BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Melawan Kelaparan

Melawan Kelaparan

Written By gusdurian on Sabtu, 16 Oktober 2010 | 03.07

Melawan Kelaparan
Muhammad Ikhwan, KETUA DEPARTEMEN LUAR NEGERI SERIKAT PETANI
INDONESIA

Mengikutsertakan petani kecil sebagai subyek perubahan bisa menjadi
upaya menepuk tiga lalat. Selain di sisi produksi membaik, corak
produksi agro-ekologi dan/atau organik juga ramah lingkungan, dan
tentunya berkontribusi melawan masalah kelaparan dunia.
Bertepatan dengan peringatan Hari Pangan Sedunia 16 Oktober ini, saya
ingin mengangkat kembali beberapa pertanyaan yang sangat mengganggu
banyak orang sejak terjadinya krisis pangan pada 2008: apakah di dunia
ini tak cukup pangan? Lalu mengapa angka kelaparan terus meningkat
hingga melewati 1 miliar pada 2009? Menurut banyak pihak, termasuk
FAO, pelapor khusus Perserikatan BangsaBangsa untuk hak atas pangan,
serta gerakan petani internasional, La Via Campesina, dunia
memproduksi cukup pangan.

Sementara itu, akses terhadap pangan tersebutlah yang sulit—terutama
rakyat miskin yang tak sanggup membeli makanan.

Lebih lanjut lagi, sejak 2006 hingga 2008 terjadi banyak spekulasi
komoditas pangan di pasar internasional. Bertepatan dengan fenomena
tersebut, terjadi pula eskalasi promosi agrofuel—yang mengubah
produksi pangan menjadi bahan bakar. Jika merunut pada pertanyaan di
atas, potongan kunci dari puzzle penyebab masalah kelaparan bisa kita
lihat dari corak produksi dan pasar komoditas pangan.

Dengan jumlah kelaparan pada tahun ini yang mencapai 925 juta jiwa,
artinya ada yang salah pada sistem produksi pangan. Faktanya, dengan
corak produksi konvensional saat ini, pangan dialirkan dari daerah
yang penuh kemiskinan dan kelaparan menuju daerah yang makmur dan
kelebihan pasokan. Dalam pasar domestik, pangan diproduksi dari daerah
pedesaan dan dialirkan ke daerah perkotaan.

Dalam pasar internasional, banyak komoditas pangan juga diekspor dari
negaranegara miskin dan berkembang serta dialirkan ke negara-negara
maju. Produksi pangan juga cenderung menjadi homogen dan tidak sehat,
ditandai dengan busung lapar dan malnutrisi di satu sisi ekstrem—
serta obesitas, diabetes, jantung, dan kanker di sisi ekstrem lain.

Pada masa Revolusi Hijau, produksi pangan membeludak. Namun, dalam
tiga dekade belakangan, hasil produksi pangan cenderung fluktuatif dan
ada kecenderungan menurun di beberapa daerah, seperti kasus India
(Kundu et al., 2007). Masalah lain yang tak kalah pelik adalah
ketergantungan petani pada input eksesif agrokimia, serta degradasi
lingkungan. Produksi pangan konvensional juga cenderung diusahakan
dengan model estate atau agrobisnis. Tanah-tanah subur jadi didominasi
oleh negara atau perusahaan swasta.

Dalam corak produksi macam ini, pemenuhan pangan domestik sering kali
diacuhkan. Dalam aturan pasar, pangan harus dijual untuk meraup profit
sebesar-besarnya. Inilah yang terjadi pada krisis pangan 2008, juga
terjadi pada kasus minyak goreng di Indonesia pada tahun yang sama.
Pada umumnya di negara-negara berkembang seperti kita, orientasi untuk
corak produksi ini adalah ekspor—terutama pasca-rezim Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO).

Jika pangan masuk sebagai obyek spekulasi pasar dan orientasi ekspor
mendorongnya menjadi mahal, yang sangat dirugikan adalah orang miskin.
Di Indonesia,
pendapatan keluarga di bawah garis kemiskinan 2010 (Rp 212.210 per
orang per tahun) tersedot 73 persen hanya untuk konsumsi pangan. Kita
semua bisa membayangkan sisanya yang tidak mencukupi kebutuhan lain,
seperti pendidikan dan kesehatan.

Yang lebih menyedihkan, menurut Gugus Kerja Millennium Development
Project PBB, 80 persen dari penderita kelaparan di dunia adalah rakyat
pedesaan.

Sekitar 50 persen dari mereka adalah petani kecil (UNDP, 2005).
Masalah ini sangat khas ditemui, terutama di negara-negara berkembang
dan
produsen pangan--istilahnya "tikus mati kelaparan di lumbung padi".
Ironis, mereka yang merupakan tulang punggung produksi pangan adalah
mereka yang paling rentan menderita kelaparan dan malnutrisi.

Menurut laporan ETC berjudul "Peasants Feed the World Today"(2009),
ada sekitar 1,5 miliar petani kecil dengan 380 juta usaha tani di
seluruh dunia, 800 juta berkebun, 410 juta berburu dan meramu, 190
juta menggembala, serta 100 juta menjadi nelayan. Sekitar 370 juta
dari mereka adalah masyarakat adat. Jika dikumpulkan, jumlahnya
mewakili 50 persen total populasi dunia. Hal ini menunjukkan potensi
pertanian kecil untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia, dengan catatan
corak produksi dan sistem pasar bisa dikoreksi.

Hal ini penting karena hingga saat ini terjadi miskonsepsi yang
menyatakan sistem pertanian konvensional adalah yang paling produktif.
Studi pada beberapa tahun belakangan menyatakan bahwa: (1) pertanian
skala kecil lebih produktif dari skala besar (Rosset, 1999); dan (2)
pertanian agroekologi, berkelanjutan dan/atau or ganik juga produktif,
dan dalam banyak kasus lebih produktif dari sistem pertanian
konvensional (Badgley et al., 2007).

Dengan demikian, sudah tidak seharusnya kita menggantungkan diri pada
model pertanian konvensional. Kaum tani (dan pemerintah) harus mulai
menggeser corak produksi menuju agroekologi dan/atau pertanian
organik. Bayangkan potensi ekonomi desa jika input produksi seperti
pupuk (jika disinkronkan dengan peternakan) dan pestisida bisa
diusahakan sendiri di sana. Selain biaya produksi bisa dipotong,
ekonomi desa bisa semakin bergairah.

Selanjutnya, pemerintah harus memperhatikan petani kecil—yang saat ini
secara nasional rerata kepemilikan tanahnya tinggal 0,4 hektare.
Program seperti food estate di Indonesia harus dievaluasi ulang.

Sebab, selain memakai mindset usang, sistem ini hanya akan membuat
rakyat Indonesia menjadi kuli di atas tanahnya sendiri. Kurang jelas
apa lagi pengalaman kita, dari cultuurstelsel hingga krisis pangan
2008.

Kita harus mulai mengubah pandangan.

Lebih baik berkonsentrasi saja pada produksi pertanian kecil berbasis
keluarga sembari melaksanakan redistribusi tanah dan suntikan insentif
untuk mereka.

Mengikutsertakan petani kecil sebagai subyek perubahan bisa menjadi
upaya menepuk tiga lalat. Selain di sisi produksi membaik, corak
produksi agro-ekologi dan/atau organik juga ramah lingkungan, dan
tentunya berkontribusi melawan masalah kelaparan dunia. ●

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/10/16/ArticleHtmls/16_10_2010_010_011.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: