BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mengukur Janji Pertumbuhan Ekonomi

Mengukur Janji Pertumbuhan Ekonomi

Written By gusdurian on Selasa, 26 Mei 2009 | 12.54

Mengukur Janji Pertumbuhan Ekonomi

*Teguh Dartanto*

# Peneliti LPEM FEUI, sedang belajar di Universitas Nagoya, Jepang

Isu ekonomi merupakan isu yang paling hangat disuarakan oleh para calon
presiden dan calon wakil presiden pada Pemilihan Umum 2009. Para
pasangan calon berlomba menebar janji pertumbuhan ekonomi tinggi dengan
harapan mampu menyihir para pemilih pada pemilihan presiden Juli 2009.
Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto mengusung ekonomi kemandirian dengan janji
pertumbuhan 8-9 persen, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono
mengusung ekonomi konvensional dengan target pertumbuhan 7 persen,
sedangkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto mengusung
ekonomi kerakyatan dengan janji pertumbuhan 10 persen (/Vivanews/, 18
Mei 2009).

Kita sebagai warga negara sudah seharusnya tidak kehilangan daya kritik
melihat janji-janji tersebut. Apakah janji-janji tersebut masuk akal
atau janji sekadar janji yang tidak pernah bisa ditepati. Angka-angka
pertumbuhan patut dikritik secara teoretis dan pembuktian empiris
berdasar pengalaman Indonesia.

Literatur ekonomi menunjukkan sumber pertumbuhan ekonomi terbagi menjadi
tiga komponen utama, yaitu pertumbuhan barang modal, pertumbuhan tenaga
kerja/tenaga kerja terdidik, dan pertumbuhan produktivitas (Solow, 1957,
dan Abramovitz, 1956). Penelitian empiris mengenai pertumbuhan ekonomi
Indonesia kurun waktu 1880-2007 menunjukkan rata-rata pertumbuhan barang
modal 4,3 persen per tahun, pertumbuhan tenaga kerja terdidik 2,3 persen
per tahun, dan pertumbuhan produktivitas (/total factor productivity/)
0,3 persen per tahun (Van der Eng, 2008). Jika kontribusi modal dan
tenaga kerja dalam perekonomian masing-masing 25 persen dan 75 persen,
untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi 10 persen per tahun dibutuhkan
pertumbuhan barang modal sebesar 20 persen per tahun, pertumbuhan tenaga
kerja terdidik sebesar 4 persen per tahun, dan pertumbuhan produktivitas
sebesar 2 persen per tahun (2+(0,25 x 20)+(1-25) x 4 = 10).

Meningkatkan pertumbuhan tenaga terdidik sebesar 4 persen dan
produktivitas sebesar 2 persen bukanlah hal yang mudah dan dapat
dilakukan secara instan. Sedangkan untuk meningkatkan akumulasi modal
sebesar 20 persen bukanlah perkara mudah di tengah krisis ekonomi global
saat ini. Tanpa adanya krisis ekonomi global sekalipun pertumbuhan
barang modal sebesar 20 persen per tahun sangat mustahil untuk diraih.
Data Bank Indonesia kurun waktu 2000-2008 menunjukkan rata-rata
pertumbuhan barang modal sekitar 7,1 persen per tahun.

Kondisi ini diperparah oleh penurunan perekonomian negara-negara mitra
dagang utama Indonesia pada 2009. Berdasarkan prediksi Dana Moneter
Internasional (IMF), negara-negara yang tergabung dalam OECD, seperti
Jepang, akan mengalami kontraksi 6,19 persen, Amerika turun 2,75 persen,
Australia turun 1,5 persen, Jerman turun 5,6 persen, Singapura turun
9,99 persen, dan Korea turun 4.01 persen (IMF, 2009). Penurunan
perekonomian negara mitra dagang akan mengakibatkan penurunan ekspor
Indonesia ke negara-negara tersebut. Hal ini semakin menekan pertumbuhan
ekonomi nasional.

*Strategi mengejar pertumbuhan *

Apa pun jargon ekonomi yang diusung oleh para calon presiden, terdapat
dua strategi utama untuk mencapai janji pertumbuhan ekonomi di atas.
Pertama, optimalisasi peranan pasar domestik untuk menggerakkan
perekonomian nasional untuk menggantikan penurunan kegiatan ekspor.
Indonesia dengan jumlah penduduk besar merupakan potensi pasar yang
cukup menjanjikan. Sayangnya, potensi ini tidak dibarengi dengan
kemampuan daya beli yang memadai, sehingga daya dukung pasar domestik
untuk menggerakkan perekonomian nasional memiliki keterbatasan.

Kedua, meningkatkan investasi, karena tanpa adanya investasi barang
modal, pertumbuhan ekonomi adalah sebuah keniscayaan. Cara mudah tapi
belum tentu efektif untuk meningkatkan investasi adalah dengan
menurunkan suku bunga. Cara ini merupakan resep generik Keynes yang
sangat menarik dari sisi teori tapi belum tentu berjalan di dunia nyata,
karena permasalahan investasi di Indonesia tidak sesederhana gambaran
teori Keynes. Terdapat berbagai permasalahan yang menghambat investasi
di Indonesia, seperti ketidakmerataan infrastruktur, informasi yang
tidak sempurna, permasalahan birokrasi, permasalahan kolateral bagi
usaha kecil dan menengah, akses terhadap pasar modal/kredit, serta
penegakan hukum. Permasalahan tersebut lebih mendesak untuk dibenahi
dibanding hanya sekadar menurunkan suku bunga.

Penurunan suku bunga hanya akan menguntungkan pengusaha kelas atas yang
memiliki akses terhadap pasar modal dan memiliki jaminan/agunan,
sedangkan kalangan usaha kecil dan menengah tidak akan banyak tertolong
dengan kebijakan penurunan suku bunga, karena permasalahan akses di
pasar modal dan permasalahan agunan. Pada jangka pendek, penurunan suku
bunga tidak banyak berpengaruh terhadap investasi karena penurunan suku
bunga oleh bank sentral belum tentu diikuti penurunan suku bunga kredit
oleh bank-bank komersial.

Di sisi lain, penurunan suku bunga akan mendorong mendorong peningkatan
kredit konsumsi. Jika konsumsi tersebut dibelanjakan untuk barang-barang
produksi dalam negeri atau dibelanjakan di pasar-pasar tradisional,
peningkatan konsumsi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Tapi,
melihat karakteristik konsumsi masyarakat Indonesia, kredit konsumsi
bisa dipastikan untuk belanja barang, seperti mobil, sepeda motor,
barang elektronik, peralatan komunikasi, dan barang-barang yang dibuat
dengan teknologi tinggi, sehingga tidak banyak memberikan efek pengganda
bagi perekonomian nasional.

Apa pun jargon ekonomi yang diusung, presiden terpilih sulit untuk
menepati janji-janji pertumbuhan ekonomi di atas. Alangkah baiknya para
pasangan calon presiden tidak menebar janji-janji surga dan saling
serang mengenai jargon ekonomi. Ekonomi kerakyatan, ekonomi neoliberal,
ekonomi kemandirian, dan ekonomi Pancasila merupakan jargon-jargon
ekonomi konsumsi para politikus. Rakyat bawah sudah pusing dengan
permasalahan hidup sehari-hari. Jangan menambah beban pikiran rakyat
dengan istilah-istilah baru yang merupakan olah kata miskin makna.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/26/Opini/index.html
Share this article :

0 komentar: