BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mati Suri Ideologi Parpol

Mati Suri Ideologi Parpol

Written By gusdurian on Selasa, 26 Mei 2009 | 12.44

Mati Suri Ideologi Parpol
Oleh Ali Masykur Musa Anggota DPR


SETITIK demi setitik peta konstelasi poli S tik pemilihan presiden
(pilpres) kian S jelas. Sudah dapat dipastikan ada tiga pasangan
capres-cawapres yang akan S bertarung memperebutkan kursi presidenwakil
presiden. Untuk memenangi kontes demokrasi ini, kelompok pengusung
tiap-tiap pasangan hampir dipastikan merupakan representasi koalisi.
Tidak ada satu partai politik (parpol) pun yang mencalonkan pasangan
capres-cawapres sendirian. Selain disebabkan pemenuhan prasyarat
pencalonan sesuai UU No 42/2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden, peluang kemenangan akan kian tipis dengan minimnya mesin politik.

Koalisi diyakini menjadi satu-satunya jalan bagi para calon untuk
menggali pundi-pundi suara sebanyak mungkin melalui mesin politik
bernama ‘Partai Politik’. Di satu sisi parpol memang masih sangat
efektif untuk menggalang suara, tetapi pada saat bersamaan parpol tidak
dapat diharapkan sepenuhnya bagi pemenangan pasangan calon. Karena besar
kecilnya perolehan suara parpol di pemilu legislatif senyata tak selalu
ekuivalen dengan hasil yang diperoleh dalam pilpres. Preferensi pemilih
lebih didasarkan pada tingkat kefi guran. Artinya, peluang menang kalah
di pilpres lebih ditentukan sejauh mana volume elektabilitas dan
akseptabilitas mereka di mata pemilih.

Menakar ideologi Kejelasan pasangan capres-cawapres senyatanya tak
lantas dibarengi dengan kejelasan dukungan koalisi. Ihwalnya, beberapa
parpol koalisi dari salah satu pasangan capres-cawapres bereaksi keras
terkait formulasi pasangan calon.

Dalam konteks suprastruktur politik, penulis menilai bahwa rajutan
koalisi yang dibangun parpol pengusung pilpres masih belum bisa di
anggap ‘matang’. Selain disebabkan kesulitan penyamaan persepsi dan
fatsun politik, hal itu juga dilatari asumsi terkikisnya basis ideologis
parpol koalisi.

Secara ideal-konseptual, ideologi menurut De Tracy adalah nilai, norma,
falsafah dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan,
atau wawasan tentang dunia, etos dan semacamnya. Pengertian itu sering
di sebut sebagai pendekatan yang ‘netral’ tentang ideologi.

Istilah ideologi ‘disempitkan’ maknanya oleh Marx yang memaknai sebagai
sistem gagasan yang dapat digunakan untuk merasionalisasikan, memberikan
teguran, memaafkan, menyerang atau menjelaskan keyakinan, kepercayaan,
tindak, dan pengaturan kultural tertentu. Pengertian dalam World Book
Encyclopedia, yang mendefi nisikan, “Ideologi tidak didasarkan pada
informasi faktual dalam memperkuat kepercayaannya.

Orang cenderung menerima sebuah sistem pikiran (atau gagasan) tertentu
ini tentu menolak sistem pikiran lain yang tidak sama dalam menjelaskan
kenyataan yang ada.” Arief Budiman, dalam Ideologi dan Utopia, memahami
defi nisi ideologi sebagai ‘proyeksi masyarakat mendatang berdasarkan
sistem yang dianut atau diyakini saat ini’. Ideologi, mengutip pemikiran
Slavoj Zizek (1989), bukanlah sebuah pintu gerbang ilusi, melainkan
justru menawarkan konstruksi sosial (dalam bahasa Zizek, realitas)
karena realitas itu tidak mungkin mereproduksi dirinya sendiri tanpa
ideologi. Secara ringkas, ideologi adalah sebuah sistem reproduksi sosial.

Partai politik memerlukan basis ideologi yang mapan sebagai acuan untuk
merumuskan visi dan misi partai. Sayang, partai-partai yang ada saat ini
tidak memiliki fondasi ideologi yang kuat. Rupa-rupanya pemaksaan asas
tunggal Pancasila pada era Orde Baru masih mewariskan dasar negara itu
sebagai ‘hantu ideologis’ yang membinasakan demokrasi. Padahal dasar
negara Pancasila semestinya bisa ditafsirkan secara lebih kreatif tanpa
memasung ideologi partai.

Mati suri Sayangnya, domain konseptual idealistis fungsi ideologi ini
tak berfungsi sebagaimana mestinya dalam realitas politik. Di Tanah Air,
tak terlalu samar bila menilai koalisi parpol yang saat ini digalang
hampir diorientasikan lebih banyak sekadar power sharing dan bargaining
position. Praktiknya, koalisi parpol lebih berbasis transaksional
ketimbang orientasi ideologis dan transformasional.

Fenomena pengikisan ideologi politik itu sebenarnya telah terjadi di
masyarakat Barat.

Sebut saja Daniel Bell yang pada 1960-an memaparkan dengan apik
bagaimana runtuhnya ideologi dalam The End of Ideology. Dalam tesisnya
ini, Bell menuturkan bahwa di Barat, ada konsensus di antara para
intelektual tentang masalah politik, yaitu diterimanya negara
kesejahteraan (welfare state), diidamkannya desentralisasi kekuasaan,
sebuah sistem ekonomi campuran (mixed economy) dan pluralisme politik
(political pluralism). Dengan demikian masa ideologi telah berakhir.

Konsensus ini, menurut Bell, telah mengakhiri debat mengenai ideologi
secara tuntas. Konsensus yang dimaksud menyangkut konsep para
sosial-demokrat mengenai perlunya melaksanakan welfare economics melalui
konsep welfare state, ketika sumber daya negara didistribusikan dengan
lebih adil sehingga mengurangi kesenjangan antara yang miskin dan yang
kaya. Di Inggris kadang-kadang konsep ini dinamakan Keynesian Welfare
Consensus, karena merupakan campuran dari pemikiran para tokoh
sosial-demokrat dan pemikiran Lord Maynard Keynes yang menekankan
perlunya memperluas lapangan kerja.

Menurut Bell, konsensus itu telah mengakhiri debat besar yang selama
lebih dari sepuluh tahun memecah belah masyarakat dunia Barat. Oleh Bell
situasi itu dinamakan the end of ideology.

Sebab, tidak ada lagi pemikiran skala besar (big ideas) yang perlu
dipertentangkan. Melanjutkan Bell, Francis Fukuyama memperbaiki tesis
Bell dalam The End of History and the Last Men.

Berbeda dengan Bell dan Fukuyama yang seolah bersepakat bahwa pengikisan
ideologi sebagai sesuatu yang konstruktif, di Indonesia justru
sebaliknya. Pengikisan ideologi terjadi bukan karena pengerucutan varian
nilai dan platform dalam satu muara, melainkan penanggalan sistem nilai
untuk ditukar dengan kepentingan kekuasaan.

Sebagai prinsip, tata nilai basis gerakan, ideologi sedemikian signifi
kan bagi parpol dan jalannya demokrasi di Indonesia. Tanpa ideologi,
parpol hanya akan kehilangan peta jalan (road map) dalam memperjuangkan
aspirasi konstituen (rakyat). Fenomena politik Tanah Air tampaknya
sedang menguji tesis mengenai ‘kematian ideologi partai’. Akibat
kekosongan ideologi, partaipartai hanyalah sebuah entitas pragmatis yang
sangat bergantung pada opini massa mengambang atau undecided voters.
Padahal dalam perjalanan politik di Indonesia selalu mencerminkan
kuatnya ideologi politik sebagaimana yang diasumsikan Ben Anderson
dengan aliran Nahdlatul Ulama, Kaum Nasionalis, dan Sosialis Demokrat.

Aliran-aliran seperti itu kini terkikis oleh pragmatisme atau sedang
mengalami metamorfosa.

Kini kita disodorkan drama realis di panggung politik tentang
tanda-tanda kematian ideologi yang tergantikan oleh pragmatisme kekuasaan.

Alhasil, ketakutan terhadap kekuasaan, dan pada sisi lain, nafsu yang
berlebihan terhadap kekuasaan menjadi argumen yang ampuh untuk
menguburkan ideologi dan dengan demikian membinasakan demokrasi. Hal itu
terus terulang pada era Orde Baru dan era reformasi sekarang ini.

Pada akhirnya semua bergantung pada perjalanan politik bangsa ini.
Apakah semua komponen bangsa ini masih ingin tetap memegang ideologinya
atau justru sengaja meninggalkan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/05/26/ArticleHtmls/26_05_2009_013_003.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: