BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

SUARA MAHASISWA, Pilih yang Bervisi Realistis

Written By gusdurian on Selasa, 26 Mei 2009 | 13.26

SUARA MAHASISWA, Pilih yang Bervisi Realistis

ING ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani.Begitulah kriteria seorang pemimpin menurut Ki Hadjar Dewantara.

Artinya seorang pemimpin harus bisa menjadi teladan ketika berada di
depan, mampu mengambil keputusan dengan bijak serta mempunyai visi yang
jelas dalam memimpin. Ketika pemimpin itu berada di tengah, dia mampu
membangkitkan semangat, memberikan harapan yang cerah; serta bersedia
ngemong rakyat dengan tulus ketika berada di belakang rakyat.

Ini tentu bisa menjadi referensi masyarakat Indonesia untuk memilih
capres-cawapres pada pemilihan umum presiden Juli mendatang. Ada tiga
pasangan capres-cawapres yang mendaftarkan diri ke KPU pada pilpres kali
ini. Mereka adalah SBY-Boediono, JK-Wiranto, dan Megawati-Prabowo.
Nama-nama mereka mungkin sudah tak asing lagi di telinga masyarakat
Indonesia.Mereka diketahui baik melalui iklan politik maupun cerita dari
kawan, tetangga, serta sanak saudara.

Selain itu, mereka jelas bukan ”orang baru”.Mereka telah malang
melintang dalam kancah perpolitikan negeri merah putih ini.Meski ada di
antara pasangan capres-cawapres yang bukan politikus.Walau begitu, latar
belakang dan skillmereka tak banyak diketahui masyarakat awam,apalagi
visi-misi yang mereka usung, apakah benar-benar untuk kesejahteraan
rakyat atau hanya untuk menarik hati rakyat agar memilih mereka pada
pemilu pilpres mendatang.

Untuk menentukan seorang pemimpin yang membawa Indonesia ke depan lebih
baik bukanlah hal mudah, meski bukan pula hal yang sulit. Artinya, kita
tidak boleh asal contreng sekehendak hati. Masyarakat sebagai pemilih
mesti pandai-pandai memilih yang terbaik di antara yang baik. Belajar
dari pengalaman pada pemilu sebelumnya, masyarakat memilih calon
pemimpin bangsa ini berdasarkan asas ”materi”, ajakan saudara,dan
politik pencitraan yang dilakukan partai politik.

Paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan masyarakat dalam
memilih capres dan cawapres mendatang. Pertama, janganlah tertipu dengan
slogan-slogan yang ditawarkan dalam iklan politik baik yang melalui
media cetak seperti koran, majalah, maupun media elektronik seperti
televisi dan internet.Kedua,pilih capres dan cawapres yang bervisi
realistis baik dari segi ekonomi,politik,sosial maupun bidang
lainnya.Pilih mereka yang mempunyai visi-misi yang jelas, operasional
dan bisa dipertanggungjawabkan. Pemimpin yang dapat membawa perubahan ke
arah yang lebih baik, melepaskan rakyat dari kemiskinan, kebodohan dan
ketertinggalan.

Bukan calon yang sekadar menyampaikan program-program yang
melangit,namun tertinggal hanya sebagai janji. Demokrasi itu menganggap
bahwa kita semua sebagai rakyat mempunyai kedudukan yang sama dengan
para pemimpin. Karena itu pula demokrasi mengedepankan one man one vote
dalam sistem pemilu agar suara semua orang tercakup.Untuk itulah jangan
pernah kita tergantung pada apa yang dijejalkan para pemimpin ke dalam
pemikiran ini.Sebagai rakyat tentu kita punya kebutuhan akan perbaikan
di berbagai bidang.

Saatnya masyarakat memilih pemimpin bangsa ini berdasarkan kredibilitas,
salah satunya sebagaimana yang ditawarkan Ki Hadjar Dewantara,bukan atas
dasar ”materi”semata atau lainnya demi Indonesia ke depan lebih baik.(*)

Muslimah
Mahasiswi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/241624/

Yang Asing yang Menjajah

Yang Asing yang Menjajah

Tak perlu pemanasan global dan perubahan iklim untuk kehancuran kekayaan
hayati Indonesia.

*CIBINONG *-- Virus flu H1N1 dari babi bukanlah satu-satunya spesies
asing meresahkan yang datang dari Meksiko. Di Indonesia, ada beberapa
spesies lain, seperti ikan kepala buaya, pohon akasia, dan kutu pepaya
/Paracoccus marginatus/. Setidaknya itu yang terungkap dalam temu wicara
wartawan dengan beberapa peneliti di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jumat lalu.

Namun, ini bukan soal Meksiko-nya. Ini soal daftar panjang spesies asing
yang menjelma invasif sehingga meresahkan para peneliti biologi di hari
Keanekaragaman Hayati Dunia, yang jatuh pada Jumat lalu. Tahun ini
perayaan memang mengangkat tema "Invasive Alien Species".
Spesies-spesies itu bisa menyebar cepat menumpang praktek perdagangan
bebas atau mekanisme pasar global, turisme, dan terakhir--namun bukan
yang terkecil--perubahan iklim.

Untuk kasus ikan kepala buaya, akasia, dan si kutu pepaya, semuanya
terindikasi, bahkan terbukti invasif. Sebagian karena berpotensi
menggusur spesies endemik (dampak ekosistem), sebagian lainnya sampai
menimbulkan dampak kerugian ekonomi.

Renny K. Wadiaty, peneliti di laboratorium iktiologi, mengungkapkan,
ikan kepala buaya bisa tumbuh dewasa sampai ratusan kilogram hingga
mendominasi sebuah habitat perairan yang dimasukinya. Terlebih perilaku
makannya yang omnivora dan cenderung karnivora. "Kulitnya keras dan
telurnya toksik. Tidak ada ikan lain yang sudi menjadi predator
untuknya," kata Renny.

Ikan jenis ini sudah membuat geger warga Bogor ketika ditemukan di
antara luapan Sungai Ciapus pada Februari 2005. Tahun lalu ikan jenis
ini "sudah sampai" Bandung, tepatnya muara Sungai Cikapundung di Desa
Mekarsari, Kecamatan Bojongsoang. Ikan aneh, begitu kabar yang tersiar
saat itu.

Siti Nuramaliati Priyono, Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI,
menegaskan, tidak semua spesies asing merusak ekosistem lokal. Banyak
contoh spesies impor yang bermanfaat lewat budidaya yang terkendali,
seperti padi, cokelat, karet, singkong, ikan mas, nila, dan lele dumbo.
"Ikan kepala buaya ini pun ketika masih ada dalam akuarium tidak menjadi
masalah," katanya.

Masalahnya, Siti--atau yang lebih akrab dipanggil Lili--menambahkan,
banyak praktisi yang tidak memperhatikan dampak spesies asing yang bisa
menjelma invasif ketika diintroduksi atau tidak sengaja terlepas ke
sebuah habitat alami atau semi-alami. Lili mengaku belum punya data
lengkap. Tapi di Amerika Serikat, ia mengungkapkan, invasi spesies asing
sudah menjadi ancaman nomor dua setelah perubahan habitat terhadap
kekayaan keanekaragaman hayati lokal.

Spesies asing di negeri itu menyebabkan sekitar 50 persen musnahnya
spesies lokal, melampaui tingkat ancaman yang datang dari polutan, lewat
perannya sebagai kompetitor, predator, dan parasit. "Di Indonesia
mungkin eksploitasi yang berlebihan yang menjadi ancaman terbesar," kata
Lili sambil menambahkan, "Tapi kita tentu tidak ingin ancaman invasi
spesies asing di Indonesia telanjur berkembang seperti di Amerika."

Bukan cuma spesies yang datang dari luar negeri yang harus diantisipasi
secara hati-hati, tapi juga yang dibawa pindah antarpulau. Untuk kasus
kedua ini, Rosichon Ubaidilah, ahli taksonomi, dan Ibnu Maryanto,
peneliti zoologi, bersama-sama mengutarakan contoh introduksi monyet
ekor panjang serta rusa Jawa di Papua.

Kedua spesies itu tidak memiliki predator di pulau yang baru lalu
berbiak cepat sehingga yang satu mencuri telur-telur Cendrawasih,
sementara yang lain menekan populasi kanguru pohon. "Papua Nugini
berulang kali memprotes Indonesia terkait dampak spesies-spesies
introduksi di Papua," kata Rosichon.

Kalau sudah begitu, tentu kebijakan karantina saja tidak cukup karena
hanya mengendalikan penyakit. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 buah
ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati 1994 sebenarnya lebih tepat.
Sayang, undang-undang ini terbukti tak mempan karena alasan yang sangat
klasik: tak ditegakkan.

Bahkan, Renny mengungkapkan, setahun yang lalu ia harus menyiapkan
presentasi yang mengingatkan kembali akan potensi bahaya ikan kepala
buaya sebagai sebuah spesies asing demi bisa mempertahankan sebuah surat
keputusan menteri bertahun 1982 yang melarang masuknya jenis ikan ini.
"Waktu itu alasannya karena sudah banyak petani budidaya ikan jenis
ini," katanya.

Setahun berselang, Renny mengaku tak tahu lagi kabar tentang surat
keputusan itu. Ia mengaku takut sekali membayangkan dampak yang
ditimbulkan ikan-ikan kepala buaya bila sampai lolos dalam skala yang
lebih luas daripada yang ditemukan di Bogor dan Bandung. "Bisa habis
ikan-ikan Indonesia," katanya.

"Itu sebabnya kami ingin ada semacam National Institute of Invasive
Species Science," Lili menambahkan.

***

Sunaryo adalah peneliti lain yang menjadi saksi mata beberapa jenis
flora asing invasif di Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat.
Sepanjang paruh kedua April lalu, dia menggelar studi dengan membuat
plot seluas 0,2 hektare, masing-masing di ketinggian 1.200 dan 1.500
meter di atas muka laut di taman nasional tersebut.

Ia membuktikan bahwa spesies-spesies seperti /Eupatorium sordidum Less/
dan /Eupatorium riparium Reg/ (keduanya jenis bunga aster asal Meksiko)
sangat dominan dan berpotensi menggusur spesies-spesies lokal. Terutama
jenis yang pertama, Sunaryo menduga keberadaannya di Gede Pangrango
tidak alami alias sengaja diintroduksi. "Bentuknya bagus dan banyak
sekali tumbuh di pinggir trek pendakian," katanya.

Total, Sunaryo menemukan lima jenis flora asing invasif dalam dua plot
penelitian yang dibuatnya itu. Jenis-jenis ini sukses mengucilkan
spesies lokal semacam pohon Rasamala. "Bunga aster sangat mudah menyebar
dengan bantuan angin," Sunaryo menjelaskan, "dan /Eupatorium sordidum/
adalah tanaman rendah yang sangat rimbun atau rapat. Perdu lain atau
biji Rasamala yang jatuh dari pohonnya tak akan punya kesempatan untuk
tumbuh."

Dampak yang lebih parah sudah terjadi di Taman Nasional Baluran di
Situbondo, Jawa Timur. Di sana, Rosichon mengungkapkan, pohon jenis
/Acacia nilotica/ sudah mendominasi sampai 50 persen area savana dengan
laju pertumbuhan 100-200 hektare per tahun. "Mereka (Taman Nasional
Baluran) kelihatannya sudah menyerah untuk bisa mengendalikannya,"
katanya. Dia menambahkan, upaya pencabutan pohon dengan buldoser tetap
saja menyisakan tuna-tunas baru. "Dibakar juga tidak bisa karena
pohonnya tahan api."

Dampak terbaru dari ulah spesies asing diamati Rosichon pada tanaman
hias di Bogor. Kutu-kutu /Paracoccus marginatus/, yang pernah
mengobrak-abrik sentra pepaya di kota yang sama, ternyata ketahuan
hinggap di tanaman hias di pinggir jalan. Ia pernah melihat langsung
beberapa pemilik usaha tanaman hias (di Bogor) sudah sibuk menyemprotkan
obat pembasmi kutu-kutu itu.

"Hal-hal seperti ini kelihatannya sederhana, tapi dampak ekonominya luar
biasa," kata Rosichon merujuk biaya tambahan yang dikeluarkan setiap
petani kalau harus membeli insektisida. "Belum lagi dampak ekosistemnya,
karena hilangnya satu spesies pasti akan mempengaruhi spesies lainnya."
*WURAGIL
*

*
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/26/Ilmu_dan_Teknologi/krn.20090526.166181.id.html
*

Platform Asli dan Asli tapi Palsu

Platform Asli dan Asli tapi Palsu

Tadinya saya termasuk orang yang bergembira dengan komposisi tiga
capres/cawapres yang akan bertarung dalam “presidential race” kali ini.

Kegembiraan itu dipicu oleh kemungkinan adanya pertandingan gagasan
ekonomi yang menarik karena perbedaan spektrum yang luas antarkandidat.
Pertama, incumbent, dengan segala prestasi dan keterbatasannya, mudah
dinilai platform ekonominya dengan melihat pekerjaan yang dilakukan
sekitar lima tahun terakhir.

Kedua, pasangan Megawati-Prabowo merupakan kombinasi yang kompleks,
mengingat perbedaan antara kebijakan ekonomi yang dilakukan Megawati
selama menjadi presiden dengan platform Prabowo (Partai
Gerindra).Ketiga, pasangan JK-Wiranto mengemukakan platform ekonomi yang
tampak tidak terlalu “heroik”, tetapi disemangati oleh realitas ekonomi
yang ada di lapangan.Ketiga dasar platform itulah yang membuat saya
berpikir akan terjadi pertarungan ide yang apik.

“Crouching Tiger”

Bayangan pertarungan ide yang keras dan menarik itu mendadak punah
ketika deklarasi SBYBoediono dilakukan. Orasi Boediono sebagian
diarahkan untuk membalik serangan yang menuduhnya sebagai ekonom
“neoliberal”.

Secara eksplisit Boediono menyatakan tidak percaya dengan mekanisme
pasar bebas dan justru menghendaki intervensi negara melalui regulasi
yang kuat.Tentu saja ini menjadi antiklimaks karena pertarungan ide
“head to head”yang diharapkan itu menjadi pupus. Terhadap pernyataan
Boediono tersebut terdapat dua hal yang dapat dikomentari. Pertama,
sebetulnya Boediono perlu memberi pelajaran yang bagus kepada publik
mengenai jalur neoliberal.

Pembelajaran itu tidak lain adalah memberi argumentasi rasionalitas di
balik paham itu, tentu di samping kelemahan yang ada di baliknya.
Sebaliknya, saya malah menangkap adanya ketakutan yang berlebihan
terhadap tuduhan itu, sehingga mesti disembunyikan dalam desain platform
ekonominya. Kedua, pengelakan itu berpotensi menjadi petaka jika
dikaitkan dengan kebijakan yang diproduksi pemerintah selama ini,
khususnya 4–5 tahun terakhir.

Pada saat publik memberikan stempel neoliberalisme terhadap platform
ekonomi pemerintahan sekarang (di mana Boediono menjadi pemandunya),
tentu tidak dalam posisi menganggap segalanya begitu bebas dan tanpa
perlu adanya intervensi negara.

Neoliberalisme dalam pemaknaan yang akademik dicirikan dengan
kepercayaan mekanisme pasar untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi,
sektor swasta diberi ruang yang besar dalam kegiatan ekonomi, modal dan
investasi menjadi motor pembangunan ekonomi, intensitas perdagangan
internasional, dan penanaman modal/utang asing sebagai pendorong
pembangunan.

Pertanyaannya, bukankah pilarpilar seperti itu yang dipraktikkan selama
ini? Bukankah di samping ada kelemahan, pendekatan itu juga memproduksi
keunggulan (seperti yang diklaim selama ini)? Karena itu, penyangkalan
terhadap cap neoliberalisme itu sebenarnya tidak perlu dilakukan.
Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah pernyataan terbuka tentang
rasionalitas ide itu untuk membangun Indonesia.

Pada forumforum seminar dan diskusi gagasan itu terus dijual dan
dipamerkan, tapi mengapa dalam pertandingan politik mereka justru
seperti “macan merunduk” (crouching tiger)? Publik mengharapkan Boediono
dan tim ekonominya justru berdiri tegak menjelaskan pilihan paham dan
kebijakan ekonomi yang diambil selama ini,bukannya kabur/merunduk dengan
penjelasan yang amat sumir.

Sebab,sebagai sebuah paham, neoliberalisme juga layak diberi panggung
dalam pilihan kebijakan ekonomi di Indonesia. Sayangnya, penganut dan
penganjur mazhab ini tidak memiliki kepercayaan yang teguh atas paham
yang diyakininya (setidaknya dalam medan politik). Inilah yang nantinya
menghadirkan selisih jalan antara platform yang diucapkan dan kebijakan
yang diimplementasikan.

Uji Konsep Alternatif

Sementara itu, terdapat peluang yang besar bagi penganjur paham yang
lain untuk mencari alternatif yang segar bagi pembangunan ekonomi
Indonesia. Sebab, sekurangnya selama 4 dekade terakhir konsep
pembangunan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola
perekonomian Indonesia bisa dikatakan satu warna.

Jika istilah neoliberalisme dianggap terlalu keras,setidaknya selama ini
pemerintah memberi peran yang sangat besar bagi pasar untuk
mengalokasikan kegiatan ekonomi. Selain itu intervensi pemerintah kian
dilucuti, semangat yang menggebu untuk mendatangkan penanaman modal
asing dan utang luar negeri, serta dukungan terhadap liberalisasi
keuangan dan perdagangan.

Hasilnya, di samping prestasi-prestasi ekonomi yang dipublikasikan dan
diklaim selama ini, seperti pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
makroekonomi; juga menyembulkan luka pembangunan yang tidak kalah
banyak, misalnya kemiskinan, ketimpangan, pengangguran, eksploitasi
sumber daya alam, ketergantungan utang,dan porsi pelaku ekonomi asing
yang kian membesar. Tawaran pasangan JK-Wiranto yang mengusung tema
“kemandirian ekonomi” harus diperkuat dan diuji dengan agenda ekonomi
yang lebih detail, sehingga tidak jatuh dalam jargon kosong yang sulit
diimplementasikan.

Dalam beberapa hal agenda detail itu sudah diperinci cukup jelas,
misalnya mengurangi atau meniadakan campur tangan konsultan dan lembaga
asing (multilateral), fokus kepada pembangunan sektor riil ketimbang
sektor keuangan/pasar modal, dan pemihakan terhadap pelaku ekonomi kecil
dan sumber daya ekonomi lokal. Jika agendaagenda ini dijelmakan dalam
kebijakan ekonomi, maka potensi untuk mengubah tampilan ekonomi
Indonesia menjadi cukup besar.

Sekurangnya, dengan fokus kepada sektor riil, maka problem pengangguran
akan teratasi karena pembukaan kesempatan kerja lebih banyak di sektor
riil, bukan sektor keuangan. Hasilnya, persoalan kemiskinan dan
ketimpangan pendapatan juga terselesaikan dengan sendirinya. Seterusnya,
tawaran pasangan Megawati-Prabowo juga tidak kalah menawan.Hanya,publik
dalam beberapa hal agak skeptis akibat sejarah pemerintahan Megawati
sebelumnya yang tidak kalah masif dalam melakukan liberalisasi, seperti
penjualan BUMN.

Sungguhpun begitu, tanpa menengok kisah lampau itu, platform ekonomi
yang diusung Prabowo (seperti dipahami, Prabowo akan diberi wewenang
mengurus ekonomi jika pasangan ini terpilih) memberikan warna yang
kontras.Antusiasmenya yang begitu menyala untuk membangun ekonomi
kerakyatan lewat pembelaan terhadap kaum tani, nelayan, buruh, sektor
informal, pasar tradisional, dan lainnya perlu diapresiasi karena
sekurang-kurangnya dia tidak takut terhadap resistensi dari konstituen
lain (misalnya pengusaha besar).

Akhirnya, risalah ini semoga bermanfaat untuk memberi penilaian platform
pasangan mana yang berpotensi menghadirkan kesatuan napas antara gagasan
dan tindakan (platform asli),serta platform mana yang cuma ditampilkan
untuk menjala para pemilih (platform aspal alias asli tapi palsu).(*)

Ahmad Erani Yustika
Direktur Eksekutif Indef, Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Brawijaya



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/241622/

Mengukur Janji Pertumbuhan Ekonomi

Mengukur Janji Pertumbuhan Ekonomi

*Teguh Dartanto*

# Peneliti LPEM FEUI, sedang belajar di Universitas Nagoya, Jepang

Isu ekonomi merupakan isu yang paling hangat disuarakan oleh para calon
presiden dan calon wakil presiden pada Pemilihan Umum 2009. Para
pasangan calon berlomba menebar janji pertumbuhan ekonomi tinggi dengan
harapan mampu menyihir para pemilih pada pemilihan presiden Juli 2009.
Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto mengusung ekonomi kemandirian dengan janji
pertumbuhan 8-9 persen, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono
mengusung ekonomi konvensional dengan target pertumbuhan 7 persen,
sedangkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto mengusung
ekonomi kerakyatan dengan janji pertumbuhan 10 persen (/Vivanews/, 18
Mei 2009).

Kita sebagai warga negara sudah seharusnya tidak kehilangan daya kritik
melihat janji-janji tersebut. Apakah janji-janji tersebut masuk akal
atau janji sekadar janji yang tidak pernah bisa ditepati. Angka-angka
pertumbuhan patut dikritik secara teoretis dan pembuktian empiris
berdasar pengalaman Indonesia.

Literatur ekonomi menunjukkan sumber pertumbuhan ekonomi terbagi menjadi
tiga komponen utama, yaitu pertumbuhan barang modal, pertumbuhan tenaga
kerja/tenaga kerja terdidik, dan pertumbuhan produktivitas (Solow, 1957,
dan Abramovitz, 1956). Penelitian empiris mengenai pertumbuhan ekonomi
Indonesia kurun waktu 1880-2007 menunjukkan rata-rata pertumbuhan barang
modal 4,3 persen per tahun, pertumbuhan tenaga kerja terdidik 2,3 persen
per tahun, dan pertumbuhan produktivitas (/total factor productivity/)
0,3 persen per tahun (Van der Eng, 2008). Jika kontribusi modal dan
tenaga kerja dalam perekonomian masing-masing 25 persen dan 75 persen,
untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi 10 persen per tahun dibutuhkan
pertumbuhan barang modal sebesar 20 persen per tahun, pertumbuhan tenaga
kerja terdidik sebesar 4 persen per tahun, dan pertumbuhan produktivitas
sebesar 2 persen per tahun (2+(0,25 x 20)+(1-25) x 4 = 10).

Meningkatkan pertumbuhan tenaga terdidik sebesar 4 persen dan
produktivitas sebesar 2 persen bukanlah hal yang mudah dan dapat
dilakukan secara instan. Sedangkan untuk meningkatkan akumulasi modal
sebesar 20 persen bukanlah perkara mudah di tengah krisis ekonomi global
saat ini. Tanpa adanya krisis ekonomi global sekalipun pertumbuhan
barang modal sebesar 20 persen per tahun sangat mustahil untuk diraih.
Data Bank Indonesia kurun waktu 2000-2008 menunjukkan rata-rata
pertumbuhan barang modal sekitar 7,1 persen per tahun.

Kondisi ini diperparah oleh penurunan perekonomian negara-negara mitra
dagang utama Indonesia pada 2009. Berdasarkan prediksi Dana Moneter
Internasional (IMF), negara-negara yang tergabung dalam OECD, seperti
Jepang, akan mengalami kontraksi 6,19 persen, Amerika turun 2,75 persen,
Australia turun 1,5 persen, Jerman turun 5,6 persen, Singapura turun
9,99 persen, dan Korea turun 4.01 persen (IMF, 2009). Penurunan
perekonomian negara mitra dagang akan mengakibatkan penurunan ekspor
Indonesia ke negara-negara tersebut. Hal ini semakin menekan pertumbuhan
ekonomi nasional.

*Strategi mengejar pertumbuhan *

Apa pun jargon ekonomi yang diusung oleh para calon presiden, terdapat
dua strategi utama untuk mencapai janji pertumbuhan ekonomi di atas.
Pertama, optimalisasi peranan pasar domestik untuk menggerakkan
perekonomian nasional untuk menggantikan penurunan kegiatan ekspor.
Indonesia dengan jumlah penduduk besar merupakan potensi pasar yang
cukup menjanjikan. Sayangnya, potensi ini tidak dibarengi dengan
kemampuan daya beli yang memadai, sehingga daya dukung pasar domestik
untuk menggerakkan perekonomian nasional memiliki keterbatasan.

Kedua, meningkatkan investasi, karena tanpa adanya investasi barang
modal, pertumbuhan ekonomi adalah sebuah keniscayaan. Cara mudah tapi
belum tentu efektif untuk meningkatkan investasi adalah dengan
menurunkan suku bunga. Cara ini merupakan resep generik Keynes yang
sangat menarik dari sisi teori tapi belum tentu berjalan di dunia nyata,
karena permasalahan investasi di Indonesia tidak sesederhana gambaran
teori Keynes. Terdapat berbagai permasalahan yang menghambat investasi
di Indonesia, seperti ketidakmerataan infrastruktur, informasi yang
tidak sempurna, permasalahan birokrasi, permasalahan kolateral bagi
usaha kecil dan menengah, akses terhadap pasar modal/kredit, serta
penegakan hukum. Permasalahan tersebut lebih mendesak untuk dibenahi
dibanding hanya sekadar menurunkan suku bunga.

Penurunan suku bunga hanya akan menguntungkan pengusaha kelas atas yang
memiliki akses terhadap pasar modal dan memiliki jaminan/agunan,
sedangkan kalangan usaha kecil dan menengah tidak akan banyak tertolong
dengan kebijakan penurunan suku bunga, karena permasalahan akses di
pasar modal dan permasalahan agunan. Pada jangka pendek, penurunan suku
bunga tidak banyak berpengaruh terhadap investasi karena penurunan suku
bunga oleh bank sentral belum tentu diikuti penurunan suku bunga kredit
oleh bank-bank komersial.

Di sisi lain, penurunan suku bunga akan mendorong mendorong peningkatan
kredit konsumsi. Jika konsumsi tersebut dibelanjakan untuk barang-barang
produksi dalam negeri atau dibelanjakan di pasar-pasar tradisional,
peningkatan konsumsi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Tapi,
melihat karakteristik konsumsi masyarakat Indonesia, kredit konsumsi
bisa dipastikan untuk belanja barang, seperti mobil, sepeda motor,
barang elektronik, peralatan komunikasi, dan barang-barang yang dibuat
dengan teknologi tinggi, sehingga tidak banyak memberikan efek pengganda
bagi perekonomian nasional.

Apa pun jargon ekonomi yang diusung, presiden terpilih sulit untuk
menepati janji-janji pertumbuhan ekonomi di atas. Alangkah baiknya para
pasangan calon presiden tidak menebar janji-janji surga dan saling
serang mengenai jargon ekonomi. Ekonomi kerakyatan, ekonomi neoliberal,
ekonomi kemandirian, dan ekonomi Pancasila merupakan jargon-jargon
ekonomi konsumsi para politikus. Rakyat bawah sudah pusing dengan
permasalahan hidup sehari-hari. Jangan menambah beban pikiran rakyat
dengan istilah-istilah baru yang merupakan olah kata miskin makna.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/26/Opini/index.html

Kenegarawanan Hakim MK dalam Mengadili Hasil Kerja KPU

Kenegarawanan Hakim MK dalam Mengadili Hasil Kerja KPU

*Oleh Agust Riewanto Sekjen Institute of Law, Human Right and Democracy
(Ilhad) Yogyakarta dan Dosen Hukum Tata Negara STAIN, Surakarta*

HARI-hari ini Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi perhatian publik na
sional. Karena, di tangan sembilan orang hakim MK inilah sengketa hasil
pemilu akan diadili. MK adalah benteng terakhir keadilan bagi parpol dan
caleg DPD peserta pemilu yang kecewa akan hasil rekapitulasi KPU dalam
Pemilu 2009. Kelak amar putusan MK sesuai dengan Peraturan MK No 14/2008
Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu DPR, DPD, dan
DPRD akan memuat klausul pembatalan hasil penghitungan suara oleh KPU
serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar. Karena itu,
putusan MK bersifat fi nal dan mengikat, sekaligus memiliki implikasi
politik yang luas terhadap Pemilu 2009.

H Kini hakim MK tengah diuji tingkat kenegarawanannya dalam mengadili
kerja KPU berupa hasil rekapitulasi Pemilu 2009 yang digugat parpol
peserta pemilu dan caleg DPD.

Potensi gugatan ke MK tidak dapat dimungkiri bahwa caleg yang ikut
berkompetisi memperebutkan kursi parlemen di semua tingkatan (pusat,
propinsi, dan kabupaten/kota) berjumlah ribuan orang. Karenanya,
dipastikan terdapat ribuan orang yang kecewa dengan sejumlah alasan atas
hasil rekapitulasi KPU pada 9 April 2009 lalu.

Tengoklah, sajian data ini. Terdapat 11.225 caleg yang ikut berkompetisi
merebut 560 kursi yang ada di DPR-RI. Dengan demikian terdapat 10.665
orang yang kalah dan kecewa dalam merebut kursi di DPR-RI. Terdapat
112.000 caleg yang akan merebut 1.998 kursi di 34 DPRD Provinsi. Berarti
ada 110.002 orang yang kalah dalam merebut kursi DPRD provinsi. Yang
paling tragis adalah, terdapat 1.500.000 caleg yang berkeinginan merebut
kursi sebanyak 16.720 di 440 DPRD kabupaten/kota se-Indonesia. Berarti
yang kalah adalah sebanyak 1.483.280 orang.

Itu berarti kelak dari 38 parpol peserta pemilu terdapat 1.603.947 caleg
yang berpotensi melakukan gugatan terhadap hasil rekapitulasi KPU ke MK
melalui DPP parpol.

Parpol saling tikam Untuk memutus ribuan kasus sengketa hasil pemilu
yang diajukan DPP parpol ini bukanlah persoalan mudah. Karena,
pasca-judicial review oleh MK atas Pasal 214 huruf A-E UU No 10/2008
Tentang Pemilu 2009, yang menetapkan perubahan nomor urut ke suara
terbanyak dalam menentukan calon terpilih, maka satu suara amat berarti
bagi kemenangan calon. Dengan diterapkannya sistem parliamentary
threshold (PT) 2,5% bagi parpol yang akan merebut kursi DPR-RI kian
menambah sengit perselisihan antarparpol untuk dapat lolos PT agar suara
yang didulang parpol dalam pemilu tidak sia-sia. Setidaknya, menurut
hasil rekapitulasi suara KPU, hanya ada sembilan parpol yang lolos PT,
yakni PD, PDIP, Golkar, PKS, PPP, PAN, Gerindra, PKB dan Hanura. Itu
artinya, 29 parpol yang kalah berkompetisi merebut kursi DPR-RI karena
perolehan suara parpolnya tidak memenuhi target PT 2,5%, kendati
perolehan sejumlah calegnya cukup signifikan.

Tak mengherankan fenomena ini dipastikan politik saling tikam
antarparpol atau antarcaleg dalam satu parpol. Rea litas itu pun kian
mempersulit MK dalam memutus seng keta hasil pemilu, mengingat begitu
beragamnya kasus yang terjadi dalam Pemilu 2009 yang diajukan parpol.

Ujian kenegarawanan Sesulit apa pun, sembilan hakim MK diharapkan mampu
memutus sengketa hasil Pemilu 2009 secara cermat dan mengedepankan aspek
kenegarawanan melebihi atas kepentingan golongan tertentu. Harapan itu
amat beralasan, mengingat di tubuh MK terdapat sembilan hakim yang
berlatar belakang politisi, seperti Ketua MK Mahfud MD (PKB) dan Akil
Mochtar (Golkar).

Menurut ketentuan, dalam UU 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
dinyatakan, sese orang mesti memenuhi tiga syarat untuk menjadi hakim
konstitusi. Pertama, memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela. Kedua, adil. Dan ketiga, negarawan menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan. UU 24/2003 Tentang MK dengan tegas mensyaratkan salah
satu kriteria yang penting dan membedakan kualitas calon hakim
konstitusi dengan pejabat negara lainnya, yakni syarat negarawan.
Pendefinisian makna ‘negarawan’ menjadi penting karena para hakim itulah
yang bertanggung jawab menjaga alasan dasar berdirinya Negara Kesatuan
Repub lik Indonesia (NKRI) dan jaminan hak hak konstitusional setiap
warga negara. UU sendiri tidak mendefinisikan makna ‘negarawan’ atau the
statesman. Namun, secara singkat makna politicos (Yunani) atau politicus
(Latin) setidaknya me ngandung dua kata kunci, yakni ‘terhormat dan fi
gur yang dianggap dapat berdiri di atas semua golongan’ (respected and
notable fi gure or leader).

Karena itu, kendati para hakim MK diusulkan tiga institusi, dua di
antaranya insti tusi politis (DPR dan presiden), harus tetap
mengedepankan aspek kenegarawanan.

Realitasnya, putusan hakim MK bersifat fi nal dan berpe ngaruh kepada
kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pertimbangan hukum dari MK harus mengedepankan kepentingan tidak hanya
jangka pendek, melainkan jangka panjang. Karena itu, konsesi dan
intervensi semata-mata untuk kepentingan sesaat akan merusak arti dan
makna kenegarawanan.

Secara filosofi s, fungsi utama hakim MK adalah sebagai pengawal
konstitusi (the guardian of constitution) atau meneguhkan paham
konstitusionalisme dalam bernegara. MK diharapkan mampu menempatkan
hukum sebagai panglima, dan berdiri mengatasi politik atau menegakkan
prinsip negara hukum (rechstaats), bukan negara kekuasaan di tangan
segelintir orang (machstaats).

Sebagaimana dinyatakan Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State
(1961), dalam menjalankan fungsi sistem bernegara modern berdasarkan
prinsip hukum (constitusionalism) dipastikan muncul konfl ik antara
norma yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, bukan saja berkaitan
antara UU (statute) dengan putusan pengadilan, melainkan juga antara
institusi (organ negara) dengan UU. Dalam konteks sengketa hasil pemilu
dapat diartikan MK memutus sengketa hasil kerja organ negara (KPU/KPUD)
berupa hasil rekapitulasi suara pemilu dengan hasil perhitungan versi
institusi parpol peserta pemilu.

Di situlah pangkal persoalan bagi MK untuk dapat menjaga kepentingan
demokrasi dalam pemilu agar MK tidak gegabah dalam memutus sengketa
pemilu dengan mengutamakan aspek hukum melebihi aspek politik jangka pendek.

Memperketat putusan MK MK diharapkan dapat memutus berdasarkan
dalil-dalil hukum yang tepat dan wajar, yakni pertama, MK tidak boleh
memeriksa terhadap pelanggaran pidana pemilu yang berpotensi mengaburkan
sengketa hasil pemilu. Kedua, MK harus memeriksa terhadap kasus yang
berpengaruh terhadap keterpilihan caleg berupa angka yang signifikan.

Ketiga, MK perlu mempertegas, hanya akan memeriksa terhadap kasus yang
memiliki alatalat bukti-bukti administratif yang kuat berupa.

a) Keterangan saksi, terdiri atas saksi resmi peserta pemilu dan saksi
pemantau pemilu besertifikat serta panwaslu/polisi yang melihat,
mendengar, atau mengalami proses penghitungan yang diperselisihkan. b)
Surat atau tulisan terdiri atas semua berita acara dan salinan
rekapitulasi di semua tingkatan TPS, PPK, KPU kab/ kota, dan provinsi.
Ketiga, hakim MK harus steril dari intervensi parpol pemenang pemilu
atau sebaliknya bersimpati pada parpol yang kalah dalam pemilu. Keempat,
hakim MK dan panitera MK harus steril dari potensi politik uang dalam
memutus sengketa pemilu.

Hanya dengan cara ketat seperti itulah hakim MK dapat lolos dari ujian
kenegarawanannya, sekaligus dapat menjamin adanya perbaikan kualitatif
pemilu dan membawa dampak positif pada kepuasan rakyat terhadap sistem
demokrasi lewat pemilu dan pengujian hasil kerja KPU di MK.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/05/26/ArticleHtmls/26_05_2009_013_002.shtml?Mode=0

Mati Suri Ideologi Parpol

Mati Suri Ideologi Parpol
Oleh Ali Masykur Musa Anggota DPR


SETITIK demi setitik peta konstelasi poli S tik pemilihan presiden
(pilpres) kian S jelas. Sudah dapat dipastikan ada tiga pasangan
capres-cawapres yang akan S bertarung memperebutkan kursi presidenwakil
presiden. Untuk memenangi kontes demokrasi ini, kelompok pengusung
tiap-tiap pasangan hampir dipastikan merupakan representasi koalisi.
Tidak ada satu partai politik (parpol) pun yang mencalonkan pasangan
capres-cawapres sendirian. Selain disebabkan pemenuhan prasyarat
pencalonan sesuai UU No 42/2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden, peluang kemenangan akan kian tipis dengan minimnya mesin politik.

Koalisi diyakini menjadi satu-satunya jalan bagi para calon untuk
menggali pundi-pundi suara sebanyak mungkin melalui mesin politik
bernama ‘Partai Politik’. Di satu sisi parpol memang masih sangat
efektif untuk menggalang suara, tetapi pada saat bersamaan parpol tidak
dapat diharapkan sepenuhnya bagi pemenangan pasangan calon. Karena besar
kecilnya perolehan suara parpol di pemilu legislatif senyata tak selalu
ekuivalen dengan hasil yang diperoleh dalam pilpres. Preferensi pemilih
lebih didasarkan pada tingkat kefi guran. Artinya, peluang menang kalah
di pilpres lebih ditentukan sejauh mana volume elektabilitas dan
akseptabilitas mereka di mata pemilih.

Menakar ideologi Kejelasan pasangan capres-cawapres senyatanya tak
lantas dibarengi dengan kejelasan dukungan koalisi. Ihwalnya, beberapa
parpol koalisi dari salah satu pasangan capres-cawapres bereaksi keras
terkait formulasi pasangan calon.

Dalam konteks suprastruktur politik, penulis menilai bahwa rajutan
koalisi yang dibangun parpol pengusung pilpres masih belum bisa di
anggap ‘matang’. Selain disebabkan kesulitan penyamaan persepsi dan
fatsun politik, hal itu juga dilatari asumsi terkikisnya basis ideologis
parpol koalisi.

Secara ideal-konseptual, ideologi menurut De Tracy adalah nilai, norma,
falsafah dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan,
atau wawasan tentang dunia, etos dan semacamnya. Pengertian itu sering
di sebut sebagai pendekatan yang ‘netral’ tentang ideologi.

Istilah ideologi ‘disempitkan’ maknanya oleh Marx yang memaknai sebagai
sistem gagasan yang dapat digunakan untuk merasionalisasikan, memberikan
teguran, memaafkan, menyerang atau menjelaskan keyakinan, kepercayaan,
tindak, dan pengaturan kultural tertentu. Pengertian dalam World Book
Encyclopedia, yang mendefi nisikan, “Ideologi tidak didasarkan pada
informasi faktual dalam memperkuat kepercayaannya.

Orang cenderung menerima sebuah sistem pikiran (atau gagasan) tertentu
ini tentu menolak sistem pikiran lain yang tidak sama dalam menjelaskan
kenyataan yang ada.” Arief Budiman, dalam Ideologi dan Utopia, memahami
defi nisi ideologi sebagai ‘proyeksi masyarakat mendatang berdasarkan
sistem yang dianut atau diyakini saat ini’. Ideologi, mengutip pemikiran
Slavoj Zizek (1989), bukanlah sebuah pintu gerbang ilusi, melainkan
justru menawarkan konstruksi sosial (dalam bahasa Zizek, realitas)
karena realitas itu tidak mungkin mereproduksi dirinya sendiri tanpa
ideologi. Secara ringkas, ideologi adalah sebuah sistem reproduksi sosial.

Partai politik memerlukan basis ideologi yang mapan sebagai acuan untuk
merumuskan visi dan misi partai. Sayang, partai-partai yang ada saat ini
tidak memiliki fondasi ideologi yang kuat. Rupa-rupanya pemaksaan asas
tunggal Pancasila pada era Orde Baru masih mewariskan dasar negara itu
sebagai ‘hantu ideologis’ yang membinasakan demokrasi. Padahal dasar
negara Pancasila semestinya bisa ditafsirkan secara lebih kreatif tanpa
memasung ideologi partai.

Mati suri Sayangnya, domain konseptual idealistis fungsi ideologi ini
tak berfungsi sebagaimana mestinya dalam realitas politik. Di Tanah Air,
tak terlalu samar bila menilai koalisi parpol yang saat ini digalang
hampir diorientasikan lebih banyak sekadar power sharing dan bargaining
position. Praktiknya, koalisi parpol lebih berbasis transaksional
ketimbang orientasi ideologis dan transformasional.

Fenomena pengikisan ideologi politik itu sebenarnya telah terjadi di
masyarakat Barat.

Sebut saja Daniel Bell yang pada 1960-an memaparkan dengan apik
bagaimana runtuhnya ideologi dalam The End of Ideology. Dalam tesisnya
ini, Bell menuturkan bahwa di Barat, ada konsensus di antara para
intelektual tentang masalah politik, yaitu diterimanya negara
kesejahteraan (welfare state), diidamkannya desentralisasi kekuasaan,
sebuah sistem ekonomi campuran (mixed economy) dan pluralisme politik
(political pluralism). Dengan demikian masa ideologi telah berakhir.

Konsensus ini, menurut Bell, telah mengakhiri debat mengenai ideologi
secara tuntas. Konsensus yang dimaksud menyangkut konsep para
sosial-demokrat mengenai perlunya melaksanakan welfare economics melalui
konsep welfare state, ketika sumber daya negara didistribusikan dengan
lebih adil sehingga mengurangi kesenjangan antara yang miskin dan yang
kaya. Di Inggris kadang-kadang konsep ini dinamakan Keynesian Welfare
Consensus, karena merupakan campuran dari pemikiran para tokoh
sosial-demokrat dan pemikiran Lord Maynard Keynes yang menekankan
perlunya memperluas lapangan kerja.

Menurut Bell, konsensus itu telah mengakhiri debat besar yang selama
lebih dari sepuluh tahun memecah belah masyarakat dunia Barat. Oleh Bell
situasi itu dinamakan the end of ideology.

Sebab, tidak ada lagi pemikiran skala besar (big ideas) yang perlu
dipertentangkan. Melanjutkan Bell, Francis Fukuyama memperbaiki tesis
Bell dalam The End of History and the Last Men.

Berbeda dengan Bell dan Fukuyama yang seolah bersepakat bahwa pengikisan
ideologi sebagai sesuatu yang konstruktif, di Indonesia justru
sebaliknya. Pengikisan ideologi terjadi bukan karena pengerucutan varian
nilai dan platform dalam satu muara, melainkan penanggalan sistem nilai
untuk ditukar dengan kepentingan kekuasaan.

Sebagai prinsip, tata nilai basis gerakan, ideologi sedemikian signifi
kan bagi parpol dan jalannya demokrasi di Indonesia. Tanpa ideologi,
parpol hanya akan kehilangan peta jalan (road map) dalam memperjuangkan
aspirasi konstituen (rakyat). Fenomena politik Tanah Air tampaknya
sedang menguji tesis mengenai ‘kematian ideologi partai’. Akibat
kekosongan ideologi, partaipartai hanyalah sebuah entitas pragmatis yang
sangat bergantung pada opini massa mengambang atau undecided voters.
Padahal dalam perjalanan politik di Indonesia selalu mencerminkan
kuatnya ideologi politik sebagaimana yang diasumsikan Ben Anderson
dengan aliran Nahdlatul Ulama, Kaum Nasionalis, dan Sosialis Demokrat.

Aliran-aliran seperti itu kini terkikis oleh pragmatisme atau sedang
mengalami metamorfosa.

Kini kita disodorkan drama realis di panggung politik tentang
tanda-tanda kematian ideologi yang tergantikan oleh pragmatisme kekuasaan.

Alhasil, ketakutan terhadap kekuasaan, dan pada sisi lain, nafsu yang
berlebihan terhadap kekuasaan menjadi argumen yang ampuh untuk
menguburkan ideologi dan dengan demikian membinasakan demokrasi. Hal itu
terus terulang pada era Orde Baru dan era reformasi sekarang ini.

Pada akhirnya semua bergantung pada perjalanan politik bangsa ini.
Apakah semua komponen bangsa ini masih ingin tetap memegang ideologinya
atau justru sengaja meninggalkan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/05/26/ArticleHtmls/26_05_2009_013_003.shtml?Mode=0