, krisis ekonomiyangbesarbiasanya ditandai oleh adanya kesenjangan ekonomi yang meluas dan berdampak terhadap instabilitas sosial dan politik.Pengalaman yang dialami oleh Indonesia, juga negara lain, di masa lampau semoga tidak terulang kembali.
Karakteristik Ketimpangan
Sampai tahun 2011 kue pembangunan masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. PDRB Jawa menyumbang sekitar 57,6% dari total PDB dan Pulau Sumatera memberikan donasi sebesar 23,3% (BPS, 2012). Dengan begitu, kedua pulau itu menguasai sekitar 82% dari PDB Indonesia.
Pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali dan Nusa Tenggara hanya mendapat porsi sekitar 18%. Sebagian ahli menganggap ini tidak masalah karena proporsi penduduk di masingmasing pulau memang terbagi dengan pola seperti itu. Pulau Jawa misalnya saat ini dihuni oleh57,5% dari total penduduk nasional, demikian pula Pulau Sumatera yang ditinggali oleh 21,3% penduduk (BKKBN, 2011).
Namun,argumen itu bisa dipatahkan oleh data lainnya, di mana hanya Kalimantan yang pendapatan per kapita penduduknya bagus, bahkan tertinggi di Indonesia, sedangkan pulau di luar Jawa dan Sumatera pendapatan per kapitanya sangat rendah, di bawah rata-rata pendapatan per kapita nasional. Selanjutnya ketimpangan sektoral juga tidak bisa dianggap remeh. Sektor pertanian dan industri dalam beberapa tahun terakhir tumbuh sangat rendah.
Sektor pertanian hanya tumbuh 3% pada 2011,bahkan pada 2010 tumbuh 2,86%, padahal pertumbuhan ekonomi nasional di atas 6%. Hal yang sama juga terjadi di sektor industri, yang pertumbuhannya kerap di bawah 4% misalnya pada 2008 dan 2009. Untungnya, pada 2011 sektor industri sudah menggeliat dan tumbuh sebesar 6,2%.
Sungguh pun begitu, sampai kini kontribusi sektor industri terhadap PDB merosot menjadi 24%, padahal pada 2005 mencapai 28%. Sebaliknya, sektor nontradeable tumbuh kencang dan menyumbang besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Masalahnya, sektor ini tidak banyak menyerap tenaga kerja, kecuali sektor perdagangan. Inilah yang kemudian menjadi sebab munculnya ketimpangan yang ketiga, yaitu disparitas pendapatan antarpenduduk sehingga berpotensi memicu persoalan sosial.
Terakhir, seperti disampaikan di muka adalah disparitas pendapatan penduduk yang kian meningkat sehingga pada 2011 menjadi 0,41 dengan menggunakan ukuran Gini Rasio.Tidak pernah Gini Rasio nasional setinggi ini sebelumnya, di mana sebelum 2005 hanya pada kisaran 0,33. Ketimpangan pendapatan penduduk ini bersumber dari dua sisi. Pertama, sektor pertanian dan industri tumbuh rendah, padahal sektor itu dihuni sebagian besar tenaga kerja.
Sebaliknya, sektor nontradeable tumbuh pesat yang dibagi untuk sedikit tenaga kerja. Jadi, wajar kalau kemudian ketimpangan sektoral ini berdampak terhadap kepincangan pendapatan penduduk. Kedua, liberalisasi perdagangan, keuangan, dan investasi menjadi sumbernya karena hanya penduduk yang punya pendidikan dan keterampilan mendapatkan manfaat. Padahal, sebagian besar tenaga kerja (70%) di Indonesia hanya tamat SMP ke bawah sehingga mereka tersingkir dari arena ekonomi.
Ekonomi Maritim
Mengurai persoalan ini tentu tidak gampang karena sudah berjalan sangat lama dengan intensitas penyimpangan yang cukup tinggi. Pucuk dari penyelesaian masalah tampaknya dengan menggerakkan satu kaki yang selama ini nyaris tidak dimanfaatkan yakni pembangunan sektor maritim/ kelautan. Ibaratlombalari, selama ini ekonomi nasional hanya bergerak dengan satu kaki yaitu ekonomi daratan, padahal dua per tiga luas wilayah Indonesia adalah lautan.
Apabila ekonomi maritim digerakkan, percepatan pembangunan ekonomi lebih mudah dicapai.Lebih penting dari itu, jika ekonomi kelautan dikembangkan, pembangunan Indonesia bagian timur secara otomatis akan pesat sebab sumber daya kelautan sebagian besar ada di wilayah itu.Aktivitas ekonomi dari hulu sampai hilir dapat didesain sehingga penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah bisa diperoleh sekaligus.
Pemerintah mengabaikan potensi dahsyat ini dalam pembangunan ekonomi nasional. Jika strategi itu dijalankan, kebijakan pembangunan infrastruktur harus menyesuaikan dengan strategi ekonomi maritim tersebut. Infrastruktur pelabuhan, armada kapal, pusat penangkapan ikan, wisata bahari, dan industri/jasa pengolahan produk laut merupakan prioritas yang dipilih. Selama ini pemerintah mengabaikan pembangunan infrastruktur itu sehingga kuantitas dan kualitas pelabuhan nasional sangat memprihatinkan, termasuk armada kapal.
Di negara maju, seperti Jepang dan Thailand, rata-rata tiap 50 km terdapat satu pelabuhan, sedangkan di Indonesia pelabuhan baru ditemukan pada kisaran jarak 500- 1000 km. Saat ini kapal laut yang berseliweran di perairan nasional mayoritas adalah kapal asing karena keterbatasan armada kapal domestik. Jika perombakan infrastruktur dikerjakan secara sistematis, implikasi ekonomi yang diciptakan dari pembangunan sektor maritim ini dipastikan akan luar biasa.
Apabila itu sudah berhasil dicapai,pekerjaan yang tersisa adalah mengatasi ketimpangan sektoral dan antarpenduduk/ kelompok.Persis seperti yang kerap disarankan ekonom, pilihan yang masuk akal adalah mengembangkan sektor pertanian dan industri atau yang berbasis pertanian atau sumber daya alam. Pertumbuhan sektor pertanian harus digenjot lagi hingga minimal menyentuh 4% dan sektor industri 7%.
Seperti yang diungkapkan di muka,jika kedua sektor ini tumbuh bagus, ketimpangan akan bisa diturunkan secara lebih mudah dan signifikan. Di samping itu, pemerintah juga perlu mengendalikan kebijakan liberalisasi agar terdapat ruang bagi usaha domestik bergerak. Liberalisasi bukan hanya menggusur pelaku ekonomi domestik, melainkan juga berpotensi menyingkirkan warga yang tak punya pendidikan dan keterampilan. Jadi, liberalisasi juga bagian dari instrumen ekonomi yang menjadi penyebab munculnya ketimpangan ekonomi.●
AHMAD ERANI YUSTIKA
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/536119/
Langganan:
Postingan (Atom)