BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Caping : KPK

Caping : KPK

Written By gusdurian on Selasa, 06 Oktober 2009 | 12.14

KPK

Semua bermula di Hong Kong, kurang-lebih. Seorang teman yang telah
menonton film baru sutradara Wong Jing mengingatkan: film I Corrupt All
Cops (produksi 2009) menunjukkan bahwa bentrok antara komisi
pemberantasan korupsi dan pejabat polisi bukan hanya cerita Indonesia.

Tentu saja I Corrupt All Cops bukan cukilan sejarah. Film ini
menceritakan pergulatan beberapa petugas Independent Commission Against
Corruption (ICAC) melawan sejumlah perwira polisi Hong Kong yang korup.
Wong Jin berusaha untuk tak norak, kata teman itu, tapi filmnya akhirnya
hanya menyajikan sepotong kisah yang disederhanakan.

Sejarah ICAC, yang didirikan pemerintah Hong Kong pada 1974, dan
akhirnya jadi sebuah ikhtiar yang berhasil (dan dicontoh oleh Indonesia
untuk membentuk KPK), memang bukan potongan-potongan cerita yang lurus.

ICAC mencatat prestasi ketika lembaga baru ini memenjarakan Peter
Fitzroy Godber, perwira tinggi polisi yang tak bisa menjelaskan dari
mana uang US$ 600 ribu ada di rekening banknya. Godber melarikan diri ke
Inggris dengan bantuan rekan-rekannya. Dengan gigih, ICAC berhasil
mengekstradisi sang buaya kembali ke Hong Kong. Ke dalam kurungan.

Tapi dengan segera HKPF, angkatan kepolisian kota itu, merasa terancam.
Pada 28 Oktober 1977, beberapa puluh anggotanya menyerbu memasuki kantor
ICAC. Ketegangan terjadi. Akhirnya kepala pemerintahan Hong Kong (dulu
disebut ”Governor”) memutuskan untuk memberikan amnesti kepada hampir
semua anggota polisi yang korup yang melakukan kejahatannya sebelum
1977. Wibawa ICAC pun merosot.

Tapi kemudian terbukti, kebijakan pemerintah berbuah. Sejak amnesti itu
polisi Hong Kong memperbaiki diri. Bahkan HKPF membiarkan pembersihan
besar-besaran dalam dirinya oleh ICAC pada 2008. Dari sini tampak,
kekuasaan—apa pun asal-usulnya—tak pernah berada di sebuah ruang politik
yang konstan.

Kekuasaan ICAC yang luas dan dijamin hukum tak dengan sendirinya lepas
dari gugatan hukum. Wewenangnya untuk menyadap pembicaraan telepon tak
selamanya direstui peradilan. April 2005, seorang hakim pengadilan
distrik tak mau menganggap rekaman yang dihasilkan ICAC sebagai barang
bukti. Alasan: tak ada prosedur yang legal yang mengatur penyadapan itu.
Tiga bulan kemudian, seorang wakil hakim pengadilan distrik menganggap
ICAC telah melanggar ”secara terang-terangan” hak empat terdakwa, dengan
memberikan tugas kepada seorang bekas tertuduh merekam percakapan mereka.

ICAC, sebagaimana KPK, tentu bisa mengatakan, dirinya adalah tanda
keadaan genting. Ia tak akan ada seandainya polisi, jaksa, dan
pengadilan bekerja penuh, sesuai dengan tugas mereka, seandainya mereka
membangun sebuah situasi yang disebut ”normal”.

Tapi di Hong Kong sebelum 1980-an, sebagaimana di Indonesia sampai
sekarang, korupsi menyakiti tubuh masyarakat di tiap sudut. Ada korupsi
model Godber, yang mempergunakan kekuasaannya yang tinggi; ada yang
dilakukan pemadam kebakaran yang memungut uang sebelum bertugas
mematikan api; ada pula para pelayan rumah sakit yang di tiap sudut,
dari ruang ke ruang, meminta uang.

Dalam situasi itu, kejahatan terbesar korupsi adalah menghancurkan
”modal sosial”—sebuah sikap masyarakat yang percaya bahwa orang lain
bukanlah buaya. Korupsi menyebabkan kepercayaan itu rusak. Ejekan yang
memelesetkan singkatan ICAC (jadi ”I can accept cash”, atau ”I corrupt
all cops”) adalah indikasi hancurnya ”modal sosial”. Negeri telah jadi
sederet labirin yang membusuk.

Maka ICAC, terlebih lagi KPK, lahir dengan kekuasaan yang abnormal: ia
mekanisme penyembuhan yang juga sebuah perkecualian. Kekuasaannya lain
dari yang lain. Wewenang KPK bahkan lebih besar ketimbang ICAC. Di Hong
Kong komisi itu tak punya wewenang menuntut. Di sini, KPK mempunyainya.

KPK juga tak hanya harus bebas penuh dari dikte kekuasaan mana pun. Di
Hong Kong, ICAC bekerja secara independen namun bertanggung jawab kepada
”Chief Executive”, yang dulu disebut ”Governor”. Di Indonesia, KPK tak
bertanggung jawab kepada Presiden.

Keluarbiasaan itu mungkin kini tak hendak dibicarakan. Tapi mungkin tak
bisa dilupakan: keadaan yang melahirkan kekuasaan sebesar itu ibarat
(untuk memakai kata-kata Agamben) ”daerah tak bertuan antara hukum
publik dan fakta politik”. Dengan kata lain, kekuasaan itu lahir dari
kehendak subyektif yang menegaskan kedaulatan.

Tapi pada akhirnya kedaulatan itu bertopang pada legitimasi yang
contingent. Tak ada dasar yang a priori yang membuat kedaulatan itu, dan
para pemegang kekuasaan istimewa itu, datang begitu saja.

Dengan kata lain, di ”daerah tak bertuan”, kekuasaan justru semakin
perlu pembenaran. Apalagi kekuasaan yang diperoleh ICAC dan KPK bersifat
derivatif: bukan datang dari pilihan rakyat—sumber mandat sebuah
demokrasi—melainkan dari badan-badan yang dipilih rakyat. Ia
terus-menerus butuh pihak di luar dirinya. Ia butuh sekutu, dengan
segala risikonya. Bahwa tugas ICAC maupun KPK merupakan tugas luhur yang
mengatasi kepentingan sepihak, tak berarti politik (”the political”)
berhenti. Kekuasaan selalu ada bersama resistansi terhadap dirinya.

Maka konflik bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sengketa bahkan bisa
lebih panjang ketimbang sebuah cerita film Hong Kong. Adegannya mungkin
kurang brutal dan dramatis, tapi akan ada korban manusia yang bersalah
atau tak bersalah. Sebab, di ”daerah tak bertuan”, perjuangan melawan
korupsi adalah perebutan tiap jengkal ruang strategis yang tersedia.
Tiap benteng harus dikuasai, bukan dikosongkan. Tiap langkah adalah
kesetiaan, dengan kegemasan, tapi juga dengan organisasi yang
dipersiapkan untuk perang 100 tahun.

*Goenawan Mohamad
*

*http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/10/05/CTP/mbm.20091005.CTP131593.id.html
*
Share this article :

0 komentar: