Menarik yang disampaikan Komaruddin Hidayat dan Adnan Buyung Nasution
dalam seminar tentang IJ Kasimo di Jakarta, Selasa (12/10).
Dengan rumusan berbeda, menurut mereka, harus dihidupkan kembali
hilangnya kebebasan nurani. Pernyataan mereka menukik ke pengabdian
dan pengorbanan tokoh-tokoh pergerakan, taruhlah Kasimo sebagai
kapstok. Hati nurani menjadi kata kunci.
Dalam era pra-kemerdekaan, nurani bebas adalah terbebasnya dari
penjajahan. Sebaliknya, di era pasca-kemerdekaan, bahkan di era
reformasi, di mana kebebasan nurani punya ruang lebih longgar secara
politis, ironisnya justru dirasakan hilangnya kebebasan hati nurani.
Dibawa ke perkembangan aktual, pertanyaan-pertanyaan itu menggelegak
diungkapkan. Bahwa, kok, rasanya kita sebagai bangsa makin merosot
dari sisi kualitas. Democracy in the making, oke, tetapi ketika jargon
itu jadi justifikasi atas praksis ademokratis, nurani kita menggugat:
apakah begitu? Taruhlah contoh privilese-privilese yang dinikmati
mereka yang berstatus tervonis, kasus Bibit-Chandra yang berlarut-
larut. Dampaknya tereduksi kewibawaan Komisi Pemberantasan Korupsi
yang dari sisi lain berarti terkikisnya kebebasan nurani.
Kalau politik boleh disederhanakan sebagai perjuangan untuk
kepentingan polis (negara), dalam hal ini kebaikan umum-rakyat, maka
politik adalah pengabdian, pengorbanan. Karena itu etis, dengan
demikian bermartabat. Sebaliknya, kalau praksis berpolitik menjadi
arena jual beli suara, arena jual beli kursi dan jabatan, dominasi
uang dan balas jasa jadi ukuran tunggal.
Simplifikasi pemerian nurani di atas menunjukkan, mengembalikan
kebebasan hati nurani merupakan keharusan. Itulah pekerjaan rumah
bersama senyampang kita belum terpuruk-puruk dalam banalisasi
demokrasi.
Tidak jemu-jemu diingatkan suri teladan para tokoh pergerakan sebagai
bahan belajar. Sekalian di saat yang sama generasi penerus dibiarkan
menafsirkan ketokohan para bapak bangsa dengan perspektif masing-
masing, sesuai dengan perkembangan zaman. Belajar bahwa para bapak
bangsa dan penerusnya kemudian bukanlah monster-monster, tetapi
manusia-manusia biasa yang dilandasi hati nurani tulus-bersih.
Dalam konteks itulah, kebenaran sejarah tidaklah langgeng. Kalau dalam
pemikiran spekulatif, setiap kebenaran menyimpan asumsi
ketidakbenaran, dalam kebenaran sejarah pun mengundang gugatan dan
peninjauan kembali, entah yang menyangkut ketokohan Syafruddin
Prawiranegara, Amir Syamsuddin, Soekarno, bahkan Soeharto.
Untuk jangka jauh ke depan, ketika kebebasan hati nurani terkikis,
mutu bangsa merosot. Terjadi ”penjungkirbalikan nilai-nilai”, kata
Friedrich Nietzsche. Batas kebaikan dan kejahatan kebur. Kalau
keterusan, artinya kita gali lubang kubur sendiri. Jadi, mari kita
bersama-sama selamatkan negara-bangsa!
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/15/03121621/tajuk.rencana
dalam seminar tentang IJ Kasimo di Jakarta, Selasa (12/10).
Dengan rumusan berbeda, menurut mereka, harus dihidupkan kembali
hilangnya kebebasan nurani. Pernyataan mereka menukik ke pengabdian
dan pengorbanan tokoh-tokoh pergerakan, taruhlah Kasimo sebagai
kapstok. Hati nurani menjadi kata kunci.
Dalam era pra-kemerdekaan, nurani bebas adalah terbebasnya dari
penjajahan. Sebaliknya, di era pasca-kemerdekaan, bahkan di era
reformasi, di mana kebebasan nurani punya ruang lebih longgar secara
politis, ironisnya justru dirasakan hilangnya kebebasan hati nurani.
Dibawa ke perkembangan aktual, pertanyaan-pertanyaan itu menggelegak
diungkapkan. Bahwa, kok, rasanya kita sebagai bangsa makin merosot
dari sisi kualitas. Democracy in the making, oke, tetapi ketika jargon
itu jadi justifikasi atas praksis ademokratis, nurani kita menggugat:
apakah begitu? Taruhlah contoh privilese-privilese yang dinikmati
mereka yang berstatus tervonis, kasus Bibit-Chandra yang berlarut-
larut. Dampaknya tereduksi kewibawaan Komisi Pemberantasan Korupsi
yang dari sisi lain berarti terkikisnya kebebasan nurani.
Kalau politik boleh disederhanakan sebagai perjuangan untuk
kepentingan polis (negara), dalam hal ini kebaikan umum-rakyat, maka
politik adalah pengabdian, pengorbanan. Karena itu etis, dengan
demikian bermartabat. Sebaliknya, kalau praksis berpolitik menjadi
arena jual beli suara, arena jual beli kursi dan jabatan, dominasi
uang dan balas jasa jadi ukuran tunggal.
Simplifikasi pemerian nurani di atas menunjukkan, mengembalikan
kebebasan hati nurani merupakan keharusan. Itulah pekerjaan rumah
bersama senyampang kita belum terpuruk-puruk dalam banalisasi
demokrasi.
Tidak jemu-jemu diingatkan suri teladan para tokoh pergerakan sebagai
bahan belajar. Sekalian di saat yang sama generasi penerus dibiarkan
menafsirkan ketokohan para bapak bangsa dengan perspektif masing-
masing, sesuai dengan perkembangan zaman. Belajar bahwa para bapak
bangsa dan penerusnya kemudian bukanlah monster-monster, tetapi
manusia-manusia biasa yang dilandasi hati nurani tulus-bersih.
Dalam konteks itulah, kebenaran sejarah tidaklah langgeng. Kalau dalam
pemikiran spekulatif, setiap kebenaran menyimpan asumsi
ketidakbenaran, dalam kebenaran sejarah pun mengundang gugatan dan
peninjauan kembali, entah yang menyangkut ketokohan Syafruddin
Prawiranegara, Amir Syamsuddin, Soekarno, bahkan Soeharto.
Untuk jangka jauh ke depan, ketika kebebasan hati nurani terkikis,
mutu bangsa merosot. Terjadi ”penjungkirbalikan nilai-nilai”, kata
Friedrich Nietzsche. Batas kebaikan dan kejahatan kebur. Kalau
keterusan, artinya kita gali lubang kubur sendiri. Jadi, mari kita
bersama-sama selamatkan negara-bangsa!
http://cetak.kompas.com/read/