BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Yang Asing yang Menjajah

Yang Asing yang Menjajah

Written By gusdurian on Selasa, 26 Mei 2009 | 13.09

Yang Asing yang Menjajah

Tak perlu pemanasan global dan perubahan iklim untuk kehancuran kekayaan
hayati Indonesia.

*CIBINONG *-- Virus flu H1N1 dari babi bukanlah satu-satunya spesies
asing meresahkan yang datang dari Meksiko. Di Indonesia, ada beberapa
spesies lain, seperti ikan kepala buaya, pohon akasia, dan kutu pepaya
/Paracoccus marginatus/. Setidaknya itu yang terungkap dalam temu wicara
wartawan dengan beberapa peneliti di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jumat lalu.

Namun, ini bukan soal Meksiko-nya. Ini soal daftar panjang spesies asing
yang menjelma invasif sehingga meresahkan para peneliti biologi di hari
Keanekaragaman Hayati Dunia, yang jatuh pada Jumat lalu. Tahun ini
perayaan memang mengangkat tema "Invasive Alien Species".
Spesies-spesies itu bisa menyebar cepat menumpang praktek perdagangan
bebas atau mekanisme pasar global, turisme, dan terakhir--namun bukan
yang terkecil--perubahan iklim.

Untuk kasus ikan kepala buaya, akasia, dan si kutu pepaya, semuanya
terindikasi, bahkan terbukti invasif. Sebagian karena berpotensi
menggusur spesies endemik (dampak ekosistem), sebagian lainnya sampai
menimbulkan dampak kerugian ekonomi.

Renny K. Wadiaty, peneliti di laboratorium iktiologi, mengungkapkan,
ikan kepala buaya bisa tumbuh dewasa sampai ratusan kilogram hingga
mendominasi sebuah habitat perairan yang dimasukinya. Terlebih perilaku
makannya yang omnivora dan cenderung karnivora. "Kulitnya keras dan
telurnya toksik. Tidak ada ikan lain yang sudi menjadi predator
untuknya," kata Renny.

Ikan jenis ini sudah membuat geger warga Bogor ketika ditemukan di
antara luapan Sungai Ciapus pada Februari 2005. Tahun lalu ikan jenis
ini "sudah sampai" Bandung, tepatnya muara Sungai Cikapundung di Desa
Mekarsari, Kecamatan Bojongsoang. Ikan aneh, begitu kabar yang tersiar
saat itu.

Siti Nuramaliati Priyono, Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI,
menegaskan, tidak semua spesies asing merusak ekosistem lokal. Banyak
contoh spesies impor yang bermanfaat lewat budidaya yang terkendali,
seperti padi, cokelat, karet, singkong, ikan mas, nila, dan lele dumbo.
"Ikan kepala buaya ini pun ketika masih ada dalam akuarium tidak menjadi
masalah," katanya.

Masalahnya, Siti--atau yang lebih akrab dipanggil Lili--menambahkan,
banyak praktisi yang tidak memperhatikan dampak spesies asing yang bisa
menjelma invasif ketika diintroduksi atau tidak sengaja terlepas ke
sebuah habitat alami atau semi-alami. Lili mengaku belum punya data
lengkap. Tapi di Amerika Serikat, ia mengungkapkan, invasi spesies asing
sudah menjadi ancaman nomor dua setelah perubahan habitat terhadap
kekayaan keanekaragaman hayati lokal.

Spesies asing di negeri itu menyebabkan sekitar 50 persen musnahnya
spesies lokal, melampaui tingkat ancaman yang datang dari polutan, lewat
perannya sebagai kompetitor, predator, dan parasit. "Di Indonesia
mungkin eksploitasi yang berlebihan yang menjadi ancaman terbesar," kata
Lili sambil menambahkan, "Tapi kita tentu tidak ingin ancaman invasi
spesies asing di Indonesia telanjur berkembang seperti di Amerika."

Bukan cuma spesies yang datang dari luar negeri yang harus diantisipasi
secara hati-hati, tapi juga yang dibawa pindah antarpulau. Untuk kasus
kedua ini, Rosichon Ubaidilah, ahli taksonomi, dan Ibnu Maryanto,
peneliti zoologi, bersama-sama mengutarakan contoh introduksi monyet
ekor panjang serta rusa Jawa di Papua.

Kedua spesies itu tidak memiliki predator di pulau yang baru lalu
berbiak cepat sehingga yang satu mencuri telur-telur Cendrawasih,
sementara yang lain menekan populasi kanguru pohon. "Papua Nugini
berulang kali memprotes Indonesia terkait dampak spesies-spesies
introduksi di Papua," kata Rosichon.

Kalau sudah begitu, tentu kebijakan karantina saja tidak cukup karena
hanya mengendalikan penyakit. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 buah
ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati 1994 sebenarnya lebih tepat.
Sayang, undang-undang ini terbukti tak mempan karena alasan yang sangat
klasik: tak ditegakkan.

Bahkan, Renny mengungkapkan, setahun yang lalu ia harus menyiapkan
presentasi yang mengingatkan kembali akan potensi bahaya ikan kepala
buaya sebagai sebuah spesies asing demi bisa mempertahankan sebuah surat
keputusan menteri bertahun 1982 yang melarang masuknya jenis ikan ini.
"Waktu itu alasannya karena sudah banyak petani budidaya ikan jenis
ini," katanya.

Setahun berselang, Renny mengaku tak tahu lagi kabar tentang surat
keputusan itu. Ia mengaku takut sekali membayangkan dampak yang
ditimbulkan ikan-ikan kepala buaya bila sampai lolos dalam skala yang
lebih luas daripada yang ditemukan di Bogor dan Bandung. "Bisa habis
ikan-ikan Indonesia," katanya.

"Itu sebabnya kami ingin ada semacam National Institute of Invasive
Species Science," Lili menambahkan.

***

Sunaryo adalah peneliti lain yang menjadi saksi mata beberapa jenis
flora asing invasif di Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat.
Sepanjang paruh kedua April lalu, dia menggelar studi dengan membuat
plot seluas 0,2 hektare, masing-masing di ketinggian 1.200 dan 1.500
meter di atas muka laut di taman nasional tersebut.

Ia membuktikan bahwa spesies-spesies seperti /Eupatorium sordidum Less/
dan /Eupatorium riparium Reg/ (keduanya jenis bunga aster asal Meksiko)
sangat dominan dan berpotensi menggusur spesies-spesies lokal. Terutama
jenis yang pertama, Sunaryo menduga keberadaannya di Gede Pangrango
tidak alami alias sengaja diintroduksi. "Bentuknya bagus dan banyak
sekali tumbuh di pinggir trek pendakian," katanya.

Total, Sunaryo menemukan lima jenis flora asing invasif dalam dua plot
penelitian yang dibuatnya itu. Jenis-jenis ini sukses mengucilkan
spesies lokal semacam pohon Rasamala. "Bunga aster sangat mudah menyebar
dengan bantuan angin," Sunaryo menjelaskan, "dan /Eupatorium sordidum/
adalah tanaman rendah yang sangat rimbun atau rapat. Perdu lain atau
biji Rasamala yang jatuh dari pohonnya tak akan punya kesempatan untuk
tumbuh."

Dampak yang lebih parah sudah terjadi di Taman Nasional Baluran di
Situbondo, Jawa Timur. Di sana, Rosichon mengungkapkan, pohon jenis
/Acacia nilotica/ sudah mendominasi sampai 50 persen area savana dengan
laju pertumbuhan 100-200 hektare per tahun. "Mereka (Taman Nasional
Baluran) kelihatannya sudah menyerah untuk bisa mengendalikannya,"
katanya. Dia menambahkan, upaya pencabutan pohon dengan buldoser tetap
saja menyisakan tuna-tunas baru. "Dibakar juga tidak bisa karena
pohonnya tahan api."

Dampak terbaru dari ulah spesies asing diamati Rosichon pada tanaman
hias di Bogor. Kutu-kutu /Paracoccus marginatus/, yang pernah
mengobrak-abrik sentra pepaya di kota yang sama, ternyata ketahuan
hinggap di tanaman hias di pinggir jalan. Ia pernah melihat langsung
beberapa pemilik usaha tanaman hias (di Bogor) sudah sibuk menyemprotkan
obat pembasmi kutu-kutu itu.

"Hal-hal seperti ini kelihatannya sederhana, tapi dampak ekonominya luar
biasa," kata Rosichon merujuk biaya tambahan yang dikeluarkan setiap
petani kalau harus membeli insektisida. "Belum lagi dampak ekosistemnya,
karena hilangnya satu spesies pasti akan mempengaruhi spesies lainnya."
*WURAGIL
*

*
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/26/Ilmu_dan_Teknologi/krn.20090526.166181.id.html
*
Share this article :

0 komentar: