Resimen Khusus Tjakrabirawa dan G-30-S
*ANDI WIDJAJANTO, *PENGAMAT MILITER DARI UNIVERSITAS INDONESIA
Resimen Khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan Surat Keputusan
Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia No. 211/PLT/1962
tanggal 5 Juni 1962. Tjakrabirawa dibentuk sebagai suatu resimen khusus
di bawah Presiden yang diberi tanggung jawab penuh untuk menjaga
keselamatan pribadi Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik
Indonesia beserta keluarganya. Resimen ini terdiri atas Detasemen Kawal
Pribadi, Batalion Kawal Pribadi, dan Batalion Kawal Kehormatan.
Pembentukan Tjakrabirawa merupakan tanggapan strategis atas upaya
pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, yang terjadi pada 14 Mei 1962
saat Presiden bersembahyang Idul Adha di Masjid Baitturahman di kompleks
Istana Merdeka, Jakarta.
Sebagai suatu resimen khusus, Tjakrabirawa dipersiapkan sebagai suatu
kesatuan militer yang memiliki kualifikasi setingkat kesatuan komando.
Dalam suatu wawancara dengan Benedict Anderson dan Arief Djati
(Indonesia No. 78, Oktober 2004), mantan komandan peleton Tjakrabirawa,
Sersan Mayor Boengkoes, menceritakan sulitnya rangkaian tes yang harus
dijalani oleh seorang prajurit ABRI untuk dapat bergabung di Tjakrabirawa.
Tidak seperti pembentukan kesatuan-kesatuan baru lainnya yang sekadar
mengandalkan penggabungan dari beberapa peleton dan kompi untuk
membentuk satu batalion, resimen khusus Tjakrabirawa dibentuk
berdasarkan kumpulan individu yang berhasil lulus dari rangkaian tes
seleksi. Keketatan tes seleksi Tjakrabirawa tampak dari data bahwa hanya
3-4 prajurit dari satu kompi suatu batalion yang berkualifikasi raider
atau paratrooper atau airborne yang mendapat panggilan untuk mengikuti
tes seleksi.
Letnan Kolonel Untung, yang berperan sebagai pimpinan militer Gerakan 30
September, misalnya, dari 1954 sampai 1965 bertugas di Batalion 454
Banteng Raiders yang memiliki kualifikasi paratroop-airborne. Pada 1961,
Untung memimpin salah satu kompi relawan dalam Operasi Naga yang
mengawali tahap infiltrasi penyerbuan Irian Barat di bawah pimpinan
Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal Soeharto.
Atas keberaniannya dalam Operasi Naga, Untung, bersama L.B. Moerdani
sebagai pimpinan kompi relawan lainnya, mendapatkan penghargaan Bintang
Sakti dari Presiden Soekarno. Pada Februari 1965, Letkol Untung, yang
saat itu menjabat Komandan Batalion 454 Banteng Raiders, dipromosikan
menjadi Komandan Batalion I Tjakrabirawa.
Kualifikasi khusus yang dimiliki Tjakrabirawa tidak langsung menjadikan
Tjakrabirawa suatu kesatuan militer yang mampu melakukan kudeta pada 1
Oktober 1965. Kompi Tjakrabirawa di bawah pimpinan Letnan Satu Dul Arief
dipilih menjadi penjuru Pasukan Pasopati untuk melaksanakan operasi
penculikan para jenderal karena kesatuan ini berada langsung di bawah
Presiden (bukan di bawah Markas Besar AD) sehingga saat melaksanakan
operasi tidak akan menimbulkan kecurigaan dari para jenderal TNI-AD.
Keterlibatan Tjakrabirawa lebih ditentukan oleh sosok Letkol Untung,
yang memiliki rekam jejak militer yang memungkinkannya membangun
jejaring militer dengan kesatuan-kesatuan AD lainnya yang bergabung
dalam Gerakan 30 September, yaitu Batalion 454, Batalion 530, dan
Brigade I. Beberapa peleton dari ketiga kesatuan ini memperkuat Pasukan
Pasopati. Batalion 454 dan 530 juga digelar untuk melakukan pengamanan
Istana dan kantor RRI.
Jejaring Letkol Untung dengan Batalion 454 telah dibangun sejak 1954.
Saat Gerakan 30 September digelar, Batalion 454 dipimpin oleh Mayor
Kuntjoro Judowidjojo, yang menjadi wakil komandan batalion saat Letkol
Untung menjabat Komandan Batalion 454. Kedekatan Letkol Untung dengan
Komandan Brigade I Kodam Djaya Kolonel A. Latief, yang juga berperan
dalam Gerakan 30 September, diawali di Batalion 454. Sebelum dipindahkan
ke Jakarta pada 1963, Brigade I merupakan bagian dari Tjadangan Umum
Angkatan Darat (Tjaduad) yang bermarkas di Ungaran, dekat dengan markas
Batalion 454.
Jika jejaring Letkol Untung yang dijadikan rujukan untuk mengurai
keterlibatan kesatuan-kesatuan AD dalam Gerakan 30 September, pusat
jejaring Gerakan ini bisa dilacak dari Batalion 454 Banteng Raiders.
Secara taktis militer, bisa dikatakan bahwa titik awal dan titik akhir
Gerakan 30 September adalah Batalion 454.
Karier militer cemerlang Letkol Untung yang membawanya ke jabatan
Komandan Batalion I Tjakrabirawa berawal dari Batalion 454. Komandan
Kompi Tjakrabirawa yang juga Komandan Pasukan Pasopati, Letnan Satu Dul
Arif, juga pernah bertugas di Banteng Raiders langsung di bawah pimpinan
Mayor Ali Moertopo. Penugasan ini terjadi pada akhir 1952, saat Banteng
Raiders digelar melawan Batalion 426 yang memberontak dan bergabung
dalam gerakan Darul Islam di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat.
Kesatuan Banteng Raiders sendiri dibentuk oleh Kolonel Ahmad Yani pada
Juni 1952. Sebagai komandan brigade di wilayah Jawa Tengah bagian barat,
Kolonel Ahmad Yani memiliki ide membentuk kesatuan khusus yang dapat
diandalkan untuk melawan pemberontakan Darul Islam. Kesatuan Banteng
Raiders bentukan Ahmad Yani ini akhirnya menjadi Batalion 454. Pada
1961, Batalion 454 (dan Batalion 530) dijadikan bagian dari Tjaduad yang
dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto. Tjaduad yang dibentuk oleh KSAD
Jenderal A.H. Nasution ini ditingkatkan menjadi Kostrad pada Februari 1963.
Sebagai pimpinan Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto mengundang Batalion
454 (dan Batalion 530) untuk berpartisipasi dalam perayaan 5 Oktober
1965. Sebagai Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto mengambil alih
kepemimpinan operasional AD dan memimpin operasi penumpasan Gerakan 30
September. Dalam operasi penumpasan ini, Panglima Kostrad memerintahkan
pasukan baret merah RPKAD menghentikan petualangan militer pasukan baret
hijau Batalion 454.
Sejarah akhirnya mencatat bahwa penumpasan Gerakan 30 September berakhir
dengan gelar operasi khusus yang dipimpin oleh Letkol Ali Moertopo yang
juga alumnus Banteng Raiders. Operasi khusus ini menjadi awal kelahiran
Kopkamtib yang turut memperkuat rezim politik-militer Orde Baru.
http://korantempo.com/korantempo/koran/2009/10/05/Laporan_Khusus/krn.20091005.178018.id.html
*ANDI WIDJAJANTO, *PENGAMAT MILITER DARI UNIVERSITAS INDONESIA
Resimen Khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan Surat Keputusan
Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia No. 211/PLT/1962
tanggal 5 Juni 1962. Tjakrabirawa dibentuk sebagai suatu resimen khusus
di bawah Presiden yang diberi tanggung jawab penuh untuk menjaga
keselamatan pribadi Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik
Indonesia beserta keluarganya. Resimen ini terdiri atas Detasemen Kawal
Pribadi, Batalion Kawal Pribadi, dan Batalion Kawal Kehormatan.
Pembentukan Tjakrabirawa merupakan tanggapan strategis atas upaya
pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, yang terjadi pada 14 Mei 1962
saat Presiden bersembahyang Idul Adha di Masjid Baitturahman di kompleks
Istana Merdeka, Jakarta.
Sebagai suatu resimen khusus, Tjakrabirawa dipersiapkan sebagai suatu
kesatuan militer yang memiliki kualifikasi setingkat kesatuan komando.
Dalam suatu wawancara dengan Benedict Anderson dan Arief Djati
(Indonesia No. 78, Oktober 2004), mantan komandan peleton Tjakrabirawa,
Sersan Mayor Boengkoes, menceritakan sulitnya rangkaian tes yang harus
dijalani oleh seorang prajurit ABRI untuk dapat bergabung di Tjakrabirawa.
Tidak seperti pembentukan kesatuan-kesatuan baru lainnya yang sekadar
mengandalkan penggabungan dari beberapa peleton dan kompi untuk
membentuk satu batalion, resimen khusus Tjakrabirawa dibentuk
berdasarkan kumpulan individu yang berhasil lulus dari rangkaian tes
seleksi. Keketatan tes seleksi Tjakrabirawa tampak dari data bahwa hanya
3-4 prajurit dari satu kompi suatu batalion yang berkualifikasi raider
atau paratrooper atau airborne yang mendapat panggilan untuk mengikuti
tes seleksi.
Letnan Kolonel Untung, yang berperan sebagai pimpinan militer Gerakan 30
September, misalnya, dari 1954 sampai 1965 bertugas di Batalion 454
Banteng Raiders yang memiliki kualifikasi paratroop-airborne. Pada 1961,
Untung memimpin salah satu kompi relawan dalam Operasi Naga yang
mengawali tahap infiltrasi penyerbuan Irian Barat di bawah pimpinan
Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal Soeharto.
Atas keberaniannya dalam Operasi Naga, Untung, bersama L.B. Moerdani
sebagai pimpinan kompi relawan lainnya, mendapatkan penghargaan Bintang
Sakti dari Presiden Soekarno. Pada Februari 1965, Letkol Untung, yang
saat itu menjabat Komandan Batalion 454 Banteng Raiders, dipromosikan
menjadi Komandan Batalion I Tjakrabirawa.
Kualifikasi khusus yang dimiliki Tjakrabirawa tidak langsung menjadikan
Tjakrabirawa suatu kesatuan militer yang mampu melakukan kudeta pada 1
Oktober 1965. Kompi Tjakrabirawa di bawah pimpinan Letnan Satu Dul Arief
dipilih menjadi penjuru Pasukan Pasopati untuk melaksanakan operasi
penculikan para jenderal karena kesatuan ini berada langsung di bawah
Presiden (bukan di bawah Markas Besar AD) sehingga saat melaksanakan
operasi tidak akan menimbulkan kecurigaan dari para jenderal TNI-AD.
Keterlibatan Tjakrabirawa lebih ditentukan oleh sosok Letkol Untung,
yang memiliki rekam jejak militer yang memungkinkannya membangun
jejaring militer dengan kesatuan-kesatuan AD lainnya yang bergabung
dalam Gerakan 30 September, yaitu Batalion 454, Batalion 530, dan
Brigade I. Beberapa peleton dari ketiga kesatuan ini memperkuat Pasukan
Pasopati. Batalion 454 dan 530 juga digelar untuk melakukan pengamanan
Istana dan kantor RRI.
Jejaring Letkol Untung dengan Batalion 454 telah dibangun sejak 1954.
Saat Gerakan 30 September digelar, Batalion 454 dipimpin oleh Mayor
Kuntjoro Judowidjojo, yang menjadi wakil komandan batalion saat Letkol
Untung menjabat Komandan Batalion 454. Kedekatan Letkol Untung dengan
Komandan Brigade I Kodam Djaya Kolonel A. Latief, yang juga berperan
dalam Gerakan 30 September, diawali di Batalion 454. Sebelum dipindahkan
ke Jakarta pada 1963, Brigade I merupakan bagian dari Tjadangan Umum
Angkatan Darat (Tjaduad) yang bermarkas di Ungaran, dekat dengan markas
Batalion 454.
Jika jejaring Letkol Untung yang dijadikan rujukan untuk mengurai
keterlibatan kesatuan-kesatuan AD dalam Gerakan 30 September, pusat
jejaring Gerakan ini bisa dilacak dari Batalion 454 Banteng Raiders.
Secara taktis militer, bisa dikatakan bahwa titik awal dan titik akhir
Gerakan 30 September adalah Batalion 454.
Karier militer cemerlang Letkol Untung yang membawanya ke jabatan
Komandan Batalion I Tjakrabirawa berawal dari Batalion 454. Komandan
Kompi Tjakrabirawa yang juga Komandan Pasukan Pasopati, Letnan Satu Dul
Arif, juga pernah bertugas di Banteng Raiders langsung di bawah pimpinan
Mayor Ali Moertopo. Penugasan ini terjadi pada akhir 1952, saat Banteng
Raiders digelar melawan Batalion 426 yang memberontak dan bergabung
dalam gerakan Darul Islam di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat.
Kesatuan Banteng Raiders sendiri dibentuk oleh Kolonel Ahmad Yani pada
Juni 1952. Sebagai komandan brigade di wilayah Jawa Tengah bagian barat,
Kolonel Ahmad Yani memiliki ide membentuk kesatuan khusus yang dapat
diandalkan untuk melawan pemberontakan Darul Islam. Kesatuan Banteng
Raiders bentukan Ahmad Yani ini akhirnya menjadi Batalion 454. Pada
1961, Batalion 454 (dan Batalion 530) dijadikan bagian dari Tjaduad yang
dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto. Tjaduad yang dibentuk oleh KSAD
Jenderal A.H. Nasution ini ditingkatkan menjadi Kostrad pada Februari 1963.
Sebagai pimpinan Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto mengundang Batalion
454 (dan Batalion 530) untuk berpartisipasi dalam perayaan 5 Oktober
1965. Sebagai Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto mengambil alih
kepemimpinan operasional AD dan memimpin operasi penumpasan Gerakan 30
September. Dalam operasi penumpasan ini, Panglima Kostrad memerintahkan
pasukan baret merah RPKAD menghentikan petualangan militer pasukan baret
hijau Batalion 454.
Sejarah akhirnya mencatat bahwa penumpasan Gerakan 30 September berakhir
dengan gelar operasi khusus yang dipimpin oleh Letkol Ali Moertopo yang
juga alumnus Banteng Raiders. Operasi khusus ini menjadi awal kelahiran
Kopkamtib yang turut memperkuat rezim politik-militer Orde Baru.
http://korantempo.com/korantempo/koran/2009/10/05/Laporan_Khusus/krn.20091005.178018.id.html