Teror Itu
Jika bom itu tak hanya mengejutkan, tapi membuat kita marah dan sedih,
jika beberapa orang bahkan menangis pagi itu, ketika dua ledakan
membunuh sembilan orang dan melukai entah berapa lagi di Hotel Ritz-
Carlton dan JW Marriott di Jakarta, apa sebenarnya yang terjadi? Saya
tak tahu persis jawabnya. Kematian dan luka-luka itu mengerikan, tapi
saya dengarkan percakapan, saya baca pesan di HP, dan saya mungkin
bisa mengatakan bahwa kita marah, sedih, dan menangis karena tiba-tiba
kita menyadari, betapa terkait kita dengan sebuah tanah air: sebuah
negeri yang selama ini seakan-akan bisa diabaikan, atau hanya disebut
dalam paspor—sebuah Indonesia yang seakan-akan selamanya akan di sana
dan utuh tapi kini terancam—Indonesia yang dulu mungkin hanya menempel
direkatkan ke kepala karena pelajaran kewarganegaraan di sekolah,
karena pidato di televisi.
Ketika bom itu mengguncang kita, pagi tiba-tiba jadi lain. Pagi itu
kita merasa secara akut jadi bagian dari tubuh imajiner itu—justru
ketika tubuh itu dilukai. Tiba-tiba kita merasa berada di sebuah
perjalanan bersama yang dicegat dengan kasar dan seperti hendak
direnggutkan dari masa depan yang bisa memberi kita sedikit rasa
bangga. Tiba-tiba kita takut kita akan tak bisa mengatakan, ”Saya
datang dari sebuah negeri yang pelan-pelan membuat saya tidak malu
lagi.”
Teror itu akhirnya memusuhi sesuatu yang lebih berarti ketimbang apa
saja yang semula dimusuhinya—jika yang dimusuhi adalah ”Amerika”, atau
”Barat”, atau ”SBY”, atau ”demokrasi”, atau ”kehidupan sekuler”, atau
apa pun. Ketika kita merasa seperti kehilangan sebuah republik yang
dibangun bersama—dengan segala variasi yang tumbuh dalam bangunan itu—
teror itu praktis memusuhi sebuah cita-cita sekian puluh juta manusia
yang bebas. Ia memusuhi Indonesia.
Pada momen itu, kita sebenarnya bisa berkata: kita akan melawan. Pada
saat itu, kita tahu, teror itu tak akan menang. Memang sejenak ia bisa
bikin gugup, menyebabkan reaksi yang berlebihan, juga dari seorang
presiden yang biasanya tenang. Tapi bom itu, teror itu, tak akan bisa
mendapat lebih dari itu.
Di zaman ini, para teroris memerlukan pentas dan penonton. Ada
panggung untuk mempertunjukkan akrobatik mereka. Ada penonton yang
menyaksikannya dan merasakan dampaknya ke dalam hidup mereka, sejenak
ataupun lama. Kengerian, kebuasan, dan kenekatan itu adalah bagian
dari spectacle itu, seperti dalam sirkus. Tapi, apa sesudah itu?
Kita ingat 11 September 2001: sebuah pertunjukan spektakuler dengan
pentas yang kolosal: dua pesawat berpenumpang penuh ditabrakkan ke dua
gedung pencakar langit di Kota New York, pada sebuah pagi yang cerah.
Sekitar 3.000 orang tewas. Teror adalah sebuah show dan sekaligus
statemen. Tapi statemen itu tidak pernah jadi jelas, juga bagi jutaan
penonton. Efeknya mengharu biru, tapi ia tak menyebabkan sang musuh
(”Amerika”) bertobat atau runtuh. Teror akhirnya bukanlah untuk
menggerakkan dukungan yang konsisten untuk perubahan. Teror tak punya
daya transformatif. Teror bukan sebuah revolusi.
Dan ia juga tak bisa mengelak dari ”the law of diminishing return”.
Tiap pertunjukan yang ingin menarik perhatian akan sampai pada suatu
titik, di mana ia tidak bisa lagi jadi rutin. Ketika ia jadi rutin,
diulang berkali-kali tanpa hasil yang berarti, kecuali membunuh
sejumlah orang tak bersalah (bahkan ia tak bisa berpanjang-panjang
membuat gentar), ia kehilangan lagi tujuannya.
Bahkan ia bisa kehilangan kejutnya. Dalam film Brazil Terry Gilliam,
horor dan komedi bersatu. Adegan dimulai dengan sebuah etalase dan
iklan televisi yang menawarkan pipa penghangat ruang. Seorang
perempuan lewat dan sejenak, sebelum sebuah bom meledak. Tapi tak ada
jerit. Tak ada sirene. Yang terdengar melodi Aquerela do Brasil dari
Ary Barroso yang riang dan ringan. Teror telah demikian jadi bagian
dari hidup sehari-hari dari sebuah kota yang terletak di sebuah zaman
entah berantah. Dalam film tentang kekerasan selama 13 tahun itu (yang
disebut oleh seorang pejabat sebagai ”keberuntungan sang pemula”) kita
tidak tahu lagi apa sebenarnya yang diperjuangkan Archibald ”Harry”
Turtle, sang superteroris, yang dalam film cuma muncul sejenak. Teror
telah jadi seperti ”seni untuk seni”.
Kita belum sampai ke tingkat seperti komedi hitam Terry Gilliam, di
mana yang seram dan yang sehari-hari membentuk sebuah dunia yang
ganjil. Tapi agaknya para teroris akan mulai terbentur pada
pertanyaan: apakah yang mereka lakukan sebenarnya—sebuah pertunjukan
teror untuk teror? Sebuah pameran kepiawaian menghilangkan jejak,
merancang operasi di tengah kesulitan, dan tak lebih dari itu?
Saya kira tak lebih dari itu. Dan ketika pertunjukan buas yang
kehilangan tujuan itu berhadapan dengan sesuatu yang lebih berharga—
sebuah harapan, sebuah ikhtiar untuk sebuah negeri yang aman dan
demokratis—kita tahu siapa yang akan menang. Kita. Indonesia.
Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/07/20/CTP/mbm.20090720.CTP130902.id.html
Teror Itu
Written By gusdurian on Senin, 20 Juli 2009 | 12.01
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar