Kenegarawanan Hakim MK dalam Mengadili Hasil Kerja KPU
*Oleh Agust Riewanto Sekjen Institute of Law, Human Right and Democracy
(Ilhad) Yogyakarta dan Dosen Hukum Tata Negara STAIN, Surakarta*
HARI-hari ini Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi perhatian publik na
sional. Karena, di tangan sembilan orang hakim MK inilah sengketa hasil
pemilu akan diadili. MK adalah benteng terakhir keadilan bagi parpol dan
caleg DPD peserta pemilu yang kecewa akan hasil rekapitulasi KPU dalam
Pemilu 2009. Kelak amar putusan MK sesuai dengan Peraturan MK No 14/2008
Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu DPR, DPD, dan
DPRD akan memuat klausul pembatalan hasil penghitungan suara oleh KPU
serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar. Karena itu,
putusan MK bersifat fi nal dan mengikat, sekaligus memiliki implikasi
politik yang luas terhadap Pemilu 2009.
H Kini hakim MK tengah diuji tingkat kenegarawanannya dalam mengadili
kerja KPU berupa hasil rekapitulasi Pemilu 2009 yang digugat parpol
peserta pemilu dan caleg DPD.
Potensi gugatan ke MK tidak dapat dimungkiri bahwa caleg yang ikut
berkompetisi memperebutkan kursi parlemen di semua tingkatan (pusat,
propinsi, dan kabupaten/kota) berjumlah ribuan orang. Karenanya,
dipastikan terdapat ribuan orang yang kecewa dengan sejumlah alasan atas
hasil rekapitulasi KPU pada 9 April 2009 lalu.
Tengoklah, sajian data ini. Terdapat 11.225 caleg yang ikut berkompetisi
merebut 560 kursi yang ada di DPR-RI. Dengan demikian terdapat 10.665
orang yang kalah dan kecewa dalam merebut kursi di DPR-RI. Terdapat
112.000 caleg yang akan merebut 1.998 kursi di 34 DPRD Provinsi. Berarti
ada 110.002 orang yang kalah dalam merebut kursi DPRD provinsi. Yang
paling tragis adalah, terdapat 1.500.000 caleg yang berkeinginan merebut
kursi sebanyak 16.720 di 440 DPRD kabupaten/kota se-Indonesia. Berarti
yang kalah adalah sebanyak 1.483.280 orang.
Itu berarti kelak dari 38 parpol peserta pemilu terdapat 1.603.947 caleg
yang berpotensi melakukan gugatan terhadap hasil rekapitulasi KPU ke MK
melalui DPP parpol.
Parpol saling tikam Untuk memutus ribuan kasus sengketa hasil pemilu
yang diajukan DPP parpol ini bukanlah persoalan mudah. Karena,
pasca-judicial review oleh MK atas Pasal 214 huruf A-E UU No 10/2008
Tentang Pemilu 2009, yang menetapkan perubahan nomor urut ke suara
terbanyak dalam menentukan calon terpilih, maka satu suara amat berarti
bagi kemenangan calon. Dengan diterapkannya sistem parliamentary
threshold (PT) 2,5% bagi parpol yang akan merebut kursi DPR-RI kian
menambah sengit perselisihan antarparpol untuk dapat lolos PT agar suara
yang didulang parpol dalam pemilu tidak sia-sia. Setidaknya, menurut
hasil rekapitulasi suara KPU, hanya ada sembilan parpol yang lolos PT,
yakni PD, PDIP, Golkar, PKS, PPP, PAN, Gerindra, PKB dan Hanura. Itu
artinya, 29 parpol yang kalah berkompetisi merebut kursi DPR-RI karena
perolehan suara parpolnya tidak memenuhi target PT 2,5%, kendati
perolehan sejumlah calegnya cukup signifikan.
Tak mengherankan fenomena ini dipastikan politik saling tikam
antarparpol atau antarcaleg dalam satu parpol. Rea litas itu pun kian
mempersulit MK dalam memutus seng keta hasil pemilu, mengingat begitu
beragamnya kasus yang terjadi dalam Pemilu 2009 yang diajukan parpol.
Ujian kenegarawanan Sesulit apa pun, sembilan hakim MK diharapkan mampu
memutus sengketa hasil Pemilu 2009 secara cermat dan mengedepankan aspek
kenegarawanan melebihi atas kepentingan golongan tertentu. Harapan itu
amat beralasan, mengingat di tubuh MK terdapat sembilan hakim yang
berlatar belakang politisi, seperti Ketua MK Mahfud MD (PKB) dan Akil
Mochtar (Golkar).
Menurut ketentuan, dalam UU 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
dinyatakan, sese orang mesti memenuhi tiga syarat untuk menjadi hakim
konstitusi. Pertama, memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela. Kedua, adil. Dan ketiga, negarawan menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan. UU 24/2003 Tentang MK dengan tegas mensyaratkan salah
satu kriteria yang penting dan membedakan kualitas calon hakim
konstitusi dengan pejabat negara lainnya, yakni syarat negarawan.
Pendefinisian makna ‘negarawan’ menjadi penting karena para hakim itulah
yang bertanggung jawab menjaga alasan dasar berdirinya Negara Kesatuan
Repub lik Indonesia (NKRI) dan jaminan hak hak konstitusional setiap
warga negara. UU sendiri tidak mendefinisikan makna ‘negarawan’ atau the
statesman. Namun, secara singkat makna politicos (Yunani) atau politicus
(Latin) setidaknya me ngandung dua kata kunci, yakni ‘terhormat dan fi
gur yang dianggap dapat berdiri di atas semua golongan’ (respected and
notable fi gure or leader).
Karena itu, kendati para hakim MK diusulkan tiga institusi, dua di
antaranya insti tusi politis (DPR dan presiden), harus tetap
mengedepankan aspek kenegarawanan.
Realitasnya, putusan hakim MK bersifat fi nal dan berpe ngaruh kepada
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertimbangan hukum dari MK harus mengedepankan kepentingan tidak hanya
jangka pendek, melainkan jangka panjang. Karena itu, konsesi dan
intervensi semata-mata untuk kepentingan sesaat akan merusak arti dan
makna kenegarawanan.
Secara filosofi s, fungsi utama hakim MK adalah sebagai pengawal
konstitusi (the guardian of constitution) atau meneguhkan paham
konstitusionalisme dalam bernegara. MK diharapkan mampu menempatkan
hukum sebagai panglima, dan berdiri mengatasi politik atau menegakkan
prinsip negara hukum (rechstaats), bukan negara kekuasaan di tangan
segelintir orang (machstaats).
Sebagaimana dinyatakan Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State
(1961), dalam menjalankan fungsi sistem bernegara modern berdasarkan
prinsip hukum (constitusionalism) dipastikan muncul konfl ik antara
norma yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, bukan saja berkaitan
antara UU (statute) dengan putusan pengadilan, melainkan juga antara
institusi (organ negara) dengan UU. Dalam konteks sengketa hasil pemilu
dapat diartikan MK memutus sengketa hasil kerja organ negara (KPU/KPUD)
berupa hasil rekapitulasi suara pemilu dengan hasil perhitungan versi
institusi parpol peserta pemilu.
Di situlah pangkal persoalan bagi MK untuk dapat menjaga kepentingan
demokrasi dalam pemilu agar MK tidak gegabah dalam memutus sengketa
pemilu dengan mengutamakan aspek hukum melebihi aspek politik jangka pendek.
Memperketat putusan MK MK diharapkan dapat memutus berdasarkan
dalil-dalil hukum yang tepat dan wajar, yakni pertama, MK tidak boleh
memeriksa terhadap pelanggaran pidana pemilu yang berpotensi mengaburkan
sengketa hasil pemilu. Kedua, MK harus memeriksa terhadap kasus yang
berpengaruh terhadap keterpilihan caleg berupa angka yang signifikan.
Ketiga, MK perlu mempertegas, hanya akan memeriksa terhadap kasus yang
memiliki alatalat bukti-bukti administratif yang kuat berupa.
a) Keterangan saksi, terdiri atas saksi resmi peserta pemilu dan saksi
pemantau pemilu besertifikat serta panwaslu/polisi yang melihat,
mendengar, atau mengalami proses penghitungan yang diperselisihkan. b)
Surat atau tulisan terdiri atas semua berita acara dan salinan
rekapitulasi di semua tingkatan TPS, PPK, KPU kab/ kota, dan provinsi.
Ketiga, hakim MK harus steril dari intervensi parpol pemenang pemilu
atau sebaliknya bersimpati pada parpol yang kalah dalam pemilu. Keempat,
hakim MK dan panitera MK harus steril dari potensi politik uang dalam
memutus sengketa pemilu.
Hanya dengan cara ketat seperti itulah hakim MK dapat lolos dari ujian
kenegarawanannya, sekaligus dapat menjamin adanya perbaikan kualitatif
pemilu dan membawa dampak positif pada kepuasan rakyat terhadap sistem
demokrasi lewat pemilu dan pengujian hasil kerja KPU di MK.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/05/26/ArticleHtmls/26_05_2009_013_002.shtml?Mode=0
Kenegarawanan Hakim MK dalam Mengadili Hasil Kerja KPU
Written By gusdurian on Selasa, 26 Mei 2009 | 12.50
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar