BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mendialogkan Perbedaan

Mendialogkan Perbedaan

Written By gusdurian on Selasa, 06 Oktober 2009 | 11.54

Mendialogkan Perbedaan

Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam uraiannya di
hadapan mahaguru, mahasiswa, dan civitas academica Kennedy School of
Government, Universitas Harvard, Boston,Amerika Serikat baru-baru ini
menanggapi uraian Presiden AS Barack Obama di Universitas Kairo beberapa
waktu lalu.

Presiden SBY menekankan pentingnya dialog antara peradaban Barat dan
Islam. Sebagaimana di Indonesia, Islam yang moderat datang mendekatkan
diri pada peradaban Barat. Justru hal ini, menurut SBY, yang membedakan
Islam di Indonesia dari Islam di tempat-tempat lain.

Melihat hal itu, patutlah kita mengkaji lebih jauh masalah ini. Benar
bahwa Islam di Indonesia sejak semula memberikan tempat pada dialog
dengan peradaban lain. Hal itu sesuai dengan tradisi bangsa kita yang
sudah ada beratus tahun lampau. Seorang pendeta Buddha dari Tiongkok
bernama Fahien pernah menetap di Sriwijaya.

Pada Abad keenam Masehi di kerajaan tertua di Nusantara itu sudah tampak
sikap toleran antarmasyarakatnya. Ketika abad kedelapan Masehi,
Sriwijaya ”menyerang” Pulau Jawa. Setelah mendarat di pelabuhan lama
Pekalongan,pasukan Sriwijaya langsung naik menuju pegunungan hingga
mencapai Kabupaten Wonosobo sekarang.

Orang-orang Sriwijaya itu bertemu dengan Kerajaan Hindu Kalingga.
Ternyata,mereka membiarkan saja kerajaan itu sebagaimana adanya. Dari
Wonosobo, pasukan Sriwijaya itu meneruskan perjalanan ke arah
Tenggara.Kemudian berhenti di tempat yang sekarang bernama Muntilan
(termasuk Magelang).

Di tempat itu, mereka mendirikan Candi Borobudur.Dari situ,sebagian
mereka meneruskan perjalanan ke kawasan Yogyakarta sekarang. Pada abad
kesembilan Masehi, berdirilah Candi Hindu-Buddha di sekitar kawasan
Prambanan. Karena hasil perpaduan dua agama, candi itu tidak disukai
oleh sebagian orang.

Baik yang beragama Buddha maupun Hindu. Maka, pada abad ke-10 Masehi,
orangorang beragama Hindu-Buddha itu lalu hijrah ke Kediri di bawah
pimpinan Prabu Dharmawangsa. Dua abad kemudian, mereka berpindah ke
Singosari di kawasan Malang, dengan menggunakan nama Daha untuk nama
kerajaan dengan Airlangga sebagai rajanya.

Setelah membesarkan Kerajaan Singosari itu, di bawah pimpinan Raden
Wijaya mereka langsung menuju ke utara ke tepian Sungai Brantas. Di
kawasan baru itu mereka mendirikan kerajaan multiagama
(Hindu-Buddha-Islam) bernama Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan
Raja Hayam Wuruk dan Perdana Menteri Gajah Mada.

Semangat menghargai perbedaan itu diperluas ke seluruh Nusantara dan
semangat ini yang diwariskan oleh pendiri negara ini, khususnya melalui
Republik Indonesia. Hal inilah yang dilestarikan oleh Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 hingga saat ini.

Dengan demikian, kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan: Islam Indonesia
tumbuh dalam semangat dialogis dengan paham lain di negeri ini ataukah
tidak? Kalau dilihat dari sikap sebagian besar bangsa kita yang
multietnik ini dan sejarah bangsa kita, jelas sikap toleran itulah yang
kita miliki.

Jika kini muncul paham-paham yang tidak toleran atau hanya mau menang
sendiri saja, hal itu timbul karena respons Islam terhadap peradaban
lain yang tumbuh di negeri kita.Namun,perkembangan sejarah yang akan
membuktikan bahwa bangsa kita memang benarbenar menghargai pluralitas.

Di masa depan, kita akan menjauhi sikap mau menang sendiri seperti yang
ditunjukkan oleh sebagian kawan-kawan muslim kita yang belum bersikap
dewasa.Jadi, harus ada keberpihakan dalam hal ini. Memilih antara sikap
mendukung Pancasila dan UUD 1945 yang menghormati perbedaan atau tidak?
Banyak pihak yang menggugat bahwa perangkat hukum tertinggi itu tidaklah
sempurna.

Saat ini saja terjadi perdebatan mengenai UUD tersebut. Di satu pihak
menerima sistem pemerintahan presidensial,tapi di pihak lain menjalankan
parlementer. Tentu saja, kita harus melakukan pembenahan-pembenahan atas
instrumen hukum tersebut.

Intinya, dapat menampung kepentingan rakyat bangsa ini, selain juga
memberikan kekuasaan yang nyata kepada Presiden. Namun, yang
terpenting,perubahan instrumen hukum itu harus dalam koridor bahwa UUD
tetap berpegang pada semangat kebangsaan. Kita sekarang sedang berada
dalam kemelut konstitusional. Jawabannya, tergantung dari bangsa ini,
bukan? (*)

Abdurrahman Wahid


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/274511/
Share this article :

0 komentar: