Apa lagi maunya KPU? Gumaman itu meluncur begitu saja dalam perjalanan saya dari London ke Birmingham, 19 Februari lalu.
Dari internet saya menyimak polemik muncul kembali mengenai penetapan caleg terpilih dengan suara terbanyak yang telah diputuskan MK pada 19 Desember 2008, yang dikatakan Direktur Eksekutif Cetro Hadar Gumay sebagai “kado akhir tahun”. KPU ternyata belum merasa nyaman dengan putusan tersebut.
Mereka meminta Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) mengenai suara terbanyak,membonceng materi perppu tentang pemberian lebih dari satu tanda dan penetapan daftar pemilih tetap. Logika yang dibangun KPU kirakira demikian: setelah MK membatalkan Pasal 214 UU Pemilu (UU No 10/2008) telah terjadi kekosongan hukum mengenai cara untuk menetapkan caleg terpilih.
Untuk menambal kekosongan hukum tersebut, menerbitkan perppu adalah cara termudah dan tercepat, juga menjamin kenyamanan kerja KPU. Kekosongan hukum (legal vacuum) adalah suatu hal yang sangat mungkin terjadi dalam setiap putusan MK.Ketika MK menyatakan sebuah ketentuan undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan kemudian dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sangat mungkin belum ada hukum yang menggantikannya.
Meminjam Hans Kelsen, fungsi badan seperti MK dalam pengujian undang-undang hanyalah negative legislator. MK hanya dapat membatalkan suatu ketentuan hukum, tetapi (seharusnya) tidak membuat norma hukum baru.Hanya DPR bersama pemerintah yang memiliki kekuasaan konstitusional untuk membuat undang-undang sebagai positive legislator.
Pakem seperti itu ternyata sudah ditinggalkan MK. Terbukti dalam putusan pengujian UU No 30/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 19 Desember 2006, MK telah menyelipkan norma baru. Keyakinan konstitusional MK menyatakan bahwa pembentukan pengadilan tipikor dengan cara menyelipkannya dalam undang-undang lain bertentangan dengan UUD 1945.
Para pakar hukum yang menyimak putusan tersebut rata-rata setuju bahwa ketentuan tersebut inkonstitusional.Berdasarkan ketentuan UU No 24/2003 (UU MK), pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tidak berlaku lagi sejak putusan dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Persoalannya, apa jadinya bila pakem formalistik tersebut diikuti?
Semua kasus yang saat ini ditangani Pengadilan Tipikor bubar jalan.Para terdakwa korupsi akan melenggang kangkung tanpa konsekuensi lebih lanjut,dan atas nama hukum mereka tidak boleh diadili untuk kedua kalinya untuk perkara yang sama.
Demi kemaslahatan,MK kemudian menyelipkan norma dalam putusannya yang memberikan napas selama tiga tahun bagi Pengadilan Tipikor hingga 19 Desember 2009. Karena dirasakan bermanfaat, putusan itu umumnya dapat diterima banyak pihak, termasuk para penggiat antikorupsi. ***
Putusan tentang suara terbanyak umumnya juga disambut baik,terutama oleh parpol-parpol yang berniat menerapkan suara terbanyak seperti PAN, Demokrat, dan Golkar, walaupun harus diakui pula bahwa ada yang menentang,seperti PDIP dan (terutama) para aktivis perempuan.
Sejak awal MK juga telah menyadari bahwa kontroversi tentang legal vacuum dapat terjadi.Itulah sebabnya dalam putusannya MK menyatakan bahwa KPU dapat mengatur soal suara terbanyak itu berdasarkan mandat Pasal 213 UU Pemilu, yang intinya menyebutkan bahwa KPU berwenang menetapkan caleg terpilih.
Diskresi itu memang luar biasa karena materi yang akan diatur oleh KPU sebenarnya setingkat undangundang, namun jadi tidak berlebihan karena diperintahkan oleh MK melalui putusannya.Diskresi KPU,karenanya, tidak boleh melebihi dari apa yang diperintahkan MK. Misalnya KPU tidak boleh membuat aturan suara terbanyak berdasarkan pembedaan caleg laki-laki dan caleg perempuan.
Dengan demikian,dalam tataran ini KPU sebenarnya hanyalah pelaksana dari ketentuan yang dibuat oleh legislator, baik positive legislator (DPR dan pemerintah) maupun negative legislator(MK). Mudahnya,dasar hukum dalam penentuan suara terbanyak adalah UU Pemilu, terutama ketentuan Pasal 213, dan putusan MK tanggal 19 Desember 2008.Putusan MK bernilai sama dengan undang-undang, dan dalam beberapa hal bahkan bisa melebihi ketentuan undang-undang.
Misalnya MK pernah mengesampingkan ketentuan Pasal 50 UU MK yang menyatakan bahwa MK hanya boleh menguji undang-undang yang diundangkan sebelum Perubahan Pertama UUD 1945. Karena itu putusan MK harus dilaksanakan tanpa pengecualian, termasuk oleh KPU.
Pertanyaannya, apakah terhadap putusan tersebut masih dibutuhkan perppu? Atau apakah perppu harus dikeluarkan untuk memperkuat putusan tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan ini: tidak! Secara teoretis, perppu dibutuhkan karena adanya kegentingan yang memaksa, yang bisa saja ditafsirkan secara subjektif oleh presiden. Namun, yang juga tak kalah pentingnya adalah perppu perlu dikeluarkan karena ada kekosongan hukum.
Dalam perkara suara terbanyak, tidak terjadi kekosongan hukum karena KPU dapat mendasarkan tindakannya pada putusan MK yang bernilai sama dengan undang-undang. Mengeluarkan perppu (atau lebih tepatnya meminta perppu kepada presiden) dengan alasan kekosongan hukum sama sekali keliru. Ketika berkunjung ke KPU Inggris di London saya semakin menyadari betapa beratnya kerja KPU kita.KPU Inggris tidak bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilu, termasuk hasilnya.
Proses pemilu diserahkan ke masing-masing pemerintah lokal, kepada pejabat yang disebut dengan returning officer. KPU Inggris hanya memberikan guidance dan lebih bertanggung jawab terhadap voter information dan voter education. Kepada salah seorang komisioner di sana saya katakan,“Dibandingkan KPU kami Anda lebih beruntung karena tugas Anda lebih ringan. KPU kami harus mengerjakan urusan pemilu dari A hingga Z.”
Sampai titik ini,rasa salut dan hormat perlu disampaikan kepada KPU. Namun, rasa hormat itu sering hilang begitu saja manakala melihat perilaku KPU yang tidak jelas juntrungannya. Dalam perkara meminta perppu, ketimbang menyelesaikan soal suara terbanyak, bagi saya,beberapa anggota KPU hanya ingin selalu terlihat tampil di publik dengan terus banyak bersuara! (*)
Refly Harun
Peneliti Senior Cetro Chevening Fellow University of Birmingham, Inggris
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/215308/
Suara Terbanyak atau Banyak Bersuara?
Written By gusdurian on Sabtu, 21 Februari 2009 | 12.14
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar