BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pembusukan Otonomi Daerah

Pembusukan Otonomi Daerah

Written By gusdurian on Kamis, 26 Maret 2009 | 12.15

Pembusukan Otonomi Daerah


Oleh Achmad Maulani

SKANDAL korupsi terus saja dipertontonkan dengan telanjang di depan mata baik oleh wakil rakyat di tingkat pusat maupun daerah. Korupsi di negeri ini benar-benar telah menjadi penyakit kronis dan akut. Setiap hari kita disodori berita tentang banyak kasus korupsi atas anggaran negara di pusat maupun daerah. Gerakan antikorupsi yang baru saja dideklarasikan oleh partai-partai politik seakan hanya lipstik belaka.

Yang lebih ironis, kasus korupsi atas anggaran negara ternyata tidak hanya terjadi dipusat, tetapi terjadi hampir merata di beberapa daerah. Pertanyaan gugatan yang layak kita ajukan: dengan deretan kasus korupsi di beberapa daerah, tidakkah betul tesis yang mengatakan pada era otonomi daerah locus korupsi ternyata tidak hanya terjadi di pusat tetapi juga menjalar ke daerah?

Kemarakan kasus-kasus korupsi yang melibatkan keuangan daerah, terutama Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) jelas sangat ironis di tengah impitan hidup masyarakat, kemiskinan, serta angka penanggguran yang telah sampai di titik yang mengkhawatirkan. Kasus-kasus korupsi tersebut juga menjadi bukti telah terjadi pembajakan makna desentralisasi sekaligus potret akan kedefisitan pelaksanaan otonomi daerah yang dengan susah payah mulai dibangun.

Kita mafhum desentralisasi politik yang saat ini tengah berjalan memang telah membalik arah seluruh logika kekuasaan secara sangat cepat dan mengurangi kekuasaan pusat secara amat signifikan. Konsekuensi dari kondisi tersebut, lahirlah kompleksitas persolaan yang luar biasa dalam spketrum otonomi daerah. Sebagian adalah persoalan-persoalan lama yang belum tuntas. Sebagian merupakan persoalan baru.

Salah satu persoalan baru yang muncul terkait hubungan keuangan pusat dan daerah. Di sinilah letak persoalannya. Di tingkatan daerah, masih terdapat persoalan akuntabilitas dan responsibilitas pengelolaan keuangan serta belum terbentuk sistem yang sempurna untuk memastikan setiap sen uang rakyat dikelola secara betanggung jawab oleh pemerintah daerah.

Dalam beberapa kasus korupsi di beberapa daerah yang banyak menyeret elite pemerintah, baik kalangan anggota dewan maupun birokrat, porsi terbesar penyelewengan selalu saja terjadi pada pos APBD. Pertanyaannya: mengapa lubang hitam korupsi sering terjadi di wilayah ini?

Pemain Utama
Ada beberapa hal yang cukup bisa menjelaskan fenomena ini. Pertama, pemberlakuan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menempatkan badan legistaif daerah menjadi pemain utama dalam melahirkan beberapa kebijakan daerah. Melalui kekuasaan yang secara faktual melampaui eksekutif itulah, ia menjadi penentu wajah kebijakan.

Begitu besar kekuasaan yang dimiliki oleh DPRD berkecenderungan melahirkan penyimpangan kekuasaan. Penyimpangan biasanya terjadi di seputar persoalan APBD. Entah itu yang berkenaan dengan tarik ulur lolos tidaknya APDB yang diajukan eksekutif, pos-pos anggaran dalam APBD untuk kalangan DPRD sendiri, ataupun soal berbagai proyek yang dibiayai APBD.
Kedua, kecenderungan penyimpangan kekuasaan tersebut semakin diperparah dengan tidak adanya pengawasan atas lembaga ini. Dengan demikian maka praktis DPRD menjadi lembaga pengawas yang bebas kontrol.
Ketiga, berkaitan dengan penataan politik lokal. Otonomi daerah pada dasarnya hadir untuk menjadi ruang atau gelanggang baru bagi dinamika politik lokal. Gelanggang baru ini jelas membutuhkan aktor baru agar dapat berfungsi maksimal. Tapi problemnya, regulasi politik di Indonesia belum mampu menciptakan mekanisme perekruta politik yang mampu melahirkan aktor yang memiliki kemampuan memadai untuk mengelola kekuasaan secara baik dan bertanggung jawab.

Tanpa komitmen kuat untuk membabat habis perilaku korupsi, dikhawatirkan
otonomi hanya akan mengalami defisit dan pembusukan. Dan pada titik itulah
pembajakan demokrasi sedang terjadi.

Beberapa fenomena di atas jelas tidak bisa dianggap sebagai alasan untuk membenarkan apalagi memaafkan perilaku korupsi baik yang dilakukan kalangan dewan maupun para birokrasi pemerintahan. Hal tersebut tak urung justru telah mencoreng wajah desentralisasi dan pembusukan atas jalannya otonomi daerah.

Karena itu, meminjam argumentasi yang dikatakan Diamond (1999), yang sangat mendesak serta diperlukan saat ini adalah diterapkannya nilai-nilai keterampilan berdemokrasi dalam mengelola anggaran negara. Salah satunya adalah dengan meningkatkan akuntabilitas dan pertanggungjawaban publik dalam penyelenggaraan negara, serta mendorong pewujudan cheks and balance dalam kekuasaan.

Pembenahan
Potret kemarakan korupsi pada era otonomi daerah ini juga menunjukkan telah terjadi problem dalam pembenahan aparatur birokrasi. Beberapa kebijakan yang telah lahir, seperti Tap MPR RI XI/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi; UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ternyata tidak cukup mempan dan ampuh untuk membendung kasus-kasus korupsi yang kian marak justru setelah otonomi diberlakukan. Berkaca dari itu semua maka sudah saatnya lembaga-lembaga negara di daerah (local-state auxiliary agencies) harus benar-benar menjadi lembaga kontrol yang efektif. Begitupun masyarakat juga harus menjadi pengendali atas perilaku anggota dewan yang dapat mengancam dan menggerus hak-hak masyarakat.

Seperti pernah ditulis Marion (2000) otoritas yang begitu besar yang dimiliki anggota dewan sebagai penentu kebijakan harus terus dikontrol dan dipastikan ia dijalankan untuk fungsi keterwakilan, bukan untuk kepentingan para anggota. Itu artinya proses-proses politik yang hanya terlokalisasi pada sekelompok kecil elit saja harus mulai dikikis karena sangat rentan dengan peyimpangan. Tanpa mekanisme kontrol yang memadai, otonomi daerah dikhawatirkan hanya akan menjadi ruang bagi petualang-petualang politik lokal untuk mengail keuntungan besar di tengah himpitan masyarakat menghadapi berbagai persoalan hidup yang kian mencekik.

Beragam kasus koruspi di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan baik oleh kalangan dewan, pusat dan daerah, maupun pejabat pemerintah kiranya cukup menjadi bukti terjadinya pembajakan makna otonomi daerah. Tanpa komitmen kuat untuk membabat habis perilaku korupsi, dikhawatirkan otonomi hanya akan mengalami defisit dan pembusukan. Dan pada titik itulah pembajakan demokrasi sedang terjadi. (35)

–– Achmad Maulani, peneliti Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

http://suaramerdeka.com/
Share this article :

0 komentar: