BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Masih Perlukah Partai Islam?

Masih Perlukah Partai Islam?

Written By gusdurian on Selasa, 29 Maret 2011 | 12.36

Muh Fajar Pramono Dosen ISID Gontor, Mahasiswa S-3 Komunikasi Pembangunan UGM

" Mengulang kegagalan dalam politik, kita mempunyai referensi atau rujukan. Umumnya, dalam catatan sejarah, kegagalan politik akan terjadi jika moral dan konsep politik para tokohnya rapuh.
Tidak bisa kita mungkiri bahwa saat munculnya Partai Keadilan (bisa dibaca: Partai Keadilan Sejahtera) memberikan harapan banyak pi hak. Tidak hanya khusus umat Islam, tetapi juga masyarakat umum yang waktu itu apatis terhadap politik. Banyak pihak yang semula langganan golput dalam setiap kampanye sebelumnya, kemudian menggunakan hak pilihnya. Mereka berharap dengan munculnya pola baru dalam berpolitik (yang ditawarkan Partai Keadilan waktu itu) akan bisa memberi warna baru dalam perpolitikan di Indonesia.

Pada mulanya, harapan itu seakan menjadi kenyataan. Banyak pihak beranggapan bahwa keberadaan Partai Keadilan sebagai reinkarnasi Masyumi yang lebih segar dan kreatif.
Terbukti perkembangan partai ini setidaknya antara pemilu 1999, 2004, dan terakhir 2009 mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan bisa mengungguli PBB, PPP, PAN, dan sekaligus PKB (2009), saat partai-partai tersebut mempunyai basis sosial dan ketokohan yang lebih definitif.

Menurut penulis, salah faktor kunci keberhasilan dari PK/PKS adalah "ada sesuatu yang berbeda", yang tidak ada pada partai-partai lain.

Kini, partai ini mendapat ujian serius, bukan dari orang luar, tetapi dari salah satu tokohnya yang ikut serta membidani lahirnya partai ini. Tanpa terjebak siapa yang salah atau benar, jika tidak dikelola dengan baik (konflik ini), tidak mustahil akan menuju pada kehancuran sebagaimana partai-partai besar sebelumnya.
Karena persoalan yang mengemuka ke publik sudah bukan lagi persoalan remeh, tetapi persoalan yang sensitif dan krusial, terutama menyangkut dugaan penyelewengan uang.

Namun, tidak mustahil fenomenanya mungkin jauh lebih runyam dari yang terlihat selama ini, terutama dari segi implikasinya. Bisa jadi fenomena ini tidak hanya semakin menguatkan tuduhan kelompok-kelompok Islam lainnya, seperti Gerakan Dakwah Salafy (Yamani) bahwa politik itu bid'ah (tidak mempunyai dasar hukum atau mengada-ada).
Lebih dari itu, bisa jadi akan mengukuhkan pemahaman masyarakat umum bahwa po litik itu memang identik de ngan konflik.

Atau makna yang sejenis, yang jauh dari upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas. Jadi, konsekuensinya akan mengakibatkan runtuhnya kepercayaan umat tidak hanya pada partai Islam, tetapi juga partai politik yang lain dalam mengatasi persoalan bangsa dan negara ini.

Berangkat dari titik tolak inilah penulis akan menjawab, apakah partai Islam masih perlu dalam sistem politik di Indonesia? Memang tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Untuk itu, sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin mengingat sekilas sejarah politik Islam di Indonesia.

Pertama, Syarikat Islam (SI). Tidak hanya fenomenal dalam perspektif politik Islam, tetapi juga fenomenal dalam politik kebangsaan. Karena SI tidak hanya memberi inspirasi bagi kebangkitan Islam, tetapi juga memberi inspirasi ke merdekaan Indonesia. Dari segi jumlahnya, tidak hanya besar melampaui Boedi Oetomo waktu itu (1908), tetapi juga menyebar di seluruh Indonesia.

Kemudian dalam perkembangannya, mengapa kemudian muncul SI-Merah dan SIPutih, yang kemudian mengakibatkan SI menjadi kerdil?
Banyak teori yang menjelaskan, salah satunya karena ku " rang kokohnya konsep dan moral sebagian para tokohnya.

Kedua, fenomena Masyumi.
Di samping mempunyai kekuatan yang signifikan di parlemen (1955), juga tidak bisa diremehkan dalam pemerintahan, tepatnya di masa percobaan demokrasi, atau yang dikenal dengan sistem pemerintahan parlementer (19501957), saat para tokohnya dipercaya memegang tampuk pemerintahan, seperti Pemerintahan Sukiman, Pemerintahan Natsir, Pemerintahan Syafrudin Prawiranegara, dan berbagai prestasi yang melekat.

Singkatnya, dari segi politik, mungkin jauh yang telah dicapai oleh Masyumi pada masa itu dibandingkan apa yang sudah dicapai oleh PK/ PKS sekarang. Kemudian, Masyumi dalam perjalanannya bubar. Sekalipun lebih karena faktor eksternal.

Namun, jauh sebelum kita, umat Islam mempunyai sejarah keberhasilan yang gemilang dalam politik, yang terlihat dengan keberadaan Kerajaan Islam Demak (1475-1518), Kerajaan Aceh (1515-1528), Kerajaan Pajang (1582), Kerajaan Islam Mataram (15801601), Kerajaan Cirebon, Sunan Gunung Jati atau Fatahillah (1524-1570). Juga, Kerajaan Banten (1522-1586), Kerajaan Ternate (1570), dan Sultan Iskandar Muda (16071636).

Kemunculan mereka tidak tiba-tiba, tetapi butuh proses penyadaran yang panjang dengan semangat perjuangan dan pengorbanan yang tinggi. Tidak cepat puas dengan hasil yang telah mereka capai. Sehingga keberhasilan pada masa itu tidak hanya berdimensi politik, tetapi memberi warna peradaban, yang menjadikan Islam hingga sekarang mempunyai akar yang kuat di Indonesia (baca: sebagai agama mayoritas).

Artinya, kita mempunyai catatan sejarah kegagalan dalam berpolitik dan catatan keberhasilan yang gemilang dalam sejarah politik di Indonesia. Jadi, semua berpulang pada kita. Mengulang kegagalan dalam politik, kita mempunyai referensi atau rujukan. Umumnya, dalam catatan sejarah, kegagalan politik akan terjadi jika moral dan konsep politik para tokohnya rapuh.
Sebaliknya, jika kita ingin mengulang keberhasilan dalam politik, juga ada referensinya. Biasanya butuh proses dalam pendewasaan dan pematangan politik, tidak instan.
Modalnya keikhlasan dan senantiasa menjaga kemurniannya. Perjuangan yang terusmenerus, tidak mudah cepat puas dengan apa yang dicapainya. Lebih mengutamakan substansi daripada performa, atau lebih mengutamakan misi daripada gaya hidup. Wallahu Alam.

http://republika.pressmart.com/RP/RP/2011/03/29/ArticleHtmls/29_03_2011_002_012.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: