BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mengenang dan Menghargai Ibn Khaldun

Mengenang dan Menghargai Ibn Khaldun

Written By gusdurian on Senin, 12 Oktober 2009 | 13.43

Mengenang dan Menghargai Ibn Khaldun
Oleh Ihsan Ali-Fauzi Pengajar Universitas Paramadina dan pengagum Ibn
Khaldun


RAMADAN lalu saya diundang bicara tentang Muqaddimah, buku agung Ibn
Khaldun. Niat panitia (Jaringan Islam Liberal, JIL), sambil mensyukuri
malam Ramadan, kita ingin belajar dari warisan intelektual Islam. Ini
tradisi tahunan JIL (sebelumnya pernah dibahas alGhazali, Ibn al-'Arabi,
dan lainnya). Asyik kan, dapat dunia dan akhirat?
Bagi yang belum kenal Ibn Khaldun, ini sedikit info. Dia lahir di Tunis
(1332) dan wafat di Fez (1406). Meski basisnya Afrika Utara, dia rajin
ke mana-mana. Dia pernah menjadi guru dan qadhi (semacam hakim),
diplomat, dan penasihat penguasa. Tapi ketakpastian politik mendorongnya
untuk lebih rajin meneliti dan menulis, di akhir hayatnya. Karyanya tak
banyak. Tapi lewat Muqaddimah dan al-'Ibar, karya sejarahnya, dia banyak
disebut sebagai sejarawan muslim terbesar. Kalangan tertentu, bahkan di
Barat, memandangnya sebagai penemu sosiologi modern, lewat `ilm
al-'umran (ilmu peradaban) yang digagasnya. Nah, bagaimana kita
sebaiknya menghargai Ibn Khaldun? Sudah lama saya bosan dengan cara
banyak kalangan, terutama muslim, mendiskusikan khazanah intelektual
Islam, termasuk Ibn Khaldun.
Gayanya sering kali retoris-apologetis: sudah begitu hebat, toh dia tak
diakui dunia ya? Kadang arah diskusi jadi defensifeksklusif: karena
sudah ada dalam Islam, apa perlunya kita belajar dari Marx atau Weber?
Kita harus segera hijrah dari gaya diskusi yang tak produktif itu.
Saya khawatir ini cermin kekerdilan tumbuh dari pola-pikir `katak dalam
tempurung'. Jika Islam itu rahmat bagi semesta alam, mengapa pula kita
takut berenang bersama orangorang lain di semesta itu?
Asal tahu saja: Ultah ke-600 kematian Ibn Khaldun (2006) dirayakan di
New Yo r k U n i v e r s i t y dengan seminar tentang sumbangannya pada
dunia ilmu-ilmu sosial.
Tahun itu, jurnaljurnal sosiologi terkemuka, seperti Current Sociology,
International Sociology, Contemporary Sociology, memuat artikel-artikel
khusus tentangnya.
Sebelumnya, sudah ada Ibn Khaldun Chair di George Washington University,
yang diduduki Akbar S Ahmed, antropolog muslim terkemuka. Kurang apa lagi?
Dunia tidak mengakuinya? Sekarang mari kita berkaca (enaknya sambil
mendengarkan Man in the Mirror, lagu mendiang Michael Jackson itu). Toh
saya tak menemukan penghargaan sejenis oleh kalangan muslim di tahun itu
untuknya.

Yang ada malah kabar buruk. Di Mesir, sebuah lembaga riset yang membawa
namanya dan ingin mengembangkan ilmu yang diawalinya, Ibn Khaldun
Center, malah ditutup pemerintah. Alasannya, hasil riset lembaga itu
menjelek-jelekkan pemerintahan Husni Mubarak (seakan diktator Mesir itu,
yang memanipulasi suara rakyat dalam pemilu dan menyiapkan anaknya
sebagai penggantinya, perlu dijelek-jelekkan untuk tampil bopeng).
Adapun Saad el-Din Ibrahim, sosiolog dengan reputasi internasional yang
mendirikannya, harus ngacir ke Turki untuk menghindari penjara, yang
pernah dialaminya beberapa tahun lalu.

*** Karena bosan dengan gaya diskusi yang retoris-apologetis dan
defensif-eksklusif itu, saya sengaja membawa warisan Ibn Khaldun masuk
ke debat kontemporer tentang ilmuilmu sosial. Kecuali jika dia sendiri
mengemukakan sisi-sisi keislaman teorinya, saya melepaskannya dari
akar-akar Islamnya (juga Arabnya, sebenarnya).

Kita memperoleh banyak hal. Teori terkenalnya tentang `ashabiyah,
`solidaritas bawaan', benar-benar bisa diperbandingkan dengan
teori-teori mutakhir tentang formasi negara pramodern, yang hingga kini
masih sering digunakan untuk memahami banyak negara di Timur Tengah.
Juga bermanfaat melihat Ibn Khaldun sebagai teoretikus yang lebih dekat
kepada Marx (konflik) daripada Weber (integrasi). Bukankah teori
berpengaruh Ernest Gellner, tentang gerak pendulum dalam reformasi
Islam, seperti diakuinya sendiri, banyak dikembangkan dari Ibn Khaldun?
Dan lainnya.

Ringkasnya, bersama Ibn Khaldun, kita harus mengembangkan optimisme
lebih jauh tentang manusia dan ilmu yang dibangun untuk lebih memahami
mereka. Sehubungan dengan Islam dan non-Islam, mari kita cari lebih
banyak irisan di antara keduanya. Itu dengan menemukan titik temu dan
titik pisah, untuk saling berbagi atau menerima dan mengelola perbedaan.

Saya kira inilah cara terbaik kita menghargai Ibn Khaldun. Dengan
Muqaddimah dan al-'Ibar, dia tidak saja tertarik pada peristiwa sejarah
tertentu, tapi juga pada hukum sosial apa yang bisa ditarik darinya
untuk membangun peradaban manusia.

*** Sayangnya, yang saya sarankan itu tak cukup populer. Kecenderungan
umumnya malah ingin melakukan `sakralisasi' atas Ibn Khaldun, dalam
proyek yang disebut `Islamisasi ilmu'. Contohnya artikel Mahmoud
Dhaouadi, yang--hebatnya--tetap diterbitkan Contemporary Sociology,
jurnal kafir yang hendak merayakan Ibn Khaldun itu.

Kata Dhaouadi, model sosiologi Khaldunian tak bisa didialogkan dengan
modelmodel lain, karena model itu bukan saja bersumber dari akal (`aql),
tapi juga dari wahyu (naql). Perhatikan bahwa dia menutup kemungkinan
bagi `Sosiologi Timur Khaldunian' untuk bisa (dan sudah) ditolak oleh
sosiolog lain yang sama-sama berasal dari Timur. Jika sosiologi Islam
hanya bisa dicapai kaum muslim, dari mazhab apa si sosiolog itu berasal?
Repotnya, produk akhir dari proyek islamisasi ini tidak bisa
difalsifikasi, karena hal itu tidak dapat diakses apalagi
diperbandingkan dengan hasil temuan kalangan lain.

Salah satu bahaya dari proyek ini adalah anti-kritisisme, karena proyek
itu mengibarkan bendera `nativisme': wahyu (Islam) itu unik, pasti
benar, tidak bisa diakses kalangan yang di luarnya. Ingat bahwa dalam
wacana ini, misalnya, sosiologi Islam harus diturunkan dari doktrin
Islam tentang masyarakat.
Tapi bukankah ini nantinya menjadi, seperti diduga Akbar Ahmed, `too
much Islam and too little sociology'? Bukankah, sebagai ilmu, sosiologi
harus empiris? Dan bukankah kita bisa memisahkan antara apa yang Allah
kehendaki dari umatnya, seperti disebutkan dalam teologi atau tafsir,
dan apa yang secara aktual dilakukan sang umat, yang harus menjadi
telaahan sosiologi?
Jika ini berkembang, saya takut Ibn Khaldun bangkit dari kuburnya!
Seperti diketahui, dia dikenal sangat kritis baik terhadap laporan
tentang masa lalu maupun opini dari masanya, termasuk yang disampaikan
kaum muslim.

Akhirnya, proyek islamisasi ilmu juga bisa mengerdilkan wawasan kaum
muslim karena pandangan yang disebarkan bahwa apa-apa yang ditulis para
sarjana nonmuslim akan dengan sendirinya tidak berguna. Betapa besar
kehilangan yang harus diderita kaum muslim yang mau mengerti
masyarakatnya, jika mereka tak lagi membaca karangan antropolog seperti
Clifford Geertz atau Mitsuo Nakamura, yang sebagiannya dengan bahagia
mengembangkan ilmu yang dimulai Ibn Khaldun! *** Mohon saya tak
disalahpahami. Saya tidak antiwahyu atau perannya dalam kerja-kerja
ilmu. Saya hanya keberatan jika kita diharuskan memilih antara wahyu dan
akal. Kita memerlukan keduanya ­ dan akal semua orang. Sebuah teori dari
kalangan muslim tidak serta-merta benar hanya karena teori itu
diturunkan dari wahyu, seperti halnya teori-teori Barat (sic!) tidak
serta-merta salah hanya karena dia berasal semata dari akal.

Apakah kenyataan bahwa Ibn Khaldun itu berasal dari lingkungan Islam
atau Arab sama sekali tidak bermakna? Tidak juga. Sebaliknya, kenyataan
itu penting diperhatikan untuk lebih memahami asal-usul pembentukan
teorinya. Tapi menelusuri asal-usul satu teori tidak sama dengan
menerima apa adanya teori itu karena asal-usulnya, bukan?
Dus, cara terbaik menghargai Ibn Khaldun adalah dengan membawa masuk
sosiologinya, apa adanya, seperti sosiologi pada umumnya, ke dalam debat
semesta sosiologi manusia. Bukan dengan membungkusnya rapat-rapat dengan
jubah Islam dan mensterilkannya dalam museum kemegahan sejarah ilmu di
dunia Islam di masa lalu. Ini enak yang sesaat dan memabukkan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/10/12/ArticleHtmls/12_10_2009_008_003.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: