BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Intel Juga Manusia

Written By gusdurian on Selasa, 29 Maret 2011 | 12.55

Tahukah Anda, di usia republik yang hampir 66 tahun, Indonesia belum memiliki Undang-Undang Intelijen. Baru pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri otoritas institusi intelijen negara, Badan Intelijen Negara (BIN), diatur melalui peraturan presiden.

Hingga kini semua Badan Intelijen Negara tidak memiliki payung undangundang untuk melaksanakan tugas-tugas mereka. Hiruk-pikuk mengenai perlunya undang-undang yang mengatur intelijen baru muncul pada era reformasi dan datang dari dua pihak. Pihak pertama adalah BIN yang membutuhkan payung undang-undang agar segala yang mereka lakukan dibenarkan oleh undang-undang.

Pihak kedua adalah kalangan masyarakat sipil baik secara individu maupun kelompok lembaga swadaya masyarakat, dimotori oleh Pacifis Universitas Indonesia, yang bergabung ke dalam asosiasi bernama Simpul Aliansi Nasional untuk Demokratisasi Intelijen (SANDI). Pihak kedua ini merasa bahwa UU Intelijen adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi, karena dari semua institusi yang terkait dengan keamanan negara, hanya lembaga intelijen yang belum memiliki undang-undang.

Dua pihak yang sama-sama memandang perlu ada Undang-Undang Intelijen itu kemudian berdialog dari hotel ke hotel di Jakarta antara 2005-2006 membicarakan apa saja substansi isi undangundang intelijen. Kalangan masyarakat sipil memandang UU itu amat mendesak sejak terbunuhnya aktivis HAM Munir pada Oktober 2004 di atas pesawat Garuda yang membawanya ke Amsterdam untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

Diduga keras, ada tangantangan intelijen dalam pembunuhan rekan kami Munir. Karena itu, gerakan untuk mereformasi institusi intelijen adalah suatu yang amat mendesak. Slogan yang dikumandangkan kalangan masyarakat sipil tersebut adalah: “Intel juga manusia, karena itu bisa direformasi,” dan, “Merokok/sepak bola saja ada aturannya, masak intel nggak!”

Alot

Diskusi mengenai substansi Undang-Undang Intelijen berjalan alot,namun tetap dalam suasana kekeluargaan.Mereka yang hadir adalah kalangan intelijen Polri,TNI,Kejaksaan, BIN, BAIS, akademisi, aktivis LSM dari KontraS, Imparsial, Propatria,dan sebagainya. Kalangan intelijen lebih banyak bicara mengenai otoritas mereka dan keperluan akan adanya payung hukum. Kalangan masyarakat sipil lebih menekankan apa yang harus dilakukan dan dilarang bagi intelijen dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Jika kalangan intelijen ingin memiliki hak untuk menggeledah rumah atau menyadap telepon orang yang dicurigai akan melakukan kejahatan,kalangan masyarakat sipil mengingatkanagarhakituharusmendapatkan izin terlebih dahulu dari Kejaksaan Agung agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas. Jika kalangan intelijen menginginkan ada hak untuk menangkap 7x24 jam untuk mengali informasi yang penuh dari tersangka atau orang yang dicurigai,kalangan masyarakat sipil mengingatkan adalah tugas intelijen untuk menggali informasi rahasia tanpa menangkap orang.

Ini untuk menunjukkan profesionalitas intelijen. Jika intelijen punya hak untuk menangkap, ini bisa jadi merupakan legalisasi penculikan orang yang belum tentu bersalah atau menjadi anggota kelompok yang merencanakan kejahatan terhadap negara. Intel juga tidak memiliki hak untuk bertindak melebihi tugasnya untuk menggali informasi rahasia agar negara terhindar dari pendadakan strategis.

Jika tidak, aparat intelijen bisa melakukan tiga hal sekaligus: menggali informasi, menangkap, dan menyergap, yang dua terakhir itu seharusnya menjadi wewenang pihak keamanan lain,polisi atau TNI. Alasan kalangan masyarakat sipil membuat ramburambu semacam itu karena kita tidak ingin memiliki institusi intelijen yang sama dengan intelijen Orde Baru yang bukan saja menggali informasi, melainkan juga menangkap, menculik, atau bahkan menghilangkan orang yang tidak disukai negara, walau belum tentu ia seorang kriminal atau penjahat negara.

Mengapa pula harus ada pasal mengenai aparat intelijen yang harus profesional dan berhak mendapatkan pendidikan lanjutanagarlebihprofesional? Ini disebabkan kalangan masyarakat sipil tidak ingin Indonesia memiliki intelijen sekaliber “Intel Melayu”di era Orde Baru ke mana pun mereka pergi selalu memperkenalkan diri,“Saya dari Pejaten,”(BAIS) atau “Saya dari Pasar Minggu/ Pejaten,”(BIN) atau “Saya dari Senayan,” (Kantor BAKIN lama) atau “Saya dari Intel Kodam.”

Kita juga merasa aneh saja dengan kelakuan intel Melayu yang selalu menonjolkan “beceng” (pistol) mereka, padahal mereka sedang melakukan kegiatan “under cover intelligence.” Kita juga ingin agar ada pengawasan berjenjang pada institusi intelijen, dari pengawasan internal, pengawasan eksekutif oleh negara, pengawasan oleh lembaga legislatif dalam bentuk komite khusus intelijen di dalam Komisi I DPR/RI yang para anggotanya disumpah agar tidak membocorkan rahasia negara pascarapat kerja dengan lembagalembaga intelijen negara.

Bukan untuk melucuti wewenang BIN, kalangan masyarakat sipil juga ingin agar ada pemisahan antara Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) yang akan dipegang BIN,persis sama dengan Office of National Assessment (ONA) yang berada di bawah Perdana Menteri Australia sebagai koordinator informasi intelijen.Ada institusi intelijen dalam negeri terpisah dari intelijen luar negeri seperti ASIO (Australian Security Intelligence Organization) untuk dalam negeri dan ASIS (Australia Secret Intelligence Service) untuk luar negeri.

Selain itu, ada juga organisasi intelijen pertahanan (Defense Intelligence Organization). Ini ditambah dengan intelijen yustisia dan badanbadan pemerintah di pusat dan daerah, termasuk lembaga penelitian sosial dan eksakta yang dapat membantu kinerja badan-badan intelijen kita.

Jauh Panggang dari Api

Membaca RUU Intelijen Negara versi 13 Desember 2010,saya cuma bisa mengurut dada, betapa lemahnya RUU ini. Banyak hal yang secara logika tidak koheren seperti antara Pasal 5 mengenai tujuan intelijen negara dan Pasal 6 mengenai fungsi intelijen negara. Tujuan deteksi dini bisa berganti dengan penggalangan dan pengamanan yang bukan lagi urusan intelijen, melainkan urusan aparat pertahanan dan keamanan kita yang memang memiliki otoritas untuk menangkap atau melemahkan lawan.

Pasal 8 dan 9 mengenai Penyelenggara Intelijen Negara juga amat sumir dan sederhana, tanpa diatur oleh undangundang yang rigid di dalam RUU ini.Semua institusi intelijen dapat mengatur dirinya sendiri, sesuatu yang harus diatur secara komprehensif di dalam UU Intelijen. Lembaga intelijen negara (dengan huruf kecil) juga akan menjadi superbodi seperti BAKIN pada masa Orba, yaitu sebagai koordinator badanbadan intelijen negara sekaligus sebagai intelijen dalam negeri dan luar negeri.Ini berarti BIN tidak mau mereformasi dirinya dan ingin kembali ke masa BAKIN Orde Baru.

Pengawasan terhadap intelijen juga hanya dilakukan lembaga legislatif melalui panitia kerjanya, sesuatu yang amat terbatas sekali otoritas dan keahliannya. Intelijen juga memiliki hak untuk menyadap (Pasal 31 soal intersepsi) tanpa ada surat izin dari Kejaksaan Agung. Pemerintah melalui Daftar Isian Masalah (DIM)-nya pada Pasal 15 ayat (1) sampai (3) bahkan menginginkan diberikannya hak untuk menangkap bagi intelijen, sesuatu yang menjadi hak polisi.

Jika kita telusuri secara terinci, masih banyak kelemahan di dalam RUU Intelijen ini. Tapi anehnya, seperti diutarakan seorang anggota Komisi I dari Partai Demokrat dalam talkshow di Metro TV, Jumat, 25 Maret lalu, pembahasan RUU ini sudah hampir rampung. Kita jadi bertanya, beginikah kapasitas DPR kita saat memiliki hak inisiatif untuk membuat RUU yang hasilnya jauh lebih buruk jika RUU itu dibuat oleh pemerintah. RUU intelijen ini sudah lemah akan dilemahkan pula oleh pemerintah melalui DIM-nya yang aduhai banyaknya. 

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang
Intermestic Affairs LIPI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/389827/

Bersiaplah, Kelas Menengah Makin Banyak

Perekonomian nasional dalam beberapa tahun terakhir,tumbuh cukup signifikan. Bahkan, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat tercatat dan masuk sebagai tiga negara terbesar pertumbuhan ekonominya pada tahun 2009 atau pascakrisis keuangan global.

Tak bisa dimungkiri,tingginya tingkat konsumsi masyarakat Indonesia menjadi penopang dari hantaman krisis ekonomi dunia saat itu. Konsumsi masyarakat diakui menjadi mesin pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional. Sehingga,efek atau dampak dari krisis finansial yang menghantam negara maju,tidak terlalu terasa di Indonesia. Permintaan dalam negeri yang kuat,terutama konsumsi masyarakat,menjadi faktor utama ketahanan ekonomi nasional.

Tercatat,konsumsi masyarakat mengalami peningkatan sebesar 4,9% di tahun 2009 dan 4,6% tahun lalu.Sementara itu,meski mengalami peningkatan,mesin penggerak pertumbuhan ekonomi lainnya,yakni investasi,ekspor- impor,dan konsumsi pemerintah, belum mampu memberikan kontribusi setinggi sektor konsumsi. Namun yang pasti,semakin kuatnya laju pertumbuhan ekonomi nasional,menciptakan kondisi yang lebih baik, terutama dalam hal kesejahteraan masyarakat.

Pendapatan masyarakat Indonesia,turut terdongkrak naik dengan peningkatan aktivitas ekonomi di dalam negeri.Seiring dengan meningkatnya perekonomian, jumlah masyarakat golongan menengah turut meningkat.Badan Pusat Statistik (BPS) memang tidak memiliki data resmi mengenai jumlah penduduk Indonesia yang termasuk golongan kelas menengah dan pertambahannya setiap tahun.

Tapi,berdasarkan data terbaru yang dirilis Bank Dunia disebutkan bahwa dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir atau terhitung 2003–2010,sekitar 50 juta jiwa masyarakat yang awalnya berpenghasilan kategori rendah,naik kelas menjadi berpenghasilan menengah. Indikator yang dipakai untuk mengukur masyarakat kelas menengah di Indonesia adalah besarnya konsumsi atau pengeluaran per hari yang berkisar antara USD2–6 atau sekitar Rp18.000–64.000.Pada 2003 jumlah masyarakat yang masuk dalam kategori kelas menengah sebanyak 81 juta jiwa.

Tahun 2010,jumlah masyarakat golongan kelas menengah semakin banyak hingga mencapai 131 juta jiwa.Artinya,setiap tahun ada 7 juta penduduk golongan penghasilan rendah yang naik kelas menjadi berpenghasilan menengah. Peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah tersebut merupakan akumulasi dari bertambahnya masyarakat berpenghasilan menengah yang ada di perkotaan dan perdesaan. Hanya,peningkatan ini lebih nyata terlihat di perkotaan dibanding perdesaan.

Peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah ini perlu diakui sebagai bagian dari tingginya laju pertumbuhan ekonomi nasional. Meningkatnya jumlah masyarakat berpendapatan menengah tentu menjadi kabar menggembirakan sebagai bagian dari langkah Indonesia menjadi negara maju.Namun,bukan berarti peningkatan ini tanpa konsekuensi yang harus dihadapi. Makin tingginya daya beli masyarakat mendorong pula kepemilikan alat transportasi pribadi.Hal ini berdampak cukup signifikan.

Dari sisi ini, Indonesia bahkan boleh dikata belum siap menyambut semakin bertambahnya masyarakat golongan kelas menengah. Tengok saja kondisi ibu kota negara saat ini.Beban DKI Jakarta semakin berat seiring dengan makin bertambahanya jumlah kendaraan bermotor. Kemacetan ditemui hampir di setiap ruas jalan utama Ibu Kota.Ini lantaran tidak seimbangnya laju pertumbuhan kendaraan bermotor dengan peningkatan infrastruktur jalan.

Setiap tahunnya pertumbuhan kendaraan bermotor tercatat sebesar 28%. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mencatat angka penjualan kendaraan roda empat pada 2010 mencapai 700.000 unit dan kendaraan roda dua mencapai 7 juta unit. Tahun ini laju pertumbuhan kendaraan bermotor diprediksi semakin besar lantaran bertambahnya kemampuan daya beli masyarakat.

Padahal,kemacetan di Jakarta menimbulkan kerugian cukup besar.Dinas perhubungan Provinsi DKI Jakarta menyebutkan,jumlah kerugian akibat kemacetan di Jakarta mencapai Rp46 triliun. Tidak tersedianya infrastruktur yang memadai dan keterhubungan antarwilayah juga masih menjadi persoalan. Ekonomi biaya tinggi bahkan lahir lantaran terhambatnya distribusi barang antarpulau.

Organisasi pengusaha nasional angkutan darat (Organda) mencatat biaya logistik meningkat 30–35% lantaran tidak tersedianya infrastruktur pendukung.Padahal,tingginya tingkat konsumsi masyarakat di daerah memerlukan kelancaran arus distribusi dari daerah pemasok ke daerah tujuan.Biaya distribusi barang atau produk di Indonesia tercatat sebagai yang tertinggi di kawasan Asia.

Dampak lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah potensi bertambahnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM).Saat ini saja Indonesia tergolong negara yang boros mengonsumsi minyak. Semakin bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tentunya mendorong peningkatan konsumsi BBM.Terbukti, kini pemerintah menghadapi dilema antara membatasi konsumsi atau membiarkan hal itu menggelembungkan subsidi bahan bakar. Untuk itu,kabar baik bertambahnya jumlah kelas menengah Indonesia juga perlu disikapi pemerintah dengan persiapan.

Peningkatan dan pembenahan kondisi infrastruktur dan keterhubungan antarwilayah,harus menjadi yang prioritas guna meminimalkan ekonomi biaya tinggi. Tak hanya itu,jika infrastruktur lengkap,arus distribusi barang ke daerah lancar,minat investor untuk melakukan kegiatan ekonomi dan bisnis di Indonesia juga akan semakin tinggi.Efek positifnya tentu saja roda perekonomian dan aktivitas ekonomi masyarakat akan semakin meningkat, pendapatan bertambah,dan daya beli semakin besar.

Pemenuhan kebutuhan energi pada umumnya dan BBM khususnya juga harus diperhatikan.Jangan lagi terlena saat krisis minyak memudar. Sudah saatnya Indonesia mengoptimalkan pemanfaatan seluruh potensi energinya,termasuk energi alternatif dan terbarukan. Jangan pula berhenti melahirkan kebijakankebijakan ekonomi strategis yang baru untuk menyikapi kondisi yang berubah dengan cepat.Kebijakan yang dihasilkan tentunya diharapkan tidak hanya sebatas kebijakan yang memperhatikan aspek pencitraan dan politis semata namun lebih menyentuh pada kebutuhan masyarakat dan dinamika yang terjadi

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/389756/

Ironi Sekolah Berlabel Agama!

Agama bukan saja persoalan ibadah ritual di masjid, gereja, pura, wihara dan tempat ibadah lainnya. Agama mengajarkan kepada pemeluknya agar memiliki sebuah tanggung jawab sosial. Jika agama gagal mewujudkan tanggungjawab sosialnya maka, bukan tidak mungkin spirit dari agama tersebut sejatinya telah mati di masyarakat.


Persoalan kemiskinan adalah persoalan sosial yang harus menjadi perhatian institusi agama. Di Indonesia, kemiskinan masih menjadi problem yang harus segera diselesaikan. Bahkan di Jakarta, kota tempat presiden, wakil presiden dan wakil rakyat berkantor, kemiskinan dapat dilihat secara nyaris telanjang. Seperti yang ditulis oleh Ketua Forum Warga Kota (Fakta) Azas Tigor Nainggolan dalam makalahnya untuk lokakarya HAM di Jakarta beberapa waktu silam.


Dalam makalah itu dituliskan tentang seorang ibu yang terpaksa memilih untuk bunuh diri karena kemiskinan yang melilit hidupnya. Ibu itu telah melakukan bunuh diri bersama 2 anaknya. Bunuh diri itu dilakukan dengan membakar diri di rumahnya di daerah Koja Jakarta Utara. Menurut isi surat yang ditulis dan ditinggalkan pada suaminya Mahfud, sang ibu mengungkapkan, bahwa dia sudah tidak tahan lagi menanggung kemiskinan hidup dan melihat penderitaan anak mereka.


Di negeri ini kemiskinan seperti sebuah lingkaran setan. Orang menjadi miskin salah satu sebabnya karena tidak sekolah, namun sebaliknya karena miskin sesorang tidak bisa sekolah. Suka tidak suka lingkaran setan itu harus diputus. Dan agama melalui lembaga-lembaga pendidikannya memiliki peran untuk memutus lingakaran setan kemiskinan itu.

Jika demikian halnya maka, pertanyaan berikutnya adalah apakah selama ini sekolah-sekolah yang memakai label agama telah ikut berperan dalam mengentaskan kemiskinan melalui pendidikan?


Salah satu sekolah yang berlabel agama di kawasan Jakarta Timur dapat dijadikan salah satu untuk menguji sejauh mana komitmen sekolah berlabel agama terhadap pengentasan kemiskinan. Sekolah itu menyelenggarakan pendidikan sejak dini, dari kelompok bermain (KB) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Selain memakai label agama sekolah itu juga mengklaim sebagai sekolah hijau. Sebuah perpaduan label yang menarik untuk dijual. Sekolah yang berbasiskan nilai-nilai religius dan ramah lingkungan hidup.


Lantas bagaimana dengan biaya pendidikan di sekolah tersebut? Untuk tingkat kelompok bermain, sekolah itu mematok harga sekitar Rp. 10 jutaan di tahun pertama, termasuk uang pangkal, uang sekolah dan biaya lainnya. Biaya pendidikan pun semakin mahal seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Untuk SMP misalnya, sekolah itu mematok harga sebesar kurang lebih Rp. 15 jutaan.


Bagaimana biaya pendidikan di sekolah dengan label agama lainnya. Di website keluargacerdas.com dituliskan beberapa sekolah di kawasan Jakarta yang mematok biaya pendidikan selangit, termasuk di dalamnya sekolah yang memakai label agama. Untuk jenjang kelompok bermain, sekolah mematok harga antara Rp. 3 juta - Rp.7 juta untuk uang pangkalnya. Sementara untuk uang sekolah bulannya bisa mencapai Rp. 400-800 ribu. Seperti pola pada umumnya, biaya sekolah pun akan semakin mahal seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Untuk tingkat SMA misalnya, biaya pendidikannya bisa berkisar Rp. 22 juta.


Melihat tingginya biaya pendidikan di sekolah-sekolah yang berlabel agama tersebut maka timbul pertanyaan apakah warga miskin dapat menikmatinya? Hal ini penting untuk dilihat karena setiap agama mengajarkan pemeluknya agar senantiasa berpihak kepada kelompok miskin. Bahkan dalam agama Islam, secara jelas mengecam para pemeluknya yang tidak peduli terhadap kepentingan orang miskin sebagai pendusta agama.


Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pengeluaran kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan atau Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) di Jakarta pada tahun 2010 sebesar Rp 117.682 per bulan. Dari angka ini jelas terlihat bahwa warga miskin di Jakarta tidak akan mampu menikmati pendidikan yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah yang memakai label agama tersebut.


Keluarga dari kelas sosial menengah-atas di Jakarta yang orang tuanya memiliki pendapatan setidaknya Rp. 5 jutaan per bulan, pun belum tentu mampu menikmati pendidikan 'bermutu' dari sekolah-sekolah yang berlebel agama tersebut. Anak-anak yang berasal dari keluarga kelas sosial menengah-bawah sudah pasti harus berada di luar pagar sekolah-sekolah yang berlabel agama tersebut.


Memang tidak semua sekolah yang memakai label agama mematok biaya pendidikan yang mahal seperti tersebut di atas. Namun setidaknya terdapat fakta bahwa ada beberapa sekolah berlabel agama yang telah menutup pintu bagi kelompok miskin melalui instrumen biaya pendidikan di sekolah tersebut.


Artinya, mulai muncul sebuah paradigma di sekolah-sekolah yang berlabel agama itu bahwa pendidikan adalah sebuah komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk memupuk keuntungan. Jika dibiarkan kecenderungan ini, maka agama akan sekedar dijadikan label dagang bukan sebuah jalan hidup untuk memberikan rahmat bagi kemanusiaan.

Dijadikannya agama menjadi sekedar label dagang tentu sangat membahayakan. Spirit agama yang mampu menjadi rahmat bagi masyarakat pun pudar. Sebagian sekolah-sekolah dengan label agama seperti berubah wujud menjadi perusahaan-perusahaan kapitalis yang didirikan untuk memupuk laba, tanpa sebuah tanggung jawab sosial.


Pilihannya mungkin hanya dua. Pertama, lembaga-lembaga pendidikan berlabel agama itu tetap memakai label agama tapi melaksanakan tanggungjawab sosialnya dengan memberikan porsi khusus bagi murid dari kalangan keluarga miskin. Atau pilihan kedua, lembaga-lembaga pendidikan itu tetap mengenakan biaya sekolah yang tinggi untuk memumpuk laba tapi melepaskan label agama. Karena agama terlalu mulia jika hanya menjadi sekedar label dagang.


Sumber: http://politikana.com/baca/2011/03/29/ironi-sekolah-berlabel-agama.html

Petualangan Imperialisme Barat Masih Berlanjut

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Sebenarnya, rakyat di dunia Islam ingin sekali agar penguasa-pen guasa korup dan ganas di negaranya masing-masing pada tumbang.
Rakyatnya diberi kebebasan sebagai manusia penuh, bukan setengah budak, sebagaimana masih terlihat di beberapa negara Arab. Dipicu oleh drama Tunisia, menjalar ke Mesir, Libya, Yaman, Bahrain, Suriah, Yordan, dan lain-lain, adalah pertanda peringatan keras kepada penguasa mereka: stop kekuasaan korupmu! Perjuangan untuk merebut kebebasan ini harus dibayar mahal oleh rakyat di kawasan itu. Kita tidak tahu persis berapa ribu yang telah menjadi mayat, demi kebebasan dan keadilan. Sementara itu, sebagian besar penguasanya masih saja merasa benar di jalan yang sesat itu. Di Tunisia dan Mesir, perjuangan prodemokrasi itu relatif berhasil, penguasa otoritariannya telah tersingkir.

Namun, di negara-negara selain yang dua itu, perlawanan rakyat masih membara, sedangkan penguasanya berdegil, tetap saja ingin bertahan, sekalipun dengan membunuh rakyatnya sendiri. Libya adalah yang paling dramatis. Negara yang kaya minyak itu sudah terbelah. Perang saudara telah meledak.

Tripoli tidak mau kompromi dengan kelompok perlawanan. Peluang ini dimanfaatkan Barat untuk melanjutkan petualangan imperialisme yang tidak pernah puas dan tidak pernah jera. Berlindung di balik Keputusan Dewan Keamanan PBB beberapa hari yang lalu yang menetapkan no fly zone (larangan terbang) bagi pesawat rezim Qadafi, Barat malah menggempur Libya.

Negara-negara Barat yang terlibat adalah Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Italia, Spanyol, Kanada, dibantu pula oleh beberapa negara Arab yang pro-Barat.
Petanya menjadi semakin runyam. Rusia dan Cina yang memilih abstain dalam pemungutan suara dalam Dewan Keamanan, hanya bereaksi lunak atas bombardir Barat atas bumi Libya.

Tetapi Vladimir Putin, perdana menteri Rusia, menuduh Barat tengah mengulang Perang Salib yang dulu antara abad ke-11 sampai dengan abad ke-14 telah menempatkan Dunia Islam berhadapan dengan Eropa. Sekalipun di ujung peperangan yang sangat panjang itu, kekuatan Eropa akhirnya dapat diusir, dunia Islam juga telah babak belur, energi mereka terkuras habis. Semua infrastruktur masyarakat dan kebudayaan telah jadi puing. Perang Salib terjadi bersamaan dengan serangan Mongol dari arah Timur atas dunia Islam yang meluluhlantakkan Kota Baghdad pada 1258, pusat ilmu dan peradaban ketika itu.

Sekarang situasinya berbeda. Dunia Islam sama sekali tidak siap tempur.
Peradaban mereka berada di titik nadir.
Sekalipun Saddam Hussein (saat Perang Teluk) dan Qadafi misalnya berkoar-koar untuk mempertahankan inci demi inci bumi Tanah Airnya masing-masing, pasti pada akhirnya mereka tersungkur. Bukan semata-mata karena serangan Barat yang brutal dan imperialistik, tetapi juga rakyatnya sendiri telah lama muak menonton kelakuan penguasanya yang zalim.

Ajaibnya, Dunia Islam tak pernah belajar dari kelampauan yang sarat tragedi penderitaan itu. Langkah salah selalu saja diputar berulang-ulang. Itulah sebabnya Iqbal (baca Resonansi Selasa, 22 Maret) mempertanyakan dengan sangat serius, siapa kita sebenarnya, apakah Muslim betul atau manusia lain dalam jubah Islam.

Barat yang imperialistik adalah manusia paling rakus di muka bumi. Dukungan mereka, terlebih Amerika, terhadap Israel adalah dalam strategi untuk kepentingan syahwat penguasaan minyak. Presiden Obama tak berdaya. Lobi Yahudi jauh lebih perkasa. Negara-negara, seperti Saudi, Kuwait, Qatar, dan Bahrain, adalah sekutu Barat, bukan atas dasar persamaan pandangan politik, tetapi sematamata karena nafsu imperialismenya yang tak pernah kendur.

Negara-negara Arab ini telah lama dijadikan sapi perahan Barat, sementara para penguasanya masih saja berlehaleha, tidak jarang didukung oleh dalil-dalil agama, rumusan ulama. Pertanyaan saya adalah: sampai kapan kebahluan yang memalukan ini dipertahankan, dan Dunia Islam kembali berdaulat di atas fondasi pemahaman Islam yang autentik, Islam Qurani, Islam kenabian? Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah kerja intelektual kolektif kita yang sangat mendesak dan tidak boleh ditunda lagi.

http://republika.pressmart.com/RP/RP/2011/03/29/ArticleHtmls/29_03_2011_002_015.shtml?Mode=1

Masih Perlukah Partai Islam?

Muh Fajar Pramono Dosen ISID Gontor, Mahasiswa S-3 Komunikasi Pembangunan UGM

" Mengulang kegagalan dalam politik, kita mempunyai referensi atau rujukan. Umumnya, dalam catatan sejarah, kegagalan politik akan terjadi jika moral dan konsep politik para tokohnya rapuh.
Tidak bisa kita mungkiri bahwa saat munculnya Partai Keadilan (bisa dibaca: Partai Keadilan Sejahtera) memberikan harapan banyak pi hak. Tidak hanya khusus umat Islam, tetapi juga masyarakat umum yang waktu itu apatis terhadap politik. Banyak pihak yang semula langganan golput dalam setiap kampanye sebelumnya, kemudian menggunakan hak pilihnya. Mereka berharap dengan munculnya pola baru dalam berpolitik (yang ditawarkan Partai Keadilan waktu itu) akan bisa memberi warna baru dalam perpolitikan di Indonesia.

Pada mulanya, harapan itu seakan menjadi kenyataan. Banyak pihak beranggapan bahwa keberadaan Partai Keadilan sebagai reinkarnasi Masyumi yang lebih segar dan kreatif.
Terbukti perkembangan partai ini setidaknya antara pemilu 1999, 2004, dan terakhir 2009 mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan bisa mengungguli PBB, PPP, PAN, dan sekaligus PKB (2009), saat partai-partai tersebut mempunyai basis sosial dan ketokohan yang lebih definitif.

Menurut penulis, salah faktor kunci keberhasilan dari PK/PKS adalah "ada sesuatu yang berbeda", yang tidak ada pada partai-partai lain.

Kini, partai ini mendapat ujian serius, bukan dari orang luar, tetapi dari salah satu tokohnya yang ikut serta membidani lahirnya partai ini. Tanpa terjebak siapa yang salah atau benar, jika tidak dikelola dengan baik (konflik ini), tidak mustahil akan menuju pada kehancuran sebagaimana partai-partai besar sebelumnya.
Karena persoalan yang mengemuka ke publik sudah bukan lagi persoalan remeh, tetapi persoalan yang sensitif dan krusial, terutama menyangkut dugaan penyelewengan uang.

Namun, tidak mustahil fenomenanya mungkin jauh lebih runyam dari yang terlihat selama ini, terutama dari segi implikasinya. Bisa jadi fenomena ini tidak hanya semakin menguatkan tuduhan kelompok-kelompok Islam lainnya, seperti Gerakan Dakwah Salafy (Yamani) bahwa politik itu bid'ah (tidak mempunyai dasar hukum atau mengada-ada).
Lebih dari itu, bisa jadi akan mengukuhkan pemahaman masyarakat umum bahwa po litik itu memang identik de ngan konflik.

Atau makna yang sejenis, yang jauh dari upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas. Jadi, konsekuensinya akan mengakibatkan runtuhnya kepercayaan umat tidak hanya pada partai Islam, tetapi juga partai politik yang lain dalam mengatasi persoalan bangsa dan negara ini.

Berangkat dari titik tolak inilah penulis akan menjawab, apakah partai Islam masih perlu dalam sistem politik di Indonesia? Memang tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Untuk itu, sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin mengingat sekilas sejarah politik Islam di Indonesia.

Pertama, Syarikat Islam (SI). Tidak hanya fenomenal dalam perspektif politik Islam, tetapi juga fenomenal dalam politik kebangsaan. Karena SI tidak hanya memberi inspirasi bagi kebangkitan Islam, tetapi juga memberi inspirasi ke merdekaan Indonesia. Dari segi jumlahnya, tidak hanya besar melampaui Boedi Oetomo waktu itu (1908), tetapi juga menyebar di seluruh Indonesia.

Kemudian dalam perkembangannya, mengapa kemudian muncul SI-Merah dan SIPutih, yang kemudian mengakibatkan SI menjadi kerdil?
Banyak teori yang menjelaskan, salah satunya karena ku " rang kokohnya konsep dan moral sebagian para tokohnya.

Kedua, fenomena Masyumi.
Di samping mempunyai kekuatan yang signifikan di parlemen (1955), juga tidak bisa diremehkan dalam pemerintahan, tepatnya di masa percobaan demokrasi, atau yang dikenal dengan sistem pemerintahan parlementer (19501957), saat para tokohnya dipercaya memegang tampuk pemerintahan, seperti Pemerintahan Sukiman, Pemerintahan Natsir, Pemerintahan Syafrudin Prawiranegara, dan berbagai prestasi yang melekat.

Singkatnya, dari segi politik, mungkin jauh yang telah dicapai oleh Masyumi pada masa itu dibandingkan apa yang sudah dicapai oleh PK/ PKS sekarang. Kemudian, Masyumi dalam perjalanannya bubar. Sekalipun lebih karena faktor eksternal.

Namun, jauh sebelum kita, umat Islam mempunyai sejarah keberhasilan yang gemilang dalam politik, yang terlihat dengan keberadaan Kerajaan Islam Demak (1475-1518), Kerajaan Aceh (1515-1528), Kerajaan Pajang (1582), Kerajaan Islam Mataram (15801601), Kerajaan Cirebon, Sunan Gunung Jati atau Fatahillah (1524-1570). Juga, Kerajaan Banten (1522-1586), Kerajaan Ternate (1570), dan Sultan Iskandar Muda (16071636).

Kemunculan mereka tidak tiba-tiba, tetapi butuh proses penyadaran yang panjang dengan semangat perjuangan dan pengorbanan yang tinggi. Tidak cepat puas dengan hasil yang telah mereka capai. Sehingga keberhasilan pada masa itu tidak hanya berdimensi politik, tetapi memberi warna peradaban, yang menjadikan Islam hingga sekarang mempunyai akar yang kuat di Indonesia (baca: sebagai agama mayoritas).

Artinya, kita mempunyai catatan sejarah kegagalan dalam berpolitik dan catatan keberhasilan yang gemilang dalam sejarah politik di Indonesia. Jadi, semua berpulang pada kita. Mengulang kegagalan dalam politik, kita mempunyai referensi atau rujukan. Umumnya, dalam catatan sejarah, kegagalan politik akan terjadi jika moral dan konsep politik para tokohnya rapuh.
Sebaliknya, jika kita ingin mengulang keberhasilan dalam politik, juga ada referensinya. Biasanya butuh proses dalam pendewasaan dan pematangan politik, tidak instan.
Modalnya keikhlasan dan senantiasa menjaga kemurniannya. Perjuangan yang terusmenerus, tidak mudah cepat puas dengan apa yang dicapainya. Lebih mengutamakan substansi daripada performa, atau lebih mengutamakan misi daripada gaya hidup. Wallahu Alam.

http://republika.pressmart.com/RP/RP/2011/03/29/ArticleHtmls/29_03_2011_002_012.shtml?Mode=1

Gereja sebagai Tertuduh: Pusat Kristenisasi

oleh Ade Armando


Penolakan terhadap pembangunan gereja terus berlangsung. Kepastian hukum tak dipedulikan. Semua mungkin bermula dari kebencian dan kecurigaan.

Kasus terakhir yang memperoleh perhatian media adalah penyegelan gereja GKI di Taman Yasmin Bogor. Kasus ini mengemuka mengingat jemaat gereja tersebut itu sudah menjalani segenap proses yang dibutuhkan untuk memperoleh kepastian hukum bagi pembangunan rumah ibadat mereka. Bahkan Mahkamah Agung sudah menyatakan bahwa mereka berhak mendirikan gereja di wilayah itu. Dan toh, Walikota Bogor mengabaikan begitu saja keputusan hukum yang seharusnya mengikat itu dengan tetap membekukan IMB dan menyegel gereja tersebut.

Sang Walikota berkukuh bahwa proses perolehan IMB bagi pembangunan gereja tersebut cacat hukum. Sang Walikota juga menyatakan ia memutuskan untuk menghentikan pembangunannya untuk meredam keresahan warga.

Contoh ini menjelaskan betapa seriusnya tekanan yang diberikan kelompok-kelompok Muslim konservatif untuk menghambat pembangunan gereja.

Dan ini mengherankan karena umat Islam selalu mengatakan bahwa dalam Islam ada prinsip menghormati keyakinan umat beragama lain. Ayat yang sangat terkenal berbunyi: "Bagiku, agamaku; Bagimu, agamamu." Prinsip sederhananya: “Kalaupun kita berbeda, marilah kita tak saling mengganggu dalam hal keyakinan."

Lantas, mengapa umat Islam nampak begitu saja mengabaikan ajaran yang sedemikian luhur?

Jawabannya, nampaknya karena ada pihak-pihak yang dengan sengaja menyebarkan gagasan bahwa gereja bukanlah sekadar tempat ibadat. Dalam skema ini, gereja dituduh sebagai tempat pemurtadan umat Islam agar meninggalkan agamanya untuk menjadi penganut Kristen. Dan mengingat –menurut kalangan konservatif ini– murtad adalah sebuah bentuk kejahatan yang pantas mendapat hukuman mati, maka pihak yang mendorong orang menjadi murtad, harus pula dibasmi.

Argumen semacam ini bisa dibaca dalam berbagai penerbitan dan media online yang membawa suara kubu Islam konservatif, seperti: Suara Islam, Voice of Al Islam atau Hidayatullah. Salah satu tokoh yang berpengaruh dari kubu itu adalah Adian Husaini, yang memperoleh gelar doktor dalam bidang pemikiran dan peradaban Islam dari Istac, International Islamic University, Malaysia. Setiap Minggu ia menulis Catatan Akhir Pekan untuk Radio Dakta di Jakarta dan website Hidayatullah.

Sekitar 11 tahun lalu Adian menulis buku berjudul, "Gereja-gereja Dibakar: Membedah Akar Konflik SARA di Indonesia." Buku itu ditulis untuk menjelaskan latar belakang pembakaran sejumlah gereja yang dalam beberapa tahun semenjak menjelang jatuhnya Soeharto meningkat. Akar masalah yang ditunjuk Adian adalah Kristenisasi.

Menurutnya, Kristenisasi merupakan musuh utama umat Islam di Indonesia. Kristenisasi adalah bagian dari kolonialisme Barat untuk mencengkeramkan kukunya di dunia Islam. Upaya mengkristenkan rakyat Indonesia sudah dilakukan sejak jaman penjajahan Belanda, dilanjutkan di masa kemerdekaan dan Orde Baru, dan masih berlanjut sampai sekarang. Bagi Adian, umat Islam harus bersatu dalam mencegah kemungkaran yang dibawa para pemuka Kristen. Dalam konteks peperangan melawan Kristenisasi itulah, gereja-gereja dibakar.

Sampai saat ini, argumen Adian nampaknya tidak berubah. Tokoh yang ironisnya duduk sebagai Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini secara konsisten menempatkan Kristen sebagai sumber masalah dalam soal kerukunan umat beragama di Indonesia.

Tulisan lengkapnya bisa diakses di

http://www.madina-online.net/index.php/editorial/907-editorial/354-gereja-sebagai-tertuduh-pusat-kristenisasi

Dunia yang Terhubung Kabel

Untuk memperlancar komunikasi dan memperkuat kekuasaan mereka di tanah jajahan, Eropa membangun jaringan kabel telegraf di bawah laut.

IMPERIUM mulai terbentuk di Eropa pada akhir abad ke-18. Mereka butuh berhubungan dengan koloni-koloninya untuk tujuan politik dan militer –juga memperluas pasar. Tapi, saat itu, dengan sebuah kapal, butuh waktu berbulan-bulan untuk mengirimkan pesan dari koloni ke ibukota imperium, atau sebaliknya. Di darat, kurir atau kuda tak kalah lambat. Cuaca dan keamanan juga jadi kendala.

Keterbatasan itu bisa berdampak luar biasa. Salah satu pertempuran dalam Perang Amerika Serikat-Inggris yang menimbulkan banyak korban adalah Pertempuran New Orleans pada 8 Januari 1815. Padahal Perjanjian Ghent (Belgia) yang mengakhiri perang sudah ditandatangani pada 24 Desember 1814 –sekira dua minggu sebelum pertempuran! Tak ada pihak yang menyadari bahwa perang sudah berakhir.

Pemerintah Belanda juga kena imbas akibat keterbatasan komunikasi selama Perang Jawa. John Tully dalam “A Victorian Ecological Disaster: Imperialism, the Telegraph and Gutta-Percha”, dimuat di Journal of World History terbitan University of Hawaii Press, edisi No 4 tahun 2009, menulis bahwa pemerintah Belanda tak bisa tahu kebutuhan pengiriman balabantuan ke Jawa untuk menghentikan perlawanan Diponegoro selama berbulan-bulan setelah pecah pada 1825. Kendala komunikasi memberi kontribusi bagi berlarut-larutnya Perang Jawa.

Penemuan telegraf membuat pengiriman pesan bisa dilakukan dengan hampir seketika berkat William Fothergill Cooke dan Charles Wheatstone, yang mengajukan paten sistem telegraf listrik di Inggris pada 1837. Telegraf akan mengirimkan pesan dengan menggunakan denyut elektronik yang diteruskan oleh kawat tembaga. Kode yang diterima disebut kode Morse seperti nama penciptanya dari Amerika, Samuel Finley Breese Morse. Jalur telegraf pertama dipasang antara Washongton dan Baltimore. Samuel Morse mengirimkan pesan pertama pada Mei 1844: “Apa yang diciptakan Tuhan?”

Setelah itu tinggal menunggu waktu untuk menghubungkan dunia. Namun keinginan itu tertunda bertahun-tahun karena kendala teknis: bagaimana membuat dan memasang ratusan ribu kilometer kabel yang melintang di dasar laut. Dan kunci keberhasilan sistem baru ini adalah plastik alami bernama gutta-percha, yang terbukti ampuh sebagai pelapis kabel bawah laut.

Kabel telegraf bawah laut pertama diletakkan oleh Jacob dan John Watkins Brett bersaudara melintasi Selat Inggris, yang memisahkan Inggris dan Prancis, pada Agustus 1850. Sempat rusak setelah bekerja sehari, ia akhirnya kembali terpasang dengan baik dari Dover (Inggris) ke Calais (Prancis) setahun kemudian.

“Gutta-percha terbukti pelapis ideal untuk kabel bawah laut, dan manfaat lebih lanjut untuk penggunaan kabel ditemukan bahwa alat yang dilapisi gutta-percha bertambah baik di bawah tekanan dan suhu di dasar laut. Gutta-percha tetap menjadi bahan utama untuk pelapis kabel bawah laut selama lebih dari 80 tahun,” tulis Bill Burns dalam “Wire Rope and the Submarine Cable Industry”, yang dimuat di www.atlantic-cable.com, merujuk pada Palaquium, termasuk famili Sapotaceae, yang umum terdapat di Indonesia.

Upaya menghubungkan Eropa berlanjut. Pada 1852, Britania Raya terhubung dengan Irlandia, lalu London-Paris. Inggris-Belanda terhubung oleh kabel yang melintasi Laut Utara, dari Orford Ness ke The Hague pada 1853. Kabel-kabel juga melintasi Lautan Atlantik dan Pasifik.

Tapi orang yang menjadikan gutta-percha sebagai pembicaraan dunia adalah Cyprus Field, seorang pebisnis dan pemodal Amerika yang memimpin Atlantic Telegraph Company. Field melakukan upaya pertama untuk memasang kabel telegraf trans-Atlantik pada 1858. Pesan pertama yang dikirim melalui kabel itu terjadi pada 16 Agustus 1858: “Kemuliaan bagi Tuhan yang Mahatinggi; di bumi, perdamaian dan kemauan baik akan menghampiri semua orang.” Lalu Ratu Victoria dari Inggris mengirim telegram ucapan selamat kepada Presiden Amerika Serikat James Buchanan. Keduanya juga berharap teknologi komunikasi ini akan mengeratkan hubungan di antara bangsa-bangsa.

Antusiasme atas kehadiran teknologi baru itu membuncah. Keesokan harinya, sebagai bentuk penghormatan, letusan 100 senjata bergema di New York City. Jalan-jalan dihiasi bendera. Lonceng gereja berbunyi. Dan pada malam hari kota itu gemerlap oleh lampu-lampu. Dunia sebagai “kampung global” tinggal menunggu waktu saja.

Namun dalam waktu satu bulan koneksi gagal karena tegangan yang berlebihan. Pesimisme muncul. Kepercayaan investor menurun. Upaya memulihkan koneksi pun tertunda. Akhirnya koneksi kembali lancar setelah upaya pada 1865 dan 1866, dengan kapal uap terbesar di dunia, SS Great Eastern, dan teknologi yang lebih maju. Great Eastern kemudian melanjutkan pemasangan kabel pertama itu hingga mencapai India dari Aden, Yaman, pada 1870.

Setelah sukses meletakkan kabel trans-Atlantik, imperium mulai menghubungkan kawasan-kawasan jajahannya. Ini bukan saja memungkinkan pesan dan maklumat bisa dikirimkan ke mana saja dengan cepat, tapi juga memperkuat kekuasaan mereka di tanah jajahan. Pada 1870-an, kabel telegraf bawah laut terpasang untuk menghubungkan Eropa dengan Afrika, Asia, Australia, dan Amerika Selatan.

Hindia Belanda juga memasuki era komunikasi baru ini. Pada 1855, Raja Willem III menyetujui usul pemerintah jajahan mengenai proyek telegraf. Setahun kemudian, saluran telegraf pertama dipasang antara Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor), yang menggantung pada pohon-pohon randu. Untuk keperluan itu pemerintah mewajibkan rakyat menanam pohon randu di sepanjang jalan. Penggunaan telegraf di Hindia Belanda kali pertama secara resmi ditandai dengan pengiriman telegraf oleh Ir Groll, kepala Dinas Telegraf Pemerintah, dari Batavia Centrum ke Buitenzorg (Bogor), kediaman Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud.

Mulanya penggunaan telegraf terbatas untuk keperluan pemerintah. “Namun, sejak 1857, kawat antara Batavia dan Surabaya dibangun dan dapat digunakan pula oleh swasta. Pada 1859, jaringan di Jawa panjangnya 2.700 km dan terdapat 28 pos untuk umum,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya.

Hubungan dengan dunia luar dimulai pada 1859 ketika kabel pertama dipasang R.S. Newall & Company, produsen kabel yang berkantor di Gateshead, Inggris. Kabel itu membujur dari Singapura ke Batavia sepanjang 550 nm, tapi rusak begitu dipasang, “putus oleh jangkar kapal,” tulis Lewis D.B. Gordon, mitra di R.S. Newall & Company, mengenai pemasangan kabel itu, berjudul “1859 Batavia-Singapore Cable”, dimuat di www.atlantic-cable.com.

“Mr Newall yang malang, saya kasihan padanya karena (pekerjaan ini ) harus tertahan dari yang dia perkirakan. Tapi perkiraannya memang tak masuk akal, dan dia (harus) diyakinkan ketika dia mendengar segala penyebab keterlambatan kami untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu yang ditentukan.”

Tampaknya terjadi masalah yang berlarut-larut antara pemerintah dan R.S. Newall & Company sehingga butuh waktu sepuluh tahun lebih untuk kembali mencoba membangun jaringan kabel bawah laut. Pada 1870, seperti ditulis Bill Glover dalam “Dutch East Indies Government”, yang dimuat di www.atlantic-cable.com, British-Australian Telegraph Company memasang kabel dengan rute yang sama dan rute lainnya, dari Banyuwangi ke Darwin. Pemerintah Hindia Belanda juga memasang kabel-kabel di sejumlah pulau. Pada 1882, sekira 290 mil dipasang oleh kapal-kapal Eastern Extension, Australasia and China Telegraph Company (EEACTC), perusahaan yang dibentuk pada 1873 di mana British-Australian Telegraph Company masuk di dalamnya.

Kabel lain dipasang antara Jawa-Bali-Makassar (1888), Medan-Aceh (1892), Bali-Lombok dan Olehleh-Sabang (1897), Jawa-Banjarmasin (1901), Balikpapan-Kwandang (1903), Menado-Yap-Guam-Shanghai (1904), Balikpapan-Makassar (1905), Balikpapan ke Surabaya dan Kema-Ternate (1913), serta Surabaya-Makassar-Donggala-Menado (1921). Untuk perawatan, pemerintah membeli sebuah kapal yang kemudian diberi nama Telegraaf. Kapal ini bertugas hingga 1924 sebelum digantikan oleh CS Zuiderkruis.

Berkat gutta-percha wilayah-wilayah di Nusantara saling terhubung, dan menjadi bagian dari “kampung global”. Berkat gutta-percha pula, lewat sarana telegraf, dunia mengetahui kedahsyatan letusan Gunung Krakatau tahun 1883.

Telegraf-kabel menjadi usang ketika Graham Bell mematenkan telepon pada 1876 dan Guglielmo Marconi mematenkan telegraf nirkabel, dengan gelombang radio, pada 1896. Dunia siap bergerak lebih cepat.

“Pada 1933 pemerintah memutuskan meninggalkan jaringan kabelnya dan beralih pada nirkabel. Kegagalan demi kegagalan pada jaringan kabel (akhirnya) benar-benar membuatnya ditinggalkan,” tulis Glover. [BUDI SETIYONO]

http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-442-dunia-yang-terhubung-kabel.html