BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Desensitisasio

Desensitisasio

Written By gusdurian on Senin, 12 Oktober 2009 | 13.46

Desensitisasi

SEHARI setelah gempa bumi di Sumatera Barat, saya menerima beberapa
pesan singkat (SMS) yang sama melalui handphone, bahwa gempa bumi itu
terjadi pada pukul 17.16 WIB, lalu dikaitkan dengan surat dan ayat
Alquran: 17:16,yang artinya: Dan apabila Kami menghendaki untuk
membinasakan satu negeri, maka Kami menyuruh orang-orang yang hidup
mewah lalu mereka berbuat kedurhakaan dalam negeri itu. Maka berlakulah
ketentuan Allah atasnya, lalu Kami menghancurkannya sehancur-hancurnya.

Sebagai seorang muslim, saya meyakini sepenuhnya kebenaran isi Alquran
yang menyebutkan bahwa Allah akan menghukum suatu kaum yang durhaka
pada- Nya, dan sangat bisa jadi sekelompok masyarakat yang tidak berdosa
akan ikut menderita karenanya. Begitulah salah satu bunyi ayat Alquran.

Namun ketika saya menerima edaran SMStersebut,dan ternyata banyak teman
juga menerima,hati saya bertanya. Apakah betul pemahaman saya terhadap
ayat Alquran tersebut ketika mengaitkannya dengan musibah yang menimpa
saudara-saudara kita di Sumatera Barat dan sekitarnya? Kesan yang muncul
dari SMS itu pengirimnya berpandangan bahwa Allah tengah menghukum dosa
mereka yang hidup mewah dan durhaka pada Allah.

Ada lagi yang menulis, mereka jadi tumbal dari dosa-dosa yang dilakukan
oleh para elit di negeri ini. Apakahbijakdisaatsaudarakita tertimpa
musibah, lalu mengedarkan SMSayat Alquran yang seakan membenarkan
terjadinya musibah atas mereka lantaran adakecocokan antara jam
peristiwa dengan nomor suratdanayat Alquran?

Lalu,apakah ketika terjadi gempa di Jawa Barat, Yogyakarta dan beberapa
wilayah Indonesia yang sering terkena gempa juga ada korelasi kecocokan
waktu dan nomor ayat Alquran? Karena terdapatdaerahyangdiduga akan
terkena gempa susulan, bagaimana mencari korelasi antara ayat dan
peristiwa itu?

Lebih jauh lagi,bagaimana memahami negaranegara lain yang juga menjadi
langganan peristiwa gempa dan angin topan yang selalu menelan korban
itu? Dalam tradisi Islam memang ada pemikiran yang selalu mencoba
mengaitkan antara ayat qauliyahdan ayat kauniyah,antara kitab suci yang
tertulis dan kitab suci yang terhampar dalam jagad semesta.Namun
berbagai tafsiran itu tetaplah dalam batas tafsiran, tidak ada jaminan
meraih kebenaran mutlak.

Semua penafsiran selalu berusaha mencari kebenaran, tetapi haruslah
tetap bersikap rendah hati dan bijaksana. Seorang teman yang saya duga
berasal dari Sumatera Barat menulis dalam FB saya,ketika negaranegara
lain yang bukan muslim tengah menggalang dana bantuan dan sebagian sudah
sampai di tempat, beredarnya SMS di atas sangat menyinggung perasaannya.

Banyak yang jadi korban gempa adalah orang yang hidupnya sederhana.
Mereka warga masyarakat yang baik.Bahwa ada misteri di balik gempa yang
sangat dahsyat itu, kita serahkan saja pada Allah. Otak manusia tidak
sanggup menjangkaunya. Para ilmuwan telah berusaha mempelajari adanya
lempengan bumi yang bergerak dan itu bisa mengakibatkan permukaan bumi
berantakan.

Mirip hidangan yang tersedia di atas meja menjadi berantakan ketika kaki
mejanya ada yang patah. Ilmuwan pun sulit meramal kapan gempa akan
terjadi. Jadi, sangat wajar dan benar kalau umat yang beriman lalu
mengembalikan semua tragedi itu pada Tuhan sambil melakukan introspeksi.
Buah introspeksi itu bagi masyarakat Jepang yang menjadi langganan gempa
bumi adalah membuat konstruksi bangunan yang tahan gempa.

Orang Belanda yang negaranya menempel di pantai lalu membuat tanggul dan
kanal agar kotanya tidak tenggelam oleh air laut yang pasang.
Demikianlah, karena sudah lama diketahui bahwa beberapa wilayah
Indonesia ini memang berada di garis yang berpeluang terkena gempa, maka
perlu pendekatan ilmiah-rasional tanpa melupakan berdoa dan bersikap
pasrah pada Allah, karena tragedi kehidupan itu bisa terjadi di mana
saja dalam bentuk apa saja.

Sekali lagi, saya tidak menghujat dan meragukan kebenaran
ayatAlquran,tetapi perlu kepekaan sosial dalam menafsirkannya jangan
sampai kitab suci yang mulia dan diturunkan dari Allah Yang Mulia itu
malah menyakiti teman kita yang terkena musibah. Inilah yang saya
maksudkan dengan istilah “desensitisasi”,yaitu hilangnya sensitivitas
moral-emosional ketika melihat problem sosial.

Sekarang ini fenomena desensitisasi mudah sekali dijumpai dalam ranah
politik, birokrasi dan juga masyarakat. Kolega saya, Amsal Bahtiar,
belum lama ini ke rumah sakit untuk periksa kesehatan sebagai salah satu
syarat ibadah haji. Dia heran, begitu panjang antreannya, dan di
antaranya adalah orang-orang yang lanjut usia.

Mereka ingin periksa kesehatan untuk ibadah haji. Tetapi, kata Amsal,
mengapa yang muda-muda itu tidak peka,membiarkan orangtua ikut antre
panjang? Padahal sama-sama ingin beribadah haji? Ini salah satu contoh
desensitisasi. Ada lagi yang memberi komentar, di saat warga Sumatera
Barat menderita kekurangan bantuan, tak jauh dari situ Golkar tengah
mengadakan kongres memperebutkan ketua umum dalam suasana yang sarat
dengan permainan uang untuk membeli suara.

Ini juga bentuk lain dari desensitisasi. Dalam kajian
psikologi,desensitisasi ini muncul dan kian menguat ketika masyarakat
terbiasa dihadapkan perilaku menyimpang dan peristiwa kekerasan sehingga
terjadi kekebalan dalam perasaannya. Mereka tidak lagi peka melihat
penyimpangan dan penderitaan (emotionally and morally insensitive).

Akibat lebih lanjut lagi akan memunculkan apa yang disebut compassion
fatigue, keletihan untuk merasa terharu dan kasihan ketika melihat
penderitaan yang dialami sesama. Empati dan dorongan untuk menolong
sesama adalah salah satu pesan pokok agama. Ketika dua sifat ini hilang,
ambruklah moralitas masyarakat dan bangsa. Apakah masyarakat kita tengah
mengarah ke sana? (*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/275543/38/
Share this article :

0 komentar: