BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Uang Rokok

Uang Rokok

Written By gusdurian on Rabu, 28 September 2011 | 18.03

Uang rokok itu ‘recehan’.Dan sekadar tanda terima kasih yang tulus antara dua pihak yang saling menghargai.Uang yang diterima pejabat itu lain. Itu tanda keserakahan,dari jiwa-jiwa yang rusak,dan mentalitas yang terjajah.


“Mas, kami berterima kasih atas bantuan Anda. Maka, terimalah ini sekadar tanda terima kasih itu.” “Lho, apa ini? Tidak usah. Saya tak mengharapkan ini.” “Jangan ditolak Mas. Ini sekadar uang rokok.Dan jumlahnya tak seberapa.” “Bukan soal jumlah. Seberapa pun jumlahnya, saya tak mengharapkannya.” Orang pertama menyodorkan amplop, terkadang tanpa amplop, dan orang kedua menepisnya.

Ada ketulusan yang memancar di masing-masing pihak. Orang pertama tulus menyampaikan tanda ucapan terima kasihnya tadi. Orang kedua pun tulus menolaknya, bukan demi penolakan itu sendiri, melainkan demi persahabatan yang juga tulus. Apa yang terjadi kemudian, siapa yang “kalah”, siapa yang “menang”, tergantung pada siapa yang lebih kuat memaksakan niat baiknya. Jika pihak pertama memaksa,dan dengan nekat memasukkannya ke dalam kantong pihak kedua,orang pertama menang. Sebaliknya, bila kelihatan ragu-ragu,dan tak sungguh-sungguh memaksa, pihak ke-dua yang akan menang.

Lebih-lebih bila pihak kedua mengeluarkan uang itu dari kantongnya dan memasukkannya ke dalam kantong pihak pertama,jelas pihak kedua yang menang. Ini bentuk “pameran” kebaikan hati atau “pameran”ketulusan di dalam masyarakat. Di banyak tempat,pada banyak orang, hal ini masih sering terjadi. Di desa,di kota,di kalangan petani, buruh tani atau pedagang, dan pegawai, tak ada bedanya sama sekali. Orang pertama merasa menerima jasa dan berterima kasih. Orang kedua memberi jasa,dengan sikap tulus,dan tak berharap memperoleh upah, dalam bentuk apa pun.

Tadi, orang pertama mengatakan sekadar “uang rokok”, maksudnya, jika ditilik dari sudut relasi kerja atau pemberian jasa, “uang rokok” itu berarti upah untuk suatu jenis pekerjaan, atau pembayaran atas suatu jasa,dengan uang.Pihak kedua, si pemberi jasa, menolak. Ini perkara lumrah. Tapi bila dia menerimanya,ini pun lumrah. Bangsa kita lihai membuat ungkapan. Kita memiliki peribahasa, yang membungkus halus dan indah, suatu hal.

Mungkin kita bisa menyebutnya lebih indah dari aslinya karena ketika suatu peribahasa diartikan,kita akan menemukannya sebagai kenyataan harian yang lugas, apaadanya,dantakmenyimpan teka teki apa pun.Apa yang terlalu transparan, jelas, terbuka, dan tak mengandung teka-teki, mungkin tak merangsang daya tarik dan rasa ingin tahu yang menggebu. Ungkapan uang rokok lebih halus daripada kata bayaran atau upah. Jika dalam suatu jenis pekerjaan orang menuntut upah atau bayaran, dia tak selalu terbuka menanyakan upah,atau bayaran,melainkan ada tidaknya “uang rokok”.

Mengapa kita tak memiliki ungkapan “uang sirih”,“uang nasi”, “uang teh”, atau “uang kopi”? Saya sendiri tidak tahu. Maka tulisan ini hanya ingin membahas “uang rokok” tadi. Kita tahu apa fungsi rokok dalam pergaulan sehari-hari dan apa manfaat rokok di dalam tradisi yang berkembang di masyarakat kita. Rokok punya kekuatan pengikat dan peneguh solidaritas sosial di antara para perokok. Di dalam suatu pertemuan, orang yang baru bertemu selama hidup,tak merasa malu menerima rokok dari pihak lain. Sebaliknya, orang yang tak punya rokok, pantas saja bertanya,atau meminta,rokok pada pihak lain.

Rokok memang pengikat dan peneguh solidaritas sosial di antara sesama perokok. Meskipun begitu, kalau orang tak merasa malu,dan tiap saat hanya siap meminta rokok, tanpa pernah membeli untuk berbagi dengan pihak lain yang selama ini memberinya rokok terus, orang itu akan menjadi bahan omongan. Dia akan dianggap pelit, tak tahu malu, dan memalukan.Di dunia kecil kita memang banyak macam orang.Ada saja yang tak pernah membeli rokok,dan sering,atau selalu, mengambil rokok orang untuk dikantongi secara sembunyi- sembunyi, dan satu lagi dirokok saat itu juga.

Rokok juga bersifat serbapantas. Suatupertemuankurang semarak tanpa rokok.Pertemuan dalam momentum sukuran, dan orang serbagembira, orang merokok.Sebaliknya,per-temuan dalam suatu acara duka,dan masing-masing hadirin memperlihatkan simpati secara tulus pada yang berduka, orang pun merokok.Dan tak dicela. Tak ada tradisi melarang orangmerokokdalamsuatupertemuan duka, karena merokok tak berarti melukai etika yang membikin pihak yang berduka bertambah duka.Tak ada.Tapi dalam ruang pengap, yang aliran udaranya tidak lancar, di mana laki-laki dan perempuan berhimpun dan kita merokok, terkutuklah sang perokok yang tak tahu tenggang rasa itu.

Di ruangan macam itu merokok menambah udara panas. Asap rokok yang mungkin semerbak bagi si perokok menjadi bau menjengkelkan bagi yang tak merokok.Lebih-lebih bagi kaum perempuan yang baunya wangi.

Ada atau tidak peraturan yang tegas mengatur di mana kita bisa merokok, etika harus ditegakkan.Perokok ulung pun harus berpuasa untuk tidak merokok biarpun mulut sudah kecut, jika ia berada di dalam kerumunan orang banyak yang memerlukan udara segar. Dalam momentum macam itu rokok yang halal menurut agama menjadi haram menurut hukum sosial, yang menghendaki kebaikan bersama.

Tapi, melarang orang merokok dengan suatu peraturan resmi, peraturan yang mewakili pemerintah,tapi atas desakan pihak asing yang didiktekan pada pejabat kita, apa pun alasannya, terkutuklah peraturan itu.Pejabat suatu negara merdeka, mengapa mau didikte bangsa asing? Mereka ikut bersikap antirokok, sekadar demi uang rokok? Bukan. Uang rokok itu ‘recehan’. Dan sekadar tanda terima kasih yang tulus antara dua pihak yang saling menghargai. Uang yang diterima pejabat itu lain. Itu tanda keserakahan, dari jiwa-jiwa yang rusak, dan mentalitas yang terjajah.●
M SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/430677/
Share this article :

0 komentar: