SELAIN mendapat tuduhan dari partai bahwa MK diintervensi dan mulai ada kolusi, MK juga menghadapi perlawanan dari KPU. Salah satunya KPU tidak mau mematuhi putusan MK yang dalam penentuan calon anggota legislatif (caleg) menggunakan suara terbanyak.
KPU sepertinya lebih memilih menggunakan nomor urut.Bagaimana jawaban Mahfud atas perlawanan KPU ini? Berikut lanjutan wawancara SINDO dengannya.
Bagaimana Anda menanggapi perlawanan KPU yang tidak mau mematuhi putusan MK soal suara terbanyak?
Di KPU tidak ada orang yang berlatar hukum. Sama sekali. Lalu yang memberi nasihat itu mantan wakil ketua KPU. Dia ini juga tidak punya latar belakang hukum. Tetapi dia ini sangat pintar di bidang politik,yaitu Pak Ramlan (Prof Dr Ramlan Surbakti). Dia memberi saran bahwa putusan MK itu final, tapi tidak mengikat.
Ramlan berani memberi saran ke KPU seperti itu,mungkin dia punya dasar kuat?
Memang pernah ada putusan MK yang tidak langsung berlaku sebelum ada perppu (peraturan pemerintah pengganti undangundang) atau undang-undang yang mengganti itu, tidak berlaku. Dia lantas memberi contoh putusan MK tentang calon independen kepala daerah. Kata dia, putusan itu tidak berlaku sebelum ada penggantinya, yaitu UU No 12/ 2008 atau belum ada revisi.
Tapi itulah orang yang tidak tahu hukum,tidak semua putusan MK itu harus ada revisi undangundang. Banyak sekali contohnya. Misalnya UU Terorisme oleh MK batal,tapi nggakada itu revisi atau penggantinya, lalu UU Pemilu yang mengatur bahwa calon DPD tidak dicantumkan asal daerah tinggal. Nah, MK menyatakan harus tercantum. Tidak ada itu revisi dan langsung dijalankan oleh KPU.
Kenapa soal ini mereka minta perppu.Maka saya jelaskan, harus dilihat putusan MK. Yang perlu undang-undang atau perppu itu kalau terjadi kokosongan hukum. Karena peniadaan sesuatu itu menyebabkan sesuatu tidak jalan. Kalau ini kan begitu diputuskan langsung disuruh jalan. Seperti KY dan UU Pemerintahan Daerah yang butuh udang-undang atau perppu.
Adakah landasan yuridis yang bisa menegaskan kewenangan putusan MK sehingga tak perlu lagi dipersoalkan KPU?
Harus diingat bahwa MK itu kewenangannya berdasarkan langsung UUD, yakni Pasal 7 dan Pasal 24, sehingga putusannya bernilai undang-undang.Ini berbeda dengan putusan pengadilan biasa yang diberikan kewenangan oleh undangundang. MK diberi kewenangan oleh UUD sehingga harus dibedakan. Nah, yang begitu itu KPU,masih terus mau berwacana, padahal waktunya sudah tidak memungkinkan. Mau berwacana, tapi teori begitu, sementara penguasaan dia atas teori itu kurang.
Apa akibatnya kalau KPU terus begitu?
Kalau KPU tetap memaksakan dengan nomor urut, pasti terjadi bencana besar. Kenapa? Pertama, karena peraturan itu jelas tidak sah. Kedua karena orang yang sudah mendapat suara terbanyak, lalu diberlakukan nomor urut, padahal ada putusan MK. Maka, pasti KPU yang dihancurkan orang. Makanya saya segera berteriak agar KPU selamat dan pemilu juga selamat.
Bayangkan kalau KPU masih berbicara seperti itu, misalnya tanggal 9 April,maka tanggal 10 April bisa ribut, hancur pasti KPU dan seluruh KPU akan gagal kalau itu yang dilakukan. Bahaya sekali. Karena apa pun hasil pemilu pasti ribut.Kalau pada akhirnya kembali pada suara terbanyak, maka nomor urut yang ribut karena KPU sudah mewacanakan itu, dan kalau yang diberlakukan nomor urut maka suara terbanyak yang akan ribut karena putusan MK begitu. Itu bahayanya KPU berwacana.
Lalu apa solusinya?
Solusinya begini,kembalikan putusan MK sebagaimana aslinya. KPU itu menjalankan putusan MK sesuai dengan UU No 10/2008 (tentang Pemilu). UU No 10 itu mengatakan setiap tiga caleg harus ada satu caleg perempuan. Nahitu jalan saja,tidak boleh lalu KPU menyusun setiap ada anggota tiga terpilih harus ada dari perempuan (zipper system). Sejak dulu itu tidak ada aturan di UU,di putusan MK juga tidak ada. Kalau diadakan, itu kan berarti mengatur. Nah, kalau sudah mengatur itu wewenangnya DPR. Tapi dia sudah berwacana begitu, itu yang bahaya sekali.
Anda sering mewacanakan bahwa MK menganut keadilan substantif, bisa dijelaskan lebih detail?
MK sekarang menganut paradigma keadilan substantif yang membolehkan hakim untuk tidak mengikuti isi undang-undang,jika undangundang tersebut tidak adil. Tapi bukan berarti hakim harus selalu keluar dari bunyi undang-undang yang memuat keadilan prosedural, sebab tidak semua undangundang itu tidak adil.Yang kami abaikan dalam memutus adalah undangundang yang jelas-jelas tidak adil saja.Adapun yang adil ya tetap diikuti, sebab kalau dalam setiap putusan kita menyimpangi undang-undang secara sama rata,itu namanya bukan keadilan substantif, tapi keadilan tiranik. MK akan menjaga integritas, kejujuran,dan kemandirian.
Dengan modal itu kami akan mengetokkan palu keraskeras untuk turut memperbaiki pembangunan politik dan penegakan hukum, tak peduli orang mengkritik atau memuji. Mumpung punya kewenangan memegang palu untuk turut memperbaiki keadaan.
Contoh konkretnya?
Kita mulai pada putusan Pilkada Jatim. Saat itu kita mencoba keluar dari belenggu undang-undang yang tidak bisa mengantarkan pada keadilan dalam kami mengadili. Jadi begini, menurut UU Pemda tidak ada sebuah pemilu kepala daerah yang bisa diulang, kecuali bencana alam. Tidak ada kewenangan bagi MK menyuruh untuk pemungutan suara ulang maupun penghitungan ulang karena itu wewenangnya KPUD dan Bawaslu. Tetapi ketika perkara itu masuk ke MK, kalau kita tidak bisa menghukum dan hanya menghitung dokumen, padahal dokumen itu merupakan produk dari pelanggaran, lalu apa gunanya ada MK?
Lalu kita merumuskan, kalau ada sebuah kecurangan dilakukan secara terstruktur dan masif dilakukan pejabat, maka itu kita batalkan . Lalu orang ribut, mereka bilang MK melanggar undangundang, ya memang betul. Tapi MK punya alasan karena MK boleh keluar dari undangundang karena undangundang saja boleh kita batalkan kok, masa aturan yang tidak adil mau kita laksanakan. Tentu ada dasarnya.Kita bentuk keadilan sendiri karena dalam UUD 1945,MK itu dibentuk untuk mengawal UUD. Itu yang namanya keadilan substantif MK harus kreatif untuk mencari keadilan, kalau perlu melanggar undang-undang, dan itu sudah banyak kita lakukan. Itu ada dasar teorinya dan dasar konstitusinya.
Berarti MK Boleh memutuskan melebihi dari tuntutan atau ultra petita?
Kalau dalam uji materi undang-undang saya termasuk orang yang tidak setuju dengan ultra petita.Tapi kalau dalam konflik peristiwa, seperti misalnya sengketa kewenangan, sengketa pemilu,sengketa pilkada, itu kan konflik peristiwa, bukan konflik norma,itu boleh. Kadang orang tidak membedakan bahwa MK menangani konflik norma dan konflik peristiwa.
Nah, konflik peristiwa itulah yang boleh, seperti putusan MK dalam Pilkada Jatim. Saya berbeda dengan Pak Jimly (Jimly Asshiddique) karena dia menerapkan ultra petita dalam konflik norma seperti dalam uji materi UU KY yang melebihi dari apa yang dimohonkan dan dibatalkan semua pasalnya.
Nah, saya tidak setuju itu. Soalnya, kalau konflik norma ada ultra petita,maka dia sudah masuk pada ranah legislatif. Tapi kalau konflik peristiwa boleh. Karena saya tidak mau terikat dengan undangundang kalau tidak adil. Karena itu,untuk kasus Jatim itu sudah jadi yurisprudensi. Walaupun ada juga yang menggerutu, ya tidak apaapa. Tapi buktinya kan sekarang sudah selesai. Dan keputusan kita bahwa terjadi kecurangan terstruktur dan masif dilakukan oleh pejabat kan sekarang terbukti dengan Ketua KPUD yang menjadi tersangka. (rahmat sahid)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/215340/38/
KPU sepertinya lebih memilih menggunakan nomor urut.Bagaimana jawaban Mahfud atas perlawanan KPU ini? Berikut lanjutan wawancara SINDO dengannya.
Bagaimana Anda menanggapi perlawanan KPU yang tidak mau mematuhi putusan MK soal suara terbanyak?
Di KPU tidak ada orang yang berlatar hukum. Sama sekali. Lalu yang memberi nasihat itu mantan wakil ketua KPU. Dia ini juga tidak punya latar belakang hukum. Tetapi dia ini sangat pintar di bidang politik,yaitu Pak Ramlan (Prof Dr Ramlan Surbakti). Dia memberi saran bahwa putusan MK itu final, tapi tidak mengikat.
Ramlan berani memberi saran ke KPU seperti itu,mungkin dia punya dasar kuat?
Memang pernah ada putusan MK yang tidak langsung berlaku sebelum ada perppu (peraturan pemerintah pengganti undangundang) atau undang-undang yang mengganti itu, tidak berlaku. Dia lantas memberi contoh putusan MK tentang calon independen kepala daerah. Kata dia, putusan itu tidak berlaku sebelum ada penggantinya, yaitu UU No 12/ 2008 atau belum ada revisi.
Tapi itulah orang yang tidak tahu hukum,tidak semua putusan MK itu harus ada revisi undangundang. Banyak sekali contohnya. Misalnya UU Terorisme oleh MK batal,tapi nggakada itu revisi atau penggantinya, lalu UU Pemilu yang mengatur bahwa calon DPD tidak dicantumkan asal daerah tinggal. Nah, MK menyatakan harus tercantum. Tidak ada itu revisi dan langsung dijalankan oleh KPU.
Kenapa soal ini mereka minta perppu.Maka saya jelaskan, harus dilihat putusan MK. Yang perlu undang-undang atau perppu itu kalau terjadi kokosongan hukum. Karena peniadaan sesuatu itu menyebabkan sesuatu tidak jalan. Kalau ini kan begitu diputuskan langsung disuruh jalan. Seperti KY dan UU Pemerintahan Daerah yang butuh udang-undang atau perppu.
Adakah landasan yuridis yang bisa menegaskan kewenangan putusan MK sehingga tak perlu lagi dipersoalkan KPU?
Harus diingat bahwa MK itu kewenangannya berdasarkan langsung UUD, yakni Pasal 7 dan Pasal 24, sehingga putusannya bernilai undang-undang.Ini berbeda dengan putusan pengadilan biasa yang diberikan kewenangan oleh undangundang. MK diberi kewenangan oleh UUD sehingga harus dibedakan. Nah, yang begitu itu KPU,masih terus mau berwacana, padahal waktunya sudah tidak memungkinkan. Mau berwacana, tapi teori begitu, sementara penguasaan dia atas teori itu kurang.
Apa akibatnya kalau KPU terus begitu?
Kalau KPU tetap memaksakan dengan nomor urut, pasti terjadi bencana besar. Kenapa? Pertama, karena peraturan itu jelas tidak sah. Kedua karena orang yang sudah mendapat suara terbanyak, lalu diberlakukan nomor urut, padahal ada putusan MK. Maka, pasti KPU yang dihancurkan orang. Makanya saya segera berteriak agar KPU selamat dan pemilu juga selamat.
Bayangkan kalau KPU masih berbicara seperti itu, misalnya tanggal 9 April,maka tanggal 10 April bisa ribut, hancur pasti KPU dan seluruh KPU akan gagal kalau itu yang dilakukan. Bahaya sekali. Karena apa pun hasil pemilu pasti ribut.Kalau pada akhirnya kembali pada suara terbanyak, maka nomor urut yang ribut karena KPU sudah mewacanakan itu, dan kalau yang diberlakukan nomor urut maka suara terbanyak yang akan ribut karena putusan MK begitu. Itu bahayanya KPU berwacana.
Lalu apa solusinya?
Solusinya begini,kembalikan putusan MK sebagaimana aslinya. KPU itu menjalankan putusan MK sesuai dengan UU No 10/2008 (tentang Pemilu). UU No 10 itu mengatakan setiap tiga caleg harus ada satu caleg perempuan. Nahitu jalan saja,tidak boleh lalu KPU menyusun setiap ada anggota tiga terpilih harus ada dari perempuan (zipper system). Sejak dulu itu tidak ada aturan di UU,di putusan MK juga tidak ada. Kalau diadakan, itu kan berarti mengatur. Nah, kalau sudah mengatur itu wewenangnya DPR. Tapi dia sudah berwacana begitu, itu yang bahaya sekali.
Anda sering mewacanakan bahwa MK menganut keadilan substantif, bisa dijelaskan lebih detail?
MK sekarang menganut paradigma keadilan substantif yang membolehkan hakim untuk tidak mengikuti isi undang-undang,jika undangundang tersebut tidak adil. Tapi bukan berarti hakim harus selalu keluar dari bunyi undang-undang yang memuat keadilan prosedural, sebab tidak semua undangundang itu tidak adil.Yang kami abaikan dalam memutus adalah undangundang yang jelas-jelas tidak adil saja.Adapun yang adil ya tetap diikuti, sebab kalau dalam setiap putusan kita menyimpangi undang-undang secara sama rata,itu namanya bukan keadilan substantif, tapi keadilan tiranik. MK akan menjaga integritas, kejujuran,dan kemandirian.
Dengan modal itu kami akan mengetokkan palu keraskeras untuk turut memperbaiki pembangunan politik dan penegakan hukum, tak peduli orang mengkritik atau memuji. Mumpung punya kewenangan memegang palu untuk turut memperbaiki keadaan.
Contoh konkretnya?
Kita mulai pada putusan Pilkada Jatim. Saat itu kita mencoba keluar dari belenggu undang-undang yang tidak bisa mengantarkan pada keadilan dalam kami mengadili. Jadi begini, menurut UU Pemda tidak ada sebuah pemilu kepala daerah yang bisa diulang, kecuali bencana alam. Tidak ada kewenangan bagi MK menyuruh untuk pemungutan suara ulang maupun penghitungan ulang karena itu wewenangnya KPUD dan Bawaslu. Tetapi ketika perkara itu masuk ke MK, kalau kita tidak bisa menghukum dan hanya menghitung dokumen, padahal dokumen itu merupakan produk dari pelanggaran, lalu apa gunanya ada MK?
Lalu kita merumuskan, kalau ada sebuah kecurangan dilakukan secara terstruktur dan masif dilakukan pejabat, maka itu kita batalkan . Lalu orang ribut, mereka bilang MK melanggar undangundang, ya memang betul. Tapi MK punya alasan karena MK boleh keluar dari undangundang karena undangundang saja boleh kita batalkan kok, masa aturan yang tidak adil mau kita laksanakan. Tentu ada dasarnya.Kita bentuk keadilan sendiri karena dalam UUD 1945,MK itu dibentuk untuk mengawal UUD. Itu yang namanya keadilan substantif MK harus kreatif untuk mencari keadilan, kalau perlu melanggar undang-undang, dan itu sudah banyak kita lakukan. Itu ada dasar teorinya dan dasar konstitusinya.
Berarti MK Boleh memutuskan melebihi dari tuntutan atau ultra petita?
Kalau dalam uji materi undang-undang saya termasuk orang yang tidak setuju dengan ultra petita.Tapi kalau dalam konflik peristiwa, seperti misalnya sengketa kewenangan, sengketa pemilu,sengketa pilkada, itu kan konflik peristiwa, bukan konflik norma,itu boleh. Kadang orang tidak membedakan bahwa MK menangani konflik norma dan konflik peristiwa.
Nah, konflik peristiwa itulah yang boleh, seperti putusan MK dalam Pilkada Jatim. Saya berbeda dengan Pak Jimly (Jimly Asshiddique) karena dia menerapkan ultra petita dalam konflik norma seperti dalam uji materi UU KY yang melebihi dari apa yang dimohonkan dan dibatalkan semua pasalnya.
Nah, saya tidak setuju itu. Soalnya, kalau konflik norma ada ultra petita,maka dia sudah masuk pada ranah legislatif. Tapi kalau konflik peristiwa boleh. Karena saya tidak mau terikat dengan undangundang kalau tidak adil. Karena itu,untuk kasus Jatim itu sudah jadi yurisprudensi. Walaupun ada juga yang menggerutu, ya tidak apaapa. Tapi buktinya kan sekarang sudah selesai. Dan keputusan kita bahwa terjadi kecurangan terstruktur dan masif dilakukan oleh pejabat kan sekarang terbukti dengan Ketua KPUD yang menjadi tersangka. (rahmat sahid)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/215340/38/