BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Memperluas Visi Hak Asasi Manusia

Memperluas Visi Hak Asasi Manusia

Written By gusdurian on Kamis, 26 Maret 2009 | 12.13

Memperluas Visi Hak Asasi Manusia

“Hak asasi manusia adalah esensi dari nilai spiritual dan akal budi yang merupakan ciri khas umat manusia,perwujudan dari kualitas teragung manusia.”


Itulah kata-kata bermakna mendalam dari Austregésilo deAthayde,PresidenAkademi Sastra Brasil,salah seorang peserta aktif dalam proses penyusunan naskah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Dalam kesempatan ini, saya ingin mengajak kita semua merenungi penegakan HAM dalam segala sendi kehidupan. Sudah 60 tahun lebih dunia mengadopsi DUHAM. Prinsip-prinsip HAM telah dituangkan dalam bentuk berbagai instrumen HAM internasional dan lebih jauh telah diabadikan dalam konstitusi banyak negara.

Deklarasi tersebut berdiri sebagai mercusuar dalam perjuangan umat manusia untuk HAM. HAM juga menjadi salah satu dasar yang dijunjung tinggi dalam suatu negara demokratis. Akan tetapi, kenyataan sekarang ini,orang-orang di banyak tempat di seluruh dunia telah dirampas hak asasi dan kebebasan dasarnya serta menderita di bawah penindasan.

Selain konflik bersenjata di berbagai wilayah,kemiskinan serta kekurangan pangan,air minum,dan persediaan obat-obatan yang ekstrem telah menelan hampir 24.000 nyawa setiap harinya. Kebencian dan ketamakan telah mendorong banyak orang untuk menindas kepentingan orang lain. Masalahnya mulai dari kepentingan politik, ekonomi, ideologi hingga agama.

Kita perlu menguatkan kembali akar nilai-nilai HAM dalam diri dan juga kehidupan bernegara kita serta dalam konteks kehidupan global yang borderless. Jangan pula jadikan HAM hanya sebagai seremoni belaka yang diperingati tiap tanggal 10 Desember. Dalam rangka itu pulalah saya berbicara mengenai HAM di sini. HAM adalah isu day to day kita yang harus mendapat perhatian sama besarnya dengan kepentingan politik atau ekonomi. ***

Dalam tradisi Asia Timur, usia yang telah melewati 60 tahun menandakan selesainya suatu sikluskehidupan, sebuahkesempatan untuk merefleksi dan memprediksi kembali. Pada fase ini kematangan seharusnya sudah terwujud. Yang penting sekarang adalah meningkatkan kesadaran akan HAM untuk kembali sekali lagi pada semangat saat DUHAM diciptakan dan memastikan bahwa seluruh dunia memperdalam komitmen mereka untuk menghidupkan HAM.

Kitajugaperlumemastikan bahwa HAM ditempatkan pada inti dari kerangka normative yang digunakan umat manusia. Inti dari DUHAM terdiri atas “HAM generasi pertama” –yang terutama sangat terkait dengan hak sipil dan hak politik– dan “HAM generasi kedua”—hak ekonomi dan hak sosial.

Sejak DUHAM diumumkan dan dengan pencapaian kemerdekaan oleh negara-negara di Afrika serta Asia di paruh kedua abad ke-20, perhatian yang semakin meningkat telah diberikan pada “hak asasi manusia generasi ketiga”–hak yang dinamakan solidaritas yang mencakupi hak untuk berkembang, hak untuk suatu lingkungan yang sehat dan aman, hak untuk perdamaian dan hak untuk mengakses warisan bersama umat manusia.

Dua tren menjadi jelas ketika kita meninjau sejarah hak asasi manusia.Pertama, perubahan dari sebuah pendekatan reaktif untuk melindungi orang-orang dari penganiayaanhakasasimanusiamenjadi sebuah pendekatan yang lebih proaktif berupa keterlibatan dalam mewujudkan sebuah kehidupan dan masyarakat yang lebih baik.

Kedua,perubahan dari suatu fokus pada hak-hak individu yang terisolasi menjadi penekanan yang lebih luas dan inklusif pada solidaritas manusia dan hidup berdampingan yang kreatif dengan lingkungan. Pada akhirnya, janji hak asasi manusia hanya dapat dipenuhi melalui perkembangan dari suatu spiritualitas kaya yang berakar pada sikap menghormati kehidupan orang lain dan kepedulian sepenuh hati pada lingkungan alam.

Adalah dengan mengambil tindakan demi orang lain, demi masyarakat, dan demi generasi mendatang barulah manusia dapat memahami pentingnya kita dilahirkan di dunia ini dan merasakan kepuasan serta kebahagiaan sejati. Ini juga merupakan makna sejati dari pernyataan Athayde. ***

Berdasarkan pemahaman Buddhis atas saling ketergantungan, tidak ada apa pun di dunia ini yang dapat berada dalam isolasi. Kita berada dalam suatu jaringan hubungan yang saling mendukung dan saling menopang. Dalam pengertian ini, umat manusia adalah sebuah keluarga, saling terhubung melalui “samudera kehidupan”, yaitu planet bumi.

Usaha apa pun untuk membangun kebahagiaan personal dan bermasyarakat yang tumbuh di atas penderitaan orang lain tidak dapat berhasil dalam jangka waktu yang lama. Lebih dari 100 tahun yang lalu, presiden pertama Soka Gakkai, Tsunesaburo Makiguchi (1871– 1944) –pendiri pendidikan Soka–, meneliti perkembangan masyarakat internasional dan menyerukan kepada dunia untuk berpindah dari bentuk kompetisi militer, politik, dan ekonomi ke suatu era “kompetisi kemanusiaan”.

Ini dapat dipahami sebagai sebuah seruan untuk suatu perubahan dalam pemahaman kita akan nilai, menjadi suatu perjuangan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan diri sendiri dan orang lain. Dunia kita sekarang ini menghadapi masalah-masalah yang belum pernah ada sebelumnya seperti krisis lingkungan dan keuangan.

Tanpa sebuah solidaritas global dan sebuah komitmen sadar terhadap hidup berdampingan yang damai baik dalam masyarakat manusia sendiri maupun dengan sistem kehidupan yang menunjang kita menjadi semakin jelas bahwa tidak ada masa depan bagi kita.

Kita telah tiba pada suatu titik di mana setiap orang dari kita perlu berjuang dalam cara unik masingmasing untuk memberikan kontribusi terbesar yang dapat kita berikan bagi terwujudnya HAM. Rosa Parks, ibu HAM di Amerika Serikat, pernah berbicara mengenai nasihat yang dia terima dari ibunya: ”Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk menghormati diri sendiri.

”Beliau berkata,”Tidak ada hukum yang mengatakan bahwa rakyat harus menderita.”Dia menekankan bahwa bukan hanya penting untuk menghormati orang lain, tetapi penting juga untuk menjadi orang yang dihormati orang lain. Memberikan kontribusi kepada orang lain, bekerja demi orang lain bukanlah masalah tanggung jawab. Bukan pula sekadar masalah moralitas.

Kedua hal itu adalah puncak tertinggi dari kehidupan kita sebagai manusia. Sebagaimana dapat secara kuat ditegaskan oleh para ibu di seluruh dunia yang menghargai kehidupan, mampu berkontribusi untuk kebahagiaan orang lain sesungguhnya adalah sebuah HAM.

Berkontribusi pada orang lain membuka jalan pada nilai yang lebih besar daripada pencarian kepemilikan materi. Inilah jalan menuju penumbuhan dan pemekaran dunia hati manusia yang tidak terduga. Marilah kita bersama-sama menumbuh-mekarkan kepedulian terhadap sesama dan penghargaan terhadap HAM dalam setiap sendi kehidupan kita.(*)

Daisaku Ikeda
Presiden Soka Gakkai Internasional


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/224091/
Share this article :

0 komentar: