Kebudayaan yang Memfasilitasi Terorisme
KEBUDAYAANkita sebenarnya sudah mengakrabi teror.Teror adalah kengerian, kegentaran lantaran berhadapan dengan sesuatu yang alih-alih bisa diatasi, justru tidak dikenali.
Karena tidak mengenal itu kengerian semakin padat dan memecah kebudayaan dalam dua kemungkinan: order atau disorder.Pada kurun awal manusia mengupayakan kebudayaan, alam selalu menjadi teror, sumber kekaguman (dan karenanya mitos berkembang) sekaligus ketakutan. Pada banyak hal, kita berhasil meminggirkan sumber teror.Alam tidak selalu menjadi teror,nature(yang alamiah) telah diubah menjadi nurture (budaya).Apa yang dulu dianggap teror: letusan vulkanik,guncangan tektonik,air bah; kini telah dikenali, terprediksi, terpahami, sehingga order mampu diupayakan meski berhadapan dengan hal-hal itu. Kebudayaan kita sebenarnya telah memfasilitasi setiap potensi terorisme dengan merawat gagasan-gagasan final, absolut, dan otoritarian, yang bersembunyi di balik gagasan- gagasan egalitarian, moderat, dan diskursif.Sebagai contoh,sebutlah terorisme atas dasar interpretasi final atas agama.Kita umumnya membenci terorisme,namun nyatanya ia mampu bersembunyi di balik sikap-sikap egalitarian. Artinya, kita bersepakat itu sebuah kejahatan, namun enggan menyalahkan peranti final agama sebab banyak orang mempraktikkan agama secara moderat.Kebudayaan kita terus-menerus memberi toleransi meski pada saat yang bersamaan hukum positif ditegakkan. Saya kira,sangat sulit untuk mengidentifikasi terorisme pada satuan partikulasi masyarakat tertentu.Satu-satunya yang nyata adalah potensi itu sendiri.Potensi itu berada di dalam budaya yang dianggap final,otoritarianistik,
absolut, yang dirawat di dalam semangat militansi. Satu-satunya peluang masuk akal untuk mengeliminasi potensi teror adalah dengan mengupayakan kebudayaan yang diskursif, egaliter, hospitality, tidak final. Kebudayaan diskursif selalu membuka diri pada komunikasi efektif, rasional, bebas, dan meniadakan klaim-klaim final.Kebudayaan semacam ini bisa difasilitasi oleh instalasi politik yang bebas: liberalisme. Sebab, kembali pada primordialisme yang mengental dan yang difasilitasi politik, hanya akan memperbesar kebekuan finalitas. Dan finalitas selalu menutup dialog.Artinya,satu-satunya cara untuk meyakinkannya pada orang lain adalah dengan teror.(*) Herdito Sandi Pratama, Mahasiswa Filsafat, FIB Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/193305/
KEBUDAYAANkita sebenarnya sudah mengakrabi teror.Teror adalah kengerian, kegentaran lantaran berhadapan dengan sesuatu yang alih-alih bisa diatasi, justru tidak dikenali.
Karena tidak mengenal itu kengerian semakin padat dan memecah kebudayaan dalam dua kemungkinan: order atau disorder.Pada kurun awal manusia mengupayakan kebudayaan, alam selalu menjadi teror, sumber kekaguman (dan karenanya mitos berkembang) sekaligus ketakutan. Pada banyak hal, kita berhasil meminggirkan sumber teror.Alam tidak selalu menjadi teror,nature(yang alamiah) telah diubah menjadi nurture (budaya).Apa yang dulu dianggap teror: letusan vulkanik,guncangan tektonik,air bah; kini telah dikenali, terprediksi, terpahami, sehingga order mampu diupayakan meski berhadapan dengan hal-hal itu. Kebudayaan kita sebenarnya telah memfasilitasi setiap potensi terorisme dengan merawat gagasan-gagasan final, absolut, dan otoritarian, yang bersembunyi di balik gagasan- gagasan egalitarian, moderat, dan diskursif.Sebagai contoh,sebutlah terorisme atas dasar interpretasi final atas agama.Kita umumnya membenci terorisme,namun nyatanya ia mampu bersembunyi di balik sikap-sikap egalitarian. Artinya, kita bersepakat itu sebuah kejahatan, namun enggan menyalahkan peranti final agama sebab banyak orang mempraktikkan agama secara moderat.Kebudayaan kita terus-menerus memberi toleransi meski pada saat yang bersamaan hukum positif ditegakkan. Saya kira,sangat sulit untuk mengidentifikasi terorisme pada satuan partikulasi masyarakat tertentu.Satu-satunya yang nyata adalah potensi itu sendiri.Potensi itu berada di dalam budaya yang dianggap final,otoritarianistik,
absolut, yang dirawat di dalam semangat militansi. Satu-satunya peluang masuk akal untuk mengeliminasi potensi teror adalah dengan mengupayakan kebudayaan yang diskursif, egaliter, hospitality, tidak final. Kebudayaan diskursif selalu membuka diri pada komunikasi efektif, rasional, bebas, dan meniadakan klaim-klaim final.Kebudayaan semacam ini bisa difasilitasi oleh instalasi politik yang bebas: liberalisme. Sebab, kembali pada primordialisme yang mengental dan yang difasilitasi politik, hanya akan memperbesar kebekuan finalitas. Dan finalitas selalu menutup dialog.Artinya,satu-satunya cara untuk meyakinkannya pada orang lain adalah dengan teror.(*) Herdito Sandi Pratama, Mahasiswa Filsafat, FIB Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/193305/