BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menggugat Seleksi Calon Anggota BPK

Menggugat Seleksi Calon Anggota BPK

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 12.38

Menggugat Seleksi Calon Anggota BPK

Hampir tidak ada yang mengetahui bahwa pada 20–23 April 2009 kemarin,
Komisi XI DPR telah menyelesaikan tahap pendaftaran calon anggota Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sejalan dengan wewenang yang dimilikinya,DPR cqKomisi XI memang diberi
mandat oleh UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK, khususnya Pasal 14,untuk
menyelenggarakan seleksi calon anggota BPK. Bukan hanya atas dasar UU
BPK, wewenang DPR juga diperkuat dengan konstitusi,yakni Pasal 23 huruf
F ayat (1) UUD 1945 hasil amendemen.

Hanya saja seleksi calon anggota BPK yang diselenggarakan Komisi XI
memiliki perbedaan dibandingkan dengan metode pemilihan pejabat publik
lain di tingkat komisi independen seperti KPU, KPK,KPPU,Komnas HAM.
Pasalnya, dalam seleksi calon anggota BPK, tidak ada klausul yang
mempersyaratkan mekanisme pembentukan panitia seleksi (pansel) yang
biasanya menjadi otoritas presiden (eksekutif).

Pada pemilihan calon anggota BPK,mulai dari tahapan awal hingga
menentukan anggota terpilih seluruhnya menjadi wewenang Komisi XI DPR.
Tepatnya pada 20 Oktober 2009 mendatang, tujuh anggota BPK dari total
sembilan anggota telah habis masa tugasnya.

Sesuai dengan UU BPK, enam bulan sebelum memasuki waktu pensiun, BPK
harus memberitahukan kepada Komisi XI DPR supaya proses seleksi segera
dipersiapkan. Oleh karena itu,pada April 2009,Komisi XI telah melakukan
tahapan awal seleksi berupa pendaftaran bagi para pelamar.

Tertutup dan Tidak Akuntabel

Pada titik ini,masalah tahapan seleksi muncul.Hal tersebut dipicu oleh
proses pendaftaran yang bisa dibilang sangat tertutup dan cenderung
mengabaikan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan seleksi. Gejala
ini setidaknya sudah nampak ketika Komisi XI DPR secara diam-diam sudah
membuat iklan layanan masyarakat di satu koran nasional dan websiteresmi
DPR yang isinya mengundang masyarakat luas untuk mendaftarkan diri
sebagai calon anggota BPK.

Pengumuman yang disampaikan terkesan sangat minimalis. Dampaknya
informasi tersebut tidak mendapatkan respons yang cukup luas dari
masyarakat.Hanya dengan dua sarana iklan di atas, sudah bisa dipastikan
hampir tidak ada yang mengetahui bahwa Komisi XI tengah membuka
pendaftaran calon anggota BPK.Terbukti, dari total pelamar yang masuk,
jumlahnya tak lebih dari 51 orang.

Oleh karena itu, tidak berlebihan jika mekanisme sosialisasi dan
diseminasi informasi mengenai seleksi calon anggota BPK yang dibuat
Komisi XI bisa dibilang hanya untuk memenuhi syarat formalitas. Dilihat
dari masa berlakunya pendaftaran, hal itu pun tidak masuk akal. Para
calon pelamar hanya diberi waktu tiga hari,yakni mulai 21 hingga 23
April 2009, untuk mengirimkan aplikasi lengkap kepada Sekretariat Komisi
XI.

Masalahnya, dalam UU BPK Pasal 13 disebutkan beberapa syarat sebagai
calon anggota BPK, di antaranya sehat jasmani dan rohani, tidak sedang
pailit, dan tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih.Untuk mengurus tiga
syarat administratif di atas,waktu tiga hari sangatlah mustahil.

Belum lagi jika pelamar berdomisili di luar Jawa dengan segala
keterbatasan akses informasi. Oleh karena itu, sangat naif jika Ketua
Komisi XI berdalih, masyarakatlah yang harus mencari informasi mengenai
seleksi calon anggota BPK.

Dengan media sosialisasi dan waktu pendaftaran yang sangat terbatas,
Komisi XI sepertinya sengaja membatasi akses pelamar yang mendaftar.Tak
aneh jika pada akhirnya, komposisi pelamar sebagian besarnya didominasi
anggota DPR sendiri (8 orang) dan para pejabat di BPK (9 orang). Hal ini
kian menguatkan dugaan bahwa proses seleksi calon anggota BPK untuk
periode 2009–2014 didesain agar hanya diisi oleh orang-orang dari DPR
dan BPK sendiri.

Lahirnya Masalah dalam Seleksi

Sesungguhnya proses seleksi calon anggota BPK yang demikian tertutup
akan menimbulkan beberapa implikasi serius yang bisa mengganggu kinerja
BPK sebagai lembaga pengawas keuangan negara ke depan. Bagaimanapun,
posisi BPK sangat strategis sebagai partner kerja bagi KPK dan aparat
penegak hukum lain dalam memberantas korupsi.

Dikhawatirkan proses seleksi yang mengabaikan prinsip transparansi,
akuntabilitas, dan partisipasi publik hanya akan menghasilkan anggota
BPK yang buruk. Masalah pertama yang bisa muncul adalah tidak
terpenuhinya kaidah norma hukum dan ketentuan yang menjadi landasan bagi
pelaksanaan seleksi itu sendiri.

Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa calon anggota BPK harus
memiliki integritas moral dan kejujuran. Berkaca pada mayoritas pelamar,
khususnya yang berlatar belakang politisi maupun mantan pejabat publik
lainnya,ditemukan indikasi cacat integritas.

Di antara pelamar ada yang diduga terkait kasus korupsi YPPI Bank
Indonesia, kasus pengadaan barang/ jasa di lingkungan BPK sendiri maupun
mereka-mereka yang pernah terlibat sebagai konseptor Peraturan
Pemerintah 37 Tahun 2006 mengenai uang tunjangan anggota DPRD yang
sempat menjadi skandal nasional.

Terakhir,dua pelamar BPK, yakni Endin Soefihara (anggota DPR dari fraksi
PPP) dan Udju Djuhaeri (anggota BPK),telah ditetapkan sebagai tersangka
oleh KPK dalam kasus dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI.

Demikian halnya, ada satu syarat penting sebagai calon anggota BPK di
mana mereka yang mendaftar paling singkat dua tahun harus sudah
menanggalkan jabatan sebagai pejabat pengelola anggaran negara. Mengacu
pada syarat ini, banyak di antara pelamar yang tidak memenuhi syarat
karena sebagian masih menjabat sebagai pengelola anggaran negara.

Sangat mungkin mekanisme seleksi yang diam-diam itu untuk mengantisipasi
adanya pengawasan publik terkait dengan pemenuhan syarat administrasi
calon. Masalah berikutnya adalah timbul konflik kepentingan, baik dari
sisi penyelenggara seleksi maupun para pelamar.Problem ini berkait
kelindan dengan mekanisme seleksi yang tertutup.

Sangat sulit menjaga objektivitas dan potensi benturan kepentingan di
Komisi XI karena sebagian pelamar yang masuk adalah anggota DPR sendiri.
Ketertutupan dan ketergesagesaan proses seleksi juga telah memicu
ketimpangan informasi antara anggota DPR atau pejabat BPK yang sudah
mengetahui jauhjauh hari akan ada proses seleksi anggota BPK dengan
masyarakat umum yang ingin melamar sebagai calon anggota BPK.

Proses seleksi semacam ini hanya menguntungkan anggota DPR dan pejabat
BPK. Terbukti,di antara 51 pelamar yang masuk ke penyelenggara seleksi,
sebagian besarnya adalah anggota DPR dan pejabat di BPK. Oleh karena
itu,sudah selayaknya proses seleksi calon anggota BPK diulang kembali
agar memberikan peluang bagi masyarakat luas untuk ikut
mendaftar,mengawasi, dan memberikan masukan terhadap latar belakang calon.

Proses seleksi yang sekarang berjalan tidak dapat dipertahankan karena
sudah cacat prosedur mengingat prinsip dan asas transparansi,
akuntabilitas, dan partisipasi publik sangat diabaikan.Komisi XI jangan
berjudi dengan masa depan BPK karena berarti hal itu merupakan langkah
mundur bagi upaya pemberantasan korupsi.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator
Indonesia Corruption Watch (ICW)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/248044/
Share this article :

0 komentar: