Izinkanlah saya mengutip nasihat seseorang dari lima abad silam yang
paling banyak dihujat sekaligus diikuti dalam politik: Niccolo
Machiavelli. ”Membunuh sesama warga, mengkhianati kawan, curang, keji,
tak peduli agama,” demikian tulisnya, ”tidak dapat disebut kegagahan.
Cara-cara macam ini dapat memenangkan kekuasaan, tetapi bukan
kemuliaan.”
Gloria, itulah martabat dalam politik. Politik yang bermartabat tak
digerakkan semata-mata oleh nafsu pencarian kekuasaan. Martabat
memancar dari tindakan otentik yang penuh kedaulatan dari seorang
pemimpin berkarakter. Itulah kemuliaan yang membuat dirinya dihormati
rakyatnya. Sisi gagasan tentang martabat ini jarang dicermati para
pembaca yang telanjur menilai Machiavelli sebagai guru kelicikan
politis.
Patut disesalkan bahwa dalam masyarakat kita tersedia banyak contoh
hilangnya martabat politik di berbagai lini, entah itu di
pemerintahan, DPR, entah peradilan. Rumus ”jilat atas, injak bawah”
cukup merasuki birokrasi, perusahaan, dan organisasi dalam masyarakat
kita. Dari politik uang para kandidat selama pemilu dan pilkada sampai
praktik jual beli keputusan pemimpin, seperti dalam jaringan para calo
anggaran, menunjukkan kenyataan vulgar bahwa politik itu sendiri tidak
lagi merupakan tindakan otentik yang berdaulat, tetapi merosot menjadi
barang dagang dalam pasar kuasa.
Di tengah situasi macam itu, sosok IJ Kasimo, salah seorang tokoh
pergerakan kemerdekaan RI, menginspirasi kita tentang politik yang
bermartabat.
Kedaulatan kepemimpinan
Lazimnya martabat dimengerti dengan pemilikan status, gengsi, dan aset-
aset. Berapa rumahnya, mobilnya, gelarnya, gajinya, dan seterusnya?
Tidak atau kurang mempunyai hal-hal itu adalah tidak atau kurang
bermartabat, maka juga kurang disegani dan seolah tanpa busana. Selama
dikaitkan dengan pemilikan material macam itu, martabat disempitkan
menjadi kekuasaan atau bahkan kekerasan belaka. Ada jiwa kerdil yang
bersembunyi di belakang segala lencananya.
Keterlibatan IJ Kasimo dalam politik menunjukkan hal berbeda. Martabat
dalam politik tak semata-mata terletak pada status atau atribut sang
pemimpin, tetapi pada keagungan sikapnya. Keagungan itu menyembul
keluar dari kegagahan, kesungguhan, dan kekuatan karakternya. Karakter
kepemimpinan seperti ini nyaris punah dalam masyarakat kita ditelan
gelombang konsumtivisme dan oportunisme.
Tantangan besar yang pasti akan menggerogoti martabat seorang pemimpin
adalah korupsi. Mari kita dengar lagi nasihat orang yang kerap
dihubungkan dengan kebengisan itu. ”Jika perlu menghabisi nyawa
seseorang,” begitu tulis Machiavelli, ”lakukan itu, asal alasannya
jelas. Namun, terutama seorang pemimpin tak boleh mencuri harta
rakyatnya karena manusia lebih mudah melupakan kematian ayahnya
daripada kehilangan bagian warisannya.” Dalam takaran Machiavelli,
kebengisan plus keadilan membuat pemimpin ditakuti dan dihormati,
tetapi mencuri kas rakyat atau menyentuh istri mereka adalah tindakan
keparat memalukan.
Mengapa korupsi melaknatkan politik seorang pemimpin? Pertama, pencuri
kas rakyat itu adalah juga penjual keputusan, padahal dengan menjual
keputusannya, politik sang pemimpin menjadi olok-olok para penyogok
dan penjilat. Uang menjadi berdaulat, sedangkan keputusannya tidak.
Kedua, politik yang kehilangan martabatnya sebagai tindak otentik
kedaulatan itu sekarang terjebak menjadi mangsa pasar kekuasaan.
Ketika politik berubah menjadi komoditas, harga diri pemimpin tidak
diperlukan lagi karena yang terpenting bukan dirinya, tetapi harga
keputusannya. Karena itulah, Machiavelli tidak pantang kebengisan—asal
plus harga diri—karena kebengisan bisa menampilkan karakter dan
kedaulatan, sementara korupsi menggilas habis karakter kepemimpinan.
Dari ”bare life” ke ”good life”
Tentu Machiavelli berat sebelah dengan anggapan bahwa martabat politik
hanya terletak pada kedaulatan pemimpin. Jika kita mengatakan bahwa
politik seseorang bermartabat, yang dimaksud bukan hanya bahwa
keputusannya tidak bisa dibeli, melainkan juga bahwa ia memiliki
keutamaan yang membangun kehidupan bersama, seperti keadilan,
kearifan, dan solidaritas sosial.
Mengacu pada Aristoteles, politik yang bermartabat itu mengubah rakyat
dari sekadar ”hidup belaka” (bare life) menjadi ”hidup yang
baik” (good life). Martabat politik sang pemimpin memancar dari
keberanian, komitmen, dan konsistensinya dalam menggerakkan suatu
kelompok menjadi suatu bangsa yang berdaulat dan menghasilkan hukumnya
sendiri. Itulah hidup yang baik.
Manusia menjalani hidup belaka apabila tidak ada hukum yang
melindunginya, tanpa hak dan tanpa martabat, sehingga ia secara
konstan berada dalam keadaan darurat. Di mana kita dapat menemukan
manusia yang menjalani hidup belaka?
Hannah Arendt menunjuk pada kamp konsentrasi Nazi. Giorgio Agamben
menunjuk pada penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo. Di tempat-
tempat itu manusia memasuki zona tanpa hukum dan menjadi obyek
permainan kekuasaan belaka. Tak terlindung hukum, tahanan boleh
dibunuh tanpa alasan. Baik hidup publik maupun privat para tahanan itu
dirampas dari mereka. Yang mereka miliki hanya hidup belaka. Mereka
diempaskan ke dalam keadaan darurat yang konstan.
Dalam kadar berbeda-beda, hidup belaka dijalani oleh penduduk di tanah-
tanah jajahan, pengungsi, minoritas yang didiskriminasikan, korban
pelanggaran HAM, serta mereka yang hak-haknya diabaikan dan menjadi
permainan kekuasaan. Kehidupan kaum marjinal menyingkapkan kepada kita
bahwa keadaan darurat telah jadi aturan harian bagi mereka. Namun,
hidup belaka yang mereka jalani tidak ada secara alamiah. Hal itu
adalah hasil praktik-praktik politik suatu rezim yang mengubah politik
menjadi sekadar alat kesintasan.
Ketika keputusan pemimpin diperjualbelikan, bukan hanya pemimpin itu
sendiri kehilangan martabatnya dengan berubah menjadi komoditas. Ruang
yang menganga di antara dirinya dan rakyat yang menerima keputusannya
dengan serta-merta berubah menjadi zona vakum hukum yang mengempaskan
rakyat ke dalam hidup belaka.
Zona itulah tempat yang sangat rentan untuk kesewenangan permainan
kekuasaan. Percaloan, mafia, dan premanisme yang merajalela di
birokrasi, peradilan, dan parlemen melemparkan rakyat ke dalam keadaan
darurat yang konstan. Wajah mereka kita saksikan di mana-mana. Suatu
politik yang bermartabat menyangkut upaya-upaya penuh keutamaan untuk
mengubah hidup belaka menjadi hidup yang baik.
Kita boleh mengatakan bahwa para tokoh pergerakan kemerdekaan kita,
antara lain IJ Kasimo, mempraktikkan tindakan kepemimpinan yang
bermartabat, yakni pantang menjual keputusan mereka kepada pihak mana
pun. Perjuangan kemerdekaan itu sendiri adalah suatu upaya politis
untuk memartabatkan rakyat, yaitu mengubah nasib rakyat dari hidup
belaka menjadi hidup yang baik. Di zaman kita, ketika keputusan para
pejabat publik dijualbelikan dan banyak anggota masyarakat kita
menjalani hidup belaka karena menjadi permainan kekuasaan, contoh
politik berintegritas, berkarakter, dan prorakyat yang memancar dari
tokoh seperti Kasimo menjadi normatif.
Hanya politik yang memartabatkan rakyat yang boleh disebut
bermartabat. Sebaliknya, untuk praktik-praktik politis yang tanpa malu
lagi merampas atau mengabaikan hak-hak rakyat demi kepentingan
sendiri, yaitu politik yang menjerumuskan rakyat ke dalam hidup
belaka, tidak ada sebutan lain selain—maaf, agak kasar—politik keparat
para bajingan yang lemah karakter. Politik macam itu bahkan kiranya
akan dicibir oleh Machiavelli sebagai tidak gagah.
F Budi Hardiman Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara, Jakarta
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar