“takberdusta” berargumentasi pada pacar atau istri kita bahwa—suatu
kali—kita terlambat menemui atau menjemputnya karena lupa, tertidur,
atau alasan lainnya.
Padahal sesungguhnya kita pada saat itu tengah ada bisnis lain,bertemu
teman lain, atau mungkin wanita lain.Kejadian seperti ini banyak
dianggap sebagai “kelumrahan” atau romantika dalam sebuah
hubungan,katakanlah semacam sambal di semangkuk bakso, pedas yang
membawa nikmat. Atau mungkin pernah sebagai anak, bisa juga anak Anda,
tanpa berani melapor hal sebenarnya pada orangtua, telah membelanjakan
uang pembeli buku atau alat tulis untuk bersenang-senang, jajan, atau
main video game.
Tentu kita akan menyebutnya sebagai “kenakalan” anak-anak atau remaja.
Bagian normal dari kehidupan seorang anak, bahkan sebagian
menganggapnya sebagai bias atau bisa jadi tanda dari sebuah jiwa yang
kreatif. Namun, tidakkah sesungguhnya semua hal itu adalah sebuah
tindakan— yang sengaja atau tidak,diakui atau tidak—merugikan orang
lain melalui satu modus menyelewengkan hak/milik orang lain? Bukankah
itu sebenarnya tak lain contoh dari sebuah tindak yang tergolong
koruptif?
Pertanda-pertanda hidup dan nyata di sekitar—bahkan di diri—kita
sendiri, yang cenderung koruptif. Lain kata, tidakkah korupsi itu,yang
semula natural kemudian kita anggap natural; ia ada dalam
kecenderungan hidup beradab kita,jadinaluriatauinsting yang
dibudayakan? Dalam sejarah peradaban manusia, korupsi mungkin telah
menjadi sebuah azab atau kekeliruan (civilization fallacy) yang paling
rumit dan sulit diselesaikan, bahkan hanya untuk mengidentifikasinya.
Panjangnya riwayat kebudayaan di dunia ini membuat korupsi bukan lagi
sekadar sebuah tindak ekonomi,politik,atau hukum yang terlihat dan
terukur,namun ia tersembunyi begitu rapat dalam pikiran, bahkan dalam
tata nilai di pikiran dan hati kita.Korupsi adalah kejahatan yang
melekat, terintegrasi, setua peradaban yang kita miliki. Bahkan
mungkin korupsi sudah setua manusia itu sendiri.
Seperti kisah Adam dan Eva, dalam kitab kejadian, atau juga dalam
kepercayaan Pagan atau Babylonia: Tuhan menciptakan makhluk pertama
dengan kesadaran bahwa ia memiliki sifat/potensi untuk tidak
mematuhinya, mengorupsi kepercayaan terhadap-Nya. Karena itulah buah
dari Pohon Pengetahuan yang terlarang itu dicuri dan dimakan oleh Adam
sehingga dia harus turun ke Bumi bersama Hawa. Dan –“bersyukurlah”—
karena itu kita ada,kebudayaan dan adab tercipta. Korupsi,bisa
jadi,adalah salah satu dosa asal manusia.
Korupsi di Kapitalisme
Tapi, tanpa alasan atau sebab religius, mesti diakui korupsi memang
adalah sisi negatif dari koin kehidupan manusia, bersama dengan
prostitusi, perjudian, atau penyimpangan dan kriminalitas purba
lainnya. Hanya korupsi menempati posisi kedegilan yang utama karena
bukan hanya akibatnya, tapi juga sifat dan bentuknya yang sangat penuh
variasi, dan menembus semua dimensi.
Bila prostitusi, kata Karl Kraus, pengarang dan wartawan Austria abad
19, merusak moral pribadi, korupsi merusak moral sebuah bangsa.
Ungkapan Lord Acton yang sangat popular itu tentang kekuasaan yang
cenderung korup sesungguhnya mesti dikoreksi karena tanpa kekuasaan
pun seseorang dapat melakukan korupsi, kecil atau besar, gelap atau
terang-terangan.
Dan dia bergerak,menurut istilah Charles C Colton,pengarang ternama
Inggris awal abad 19, seperti bola salju: terus membesar ketika dia
menggelinding. Sampai suatu saat dia membukit lalu kita menerimanya
sebagai fenomena alam yang tak terhindarkan, dan hidup bersamanya
sepanjang waktu. Apa yang kemudian membuat korupsi semakin tak
terelakkan adalah ketika di mana kebudayaan atau sistem kemasyarakatan—
termasuk sistem ekonomi di dalamnya— kemudian menciptakan mekanisme
bahkan logika yang mengabsahkannya.
Ia legitimate bahkan reasonable. Sejarah beberapa peradaban besar
seperti China, Yunani, atau Romawi mengajarkan hal itu.Di mana,“aturan-
aturan hidup bernegara semakin banyak, ketika negara semakin kuat
dikorupsi oleh pejabatnya”. Konstatasi yang dibuat Publius Tacitus,
negarawan dan sejarawan Romawi dari abad pertama Masehi itu, memberi
ironi bahkan tragis yang tak terhindarkan dari proyek pembangunan
manusia, hingga di masa modern.
Demokrasi dan kapitalisme, yang menjadi produk atau anak kandung
terbaik dari rasionalisme oksidental, bukan saja tidak mampu mengatasi
kecenderungan buruk manusia itu, tapi justru di banyak bagiannya yang
esensial ia malah melanggengkannya. Proyek kesejahteraan rakyat dan
negara yang sesungguhnya lebih memperkuat keuntungan dan dominasi
elite, membuat korupsi menjadi norma atau nilai dasarnya.
“Kemakmuran,” kembali kata Tacitus, “telah membuat kita terkorupsi”.
Dan sejarah pun memberi kita daftar yang panjang,bagaimana praksis
dari demokrasi dan kapitalisme tidak dapat berlangsung tanpa tindakan-
tindakan yang mengorupsi kemanusiaan, ideal-ideal yang ada di balik
jargon-jargon sistem-sistem itu sendiri.Produksi sebagai etos utama
dari kapitalisme, misalnya, menciptakan prasyarat yang berat untuk
menciptakan konsumen.
Dan proyek penciptaan konsumen dan konsumerisme inilah yang bagi, Ben
Nicholson, menjadi inti dari korupsi dalam jiwa masyarakat di belahan
Barat. Hal sebangun terjadi dalam demokrasi, di mana kekuasaan dipilin
dan ditentukan oleh mekanisme peralihan suara, yang sepanjang
sejarahnya, tak pernah luput dari suap dan manipulasi. Tak
mengherankan bila seorang Mahatma Gandhi harus menyatakan, “Korupsi
dan kemunafikan adalah produk yang tak terhindarkan dari demokrasi”.
Atau seperti yang dikatakan anggota parlemen, negarawan ternama
Inggris abad ke-18, Edward Gibbon, bahwa “Korupsi adalah simbol yang
paling sempurna dari kebebasan konstitusional”. Kebebasan yang dengan
hebat dan penuh rasa syukur kita selebrasi hari ini, bertahun setelah
reformasi. Tragis kebebasan itu sepatutnya membuat kita merenungkan
kembali pilihan-pilihan dari cara kita hidup bermasyarakat dan
bernegara, seperti yang terjadi di masa belakangan ini.
Tak dapat lagi, misalnya, kita begitu naif meng-anggap cara hidup
modern kita saat ini bertujuan dan dilandasi oleh nilai-nilai luhur
untuk manusia jika pada saat yang bersamaan kita juga
menghancurkannya. Ia menjadi simalakama atau siklus yang kejam bagi
sebuah pemerintahan, bahkan lebih mengerikan ketimbang seorang
pemimpin yang otoriter. Karena pemimpin yang “demokratis” ini
melakukan pemalsuan dan penipuan— yang paling “beradab”—dengan
menggunakan rasio atau logika yang terkemas sempurna; memakai topeng
malaikat di balik wajah iblis sebenarnya.
KPK yang Permanen
Pemahaman historis dan kultural di atas mungkin dapat menjadi
pertimbangan kita dalam mengevaluasi tindak korupsi dan program
pemberantasannya di negeri ini. Benar, bila sebagian orang—parlemen di
antaranya— yang menolak menyatakan korupsi sudah jadi budaya di negeri
ini. Namun, bukan dengan alasan apologetik, melainkan dengan
penjelasan sosiologis bahwa korupsi adalah sebuah tindakan, tindakan
sosial.
Sebuah produk dari adanya hubungan sosial, produk dari sebuah sistem
berpikir, sistem nilai, yang kita golongkan sebagai kebudayaan.
Korupsi adalah produk budaya. Karenanya,secara substantif ia lebih
mengiriskan. Kebudayaan macam apa yang kita pelihara, bangun dan
kembangkan, hingga nilai, norma, dan etika mempermisikan bahkan
melegitimasi korupsi? Jawabannya akan menyadarkan kita bahwa
pemberantasan korupsi akan sia-sia jika hanya mengarah pada
tindakannya, menghukum koruptornya, bukan pada sistem nilai dari cara
berpikir di baliknya.
Tak ada obat yang berguna bila hanya melenyapkan gejala, bukan jantung
dari penyakitnya. Untuk itu, sebenarnya sangatlah tidak memadai jika
sebuah lembaga, macam KPK,dibentuk hanya sebagai komisi yang ad
hocsifatnya. Ia semestinya menjadi lembaga yang permanen, semacam
badan atau dewan, karena apa yang diurusnya adalah hal yang juga
permanen, melekat erat pada kebudayaan, pada diri kita.
Ia abadi. Setidaknya selama sistem hidup kita saat ini dipertahankan.
Seperti rumah sakit yang senantiasa berdiri selama penyakit tetap ada
dan terus membiak. Maka, penyelesaian apa pun terhadap kasus Bibit-
Chandra, misalnya, akan menjadi non sense karena bukan hanya kedua
pejabat KPK itu dibuat canggung, bahkan lembaganya sendiri pun
diposisikan nanggung (medioker) untuk melakukan tindakan yang tegas
dan komprehensif misalnya.KPK semestinya menjadi alat utama bernegara,
tak cukup dalam undangundang, tapi dalam konstitusi. Ia harus menjadi
penjaga abadi dari kedegilan kita sebagai manusia, yang tak dapat
dicegah oleh sekadar regulasi,bahkan oleh sebuah konstitusi.(*)
Radhar Panca Dahana
Budayawan
http://www.seputar-indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar