BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kastil

Kastil

Written By gusdurian on Senin, 12 Oktober 2009 | 13.45

Kastil

SEORANG gubernur mengeluh. Saya kebetulan mendengarnya. Maka tahulah
saya ada yang ganjil yang jadi rutin dalam pemerintahan kota yang
dipimpinnya, seakan-akan sang gubernur dan administrasinya muncul dari
novel Kafka, seakan-akan Kafka bukan hidup di Praha di awal abad ke-20
melainkan di Jakarta, mungkin di sekitar Gambir, sejak empat dasawarsa ini.

Tapi cerita ini bukan buah imajinasi seorang sastrawan: pada suatu hari
di tahun 1990-an gubernur itu memang mengirim surat dinas ke direktur
kebun binatang di Ragunan. Berhari-hari ia tak menerima jawaban dari
bawahannya itu. Kemudian baru ia ketahui, surat yang ditandatanganinya
itu perlu waktu tiga bulan untuk keluar dari kantor gubernuran.
Berminggu-minggu kertas itu diteruskan dari biro satu ke biro lain di
dalam kantor yang sama, sebelum akhirnya dikirim ke alamat yang dimaksud.

Gubernur itu, seorang perwira tinggi angkatan darat yang lurus hati yang
diberi jabatan itu baru satu tahun, bertanya seakan-akan pada dirinya
sendiri: ”Kantor macam apa ini?”

Seorang wali kota juga mengeluh. Atau mungkin lebih tepat terenyak. Ia
seorang mantan pengusaha sukses yang dipilih dengan penuh harapan oleh
rakyat di kota Jawa Tengah itu. Tapi pada hari pertama ia masuk kantor
balai kota, ia lihat ratusan orang duduk di dalamnya: para pegawai.
Sebagian besar baca koran. Sebagian lagi main catur. Bahkan ada seorang
pegawai perempuan asyik merajang sayur.

Sang wali kota pun pulang ke rumahnya dan termangu di hari pertama masa
jabatannya: ”Kantor macam apa itu?”

Jawabannya sangat mengejutkan: itu adalah kantor yang biasa saja,
Pak—kantor pemerintah. Itu adalah kantor di mana mesin yang disebut
birokrasi hadir, nongkrong, seakan-akan untuk membatalkan tesis Max
Weber dan mengukuhkan gambaran yang absurd dalam karya-karya fiktif
Kafka—meskipun cerita birokrasi Indonesia tak sepenuhnya bisa dijelaskan
dengan kemuraman Kafka.

Max Weber, kita ingat, mempertautkan birokrasi dengan keniscayaan dunia
modern. Berbeda dari kaki tangan raja-raja di zaman lampau, yang bekerja
berdasarkan perpanjangan kharisma Yang-Dipertuan-Agung, birokrasi
merupakan alat sebuah otoritas yang bersifat ”legal-rasional”. Dalam
tesis Weber, birokrasi membawa dalam dirinya aturan dan hierarki yang
jelas. Organisasi itu punya arah atau sasaran yang terfokus, dan ia
dengan sadar bersifat impersonal. Seluruh bangunan itu punya
rasionalitas yang mantap.

Tapi apa kiranya yang ”rasional” di kantor sang gubernur dan sang wali
kota?

Gubernur kita tak tahu, wali kota kita tak tahu, saya juga tak tahu.
Tapi jangan-jangan inilah ”rasionalitas” itu: birokrasi itu adalah
sebuah agregat yang lahir dari argumen bahwa ia diperlukan. Birokrat,
kata Hannah Arendt dengan sedikit mencemooh, adalah ”the functionaries
of necessity”. Dengan catatan: necessity itu, keperluan yang tak bisa
dielakkan itu, pada awal dan akhirnya ditentukan oleh dinamika
organisasi itu sendiri. Birokrasi tak perlu punya sasaran untuk dicapai.
Mesin itu berjalan mandiri.

Di sinilah yang absurd berlangsung—sesuatu yang dibuat alegorinya oleh
Kafka dalam cerita pendeknya yang termasyhur, Di Koloni Hukuman.

Di pulau itu, seorang opsir menjelaskan kepada seorang pengunjung
tentang proses eksekusi yang akan dijalani seorang terhukum. Ia akan
diletakkan telungkup di bawah sebuah mesin yang bekerja seperti sehimpun
jarum tato raksasa, mesin yang akan menusuki si terhukum dan dengan itu
akan tertulis sebuah kalimat perintah di tubuhnya. Setelah 12 jam, si
terhukum mati.

Yang menarik dari penceritaan Kafka adalah bahwa yang jadi fokus bukan
si terhukum; orang ini cuma diam saja, bahkan tak tahu atau peduli apa
kesalahannya. Melalui sang Opsir, tokoh utama yang muncul adalah mesin
yang ganjil, brutal, dan rumit itu. Ketika sang Opsir yang
mengoperasikan mesin itu tahu penggunaannya tak akan diizinkan lagi, ia
membiarkan dirinya jadi korban. Mesin ada, dan sebab itu harus
didapatkan sasarannya.

Birokrasi juga menyatakan diri perlu, tapi kita tak tahu apa fungsinya
ketika ia hadir, dalam jumlah yang berlebih dan tak bekerja untuk satu
hasil. Dalam aturan yang berlaku, sang wali kota tak boleh memecat
pegawainya—meskipun ia sanggup bekerja dengan 20% saja dari tenaga yang
ada. Bahkan tiap tahun ia harus menerima 700 pegawai baru.

Memang harus ditambahkan di sini: berbeda dari mesin yang digambarkan
Kafka, aparat pemerintahan di kantor-kantor negara tak tampak
mengerikan. Bahkan mungkin alegori Di Koloni Hukuman tak tepat dipakai.
Mereka yang duduk menganggur di kantor wali kota itu tak punya ciri-ciri
mesin yang efektif. Jika kita harus memakai kiasan Kafka—mungkin
satu-satunya novelis yang dengan imajinatif menggambarkan dunia modern
yang harus menanggungkan organisasi—maka birokrasi kita lebih mirip
sebuah kastil.

Dalam novel Das Schloß, (artinya ”kastil” dan juga ”gembok”), kita
dipertemukan dengan sebuah konstruksi yang mendominasi lanskap desa.
Kastil itu menguasai wilayah itu, tapi tak tampak siapa yang punya.
Ketika K datang untuk menghadap, yang disebut hanya seorang
administrator yang bernama Klamm (dalam bahasa Cek berarti ”ilusi”) yang
tak pernah bisa ditemuinya.

Kekuasaan itu tak jelas, tapi terasa, kadang-kadang muncul, melalui
lapisan staf dan telepon yang berdering dan tak disahut. Birokrasi yang
impersonal itu pada akhirnya tak menjawab dan tak jelas kepada siapa ia
bertanggung jawab. Di balik bangunan besar itu, mungkin sebenarnya hanya
ada khaos. Gubernur itu menyerah. Wali kota itu menyerah.

*/Goenawan Mohamad
/*

*/http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/10/12/CTP/mbm.20091012.CTP131682.id.html
/*
Share this article :

0 komentar: