Angka statistik merupakan alat modern dalam membentuk pengaruh dan legitimasi. Hal ini sudah lama disadari dan dimanfaatkan oleh para politisi, khususnya yang duduk dalam pemerintahan. Hampir semua negara modern mempunyai lembaga negara yang berfungsi melaporkan angka-angka berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi suatu negara.
Pemerintahan SBY sangat sadar dengan efek politis angka-angka, khususnya angka kemiskinan, terlihat dari terus-menerus memberikan laporan publik tahunan. Telah dilaporkan jumlah orang miskin di Indonesia terus berkurang. Angka yang dilaporkan pada tahun 2011 adalah 12, 49 persen, suatu penurunan dibanding tahun 2010, yaitu 13,33 persen.
Setiap pemerintah berkepentingan untuk tampak berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Mereka akan menggunakan metode yang paling menguntungkan sejauh yang dimungkinkan oleh sistem dan proses politik. Negara Eropa Barat dan USA yang demokrasinya jauh lebih stabil akan menghadapi tantangan yang keras dan mempermalukan secara politis jika mengambil metode yang hanya menonjolkan keberhasilan program pemerintah. Tantangan akan datang dari lembaga-lembaga kademis dan riset, yang akan diangkat oleh media massa.
Angka kemiskinan merupakan wilayah diskursus yang paling diperhatikan oleh pemerintahan sekarang, dengan menggunakan tampilan angka. Anggota masyarakat yang kompeten harus bisa memperhatikan setidaknya tiga aspek dari tampilan angka-angka ini, yaitu konsep tentang kemiskinan itu sendiri, batasan garis kemiskinan, dan metode pengumpulan data.
Pengertian pemerintah tentang kemiskinan adalah sempit sekali, lepas apapun motifnya sengaja untuk tujuan politik atau tidak. Ini setidaknya menunjukkan kemiskinan wawasan. Keberadaan kemiskinan bukan sesuatu yang berdiri sendiri, baik sebagai yang menyebabkan maupun sebagai sesuatu yang akan mempengaruhi pembangunan di bidang lain.
Sekarang ini kemiskinan diisolasi sebagai fenomena yang berdiri sendiri. Artinya, tidak dilihat karakter kemiskinan yang dipengaruhi faktor lain, seperti governansi, mutu lembaga-lembaga pembangunan, perkembangan industri, ketimpangan daerah, ketimpangan yang sudah diwarisi sejak pemerintahan Orde Baru, dan banyak hal lain. Perlakuan isolasi ini tampak dari kebijakan mengatasi kemiskinan yang ditonjolkan seperti program pemberian kredit, program PNPM, program BOS, Bantuan Langsung Tunai yang sungguh jauh dari menyentuh dari akar kemiskinan sendiri.
Dari aspek kaitan kemiskinan dengan arah pembangunan bangsa lebih terabaikan lagi. Bayangkan beban macam apa bagi mutu sumber daya manusia bagi masa depan pembangunan Indonesia. Orang miskin identik kekurangan kesehatan, pendidikan, ketrampilan, kapasitas sosial dan ekonomi, dan banyak kekurangan lain. Pembangunan yang benar adalah yang mengkaitkan pengentasan kemiskinan dengan skema pembangunan nasional secara menyeluruh.
Sebagai contoh, bagaimana mengembangkan perindustrian Indonesia yang dapat menyerap tenaga tidak trampil namun sekaligus sebagai bagian dari proses pertumbuhan industri. Beberapa negara Amerika Latin mengatasi masalah ini dengan kebijakan ekonomi makro yang mendukung industri namun mengarahkan industri untuk menjalankan skema peningkatan ketrampilan buruh. Dengan cara ini, industri juga menyiapkan tingkat teknologi industri yang lebih tinggi di masa mendatang.
Salah satu aspek penting yang harus diubah adalah juga orientasi dan mutu pendidikan anak Indonesia. Sekarang ini antara pendidikan dengan pembangunan sedikit sekali hubungannya. Membantu anak miskin melalui, misalnya program BOS (yang banyak tidak tepat sasaran itu), hanya untuk mengantar mereka sebagai penganggur setelah lulus. Pendidikan di Indonesia seharusnya sejalan dengan kerangka pembangunan daerah, bukan hampir seragam seperti sekarang ini.
Baru-baru ini majalah The Economist mengeluarkan artikel yang membahas tentang garis kemiskinan. Pemerintah menerapkan garis kemiskinan yang sedikit kurang dari 1 dollar AS sehari. Dengan batasan itu, angka tahun 2011 adalah 30 juta orang. Persoalannya, hidup macam apa dan mau kemana yang dialami 70 juta orang Indonesia lainnya yang dianggap miskin oleh batasan kemiskinan Bank Dunia: 2 dollar AS perhari. Sebagai gambaran, kurang dari setengah orang miskin di perdesaan mampu mengakses air bersih dan hanya 55 persen yang melewati SMP.
Komposit dari batasan kemiskinan tidak cukup hanya membedakan antara makanan (seperti telur, gula pasir, mie instan, tempe, daging ayam ras, dan sebagianya) dan bukan makanan seperti perumahan, listrik, pendidikan, dan angkutan. Komposit ini bisa memberi salah pengertian (misleading) jika tidak dilihat kerangka besarnya, seperti orientasi pendidikan yang tersedia dan ketersediaan kesempatan kerja dalam radius wilayah tertentu dengan memperhitungkan biaya transportasi.
Persoalan ketiga adalah metode pengumpulan data. Ada dua macam persoalan yang berkaitan dengan validitas pengukuran, yaitu persoalan teknis pengukuran untuk mencapai kesimpulan dan kondisi sosial-ekonomi pada saat pengumpulan data. Dari aspek yang pertama, metode pengukuran yang digunakan badan pemerintah, Badan Pusat Statistik, terdapat kelemahan dalam hal keterwakilan responden yang bisa bias secara signifikan. Namun, ada persoalan lain, yaitu waktu dan wilayah yang dipilih sebagai daerah responden.
Sudah ada tuduhan yang diangkat di publik bahwa pengumpulan data dilakukan pada saat masa panen dan di daerah-daerah yang banyak mendapat dana program perbaikan kesejahteraan dari pemerintah. Dengan cara ini, demikian tuduhannya, angka pengangguran menjadi lebih kecil dari kenyataan yang sesunggunnya. Penulis tidak mengetahui secara tepat seberapa jauh tuduhan ini mengandung kebenaran. Cara untuk mengatasi kelemahan maupun tuduhan semacam ini tidak lain adalah memperbaiki transparansi dan akuntabilitas BPS.
Meuthia Ganie-Rochman
Sosiolog dan Dosen FISIP Universitas Indonesia
http://www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/09/21/202/Politik-Indikator-Kemiskinan
Pemerintahan SBY sangat sadar dengan efek politis angka-angka, khususnya angka kemiskinan, terlihat dari terus-menerus memberikan laporan publik tahunan. Telah dilaporkan jumlah orang miskin di Indonesia terus berkurang. Angka yang dilaporkan pada tahun 2011 adalah 12, 49 persen, suatu penurunan dibanding tahun 2010, yaitu 13,33 persen.
Setiap pemerintah berkepentingan untuk tampak berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Mereka akan menggunakan metode yang paling menguntungkan sejauh yang dimungkinkan oleh sistem dan proses politik. Negara Eropa Barat dan USA yang demokrasinya jauh lebih stabil akan menghadapi tantangan yang keras dan mempermalukan secara politis jika mengambil metode yang hanya menonjolkan keberhasilan program pemerintah. Tantangan akan datang dari lembaga-lembaga kademis dan riset, yang akan diangkat oleh media massa.
Angka kemiskinan merupakan wilayah diskursus yang paling diperhatikan oleh pemerintahan sekarang, dengan menggunakan tampilan angka. Anggota masyarakat yang kompeten harus bisa memperhatikan setidaknya tiga aspek dari tampilan angka-angka ini, yaitu konsep tentang kemiskinan itu sendiri, batasan garis kemiskinan, dan metode pengumpulan data.
Pengertian pemerintah tentang kemiskinan adalah sempit sekali, lepas apapun motifnya sengaja untuk tujuan politik atau tidak. Ini setidaknya menunjukkan kemiskinan wawasan. Keberadaan kemiskinan bukan sesuatu yang berdiri sendiri, baik sebagai yang menyebabkan maupun sebagai sesuatu yang akan mempengaruhi pembangunan di bidang lain.
Sekarang ini kemiskinan diisolasi sebagai fenomena yang berdiri sendiri. Artinya, tidak dilihat karakter kemiskinan yang dipengaruhi faktor lain, seperti governansi, mutu lembaga-lembaga pembangunan, perkembangan industri, ketimpangan daerah, ketimpangan yang sudah diwarisi sejak pemerintahan Orde Baru, dan banyak hal lain. Perlakuan isolasi ini tampak dari kebijakan mengatasi kemiskinan yang ditonjolkan seperti program pemberian kredit, program PNPM, program BOS, Bantuan Langsung Tunai yang sungguh jauh dari menyentuh dari akar kemiskinan sendiri.
Dari aspek kaitan kemiskinan dengan arah pembangunan bangsa lebih terabaikan lagi. Bayangkan beban macam apa bagi mutu sumber daya manusia bagi masa depan pembangunan Indonesia. Orang miskin identik kekurangan kesehatan, pendidikan, ketrampilan, kapasitas sosial dan ekonomi, dan banyak kekurangan lain. Pembangunan yang benar adalah yang mengkaitkan pengentasan kemiskinan dengan skema pembangunan nasional secara menyeluruh.
Sebagai contoh, bagaimana mengembangkan perindustrian Indonesia yang dapat menyerap tenaga tidak trampil namun sekaligus sebagai bagian dari proses pertumbuhan industri. Beberapa negara Amerika Latin mengatasi masalah ini dengan kebijakan ekonomi makro yang mendukung industri namun mengarahkan industri untuk menjalankan skema peningkatan ketrampilan buruh. Dengan cara ini, industri juga menyiapkan tingkat teknologi industri yang lebih tinggi di masa mendatang.
Salah satu aspek penting yang harus diubah adalah juga orientasi dan mutu pendidikan anak Indonesia. Sekarang ini antara pendidikan dengan pembangunan sedikit sekali hubungannya. Membantu anak miskin melalui, misalnya program BOS (yang banyak tidak tepat sasaran itu), hanya untuk mengantar mereka sebagai penganggur setelah lulus. Pendidikan di Indonesia seharusnya sejalan dengan kerangka pembangunan daerah, bukan hampir seragam seperti sekarang ini.
Baru-baru ini majalah The Economist mengeluarkan artikel yang membahas tentang garis kemiskinan. Pemerintah menerapkan garis kemiskinan yang sedikit kurang dari 1 dollar AS sehari. Dengan batasan itu, angka tahun 2011 adalah 30 juta orang. Persoalannya, hidup macam apa dan mau kemana yang dialami 70 juta orang Indonesia lainnya yang dianggap miskin oleh batasan kemiskinan Bank Dunia: 2 dollar AS perhari. Sebagai gambaran, kurang dari setengah orang miskin di perdesaan mampu mengakses air bersih dan hanya 55 persen yang melewati SMP.
Komposit dari batasan kemiskinan tidak cukup hanya membedakan antara makanan (seperti telur, gula pasir, mie instan, tempe, daging ayam ras, dan sebagianya) dan bukan makanan seperti perumahan, listrik, pendidikan, dan angkutan. Komposit ini bisa memberi salah pengertian (misleading) jika tidak dilihat kerangka besarnya, seperti orientasi pendidikan yang tersedia dan ketersediaan kesempatan kerja dalam radius wilayah tertentu dengan memperhitungkan biaya transportasi.
Persoalan ketiga adalah metode pengumpulan data. Ada dua macam persoalan yang berkaitan dengan validitas pengukuran, yaitu persoalan teknis pengukuran untuk mencapai kesimpulan dan kondisi sosial-ekonomi pada saat pengumpulan data. Dari aspek yang pertama, metode pengukuran yang digunakan badan pemerintah, Badan Pusat Statistik, terdapat kelemahan dalam hal keterwakilan responden yang bisa bias secara signifikan. Namun, ada persoalan lain, yaitu waktu dan wilayah yang dipilih sebagai daerah responden.
Sudah ada tuduhan yang diangkat di publik bahwa pengumpulan data dilakukan pada saat masa panen dan di daerah-daerah yang banyak mendapat dana program perbaikan kesejahteraan dari pemerintah. Dengan cara ini, demikian tuduhannya, angka pengangguran menjadi lebih kecil dari kenyataan yang sesunggunnya. Penulis tidak mengetahui secara tepat seberapa jauh tuduhan ini mengandung kebenaran. Cara untuk mengatasi kelemahan maupun tuduhan semacam ini tidak lain adalah memperbaiki transparansi dan akuntabilitas BPS.
Meuthia Ganie-Rochman
Sosiolog dan Dosen FISIP Universitas Indonesia
http://www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/09/21/202/Politik-Indikator-Kemiskinan