“Please Call Me Mbak Nia”
Laporan: Kartika Sari
Jakarta, RMonline. Sebulan Ngubek-ngubek Negeri Kanguru
Sebagai pemenang Elizabeth O’Neill Journalism Award dari Pemerintah Australia, wartawan Rakyat Merdeka Kartika Sari mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Negeri Kanguru selama satu bulan. Sungguh pengalaman yang sangat mengesankan bisa berpetualang dan mengubek-ubek empat kota sekaligus di Australia. Berikut ini laporannya yang akan disajikan secara bersambung.
Kita boleh bangga karena Australia punya beberapa Indonesianis. Kebanyakan dari mereka adalah para akademisi. Salah satunya Virginia Hooker, dosen senior dari Australia National University (ANU) di Canberra yang belum lama ini pensiun.
Meski sudah pensiun, namun karena sumbangsih dan jasanya yang besar di dunia pendidikan, Nyonya Hooker masih dikaryakan di ANU. Tak mengherankan jika dia mendapat gelar “Emiratus Professor” dari ANU.
Di ANU, salah satu universitas terkemuka di Australia, Hooker adalah Koordinator Program Pasca Sarjana yang mengajar mengenai agama Islam dan Indonesia. Dia juga dosen menjadi pembimbing di Department of Political & Social Change, Research School of Pacific and Asian Studies di ANU.
Saya pertama kali bertemu profesor yang masih tampak sehat dan cantik di usianya yang 62 tahun itu empat tahun lalu. Saat itu, saya diundang Pemerintah Australia untuk meliput Australia-Indonesia Ministerial Meeting (AIMM) di Canberra bersama almarhumah Elizabeth O’Neill, Atase Kedubes Australia di Indonesia yang meninggal dalam kecelakaan pesawat Garuda di Yogyakarta pada 7 Maret 2007.
Rakyat Merdeka sangat senang mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan Hooker di hari terakhir Konferensi Bilateral di Sydney pertengahan Februari lalu. Di coffee shop Hotel Intercontinental Sydney, saya dan Hooker mengobrol sambil lunch. Tak diragukan lagi, akademisi yang sangat ramah itu, sangat Indonesianis dan mencintai Indonesia.
Saking cintanya dengan Indonesia, Hooker bahkan punya nama panggilan Indonesia. “Please call me (tolong panggil saya) Mbak Nia aja. Jangan panggil saya Nyonya Hooker atau Virginia ya,” pintanya kepada saya sambil tersenyum.
Sebagai orang asing, bahasa Indonesia ibu dua anak itu cukup lancar. Hooker yang juga anggota Member of the Board Australia Indonesia Institute (AII) itu, tak henti-hentinya memuji Indonesia dan kebaikan serta keramahan masyarakat Indonesia.
“Saya sangat senang negara Anda. Menurut saya, Indonesia tidak hanya negara yang kaya akan sumber daya alam, tapi juga masyarakatnya sangat ramah, baik, tulus dan penolong. Saya juga sangat kagum dengan budaya dan kehidupan majemuk masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Di mata Hooker, masyarakat Indonesia sangat pintar, artistik, sensitif, supportive, terus terang, ramah dan punya sense of humor yang tinggi. “Saya punya teman dari banyak negara. Tetapi teman-teman dari Indonesia lah yang paling baik dan tulus. Misalnya saat saya terkena musibah atau sedang sedih, pasti teman-teman dari Indonesia yang rajin mengkontak entah itu lewat e-mail atau telepon untuk memberikan dukungan sehingga saya menjadi lebih tegar.”
Menurut Hooker, dia belajar bahasa Indonesia di Canberra sejak tahun 1964 jaman Presiden Soekarno. Pelajaran bahasa Indonesia sendiri, tambahnya, baru diajarkan di sejumlah sekolah Australia tahun 1980-an.
Nenek dua cucu yang hobi melahap rendang, gule, gado-gado dan masakan Sunda itu, mengaku salut dengan masyarakat Indonesia yang kuat. “Saya sangat bangga dengan orangtua di Indonesia yang tetap menyekolahkan anak-anak mereka, meskipun kondisi negara Anda di jaman Presiden Soekarno tahun 1960-an sangat sulit,” pujinya.
Menurut profesor kelahiran 16 September 1946 itu, kelebihan-kelebihan yang dimiliki masyarakat Indonesia itu, sangat baik untuk menjalin hubungan dengan dunia luar, termasuk dengan Australia sebagai tetangga dekat.
Kesalahpahaman
Pada kesempatan itu, dia mengakui masih banyak kesalahpahaman dan ketidaktahuan dari masyarakat Australia tentang Indonesia. Misalnya, orang Australia secara umum sulit membedakan Islam secara umum dan Islam di Indonesia. Mereka tahunya Islam secara umum seperti dari Timur Tengah.
Menurutnya, terdapat sekitar 150.000 warga Muslim di Australia. Sebagian besar dari mereka adalah imigran dari Turki, Lebanon, Afrika dan Timur Tengah. Dari jumlah tersebut, Muslim Indonesia di Australia sangat sedikit sehingga tidak jadi mainstream.
“Warga Australia tidak tahu banyak tentang Islam di Indonesia. Makanya, ini menjadi tantangan kita bersama untuk menjelaskan kepada mereka seperti apa sih Islam di Indonesia. Mereka cuma tahu Islam secara umum,” katanya.
Sebagai salah satu upaya sosialisasi mengenai Islam dan kehidupan masyarakat Muslim di Australia, lanjutnya, warga non Muslim Australia diundang masuk ke masjid. Bahkan selama bulan Ramadhan, setiap hari ada berita mengenai kegiatan berbuka puasa bersama di sejumlah media massa Negeri Kanguru.
Profesor Hooker juga mengaku sangat tertarik melakukan perubahan sosial lewat sastra dan rajin membaca buku-buku sastra tentang Indonesia. “Saya bertemu dengan banyak sastrawan dan budayawan dari Indonesia, misalnya WS Rendra, Si Burung Merak,” pungkasnya.
http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=72913
“Please Call Me Mbak Nia”
Written By gusdurian on Kamis, 26 Maret 2009 | 12.40
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar