Membaca Rumi, saling berbagi.
Oleh Maria Hartiningsih
Mata menangkap bunga sebagai elemen tunggal. Namun, tanda dan bentuk
selalu mengecoh ketika hanya ditatap sekilas. Bunga tak akan menjadi
bunga tanpa elemen yang lain, meski- pun hanya satu elemen yang
hilang.
”Untuk mewujud menjadi bentuk, segala sesuatu membutuhkan segala
sesuatu yang lain,” tutur Thich Nhat Hanh (84), Guru Zen terkemuka
dari Plum Village, Perancis, dalam ceramah-ceramahnya di Caringin,
Bogor, beberapa waktu lalu.
Ia memperlihatkan sekuntum mawar, lalu menyentuh kelopak demi
kelopaknya. ”Kalau menatapnya dengan berkesadaran, penuh konsentrasi
dan kedamaian, kita melihat di dalam sekuntum bunga ada awan,
matahari, udara, mineral, tanah, waktu, ketekunan, dan cinta orang
yang menanam dan merawat sampai bunga itu mekar. Seluruh isi kosmos
ada di situ. Tanpa awan yang menjadi hujan, bunga tak akan mekar.
Tanpa waktu, tanpa ruang, tak ada bunga,” ungkap Thay, atau Guru,
dalam bahasa Vietnam.
”Kenyataannya, bunga terwujud dari seluruh elemen nonbunga. Tidak ada
eksistensi atau keberadaan yang berdiri sendiri di dunia ini. Di dalam
diri kita ada segala sesuatu yang lain yang ada di dalam Semesta.
Itulah interbeing...”
”Interbeing”
Interbeing adalah terminologi baru, yang artinya kira-kira, segala
sesuatu yang hidup, terikat, terkait, tergantung pada segala sesuatu
di Semesta Raya. ”Ketika melihat sifat alamiah dari ’interbeing’, maka
penghalang antara ’kita’ dan ’mereka’, antara ’saya’ dengan ’yang
lain’, lebur,” ujar Thay.
Hakikat interbeing dapat menyentuh kearifan nondiskriminasi. Seperti
diungkapkan Thay, Buddhisme adalah bunga yang terwujud dari elemen
Buddhisme dan non-Buddhisme. Islam adalah bunga yang sangat indah. Pun
Kristiani dan agama-agama lain. Buddhis harus belajar Islam untuk
memahami tradisi-tradisi besar di dalamnya. Begitu pun sebaliknya.
Kalau Yahudi, Islam, dan Kristen kembali ke akarnya, banyak persoalan
pelik bisa diselesaikan. ”Anda harus duduk bersama untuk saling
berbagi,” Thay melanjutkan.
Retret hidup berkesadaran di Plum Village diikuti peserta dari semua
keyakinan, agama, dan non-believers. Di Barat, sebagian besar
pesertanya beragama Kristen. ”Kami menyelenggarakan retret bagi pihak
yang sedang bertikai, seperti Israel dan Palestina, untuk mendorong
kesalingpengertian dan kearifan nondiskriminasi. Perdamaian sangat
mungkin terwujud dengan kesalingpengertian.”
Yang terpenting, menurut Thay, para aktivis perdamaian harus damai
terlebih dahulu dengan dirinya sebelum melakukan aktivisme secara
politik. Tidak ada jalan menuju kedamaian, karena kedamaian adalah
jalan, dan berkesadaran adalah kuncinya.
Latar belakang para peserta retret di Caringin, Bogor, juga menarik.
Rave Ward dari Amerika Serikat adalah seorang Buddhis, suaminya
pejabat gereja. ”Konservatisme ada di dalam semua agama,” ujar Peggy,
begitu ia disapa, ”Hanya dengan latihan berkesadaran, kita mampu
melihat secara mendalam, menyentuh secara mendalam.”
Perjumpaan
Thay menggunakan kearifan Buddhis untuk memberi pemahaman tentang
kearifan nondiskriminasi; suatu gagasan, niat dan tindakan terkait
upaya-upaya perdamaian di dunia.
Perang, konflik, besar, kecil maupun personal, kecurigaan, kebencian,
dendam, dan berbagai bentuk kekerasan terhadap diri sendiri maupun
”yang lain”, berawal dari persepsi keliru, dan menganggap persepsi
sendiri sebagai satu-satunya kebenaran. ”Itu adalah sumber segala
penderitaan,” ujar Thay.
Berbeda dengan pendekatan politik, pendekatan Thay tentang perdamaian
di ranah publik menukik lebih dulu ke ranah personal, ke ranah
individual secara lengkap, sebagai tubuh dan sebagai diri.
Ia menyatukan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan sejarah,
astronomi, antropologi, dan biologi, untuk menjelaskan
kesalingterkaitan di dalam ”interbeing”, antara tubuh, diri, manusia
lain, tumbuhan, satwa, semua makhluk hidup, bumi, laut, udara, seluruh
isi alam semesta sebagai suatu keutuhan (”wholeness”).
Sebagai intelektual, pemikir, penulis, penyair dan aktivis perdamaian,
ia tidak steril dari dunia luar. Salah satu karya terbarunya —dari 100
buku lebih yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa—adalah
merespons terorisme, dalam Calming the Fearful Mind: A Zen Response to
Terrorism (2005).
Tak sulit menengarai sumbangan pemikiran Thay dalam membangun dan
mengembangkan Etik Global untuk keadilan dan perdamaian yang
dipromosikan Presiden Global Ethic Foundation Prof Hans Kung.
Pendekatan interbeing dan esensi berkesadaran menjawab pernyataan Kung
tentang kekosongan orientasi yang dihadapi manusia saat ini, baik
terlepas maupun terkait dengan globalisasi.
Hidup berkesadaran membuat Thay mengalami ”perjumpaan” dengan para
mistikus, seperti Thomas Merton (alm), yang menyebut Thay sebagai
”saudaraku”. Mereka berbagi pandangan tentang ”wholeness” dan kearifan
nondualisme untuk mewujudkan kearifan ”nondiskriminasi” dan cinta
tanpa syarat terhadap ”yang lain”; cinta yang memeluk seluruh isi
kosmos. Kearifan itu pula yang mempertemukan pemikiran Thay dengan
para sufi, termasuk penyair Persia abad ke-11, Mevlana Jalaluddin
Rumi.
Simak salah satu puisi Rumi ini, ”Out beyond ideas of wrongdoing and
right doing, there is a field. I’ll meet you there.” (Melampaui
gagasan tentang benar atau salah, adalah dataran. Kujumpai kau di
sana….)
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar