BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » KPK Khawatir DPR Reduksi Pasal Suap

KPK Khawatir DPR Reduksi Pasal Suap

Written By gusdurian on Selasa, 17 Februari 2009 | 11.58

RUU Tipikor
KPK Khawatir DPR Reduksi Pasal Suap



Jakarta-Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Jasin mengusulkan penambahan pasal terkait suap dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Penambahan pasal tersebut harus dilakukan sekarang agar saat diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak direduksi oleh legislator.
Demikian pendapat M Jasin di sela-sela suatu diskusi, Senin (16/2). “Harus ada penambahan pasal mengenai suap karena mengantisipasi kebiasaan DPR yang mengurangi pasal-pasal krusial dari setiap RUU yang diajukan,” ungkapnya.
Pasal yang diusulkan dalam perkara suap, menurutnya, seperti yang diatur dalam UNCAC (United Nation Convention on Against Corruption), di mana Indonesia sudah meratifikasi melalui UU No 7 Tahun 2006.
Pasal suap yang diminta untuk ditambahkan adalah Pasal 15 UNCAC, mengenai sebelum suap berpindah tangan, sudah dapat dipidana. Kemudian Pasal 16 UNCAC mengatur suap yang melibatkan pejabat publik dan pejabat organisasi internasional. Lalu Pasal 21 UNCAC yang mengatur penyuapan di sektor swasta.
Hasil draf RUU Tipikor yang dibuat tim perumus pimpinan Andi Hamzah menunjukkan, apa yang diatur dalam UNCAC belum ada sama sekali. Menurutnya, sejak awal, mengenai penyuapan seperti diatur dalam UNCAC harus diajukan dan diperjuangkan berbagai pihak.
Menurutnya, strategi itu sangat penting karena beberapa kali DPR mereduksi pasal-pasal krusial dalam setiap RUU yang mereka bahas. Ia mencontohkan tentang perlindungan saksi dan korban, terutama yang mengatur tentang saksi yang mengungkapkan kasus pertama kali (whistle blower) yang direduksi di tengah jalan saat pembahasan.
Kini, sejumlah kasus yang ditangani KPK sebagian besarnya terkait gratifikasi atau suap yang melibatkan kalangan Dewan, di antaranya kasus Al Amin, Bulyan Royan, dan kasus Yusuf Emir Faishal.
Sebelumnya, komisi ini juga mengapresiasi hasil survei Transparency International Indonesia (TII) yang menempatkan Polri sebagai institusi pemerintahan yang menduduki peringkat pertama dalam kasus suap. Dalam survei itu juga disebutkan adanya indikasi suap pada pengadilan.
Namun, komisi ini menolak mengomentari lebih jauh soal tindakan KPK sebagai lembaga supervisi terkait survei itu. KPK menurut Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar, sebaliknya melihat adanya proses perbaikan di dalam tubuh Polri saat ini.
“Jangan dicampuradukkan tugas KPK dengan hasil pekerjaan TII. Biarkan TII menjelaskan kepada publik apa dasar survei itu. Tidak benar kalau kami mengomentari pekerjaan orang,” kata Haryono Umar pekan lalu.
Survei TII terhadap 15 instansi pemerintah menyebutkan, kepolisian menjadi lembaga yang paling banyak menerima suap dibanding lembaga publik lain. Rata-rata nilai suap per transaksi mencapai Rp 2,273 juta.
(leo wisnu susapto)
Share this article :

0 komentar: