BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Konflik Klasik Buaya Versus Cicak

Konflik Klasik Buaya Versus Cicak

Written By gusdurian on Selasa, 06 Oktober 2009 | 11.55

Konflik Klasik Buaya Versus Cicak

*Robertus Robet*
SEKJEN PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI, PENGAJAR SOSIOLOGI DI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

Konflik antara badan antikorupsi dan lembaga kepolisian bukanlah barang
baru dalam sejarah gerakan antikorupsi. Bahkan, dalam pengalaman
beberapa negara, konflik pertama badan antikorupsi yang baru didirikan
biasanya memang terjadi dengan lembaga kepolisian.

Sebuah esai yang ditulis Jon S.T. Quah (/International Public Management
Review/, Volume 8 Issue 2, 2007) bisa memberikan wawasan untuk memahami
konflik antara kepolisian dan badan antikorupsi di beberapa negara Asia.
Artikel singkat ini disampaikan hampir sepenuhnya berdasarkan uraian
Quah dengan harapan kita bisa memanfaatkannya untuk menilai konflik
buaya versus cicak yang saat ini ramai di Indonesia.

Menurut Quah, korupsi merupakan persoalan serius di Singapura semasa
periode kolonisasi Inggris. Untuk menghadapi itu, pada 1871 diberlakukan
Penal Code of the Straits Settlements of Malacca, Penang and Singapore
yang menetapkan korupsi sebagai tindakan ilegal. Delapan tahun kemudian
semenjak aturan itu diberlakukan, sebuah komisi penyelidik didirikan
untuk menyelidik sebab-sebab inefisiensi yang dilakukan oleh Straits
Settlements Police Force. Komisi ini untuk pertama kalinya akhirnya
menemukan bahwa korupsi telah merajalela di kalangan inspektur
berkebangsaan Eropa serta prajurit-prajurit berkebangsaan Malaysia dan
India. Sementara itu, sebuah komisi penyelidik yang dibentuk pada 1886
untuk menyelidiki fenomena mewabahnya perjudian juga menemukan korupsi
yang sistematis di kalangan polisi di Singapura dan Penang. Penelitian
Quah menemukan, dari 172 kasus yang dilaporkan antara 1845 dan 1921,
kasus korupsi terbesar adalah penyuapan (63 persen). Pada 1937,
undang-undang antikorupsi pertama (Prevention of Corruption
Ordinance/POCO) diberlakukan di Singapura, Malaka, dan Penang.

Memasuki era penjajahan Jepang, korupsi makin tak tertanggulangi.
Tingginya inflasi di zaman itu menyebabkan banyak pegawai kecil sulit
hidup di bawah gaji rendah. Akibatnya, suap, pasar gelap, nepotisme,
serta korupsi menjadi mekanisme umum dan dianggap sebagai jalan keluar
untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan.

Keadaan berubah ketika, pada 1950, Komisioner Polisi J.P.
Pennefather-Evans melaporkan bahwa korupsi makin merajalela di kalangan
pemerintahan. Laporan ini diikuti dengan laporan ketua Anti-Corruption
Branch (ACB) di bawah Criminal Investigation Department, yang menegaskan
memburuknya gejala korupsi. Laporan-laporan ini mendorong dilakukannya
evaluasi terhadap ACB yang diikuti dengan tuntutan dari seorang anggota
parlemen supaya ACB dilepas dari kepolisian dan diperluas kewenangannya.
ACB yang berada di bawah kepolisian dianggap tidak efektif karena tiga
alasan.

Pertama, karena ia terlalu kecil sehingga tidak sebanding dengan kasus
yang melibatkan "orang-orang besar" di kalangan polisi dan pemerintah.
Kedua, karena berada di bawah kepolisian, korupsi tidak dianggap
kejahatan yang butuh prioritas. Ketiga, yang paling penting, korupsi
sendiri sudah mewabah di kalangan polisi kolonial Singapura.

Pada Oktober 1951, sebuah muatan berisi 1.800 pon opium dicuri oleh
sebuah gerombolan. Sebuah tim penyelidik yang dibentuk pemerintah
kolonial Inggris menemukan keterlibatan tiga detektif dan keterlibatan
polisi dalam melindungi kejahatan tersebut. Skandal opium ini akhirnya
menyadarkan pemerintah kolonial untuk membentuk badan antikorupsi yang
independen dan lepas dari kepolisian. Akhirnya, pada 1952, Corrupt
Practises Investigation Bureau (CPIB) yang independen dibentuk dan
menggantikan ACB hingga sekarang.

Dari pengalaman, di Hong Kong, konflik antara polisi dan badan
antikorupsi juga terjadi pada masa awal pertumbuhan lembaga tersebut.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, dalam upaya membendung wabah
korupsi, pemerintah kolonial Inggris memberlakukan Ordinasi Pencegahan
Korupsi atau Prevention of Corruption Ordinance (POCO) pada 1948 di Hong
Kong--ordinasi serupa yang sebelumnya mereka terapkan untuk memberantas
korupsi di Singapura. Melalui ordinasi itu, pemerintah juga membentuk
Anti-Corruption Body sebagai bagian dari Criminal Investigation
Department di Markas Besar Kepolisian Hong Kong.

Dengan demikian pada awalnya, Badan Antikorupsi Hong Kong memang
merupakan sebuah biro investigasi di dalam kepolisian. Badan ini
memiliki dua kewenangan, yakni penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus
korupsi. Pada 1952, Badan Antikorupsi Hong Kong dilepaskan dari Criminal
Investigation Department menjadi badan tersendiri, tapi masih di bawah
kepolisian. Pada masa itu, badan ini dikenal mandul dan tak bergigi. Ini
dibuktikan dari minimnya jumlah kasus yang dibawa ke pengadilan, yakni
antara 2 dan 20 kasus per tahun.

Pada 1968, ACB berinisiatif memperkuat statusnya di dalam POCO dan
mengirim sebuah tim ke Singapura untuk studi perbandingan. Tim ini
terpesona oleh keberhasilan Badan Antikorupsi Singapura (CPIB) dan
terinspirasi oleh independensi badan tersebut dari kepolisian. Namun,
pihak kepolisian Hong Kong menolak hasil tim itu dan mementahkan
rekomendasi untuk memisahkan Badan Antikorupsi dari kepolisian.
Walhasil, badan ini hanya diberi tambahan sumber daya manusia, namun
tetap di bawah polisi.

Pada 8 Juni 1973, Kepala Polisi Chief Superintendent Peter R. Godber,
yang saat itu tersangka korupsi, melarikan diri ke Inggris. Kaburnya
Godber memicu kemarahan publik. Pemerintah merespons kemarahan itu
dengan menunjuk seorang hakim, yakni Sir Alastair Blair-Kerr, untuk
membentuk sebuah komisi buat menginvestigasi latar belakang kasus
tersebut. Hasilnya, Blair-Kerr mengungkap tidak hanya kasus korupsi,
tapi juga keterlibatan sindikat dan kekerasan dalam kasus itu. Akhirnya,
enam bulan setelah laporan Blair-Kerr itu, Gubernur Hong Kong Sir Murray
MacLehose, di bawah tekanan publik, menerima rekomendasi komisi
Blair-Kerr untuk mendirikan sebuah badan antikorupsi yang benar-benar
independen dan terpisah dari kepolisian (Robert Harris, 2003, /Political
Corruption: In and Beyond the Nation State/, London: Routledge Pub).
Pada Februari 1974, Hong Kong akhirnya memiliki Independent Commission
Against Corruption (ICAC) yang benar-benar independen dan kuat hingga
sekarang.

Dari uraian pengalaman dua negara di atas, kita ketahui bahwa konflik
antara badan antikorupsi dan polisi adalah fenomena yang tak
terhindarkan. Dalam kasus Singapura, badan antikorupsi yang kuat dan
independen diadakan secara sadar justru untuk memberantas praktek
korupsi di kalangan kepolisiannya. Adapun di Hong Kong, meski sempat
dirongrong kredibilitasnya dan jatuh-bangun pendirian legalnya, dengan
dukungan publik dan kemauan pemerintah, badan antikorupsi yang kuat dan
independen masih bekerja hingga sekarang.

Menurut Jeremy Pope dari Transparency International, dalam pengalaman di
berbagai negara, banyak badan antikorupsi timbul-tenggelam, bahkan gagal
dan mati ketika mesti berhadapan dengan korupsi sistematis yang
melibatkan kelompok-kelompok kuat dalam negara demokrasi yang baru. Dari
pengalaman dua negara di atas, kita mengetahui ujian pertama atas nasib
dan masa depan setiap badan antikorupsi adalah konfliknya dengan
kepolisian. Dengan meninjau pengalaman ini, maka jelaslah, apabila kita
memang setia kepada mandat reformasi, kita mesti menyelamatkan Komisi
Pemberantasan Korupsi dari musuh klasiknya ini terlebih dulu.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/10/06/Opini/krn.20091006.178152.id.html
Share this article :

0 komentar: