BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kabinet Indonesia Inc. dan Momentum G-20

Kabinet Indonesia Inc. dan Momentum G-20

Written By gusdurian on Selasa, 06 Oktober 2009 | 12.21

Kabinet Indonesia Inc. dan Momentum G-20

*Christianto Wibisono*

# Pengamat ekonomi internasional

MEMPERJUANGKAN suatu Indonesia Incorporated yang tangguh pernah digagas
Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) sejak 1980 hingga 2000. Tradisi ini
kemudian diteruskan oleh Global Nexus Institute, lembaga penerus PDBI,
dengan cara memantau dari dekat Konferensi Tingkat Tinggi G-20 ketiga di
Pittsburgh, Amerika Serikat, yang baru saja berlalu dan dihadiri juga
oleh Presiden Yudhoyono.

Lembaga yang saya pimpin ini telah mengkaji secara serius peluang emas
momentum G-20 itu untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional. Dalam
waktu dekat, lembaga tersebut akan meluncurkan kajian dengan judul
seperti di atas sebagai bekal para pengambil keputusan politik, bisnis,
dan masyarakat madani untuk memahami secara lebih menyeluruh makna
peluang penting G-20 bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Indonesia kini berada pada persilangan sejarah berakhirnya era Pax
Americana menuju Pax Consortis G-20. Negara kita ”beruntung” termasuk di
dalamnya. Kita harus melihat peluang sejarah ini secara metapolitik.
Imperium Pax Nederlandica menjadi imperium terkaya karena De Heeren 17
menguasai VOC yang memonopoli sumber daya alam Hindia Belanda. Kini
Indonesia menjadi anggota ”The Board of 20” yang mewakili 90 persen
total PDB dunia, 80 persen perdagangan dunia, dan dua pertiga penduduk
dunia.

Dengan demikian, bukan mustahil kita bisa ikut mengarahkan perkembangan
dunia yang kini tak mungkin lagi dimonopoli oleh Pax Americana atau
pendahulunya, Pax Britannica. Apalagi pada abad ke-21 ini tampaknya
tidak ada tempat bagi Pax sempit lain seperti Pax Germanica, Pax
Japonica, Pax Sovietica, Pax Sinica, ataupun Pax Asiatica, melainkan
harus melalui forum kerja sama multipolar seperti G-20.

Sejak terpuruknya ekonomi Amerika Serikat karena ditelan oleh sektor
derivatif fiktif yang menyedot dana US$ 50 triliun (yang hampir setara
dengan total PDB dunia 2007, US$ 70 triliun), G-20 merupakan emerging
coalition untuk mengelola dunia secara lebih proporsional. KTT G-20 di
Pittsburgh telah mengukuhkan bahwa forum G-20 ini akan menjadi forum
utama kerja sama internasional pengganti G-8 yang didominasi negara maju
dan OECD yang didominasi negara kaya.

Karena itu, struktur pengambilan putusan kebijakan kabinet baru nanti
harus disesuaikan dengan tantangan einmalig yang dihadapi berhubung
agenda perombakan Tata Keuangan Ekonomi Global di dalam konteks G-20.
Untuk kesiapan transformasi geopolitik itu, Dewan Ketahanan Nasional dan
Lembaga Ketahanan Nasional layak dimerger sehingga merupakan dapur,
think tank, dan database bagi presiden dan kabinet untuk memantau
kompleksitas geopolitik secara komprehensif, integral, dan paripurna.
Hasilnya kelak mirip dengan National Security Council di Gedung Putih,
tapi bukan hanya melulu militer, melainkan strategi geopolitik, yang
secara tradisional diduduki oleh pakar geopolitik seperti Henry Kissinger.

Konsentrasi dari dua lembaga yang telah dimerger ini adalah
memberdayakan dan mengoptimalkan posisi Indonesia di G-20. Hal ini harus
disinergikan dengan rencana untuk memasukkan huruf I (Indonesia) dalam
blok BRIC menjadi BRICI. Juga mengkaji efisiensi blok-blok lain yang
telanjur tumbuh, seperti ASEM, APEC, dan konsolidasi ASEAN sebagai blok
perdagangan dan replika Uni Eropa dalam satu generasi. Targetnya ialah
memulihkan kepemimpinan Indonesia sebagai jangkar ASEAN, sekaligus
memperkuat posisi Indonesia di BRIC menjadi BRICI dan G-20.

Indonesia pernah memegang rekor kabinet 100 menteri di akhir
pemerintahan Bung Karno. Hampir semua direktur jenderal jadi menteri.
Kita kini punya undang-undang yang membatasi jumlah menteri sampai
maksimal 34 orang, termasuk menteri koordinator, menteri negara, dan
menteri muda. Amerika Serikat hanya punya 15 menteri, tapi Gedung Putih
dilengkapi dengan National Security Adviser, National Economic Council,
OMB, dan lain-lain. Negara maju seperti Jepang, Jerman, Inggris, dan
Prancis juga membatasi jumlah menteri walaupun sistem parlementer memang
bisa membengkakkan jumlah menteri lebih besar dari Amerika.

Dengan kata lain, jika SBY-Boediono sekadar mengulangi kabinet SBY-JK,
kemenangan meyakinkan duet ini bakal mubazir dan lenyap bagaikan hadiah
Nobel yang akhirnya melayang dari tangan kita. Perdamaian Aceh itu
memang layak, pantas, dan serius untuk diapresiasi dan mendapat hadiah
Nobel. Hanya ”gol bunuh diri” kasus Tibo-Munir yang kemudian
menendangnya, lalu mengalihkan penghargaan itu ke Bangladesh, ke
pangkuan Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian 2006.

*Kabinet Transformasi SBY-Boediono*
Para pakar telah memberikan pelbagai komentar tentang perlunya Presiden
Yudhoyono membentuk kabinet tanpa terlalu bergantung pada balas budi
partai gurem yang akan menghambat cita-cita untuk menciptakan warisan
pemerintahan yang membuat sejarah.

Meskipun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
memuat batasan jumlah menteri anggota kabinet sampai maksimal 34 orang,
sebetulnya SBY dengan bekal mandat 60 persen suara rakyat harus berani
membentuk kabinet yang ramping dan efisien.

Pakar manajemen Davide Castelvecchi pernah menulis artikel bagus dalam
majalah Science, 9 Mei 2008: ”The Undeciders: More Decision Makers Bring
Less Efficiency”. Di dalam artikel tersebut, Castelvecchi menyinggung
ihwal studi empiris kabinet di seluruh dunia. Dia katakan, ”The size of
the cabinet varies, although most contain around ten to twenty
ministers. Researchers have found an inverse correlation between a
country’s level of development and cabinet size: the more developed a
country is, the smallers is its cabinet.”

Kita menghadapi tantangan transformasi geopolitik yang memerlukan
transformasi kekuatan nasional Indonesia secara serius dan kompak.
Presiden dan kabinetnya harus mempunyai think tank, database, otak, dan
dapur yang mempersiapkan bahan untuk diolah siap saji oleh para menteri
sebagai masukan lintas sektoral, integratif, dan menyeluruh terhadap
masalah yang mereka hadapi. Ini dikoordinasi oleh Executive Office of
the President yang akan mengamankan strategi besar dan integrasi secara
komprehensif apa yang disebut sebagai 3 DEF: Democracy, Development and
Dignity, Economy, Energy and Ecology, atau Finance, Fuel and Food.
Keterkaitan antara demokrasi, pembangunan harkat martabat, dan
pendekatan komprehensif lintas sektoral merupakan order of the day—agar
hutan tropis menjadi aset dan kita punya leverage dalam ekonomi
perdagangan emisi karbon dan bukan sekadar penggembira.

Seharusnya kita mampu melakukan kapitalisasi dan optimalisasi peran
Indonesia di dalam G-20 ini. Namun, akibat situasi politik dalam negeri
dalam suksesi kepresidenan, Indonesia kurang mampu dan kehilangan
momentum memanfaatkan secara cerdas dan cermat reformasi Dana Moneter
Internasional (IMF) sebagai hasil komitmen G-20 bagi kepentingan
nasional Indonesia secara efektif. IMF yang telah dirombak dan tidak
lagi memberlakukan conditionality ala krisis moneter 1998 ini telah
membantu negara-negara anggotanya yang mengalami kesulitan budgeter
dengan jendela baru, Flexible Credit Line (FCL), bersuku bunga rendah
2,84 persen.

Karena psikose, paranoid dari sebagian elite politik yang hanya bisa
menghamburkan sentimen xenophobia, anti-asing, anti-Barat, anti-IMF,
Indonesia kehilangan peluang untuk memanfaatkan fasilitas FCL tersebut.
Padahal beberapa negara yang jauh lebih tangguh daripada kita, faktanya,
tidak malu-malu memanfaatkan fasilitas kredit lunak ini. Setelah
Meksiko, Polandia, dan Kolombia, yang menyusul dalam daftar antrean
ialah Brasil, Cek, Cile, dan Korea Selatan. Bahkan Singapura pun
berminat memanfaatkan jendela FCL.

Ini hanya salah satu contoh kebijakan politik masa lalu, ketika
incumbent tidak mempunyai posisi mayoritas di ”parlemen” yang masih
berlangsung dalam transisi ke era masa jabatan kedua. Michael Camdessus
sedakep di depan Soeharto. Kini SBY-Boediono seharusnya bisa bersedekap
di depan sidang G-20, untuk ikut mengarahkan forum bergengsi ini bersama
dengan rekan-rekan setara. Kita tidak bermimpi menjadi pemimpin dunia,
karena pada abad ke-21 ini tidak bisa lagi ada Pax Chauvinis, melainkan
harus melalui Pax Humanica, Pax Consortis.

Inilah latar belakang perjalanan ke Pittsburgh dan Harvard yang tecermin
dalam pidato Presiden di Kennedy School of Government tentang Harmony
Among Civilizations. Indonesia bisa berperan dalam perubahan geopolitik
dan geoekonomi secara proaktif. Presiden telah bergerak cepat dari
Pittsburgh ke Harvard mendahului zaman dengan teori Geopolitics of
Emotion Dominique Moisi yang direspons secara proaktif di Boston.
Sayangnya, elite politik kita di Jakarta masih terjebak pada paradigma
lama, ”pendemo abadi” yang tidak assertive dalam kancah global, tapi
sibuk ”politicking” yang justru melemahkan kekuatan Indonesia Inc.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/10/05/KL/mbm.20091005.KL131592.id.html
Share this article :

0 komentar: