BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Kejahatan Virtual kian Mengganas

Written By gusdurian on Senin, 12 Oktober 2009 | 13.52

Kejahatan di internet dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat dengan kadar yang semakin berbahaya.
KALAU pasar gelap dunia nyata punya kokain, senjata ilegal, dan organ tubuh manusia untuk diperdagangkan, pasar gelap dunia virtual menyediakan informasi pribadi berharga, seperti nomor kartu kredit, kartu identitas, data finansial, maupun alamat e-mail untuk diperjualbelikan.

Meskipun bukan hal baru, fakta kian tingginya nilai transaksi informasi di dunia maya ini meresahkan. Perusahaan solusi sekuriti internet Symantec memperkirakan nilai transaksi itu kini telah melewati angka Rp2,7 triliun per tahun.

Jika dibandingkan total nilai transaksi ekonomi dunia nyata, jumlah tersebut memang termasuk kecil. Namun, efek transaksi kelas teri itu tetap saja bisa membuat korbannya kewalahan. Contohnya, transaksi informasi kartu kredit.

Akhir tahun lalu, informasi untuk satu kartu dengan limit transaksi Rp40 juta per hari bisa ditawar seharga Rp10 ribu hingga Rp250 ribu di pasar gelap online. Jumlah yang tidak seberapa, tapi berbekal informasi curian itu, penjahat dunia maya bisa meraup keuntungan hingga Rp50 triliun.

Sindikat cyber Pasar gelap virtual nyaris sama dengan pasar gelap dunia nyata. Para pelaku tergabung dalam sindikat yang anggotanya memiliki peranan dan tugas masing-masing.
Karena beroperasi via dunia maya, anggota sindikatnya pun bisa dikumpulkan dari berbagai belahan dunia.

Para anggota seperti teknisi, desainer, penulis, dan programer mengombinasikan kepiawaian masing-masing untuk membuat phishing scam, seperti e-mail, iklan online, atau situs palsu untuk mencuri identitas kartu kredit pengguna internet dan memperjualbelikannya di pasar gelap online.

Identitas itu kemudian digunakan pembeli yang menyamar sebagai pemilik kartu membeli barang dengan harga tinggi.
Nantinya, barang itu dijual kembali di dunia nyata dengan harga lebih murah. Cara inilah yang biasa digunakan pelaku untuk meraup keuntungan.

Sebagian besar pelaku menggunakan forum seperti server internet relay chat untuk mengiklankan dan mempromosikan hasil curian. Mereka kerap memanfaatkan teknologi terbaru, seperti situs-situs jejaring sosial, untuk mengambil informasi penting dan melancarkan aktivitas ilegal mereka.

Menurut data FBI, kata Norton Business Lead Asia South Region Effendy Ibrahim, di Jakarta pekan lalu, seorang pelaku ahli mampu memperoleh pendapatan hingga Rp7 miliar per tahunnya. Padahal, rata-rata penghasilan seorang pakar IT biasanya `hanya' mencapai Rp1 miliar per tahun.

Proteksi "Kejahatan dunia maya telah mengalahkan penjualan obatobatan terlarang sebagai penghasil uang kejahatan. Setiap 3 detik satu identitas tercuri.
Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa kejahatan dunia maya saat ini lebih menghancurkan kehidupan daripada menghancurkan komputer," ujar Ibrahim.

CEO sekaligus pendiri Kaspersky Lab Eugene Kaspersky dalam forum yang sama menanggapi hal tersebut dengan lebih santai. Menurutnya, pencurian informasi pribadi di dunia maya memang hal berbahaya. Namun, hal itu dapat dicegah asal pemilik data disiplin dalam memproteksi informasi pribadinya.

"Sangat sulit jika kita hidup tanpa internet. Sayangnya, kini semakin banyak risiko yang bisa kita hadapi ketika menjelajahi internet. Tapi hal itu bisa dicegah asal kita bisa menggunakan internet dengan bertanggung jawab dan membangun proteksi kuat," tutur Kaspersky dalam kunjungannya ke Jakarta, Jumat (9/10).

Menurut pria asal Rusia ini, setiap harinya ada jutaan serangan, transaksi, maupun a pencurian informasi di dunia cyber. Menemukan pelaku dan menghentikan aktivitas mereka, ungkapnya, merupakan hal yang cukup sulit. Karena itu, agar pengguna tidak menjadi korban, mereka harus berhati-hati ketika membuka situs atau link tertentu dan menggunakan proteksi komputer seperti antivirus.
"Ada dua aturan yang harus Anda ingat ketika menjelajahi dunia maya. Pertama, gunakan pelindung. Kedua, jangan mudah percaya siapa pun juga," tukasnya.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/10/12/ArticleHtmls/12_10_2009_005_002.shtml?Mode=0

Desensitisasio

Desensitisasi

SEHARI setelah gempa bumi di Sumatera Barat, saya menerima beberapa
pesan singkat (SMS) yang sama melalui handphone, bahwa gempa bumi itu
terjadi pada pukul 17.16 WIB, lalu dikaitkan dengan surat dan ayat
Alquran: 17:16,yang artinya: Dan apabila Kami menghendaki untuk
membinasakan satu negeri, maka Kami menyuruh orang-orang yang hidup
mewah lalu mereka berbuat kedurhakaan dalam negeri itu. Maka berlakulah
ketentuan Allah atasnya, lalu Kami menghancurkannya sehancur-hancurnya.

Sebagai seorang muslim, saya meyakini sepenuhnya kebenaran isi Alquran
yang menyebutkan bahwa Allah akan menghukum suatu kaum yang durhaka
pada- Nya, dan sangat bisa jadi sekelompok masyarakat yang tidak berdosa
akan ikut menderita karenanya. Begitulah salah satu bunyi ayat Alquran.

Namun ketika saya menerima edaran SMStersebut,dan ternyata banyak teman
juga menerima,hati saya bertanya. Apakah betul pemahaman saya terhadap
ayat Alquran tersebut ketika mengaitkannya dengan musibah yang menimpa
saudara-saudara kita di Sumatera Barat dan sekitarnya? Kesan yang muncul
dari SMS itu pengirimnya berpandangan bahwa Allah tengah menghukum dosa
mereka yang hidup mewah dan durhaka pada Allah.

Ada lagi yang menulis, mereka jadi tumbal dari dosa-dosa yang dilakukan
oleh para elit di negeri ini. Apakahbijakdisaatsaudarakita tertimpa
musibah, lalu mengedarkan SMSayat Alquran yang seakan membenarkan
terjadinya musibah atas mereka lantaran adakecocokan antara jam
peristiwa dengan nomor suratdanayat Alquran?

Lalu,apakah ketika terjadi gempa di Jawa Barat, Yogyakarta dan beberapa
wilayah Indonesia yang sering terkena gempa juga ada korelasi kecocokan
waktu dan nomor ayat Alquran? Karena terdapatdaerahyangdiduga akan
terkena gempa susulan, bagaimana mencari korelasi antara ayat dan
peristiwa itu?

Lebih jauh lagi,bagaimana memahami negaranegara lain yang juga menjadi
langganan peristiwa gempa dan angin topan yang selalu menelan korban
itu? Dalam tradisi Islam memang ada pemikiran yang selalu mencoba
mengaitkan antara ayat qauliyahdan ayat kauniyah,antara kitab suci yang
tertulis dan kitab suci yang terhampar dalam jagad semesta.Namun
berbagai tafsiran itu tetaplah dalam batas tafsiran, tidak ada jaminan
meraih kebenaran mutlak.

Semua penafsiran selalu berusaha mencari kebenaran, tetapi haruslah
tetap bersikap rendah hati dan bijaksana. Seorang teman yang saya duga
berasal dari Sumatera Barat menulis dalam FB saya,ketika negaranegara
lain yang bukan muslim tengah menggalang dana bantuan dan sebagian sudah
sampai di tempat, beredarnya SMS di atas sangat menyinggung perasaannya.

Banyak yang jadi korban gempa adalah orang yang hidupnya sederhana.
Mereka warga masyarakat yang baik.Bahwa ada misteri di balik gempa yang
sangat dahsyat itu, kita serahkan saja pada Allah. Otak manusia tidak
sanggup menjangkaunya. Para ilmuwan telah berusaha mempelajari adanya
lempengan bumi yang bergerak dan itu bisa mengakibatkan permukaan bumi
berantakan.

Mirip hidangan yang tersedia di atas meja menjadi berantakan ketika kaki
mejanya ada yang patah. Ilmuwan pun sulit meramal kapan gempa akan
terjadi. Jadi, sangat wajar dan benar kalau umat yang beriman lalu
mengembalikan semua tragedi itu pada Tuhan sambil melakukan introspeksi.
Buah introspeksi itu bagi masyarakat Jepang yang menjadi langganan gempa
bumi adalah membuat konstruksi bangunan yang tahan gempa.

Orang Belanda yang negaranya menempel di pantai lalu membuat tanggul dan
kanal agar kotanya tidak tenggelam oleh air laut yang pasang.
Demikianlah, karena sudah lama diketahui bahwa beberapa wilayah
Indonesia ini memang berada di garis yang berpeluang terkena gempa, maka
perlu pendekatan ilmiah-rasional tanpa melupakan berdoa dan bersikap
pasrah pada Allah, karena tragedi kehidupan itu bisa terjadi di mana
saja dalam bentuk apa saja.

Sekali lagi, saya tidak menghujat dan meragukan kebenaran
ayatAlquran,tetapi perlu kepekaan sosial dalam menafsirkannya jangan
sampai kitab suci yang mulia dan diturunkan dari Allah Yang Mulia itu
malah menyakiti teman kita yang terkena musibah. Inilah yang saya
maksudkan dengan istilah “desensitisasi”,yaitu hilangnya sensitivitas
moral-emosional ketika melihat problem sosial.

Sekarang ini fenomena desensitisasi mudah sekali dijumpai dalam ranah
politik, birokrasi dan juga masyarakat. Kolega saya, Amsal Bahtiar,
belum lama ini ke rumah sakit untuk periksa kesehatan sebagai salah satu
syarat ibadah haji. Dia heran, begitu panjang antreannya, dan di
antaranya adalah orang-orang yang lanjut usia.

Mereka ingin periksa kesehatan untuk ibadah haji. Tetapi, kata Amsal,
mengapa yang muda-muda itu tidak peka,membiarkan orangtua ikut antre
panjang? Padahal sama-sama ingin beribadah haji? Ini salah satu contoh
desensitisasi. Ada lagi yang memberi komentar, di saat warga Sumatera
Barat menderita kekurangan bantuan, tak jauh dari situ Golkar tengah
mengadakan kongres memperebutkan ketua umum dalam suasana yang sarat
dengan permainan uang untuk membeli suara.

Ini juga bentuk lain dari desensitisasi. Dalam kajian
psikologi,desensitisasi ini muncul dan kian menguat ketika masyarakat
terbiasa dihadapkan perilaku menyimpang dan peristiwa kekerasan sehingga
terjadi kekebalan dalam perasaannya. Mereka tidak lagi peka melihat
penyimpangan dan penderitaan (emotionally and morally insensitive).

Akibat lebih lanjut lagi akan memunculkan apa yang disebut compassion
fatigue, keletihan untuk merasa terharu dan kasihan ketika melihat
penderitaan yang dialami sesama. Empati dan dorongan untuk menolong
sesama adalah salah satu pesan pokok agama. Ketika dua sifat ini hilang,
ambruklah moralitas masyarakat dan bangsa. Apakah masyarakat kita tengah
mengarah ke sana? (*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/275543/38/

Kastil

Kastil

SEORANG gubernur mengeluh. Saya kebetulan mendengarnya. Maka tahulah
saya ada yang ganjil yang jadi rutin dalam pemerintahan kota yang
dipimpinnya, seakan-akan sang gubernur dan administrasinya muncul dari
novel Kafka, seakan-akan Kafka bukan hidup di Praha di awal abad ke-20
melainkan di Jakarta, mungkin di sekitar Gambir, sejak empat dasawarsa ini.

Tapi cerita ini bukan buah imajinasi seorang sastrawan: pada suatu hari
di tahun 1990-an gubernur itu memang mengirim surat dinas ke direktur
kebun binatang di Ragunan. Berhari-hari ia tak menerima jawaban dari
bawahannya itu. Kemudian baru ia ketahui, surat yang ditandatanganinya
itu perlu waktu tiga bulan untuk keluar dari kantor gubernuran.
Berminggu-minggu kertas itu diteruskan dari biro satu ke biro lain di
dalam kantor yang sama, sebelum akhirnya dikirim ke alamat yang dimaksud.

Gubernur itu, seorang perwira tinggi angkatan darat yang lurus hati yang
diberi jabatan itu baru satu tahun, bertanya seakan-akan pada dirinya
sendiri: ”Kantor macam apa ini?”

Seorang wali kota juga mengeluh. Atau mungkin lebih tepat terenyak. Ia
seorang mantan pengusaha sukses yang dipilih dengan penuh harapan oleh
rakyat di kota Jawa Tengah itu. Tapi pada hari pertama ia masuk kantor
balai kota, ia lihat ratusan orang duduk di dalamnya: para pegawai.
Sebagian besar baca koran. Sebagian lagi main catur. Bahkan ada seorang
pegawai perempuan asyik merajang sayur.

Sang wali kota pun pulang ke rumahnya dan termangu di hari pertama masa
jabatannya: ”Kantor macam apa itu?”

Jawabannya sangat mengejutkan: itu adalah kantor yang biasa saja,
Pak—kantor pemerintah. Itu adalah kantor di mana mesin yang disebut
birokrasi hadir, nongkrong, seakan-akan untuk membatalkan tesis Max
Weber dan mengukuhkan gambaran yang absurd dalam karya-karya fiktif
Kafka—meskipun cerita birokrasi Indonesia tak sepenuhnya bisa dijelaskan
dengan kemuraman Kafka.

Max Weber, kita ingat, mempertautkan birokrasi dengan keniscayaan dunia
modern. Berbeda dari kaki tangan raja-raja di zaman lampau, yang bekerja
berdasarkan perpanjangan kharisma Yang-Dipertuan-Agung, birokrasi
merupakan alat sebuah otoritas yang bersifat ”legal-rasional”. Dalam
tesis Weber, birokrasi membawa dalam dirinya aturan dan hierarki yang
jelas. Organisasi itu punya arah atau sasaran yang terfokus, dan ia
dengan sadar bersifat impersonal. Seluruh bangunan itu punya
rasionalitas yang mantap.

Tapi apa kiranya yang ”rasional” di kantor sang gubernur dan sang wali
kota?

Gubernur kita tak tahu, wali kota kita tak tahu, saya juga tak tahu.
Tapi jangan-jangan inilah ”rasionalitas” itu: birokrasi itu adalah
sebuah agregat yang lahir dari argumen bahwa ia diperlukan. Birokrat,
kata Hannah Arendt dengan sedikit mencemooh, adalah ”the functionaries
of necessity”. Dengan catatan: necessity itu, keperluan yang tak bisa
dielakkan itu, pada awal dan akhirnya ditentukan oleh dinamika
organisasi itu sendiri. Birokrasi tak perlu punya sasaran untuk dicapai.
Mesin itu berjalan mandiri.

Di sinilah yang absurd berlangsung—sesuatu yang dibuat alegorinya oleh
Kafka dalam cerita pendeknya yang termasyhur, Di Koloni Hukuman.

Di pulau itu, seorang opsir menjelaskan kepada seorang pengunjung
tentang proses eksekusi yang akan dijalani seorang terhukum. Ia akan
diletakkan telungkup di bawah sebuah mesin yang bekerja seperti sehimpun
jarum tato raksasa, mesin yang akan menusuki si terhukum dan dengan itu
akan tertulis sebuah kalimat perintah di tubuhnya. Setelah 12 jam, si
terhukum mati.

Yang menarik dari penceritaan Kafka adalah bahwa yang jadi fokus bukan
si terhukum; orang ini cuma diam saja, bahkan tak tahu atau peduli apa
kesalahannya. Melalui sang Opsir, tokoh utama yang muncul adalah mesin
yang ganjil, brutal, dan rumit itu. Ketika sang Opsir yang
mengoperasikan mesin itu tahu penggunaannya tak akan diizinkan lagi, ia
membiarkan dirinya jadi korban. Mesin ada, dan sebab itu harus
didapatkan sasarannya.

Birokrasi juga menyatakan diri perlu, tapi kita tak tahu apa fungsinya
ketika ia hadir, dalam jumlah yang berlebih dan tak bekerja untuk satu
hasil. Dalam aturan yang berlaku, sang wali kota tak boleh memecat
pegawainya—meskipun ia sanggup bekerja dengan 20% saja dari tenaga yang
ada. Bahkan tiap tahun ia harus menerima 700 pegawai baru.

Memang harus ditambahkan di sini: berbeda dari mesin yang digambarkan
Kafka, aparat pemerintahan di kantor-kantor negara tak tampak
mengerikan. Bahkan mungkin alegori Di Koloni Hukuman tak tepat dipakai.
Mereka yang duduk menganggur di kantor wali kota itu tak punya ciri-ciri
mesin yang efektif. Jika kita harus memakai kiasan Kafka—mungkin
satu-satunya novelis yang dengan imajinatif menggambarkan dunia modern
yang harus menanggungkan organisasi—maka birokrasi kita lebih mirip
sebuah kastil.

Dalam novel Das Schloß, (artinya ”kastil” dan juga ”gembok”), kita
dipertemukan dengan sebuah konstruksi yang mendominasi lanskap desa.
Kastil itu menguasai wilayah itu, tapi tak tampak siapa yang punya.
Ketika K datang untuk menghadap, yang disebut hanya seorang
administrator yang bernama Klamm (dalam bahasa Cek berarti ”ilusi”) yang
tak pernah bisa ditemuinya.

Kekuasaan itu tak jelas, tapi terasa, kadang-kadang muncul, melalui
lapisan staf dan telepon yang berdering dan tak disahut. Birokrasi yang
impersonal itu pada akhirnya tak menjawab dan tak jelas kepada siapa ia
bertanggung jawab. Di balik bangunan besar itu, mungkin sebenarnya hanya
ada khaos. Gubernur itu menyerah. Wali kota itu menyerah.

*/Goenawan Mohamad
/*

*/http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/10/12/CTP/mbm.20091012.CTP131682.id.html
/*

Mengenang dan Menghargai Ibn Khaldun

Mengenang dan Menghargai Ibn Khaldun
Oleh Ihsan Ali-Fauzi Pengajar Universitas Paramadina dan pengagum Ibn
Khaldun


RAMADAN lalu saya diundang bicara tentang Muqaddimah, buku agung Ibn
Khaldun. Niat panitia (Jaringan Islam Liberal, JIL), sambil mensyukuri
malam Ramadan, kita ingin belajar dari warisan intelektual Islam. Ini
tradisi tahunan JIL (sebelumnya pernah dibahas alGhazali, Ibn al-'Arabi,
dan lainnya). Asyik kan, dapat dunia dan akhirat?
Bagi yang belum kenal Ibn Khaldun, ini sedikit info. Dia lahir di Tunis
(1332) dan wafat di Fez (1406). Meski basisnya Afrika Utara, dia rajin
ke mana-mana. Dia pernah menjadi guru dan qadhi (semacam hakim),
diplomat, dan penasihat penguasa. Tapi ketakpastian politik mendorongnya
untuk lebih rajin meneliti dan menulis, di akhir hayatnya. Karyanya tak
banyak. Tapi lewat Muqaddimah dan al-'Ibar, karya sejarahnya, dia banyak
disebut sebagai sejarawan muslim terbesar. Kalangan tertentu, bahkan di
Barat, memandangnya sebagai penemu sosiologi modern, lewat `ilm
al-'umran (ilmu peradaban) yang digagasnya. Nah, bagaimana kita
sebaiknya menghargai Ibn Khaldun? Sudah lama saya bosan dengan cara
banyak kalangan, terutama muslim, mendiskusikan khazanah intelektual
Islam, termasuk Ibn Khaldun.
Gayanya sering kali retoris-apologetis: sudah begitu hebat, toh dia tak
diakui dunia ya? Kadang arah diskusi jadi defensifeksklusif: karena
sudah ada dalam Islam, apa perlunya kita belajar dari Marx atau Weber?
Kita harus segera hijrah dari gaya diskusi yang tak produktif itu.
Saya khawatir ini cermin kekerdilan tumbuh dari pola-pikir `katak dalam
tempurung'. Jika Islam itu rahmat bagi semesta alam, mengapa pula kita
takut berenang bersama orangorang lain di semesta itu?
Asal tahu saja: Ultah ke-600 kematian Ibn Khaldun (2006) dirayakan di
New Yo r k U n i v e r s i t y dengan seminar tentang sumbangannya pada
dunia ilmu-ilmu sosial.
Tahun itu, jurnaljurnal sosiologi terkemuka, seperti Current Sociology,
International Sociology, Contemporary Sociology, memuat artikel-artikel
khusus tentangnya.
Sebelumnya, sudah ada Ibn Khaldun Chair di George Washington University,
yang diduduki Akbar S Ahmed, antropolog muslim terkemuka. Kurang apa lagi?
Dunia tidak mengakuinya? Sekarang mari kita berkaca (enaknya sambil
mendengarkan Man in the Mirror, lagu mendiang Michael Jackson itu). Toh
saya tak menemukan penghargaan sejenis oleh kalangan muslim di tahun itu
untuknya.

Yang ada malah kabar buruk. Di Mesir, sebuah lembaga riset yang membawa
namanya dan ingin mengembangkan ilmu yang diawalinya, Ibn Khaldun
Center, malah ditutup pemerintah. Alasannya, hasil riset lembaga itu
menjelek-jelekkan pemerintahan Husni Mubarak (seakan diktator Mesir itu,
yang memanipulasi suara rakyat dalam pemilu dan menyiapkan anaknya
sebagai penggantinya, perlu dijelek-jelekkan untuk tampil bopeng).
Adapun Saad el-Din Ibrahim, sosiolog dengan reputasi internasional yang
mendirikannya, harus ngacir ke Turki untuk menghindari penjara, yang
pernah dialaminya beberapa tahun lalu.

*** Karena bosan dengan gaya diskusi yang retoris-apologetis dan
defensif-eksklusif itu, saya sengaja membawa warisan Ibn Khaldun masuk
ke debat kontemporer tentang ilmuilmu sosial. Kecuali jika dia sendiri
mengemukakan sisi-sisi keislaman teorinya, saya melepaskannya dari
akar-akar Islamnya (juga Arabnya, sebenarnya).

Kita memperoleh banyak hal. Teori terkenalnya tentang `ashabiyah,
`solidaritas bawaan', benar-benar bisa diperbandingkan dengan
teori-teori mutakhir tentang formasi negara pramodern, yang hingga kini
masih sering digunakan untuk memahami banyak negara di Timur Tengah.
Juga bermanfaat melihat Ibn Khaldun sebagai teoretikus yang lebih dekat
kepada Marx (konflik) daripada Weber (integrasi). Bukankah teori
berpengaruh Ernest Gellner, tentang gerak pendulum dalam reformasi
Islam, seperti diakuinya sendiri, banyak dikembangkan dari Ibn Khaldun?
Dan lainnya.

Ringkasnya, bersama Ibn Khaldun, kita harus mengembangkan optimisme
lebih jauh tentang manusia dan ilmu yang dibangun untuk lebih memahami
mereka. Sehubungan dengan Islam dan non-Islam, mari kita cari lebih
banyak irisan di antara keduanya. Itu dengan menemukan titik temu dan
titik pisah, untuk saling berbagi atau menerima dan mengelola perbedaan.

Saya kira inilah cara terbaik kita menghargai Ibn Khaldun. Dengan
Muqaddimah dan al-'Ibar, dia tidak saja tertarik pada peristiwa sejarah
tertentu, tapi juga pada hukum sosial apa yang bisa ditarik darinya
untuk membangun peradaban manusia.

*** Sayangnya, yang saya sarankan itu tak cukup populer. Kecenderungan
umumnya malah ingin melakukan `sakralisasi' atas Ibn Khaldun, dalam
proyek yang disebut `Islamisasi ilmu'. Contohnya artikel Mahmoud
Dhaouadi, yang--hebatnya--tetap diterbitkan Contemporary Sociology,
jurnal kafir yang hendak merayakan Ibn Khaldun itu.

Kata Dhaouadi, model sosiologi Khaldunian tak bisa didialogkan dengan
modelmodel lain, karena model itu bukan saja bersumber dari akal (`aql),
tapi juga dari wahyu (naql). Perhatikan bahwa dia menutup kemungkinan
bagi `Sosiologi Timur Khaldunian' untuk bisa (dan sudah) ditolak oleh
sosiolog lain yang sama-sama berasal dari Timur. Jika sosiologi Islam
hanya bisa dicapai kaum muslim, dari mazhab apa si sosiolog itu berasal?
Repotnya, produk akhir dari proyek islamisasi ini tidak bisa
difalsifikasi, karena hal itu tidak dapat diakses apalagi
diperbandingkan dengan hasil temuan kalangan lain.

Salah satu bahaya dari proyek ini adalah anti-kritisisme, karena proyek
itu mengibarkan bendera `nativisme': wahyu (Islam) itu unik, pasti
benar, tidak bisa diakses kalangan yang di luarnya. Ingat bahwa dalam
wacana ini, misalnya, sosiologi Islam harus diturunkan dari doktrin
Islam tentang masyarakat.
Tapi bukankah ini nantinya menjadi, seperti diduga Akbar Ahmed, `too
much Islam and too little sociology'? Bukankah, sebagai ilmu, sosiologi
harus empiris? Dan bukankah kita bisa memisahkan antara apa yang Allah
kehendaki dari umatnya, seperti disebutkan dalam teologi atau tafsir,
dan apa yang secara aktual dilakukan sang umat, yang harus menjadi
telaahan sosiologi?
Jika ini berkembang, saya takut Ibn Khaldun bangkit dari kuburnya!
Seperti diketahui, dia dikenal sangat kritis baik terhadap laporan
tentang masa lalu maupun opini dari masanya, termasuk yang disampaikan
kaum muslim.

Akhirnya, proyek islamisasi ilmu juga bisa mengerdilkan wawasan kaum
muslim karena pandangan yang disebarkan bahwa apa-apa yang ditulis para
sarjana nonmuslim akan dengan sendirinya tidak berguna. Betapa besar
kehilangan yang harus diderita kaum muslim yang mau mengerti
masyarakatnya, jika mereka tak lagi membaca karangan antropolog seperti
Clifford Geertz atau Mitsuo Nakamura, yang sebagiannya dengan bahagia
mengembangkan ilmu yang dimulai Ibn Khaldun! *** Mohon saya tak
disalahpahami. Saya tidak antiwahyu atau perannya dalam kerja-kerja
ilmu. Saya hanya keberatan jika kita diharuskan memilih antara wahyu dan
akal. Kita memerlukan keduanya ­ dan akal semua orang. Sebuah teori dari
kalangan muslim tidak serta-merta benar hanya karena teori itu
diturunkan dari wahyu, seperti halnya teori-teori Barat (sic!) tidak
serta-merta salah hanya karena dia berasal semata dari akal.

Apakah kenyataan bahwa Ibn Khaldun itu berasal dari lingkungan Islam
atau Arab sama sekali tidak bermakna? Tidak juga. Sebaliknya, kenyataan
itu penting diperhatikan untuk lebih memahami asal-usul pembentukan
teorinya. Tapi menelusuri asal-usul satu teori tidak sama dengan
menerima apa adanya teori itu karena asal-usulnya, bukan?
Dus, cara terbaik menghargai Ibn Khaldun adalah dengan membawa masuk
sosiologinya, apa adanya, seperti sosiologi pada umumnya, ke dalam debat
semesta sosiologi manusia. Bukan dengan membungkusnya rapat-rapat dengan
jubah Islam dan mensterilkannya dalam museum kemegahan sejarah ilmu di
dunia Islam di masa lalu. Ini enak yang sesaat dan memabukkan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/10/12/ArticleHtmls/12_10_2009_008_003.shtml?Mode=0