Agama bukan saja persoalan ibadah ritual di masjid, gereja, pura, wihara dan tempat ibadah lainnya. Agama mengajarkan kepada pemeluknya agar memiliki sebuah tanggung jawab sosial. Jika agama gagal mewujudkan tanggungjawab sosialnya maka, bukan tidak mungkin spirit dari agama tersebut sejatinya telah mati di masyarakat.
Persoalan kemiskinan adalah persoalan sosial yang harus menjadi perhatian institusi agama. Di Indonesia, kemiskinan masih menjadi problem yang harus segera diselesaikan. Bahkan di Jakarta, kota tempat presiden, wakil presiden dan wakil rakyat berkantor, kemiskinan dapat dilihat secara nyaris telanjang. Seperti yang ditulis oleh Ketua Forum Warga Kota (Fakta) Azas Tigor Nainggolan dalam makalahnya untuk lokakarya HAM di Jakarta beberapa waktu silam.
Dalam makalah itu dituliskan tentang seorang ibu yang terpaksa memilih untuk bunuh diri karena kemiskinan yang melilit hidupnya. Ibu itu telah melakukan bunuh diri bersama 2 anaknya. Bunuh diri itu dilakukan dengan membakar diri di rumahnya di daerah Koja Jakarta Utara. Menurut isi surat yang ditulis dan ditinggalkan pada suaminya Mahfud, sang ibu mengungkapkan, bahwa dia sudah tidak tahan lagi menanggung kemiskinan hidup dan melihat penderitaan anak mereka.
Di negeri ini kemiskinan seperti sebuah lingkaran setan. Orang menjadi miskin salah satu sebabnya karena tidak sekolah, namun sebaliknya karena miskin sesorang tidak bisa sekolah. Suka tidak suka lingkaran setan itu harus diputus. Dan agama melalui lembaga-lembaga pendidikannya memiliki peran untuk memutus lingakaran setan kemiskinan itu.
Jika demikian halnya maka, pertanyaan berikutnya adalah apakah selama ini sekolah-sekolah yang memakai label agama telah ikut berperan dalam mengentaskan kemiskinan melalui pendidikan?
Salah satu sekolah yang berlabel agama di kawasan Jakarta Timur dapat dijadikan salah satu untuk menguji sejauh mana komitmen sekolah berlabel agama terhadap pengentasan kemiskinan. Sekolah itu menyelenggarakan pendidikan sejak dini, dari kelompok bermain (KB) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Selain memakai label agama sekolah itu juga mengklaim sebagai sekolah hijau. Sebuah perpaduan label yang menarik untuk dijual. Sekolah yang berbasiskan nilai-nilai religius dan ramah lingkungan hidup.
Lantas bagaimana dengan biaya pendidikan di sekolah tersebut? Untuk tingkat kelompok bermain, sekolah itu mematok harga sekitar Rp. 10 jutaan di tahun pertama, termasuk uang pangkal, uang sekolah dan biaya lainnya. Biaya pendidikan pun semakin mahal seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Untuk SMP misalnya, sekolah itu mematok harga sebesar kurang lebih Rp. 15 jutaan.
Bagaimana biaya pendidikan di sekolah dengan label agama lainnya. Di website keluargacerdas.com dituliskan beberapa sekolah di kawasan Jakarta yang mematok biaya pendidikan selangit, termasuk di dalamnya sekolah yang memakai label agama. Untuk jenjang kelompok bermain, sekolah mematok harga antara Rp. 3 juta - Rp.7 juta untuk uang pangkalnya. Sementara untuk uang sekolah bulannya bisa mencapai Rp. 400-800 ribu. Seperti pola pada umumnya, biaya sekolah pun akan semakin mahal seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Untuk tingkat SMA misalnya, biaya pendidikannya bisa berkisar Rp. 22 juta.
Melihat tingginya biaya pendidikan di sekolah-sekolah yang berlabel agama tersebut maka timbul pertanyaan apakah warga miskin dapat menikmatinya? Hal ini penting untuk dilihat karena setiap agama mengajarkan pemeluknya agar senantiasa berpihak kepada kelompok miskin. Bahkan dalam agama Islam, secara jelas mengecam para pemeluknya yang tidak peduli terhadap kepentingan orang miskin sebagai pendusta agama.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pengeluaran kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan atau Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) di Jakarta pada tahun 2010 sebesar Rp 117.682 per bulan. Dari angka ini jelas terlihat bahwa warga miskin di Jakarta tidak akan mampu menikmati pendidikan yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah yang memakai label agama tersebut.
Keluarga dari kelas sosial menengah-atas di Jakarta yang orang tuanya memiliki pendapatan setidaknya Rp. 5 jutaan per bulan, pun belum tentu mampu menikmati pendidikan 'bermutu' dari sekolah-sekolah yang berlebel agama tersebut. Anak-anak yang berasal dari keluarga kelas sosial menengah-bawah sudah pasti harus berada di luar pagar sekolah-sekolah yang berlabel agama tersebut.
Memang tidak semua sekolah yang memakai label agama mematok biaya pendidikan yang mahal seperti tersebut di atas. Namun setidaknya terdapat fakta bahwa ada beberapa sekolah berlabel agama yang telah menutup pintu bagi kelompok miskin melalui instrumen biaya pendidikan di sekolah tersebut.
Artinya, mulai muncul sebuah paradigma di sekolah-sekolah yang berlabel agama itu bahwa pendidikan adalah sebuah komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk memupuk keuntungan. Jika dibiarkan kecenderungan ini, maka agama akan sekedar dijadikan label dagang bukan sebuah jalan hidup untuk memberikan rahmat bagi kemanusiaan.
Dijadikannya agama menjadi sekedar label dagang tentu sangat membahayakan. Spirit agama yang mampu menjadi rahmat bagi masyarakat pun pudar. Sebagian sekolah-sekolah dengan label agama seperti berubah wujud menjadi perusahaan-perusahaan kapitalis yang didirikan untuk memupuk laba, tanpa sebuah tanggung jawab sosial.
Pilihannya mungkin hanya dua. Pertama, lembaga-lembaga pendidikan berlabel agama itu tetap memakai label agama tapi melaksanakan tanggungjawab sosialnya dengan memberikan porsi khusus bagi murid dari kalangan keluarga miskin. Atau pilihan kedua, lembaga-lembaga pendidikan itu tetap mengenakan biaya sekolah yang tinggi untuk memumpuk laba tapi melepaskan label agama. Karena agama terlalu mulia jika hanya menjadi sekedar label dagang.
Sumber: http://politikana.com/baca/2011/03/29/ironi-sekolah-berlabel-agama.html
Ironi Sekolah Berlabel Agama!
Written By gusdurian on Selasa, 29 Maret 2011 | 12.48
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar