BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Otonomi Pangan dan Desentralisasi Komoditas

Written By gusdurian on Jumat, 04 Mei 2012 | 22.10

Oleh: Indra Yudhika Indra Yudhika Zulmi Mahasiswa Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Otonomi pangan dan desentralisasi komoditas dengan perangkat kewenangan secara otonom akan mampu menjamin ketersediaan pangan suatu daerah. Perangkat kelembagaan masyarakat juga efektif dalam mengawasi kelestarian lingkungan." TIGA isu yang menjadi sorotan dunia saat ini ialah pangan, energi, dan kelestarian lingkungan. Ketiga isu tersebut menyangkut kelangsungan hidup manusia. Isu itu menjadi kompleks karena bersinggungan satu sama lain, tarikmenarik, dan berada pada satu titik tumpu, yaitu pertanian. Oleh karena itu, sebuah strategi yang tepat, menyeluruh, dan berkelanjutan diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan pangan. Tantangan dan persoalan pangan tidak hanya bertumpu pada orientasi fisik, penyediaan, dan harga pasar, tetapi juga terkait dengan nilai-nilai budaya, sosiologis, dan karakteristik masyarakat suatu daerah. Secara nasional, kebijakan sen tralistis mungkin akan berhasil terhadap suatu pencapaian, tetapi belum tentu pada tingkat daerah. Pada 1984, saat Indonesia mencapai swasembada beras, apakah juga diikuti swasembada beras di seluruh pelosok Tanah Air? Bagaimana ketersediaan komoditas lain? Apakah pencapaian tersebut berkelanjutan? Suatu hal yang pasti, pencapai an tersebut menyebabkan degradasi lahan yang masih kita rasakan hingga saat ini. Mengapa otonomi? Otonomi pangan merupakan kewenangan daerah untuk menentukan kebijakan strategis terkait dengan persoalan pangan di daerah administratifnya. Kebijakan tersebut mencakup kualitas, ketersedia an, distribusi, serta nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat setempat, yaitu karakteristik dan perilaku konk sumsi pangan. Daerah otonom s pangan idealnya merupakan suatu daerah yang mampu memproduksi, mengolah, dan memasarkan pangan berkualitas serta sesuai dengan karakteristik dan perilaku konsumsi pangan masyarakat dalam satu wilayah administratif. Otonomi pangan setidaknya memiliki empat kelebihan. Pertama, berbasis sumber daya lokal yang tahan krisis ekonomi. Fluktuasi perekonomian global yang sulit diprediksi menyebabkan ketidakpastian harga pangan. Dengan begitu, harga pangan tidak hanya dipengaruhi biaya produksi, tetapi juga dipengaruhi kurs mata uang, kebijakan fiskal dan moneter, hubungan luar negeri, dsb. Begitu banyak variabel yang sulit diprediksi akan menyebabkan ketersedia an dan harga pangan rentan krisis ekonomi. Kedua, memperpendek rantai perdagangan. Faktor utama tingginya harga pangan dalam negeri jika dibandingkan dengan pangan impor ialah rantai perdagangan yang panjang. Penguasaan lahan, infrastruktur, teknologi, kontinuitas, dan produksi yang relatif rendah dari petani lokal menjadi ladang subur bagi rentenir dan pengepul untuk meraup keuntungan. Otonomi pangan dengan cakupan pemasaran yang relatif sempit (dalam satu kabupaten/kota atau provinsi) dapat memperpendek rantai tersebut. Ketiga, menggerakkan dan memperkukuh perekonomian lokal. Harga yang terjangkau karena rantai perdagangan pendek akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada gilirannya memperkukuh stabilitas perekonomian nasional. Keempat, memperkuat kelembagaan masyarakat. Teritori yang sempit dan kedekatan masyarakat menjadi modal sosial yang baik untuk perkembangan kelembagaan masyarakat, seperti kelembagaan petani, nelayan, buruh, dan pedagang. Masyarakat yang terlembagakan dengan baik dapat menjalankan fungsi controlling dan supporting terhadap sistem ketahanan pangan. Desentralisasi komoditas Kemandirian pangan daerah sangat bersifat spesifik. Hal itu karena kemampuan dan ketersediaan sumber daya yang berbeda di setiap daerah. Kebijakan sentralisasi komoditas menyebabkan permasalahan ekologis, sosial-ekonomi, dan cultural shock di tingkat daerah. Keragaman daerah melahirkan perbedaan karakteristik dan besaran persoalan pangan yang ada. Pemerintah daerah perlu diberi kewenangan untuk menentukan komoditas unggulan daerahnya. Desentralisasi komoditas memiliki tiga kelebihan. Pertama, terkait dengan akseptabilitas masyarakat. Komoditas pangan daerah tidak lahir begitu saja. Itu merupakan sebuah konsensus masyarakat yang telah terbangun sejak lama. Modal sosial seperti ini akan membentengi pasar-pasar lokal dari serbuan pangan impor. Kedua, kelestarian ekologis. Pihak yang pertama dirugikan kerusakan ekologi adalah masyarakat yang mendiami daerah tersebut. Dalam dinamika dan perkembangan interaksinya dengan lingkungan, manusia menemukan tata cara yang tepat untuk memproduksi pangan di suatu daerah. Oleh karena itu, produksi pangan dengan kearifan lokal daerah lebih menjaga kelestari an ekologis. Ketiga, komoditas pangan unggulan daerah menjadi aset suatu daerah. Saat ini komoditas pangan adalah komoditas ekonomi. Pangan unggulan daerah dapat menjadi sarana promosi dan pariwisata yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Otonomi pangan dan desentralisasi komoditas dengan perangkat kewenangan secara otonom akan mampu menjamin ketersediaan pangan suatu daerah. Perangkat kelembagaan masyarakat juga efektif dalam mengawasi kelestarian lingkungan. Jika sewaktu-waktu terjadi krisis pangan, pemerintah daerah dapat memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan infrastruktur untuk mengatasi krisis tersebut secepat mungkin. Hal-hal yang perlu diperhatikan pemerintah pusat antara lain pengawasan terhadap harga pangan pokok. Ketersediaan sumber daya, bencana, serangan hama, dsb dapat menyebabkan disparitas harga pangan antardaerah, yang jika dibiarkan akan mengganggu ketersediaan pangan. http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/05/ArticleHtmls/Otonomi-Pangan-dan-Desentralisasi-Komoditas-05052012025013.shtml?Mode=1

Quo Vadis Confidentiality Advokat-Klien?

Oleh: FRANS H WINARTA Dalam menjalankan profesinya, seorang advokat (lawyer) memiliki kewajiban untuk selalu menyimpan rahasia kliennya dalam menjaga hubungan dengan kliennya.Tugas pertama advokat adalah menyimpan rahasia klien (client). Kerahasiaan (confidentiality) adalah yang utama dari hak profesi hukum dan sebaliknya informasi yang diakui berupa hak (privilege) untuk membela yang berasal dari klien, keputusan untuk membuka kerahasiaan tersebut kepada umum atau pengadilan adalah merupakan hak klien dan bukan advokat. Gaselee J menegaskan, “…the first duty of an attorney is to keep the secrets of his client. Authority is not wanted to establish that proposition…”. Atas dasar hubungan kerahasiaan seperti itu, klien menginginkan advokat menyimpan dokumen-dokumen dalam perkara di pengadilan dan quasi peradilan, dan tidak boleh diungkapkan kecuali atas kemauan atau perintah klien. Pada prinsipnya klien ingin dirinya aman dan dilindungi. Begitu penting dan prinsipil hubungan kerahasiaan ini sehingga tanpa izin dari klien seorang advokat tidak dapat membuka rahasia klien kepada siapa pun. Secara internasional, hal ini pun diatur dalam International Bar Association (IBA) International Code of Ethics pada nomor 14 yang menyatakan: “Lawyers should never disclose, unless lawfully ordered to do so by the Court or as required by Statute, what has been communicated to them in their capacity as lawyers even after they have ceased to be the client’s counsel.” Hak istimewa (privilege) profesi hukum, sebagaimana kita kenal sekarang adalah berakar dari konsep kepercayaan (concept of confidence). Seseorang atau kuasa hukum boleh bicara dan membela atas halhal atau isu dalam rangka pembelaan dan tanpa rasa takut akan disalahgunakan.Hak istimewa ini merupakan perlindungan hak hukum seseorang. Sebenarnya hak istimewa untuk membela otomatis gugur kalau rahasia klien diungkapkan di depan umum tanpa persetujuan klien. Sementara, dalam Pasal 1797 KUH Perdata ditegaskan bahwa “Si kuasa tidak diperbolehkan melakukan sesuatu apa pun yang melampaui kuasanya.” Perilaku para advokat yang melanggar kerahasiaan klien harus ditindak oleh organisasi advokat karena telah melanggar kode etik profesi advokat. Jelas, pembocoran rahasia ini merugikan klien dan merupakan pelanggaran etika dan hak istimewa antara advokat-klien (lawyer-client privilege). Persepsi atas fungsi advokat perlu diluruskan kalau kita tidak ingin melihat lebih banyak lagi korban pelanggaran etika profesi advokat yang merugikan para pencari keadilan sebagaimana tadi sudah diutarakan bahwa kewajiban utama advokat adalah menjaga kerahasiaan klien. Konflik Kepentingan Yang pertama harus dipastikan seorang pencari keadilan ketika membutuhkan jasa hukum dari seorang advokat adalah memastikan apakah ada konflik (benturan) kepentingan (conflict of interest) ketika dia ditunjuk sebagai “legal counsel”. Benturan kepentingan adalah satu hal yang harus dihindarkan oleh orang (klien) yang beperkara. Di sini perlu kejujuran dari advokat, betapapun perkara itu menarik atau menjadi perhatian masyarakat, dirinya harus rela mundur kalau ada benturan kepentingan. Adanya benturan kepentingan jelas dapat mengorbankan kerahasiaan pencari keadilan dan sebagai klien dikorbankan kepentingannya oleh advokat yang ditunjuk sebagai kuasa hukum (advokat). Kalau keadaan ini dibiarkan berlarutlarut, maka fair trial tidak akan tercapai khususnya due process of law. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menghadapi keadaan ini adalah dengan pendidikan dan kursus advokat yang harus menitikberatkan kepada pemahaman kode etik advokat, standarisasi profesi advokat, perlindungan kerahasiaan klien, benturan kepentingan, ujian yang bermutu, kualitas dan upaya peningkatan dalam penyelenggaraan pendidikan berkelanjutan (continuouslegaleducation/ CLE). Urgensi Pembentukan Dewan Etika Nasional Sudah saatnya bagi semua organisasi advokat yang ada untuk melupakan perseteruan mereka dan mendirikan Dewan Etika Nasional untuk menertibkan keadaan ini dan menindak advokat yang melanggar kode etik.Apa pun keputusan Dewan Etika Nasional harus dihormati dan diikuti oleh semua organisasi yang ada berupa teguran, skorsing, pemecatan, sampai pencabutan lisensi berpraktik. Perseteruan organisasi advokat yang berkepanjangan inilah menjadi salah satu biang keladi terlantarnya mutu advokat karena sistem kursus dan ujian advokat (PKPA) lebih menitikberatkan kepada kuantitas dan bukan kualitas. Sungguh mengejutkan ketika terbetik berita seorang advokat yang membela seorang tersangka yang menjadi saksi bagi tersangka lain dalam suatu perkara korupsi berpindah klien kepada “lawan kliennya” dalam perkara yang sama,yang rawan benturan kepentingan dan bocornya rahasia klien. Ini bisa terjadi karena ketidakpahaman tentang benturan kepentingan, hubungan kerahasiaan advokat klien ( lawyer-clientprivilege) dan kewajiban menjaga atau menyimpan rahasia klien. Pendek kata, inilah waktu yang tepat untuk membentuk Dewan Etika Nasional dari semua organisasi advokat yang ada di Indonesia.Adalah benar jika ada paradigma yang menyatakan bahwa kebudayaan suatu bangsa dapat dilihat dari perilaku dan sepak terjang para advokat bangsa itu. Oleh karena itu, penertiban praktik dan fungsi advokat merupakan conditio sine qua non untuk memperbaiki citra advokat sebagai profesi hukum yang independen dan berintegritas.● FRANS H WINARTA Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) dan Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional (KHN) http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/492115/

Melihat Kandidat Melalui APBD

Oleh: MUHAMMAD TRI ANDIKA Rakyat Jakarta sesaat lagi akan memasuki babak barunya.Walaupun KPUD Jakarta secara resmi baru mengumumkan kandidat gubernur dan wakil gubernur tanggal 10 Mei nanti, namun gema pilkada sudah terasa sejak beberapa minggu belakangan. Di darat bisa kita lihat berbagai model kampanye tradisional seperti pemasangan spanduk dan stiker hingga cara-cara kreatif penggunaan mobil boks yang mengelilingi Jakarta. Di udara, stasiun televisi telah aktif mengundang para calon kandidat yang disiarkan secara live untuk beradu argumentasi menyampaikan gagasannya membangun Jakarta.Tapi, pertanyaannya, apakah cara-cara itu sudah cukup efektif untuk melihat kualitas para calon? Lebih-lebih untuk mengetahui komitmen politiknya manakala terpilih nanti? Dari sekian banyak cara, ada satu cara yang cukup jujur dan objektif untuk mengukur kualitas dan komitmen politik seorang pimpinan daerah, yakni dari postur APBD yang dibuatnya. Dibanding dengan penyampaian visi misi atau jargon yang terpampang di spanduk, membuka konsep APBD dari para kandidat adalah cara yang lebih cerdas dan mencerdaskan. Selain para kandidat akan semakin dekat dengan calon pemilihnya, proses pilkada ini pada akhirnya mampu memberikan nilai tambah berupa edukasi politik pada masyarakat Jakarta atas ketahuannya pada dapur ide masingmasing kandidat. Sebagai awal dari ide tersebut, penulis dalam artikel ini ingin memulai dengan memberikan paparan sederhana mengenai postur APBD Jakarta. Hal ini penting untuk diangkat setidaknya untuk dua hal; pertama, sebagai informasi kepada masyarakat Jakarta bagaimana sesungguhnya APBD Jakarta berpihak dan kedua sebagai bahan evaluasi bagi para calon kandidat dalam merumuskan pembangunan Jakarta ke depan. APBD Jakarta Prorakyat? Selama ini pengguguran jargon prorakyat sering disimplifikasi pada pembuatan program kerja semata, tanpa mempertimbangkan jumlah alokasi anggarannya.Padahal, jika dilihat lebih seksama,masih berat untuk mengklaim APBD Jakarta sudah prorakyat. Total APBD DKI Jakarta pada 2012 sebesar Rp36,023 triliun,ditopang terutama dari pendapatan daerah sebesar Rp30,642 triliun,di mana pajak daerah memberikan kontribusi Rp18,33 triliun dan sisanya berasal dari penerimaan pembiayaan sebesar Rp5,380 triliun. Melihat besarnya anggaran yang ada,lalu bagaimana dengan pengalokasiannya? Di sinilah titik pentingnya. Dalam RKPD Jakarta 2012, fokus utama anggaran pemda akan diberikan pada sektor pelayanan masyarakat. Dan untuk menunjang hal ini,salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan menaikkan alokasi belanja pegawai melalui kenaikan gaji PNS sebesar 10%.Tahun 2011 alokasi belanja pegawai yakni Rp7,718 triliun, dan naik menjadi Rp8.415 triliun di tahun 2012. Dan,trennya selalu meningkat setidaknya sejak 2008. Mirisnya, angka ini jauh lebih besar dibanding perhatian pemerintah pada sektor pendidikan (Rp7,3 triliun), kesehatan (Rp2,8 triliun), dan alokasi dedicated program. Pada alokasi dedicated program, yakni program prioritas yang dinikmati oleh seluruh warga Jakarta, seperti normalisasi sungai, penanganan banjir,pengelolaan busway, pembuatan MRT, pencegahan polusi, dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat,Pemda DKI hanya mengalokasikan anggaran sebesar RP6,141 triliun di 2011 dan Rp6,775 triliun di 2012. Tidak ada kenaikan yang signifikan. Dibandingkan dengan alokasi belanja pegawai,angka ini jelas sangat timpang. Kesempatan bagi jutaan masyarakat untuk merasakan hidup layak di Jakarta hanya diberikan tidak lebih dari 20% APBD.Sementara, alokasi untuk kesejahteraan PNS di Jakarta yang jumlahnya tidak lebih dari 5% penduduk Jakarta diberikan jauh lebih besar. Melihat postur APBD yang demikian, dengan mudah kita bisa lihat sejauh apa sebenarnya perhatian Pemerintah DKI Jakarta kepada masyarakatnya. Lebih jauh lagi, kita pun bisa melihat sebesar apa komitmen pemerintah Jakarta dalam menyelesaikan masalahmasalah seperti banjir dan transportasi di Ibu Kota. Momen Pilkada Dari paparan di atas, terlihat bahwa alokasi anggaran ternyata lebih banyak untuk menggerakkan mesin birokrasi daripada untuk kepentingan rakyat. Porsi belanja aparatur lebih besar daripada porsi belanja publik. Dengan kata lain, politik anggaran Jakarta belum berada dalam arah yang tepat untuk sebesar besarnya kemakmuran masyarakat Jakarta. Alokasi Rp6,775 triliun tentulah sangatlah kecil untuk sekian juta penduduk DKI Jakarta. Belum lagi masalah yang terkait dengan perilaku korup birokrasi, tingkat kebocoran yang tinggi, dan ketidakefektifantata laksana program pembangunan. Semua itu membuat masyarakat Jakarta akan semakin kesulitan merasakan dampak langsung pembangunan daerah. Barangkali, Pemerintah DKI Jakarta punya segudang alasan untuk menjustifikasi pengalokasian APBD-nya. Namun, anggaran seharusnya tidak hanya berorientasi pada bureaucracy drivennamun juga butuh keberpihakan kepada golongan yang masih belum menikmati “kue pembangunan”, dimana salah satu kuncinya adalah pada sosok gubernur yang memimpinnya. Dalam konteks pilkada Jakarta, event ini bisa menjadi momentum dahsyat bagi masyarakat Jakarta dalam menentukan perubahan besar melalui penelaahan yang seksama atas konsep APBD yang dibawa masingmasing kandidat. MUHAMMAD TRI ANDIKA Dosen Ilmu Politik Universitas Bakrie; Alumnus Ritsumeikan University, Jepang http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/492120/

Funeral Organizer

Oleh: ABDUL MU’TI Istilah funeral organizer mungkin terdengar asing bagi sebagian pembaca. Yang sudah sangat lazim adalah event organizer. Masyarakat kota—bahkan di desa sekalipun— meminta jasa untuk acara pernikahan, pertunangan,ulang tahun, seminar, dan event kebahagiaan lainnya. Alasan utama penggunajasa eventorganizer adalah praktis, hemat energi dan tidak “merepotkan”handai tolan. Biaya yang dikeluarkan mungkin saja lebih murah. Funeral organizer berarti penyelenggara pemakaman. Sebagaimana event organizer lainnya, funeral organizer menyediakanjasayangberhubungan dengan tetek-bengek acara pemakaman.Jasa-jasa yang disediakan antara lain rias jenazah, peribadatan, pelayat (takziah), penyiapan dan prosesi pemakaman. Pihak funeralorganizer menyediakan jasa “pengerahan massa” pelayat. Jumlah dan tingkat “kesedihan” pelayat dapat dipesan sesuai dengan tarif. Semakin banyak jumlah pelayat dan tingkat “duka cita” berkorelasi dengan harga. Semakin banyak massa dan tingkat tangisannya,semakin mahal bayarannya. Fenomena ini memperkuat pameo: maju tak gentar membela yang bayar. Jika dalam dunia politik terkenal massa dan suara bayaran,maka dalam upacara kematian terdapat pelayat bayaran. Sesungguhnya, fenomena ini bukan hal yang baru.Mungkin saja sudah dapat disebut tradisi. Masyarakat muslim tertentu memiliki tradisi membagi-bagi “uang wajib” yang diberikan kepada mereka yang turut mensalatkan jenazah. Jumlahnya tergantung tingkat ekonomi keluarga. Entah apa maksud dan tujuannya.Yang jelas, tradisi ini telah membuat ashab al-musibah menanggung beban spiritual, sosial dan ekonomi yang berlipat ganda terutama bagi keluarga miskin. Selain pelayat bayaran juga terdapat fenomena pendoa bayaran. Pihak keluarga—biasanya yang ekonominya mampu— mendatangkan pendoa dari pesantren, majelis taklim,dan lembaga keagamaan lain. Keluarga terkemuka akan mengundang pendoa kondang dan santri pondok terkenal untuk mendoakan keluarga dan jenazah. Mereka berkeyakinan,doa orang saleh akan lebih terkabul. Tentu tidak ada tarif harga.Yang ada adalah jer basuki mawa bea, atau transpor seikhlasnya. Semakin terpandang suatu keluarga, semakin banyak pendoanya. Sebagian pelayat dan pendoa melaksanakannya secara murni karena Allah. Sebagian lainnya, melayat lebih karena komitmen politik dan “setor muka”.Karena itu,tidak jarang, upacarakematianberubahmenjadi “funeral party” (pesta kematian) layaknya “weddingparty” (pesta pernikahan). Makanan lezat melimpah, karangan bunga meruah. Funeral organizer adalah bentuk “modern” dari tradisi pelayat dan pendoa bayaran.Perbedaannya, funeral organizer bersifat legal, formal, dan profesional.Pelayatdanpendoa bayaran bersifat tradisional dan suka rela. Fenomena sosial ini memperkuat realitas kesenjangan sosial dan spiritual.Masyarakat miskin akan menanggung kesusahan semasa hidup dan ketika mati. Kaum miskin yang mati kesulitan menanggung biaya pemakaman dan mendapatkan lahan pemakaman. Mereka juga miskin pelayat dan pendoa terkemuka. Yang melayat dan mendoakan adalah ulama desa dan sesama orang miskin yang berdoa ala kadarnya. Orang kaya akan mampu membayar funeral organizerdan lahan permakaman luas dan makam yang mewah dan megah. Di negeri ini kita tidak hanya menyaksikan kesenjangan hidup tetapi juga kesenjangan kematian. Orang kaya sudah memiliki lahan permakaman, tetapitidaksiapdengankematian. Orangmiskin,tidaktahuakan dimakamkan di mana, tetapi hidup mereka sangat dekat dan rentan dengan kematian. Demikianlah, masyarakat kita sudah berubah. Masyarakat paguyuban yang ditandai oleh kebersamaan, tolong menolong dan “suka direpotkan” secara perlahan mulai tersimpan di museum. Kekerabatan dan keakraban sosial antarwarga semakin lemah tergerus oleh kesibukan kerja dan bisnis duniawi lain. Rumah keluarga kian kecil.Hal ini selain pertanda mahalnya harga tanah dan rumah juga perubahan sistem kekeluargaan extended familyke arah nuclear family. Keterikatan kemasyarakatan dan kemanusiaan terlihat memudar. Masyarakat hidup nafsi-nafsi; serba menyendiri. Senang sendiri, susah pun sendiri. Kurangnya empati dan simpati membuat masyarakat tidak terlalu terpanggil untuk turut merasakan suka dan duka. Di tengah perubahan sosial itulah berbagai jasa organizer berkembang. Selain memanfaatkan peluang bisnis,juga mengisi kekosongan fitrah manusia yang tidak tergantikan oleh materi. Sesuai fitrahnya, manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran dan perhatian sesamanya. Karena itu, diperlukan rekayasa dan gerakan sosial untuk memperkuat ikatan kewargaan dan kemanusiaan masyarakat. Diperlukan berbagai sarana sosial yang memungkinkan masyarakat saling bertemu dan berinteraksi langsung. Selama ini interaksi personal di antara warga masyarakat jauh berkurang. Forum-forum kewargaan seperti RT dan RW lebih banyak memerankan fungsi administratif pemerintahan dan ketimbang sarana membangun kohesivitas sosial. Ruang publik seperti balai warga nyaris tidak ada. Lembagalembaga keagamaan seperti masjid,musala dan majelis taklim lebih mementingkan kegiatan spiritual-ibadah.Fungsi sosial-kebudayaan masjid nyaris lumpuh. Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana pemerintah menyediakan pelayanan kematian bagi warga negara. Selama ini pelayanan kematian seakan diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat,khususnya lembaga-lembaga keagamaan. Pelayanan kematian bukanlah domain keagamaan semata,melainkan domain politik-pemerintahan. Bagaimana pemerintah menyediakan lahan pemahaman bagi masyarakat. Selama ini banyak pengembang perumahan dan pemukiman baru yang tidak menyediakan fasilitas umum,khususnya makam. Ketegangan antara warga “asli” dengan pendatang di perumahan sebagian disebabkan oleh faktor ini. Karena itu, pemerintah perlu mempersyaratkan ketersediaan fasilitas pemakaman sebagai salah satu syarat pemberian izin. Masyarakat kaya mampu membayar jasa funeral organizeruntuk pemakaman keluarganya.Kewajiban pemerintah untuk menyediakan pelayanan funeral organizer bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Pemerintah tidak boleh menyerahkan hal ini kepada proses alamiah masyarakat. Jika hal ini dibiarkan,negara kita tidak hanya mengalami masalah kehidupan,tetapi juga masalah kematian.● ABDUL MU’TI Sekretaris PP Muhammadiyah, Dosen IAIN Walisongo, Semarang http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/492116/

Kejaksaan Vs Mafia Pajak

AHMAD YANI Wakil Ketua F-PPP DPR RI, Anggota Komisi III DPR RI Korps Kejaksaan harus membuktikan mampu menghentikan sepak terjang mafia pajak. Ne gara mengandalkan korps kejaksaan dalam upaya menyelamatkan dan mengamankan potensi penerimaan dari sektor pajak. Dengan begitu, atas nama negara dan rakyat, Kejaksaan Agung bisa saja menempuh kebijakan atau tindakan luar biasa untuk menekan tindak pidana perpajakan. Merespons pidana perpajakan dengan tindakan luar biasa amat diperlukan karena negara tidak boleh lagi minimalis menghadapi kejahatan yang satu ini. Aksi mafia pajak dengan segala eksesnya adalah persoalan riil. Perampokan oleh mafia pajak menyebabkan negara menderita kerugian besar. Seperti halnya kejahatan di sektor perbankan, kejahatan perpajakan melibatkan sekelompok orang yang ahli dalam bidang perpajakan, baik orang dalam Ditjen Pajak maupun wajib pajak (WP) nakal. Orang yang awam akan sulit menemukan muatan pidana perpajakan dari aksi sekelompok orang itu. Mengacu pada rangkaian kasus penggelapan dan manipulasi restitusi pajak, publik pun sudah berkesimpulan bahwa jaringan mafia pajak berada di balik maraknya kasus penggelapan pajak. Sebuah perkiraan kasar menyodorkan jumlah lebih dari Rp 300 triliun pajak negara yang dicuri setiap tahunnya. Jumlah yang sangat besar untuk bisa dikerjakan hanya oleh satu-dua oknum Ditjen Pajak. Dengan begitu, negara, khususnya kejaksaan, harus all out, tegas, dan militan memerangi pidana perpajakan yang dilakukan oknum birokrasi negara. Kalau perlu, Kejaksaan Agung memosisikan kejahatan perpajakan sederajat dengan kejahatan narkoba, mafia hukum, dan kejahatan korupsi. Korps kejaksaan dipastikan mampu menghadapi kejahatan perpajakan. Kemampuan itu setidaknya sudah teruji dalam menangani kasus Gayus Halomoan Tambunan, terpidana penggelapan pajak yang sudah dibui. Dalam menangani kasus ini, korps kejaksaan bahkan mengungkap dan menindak langsung seorang jaksa senior yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik berupa tindakan jual beli rencana tuntutan. Langkah itu menjadi bukti bahwa Korps Kejaksaan tegas dan militan dalam merespons aksi mafia pajak. Memang, tantangannya sangat berat sebab yang dihadapi adalah kelompok mafia berkekuatan besar dengan kemampuan finansial tak terbatas. Kalau tidak tahan uji, kekuatan besar itu dengan mudah bisa merekayasa proses hukum dan menciptakan peradilan sesat. Shock therapy Penggelapan pajak merupakan modus lain dari tindak pidana korupsi. Seharusnya, KPK proaktif mendalami kejahatan luar biasa ini. Dalam rentang waktu yang sangat panjang, terbentuk persepsi di benak publik bahwa tindak pidana pencurian kekayaan negara bermodus koruptif atau manipulasi hanya terjadi pada sisi belanja pemerintah atau pembiayaan proyek (pengeluaran). Kecenderungan ini menyebabkan publik dan juga KPK hanya fokus pada kasus korupsi atau manipulasi anggaran belanja serta anggaran proyek. Padahal, tindak pidana koruptif yang terjadi di sisi pendapatan atau penerimaan negara cukup tinggi intensitasnya. Contoh kasus yang paling mudah dipahami adalah tindakan oknum bea cukai meloloskan barang selundupan dengan menerima imbalan dari penyelundup. Pada kasus ini, penerimaan negara dari bea masuk barang itu otomatis hilang. Di sektor pajak, penerimaan negara tidak sesuai dengan potensi riil. Modus tindak pidana di sektor perpajakan cukup beragam. Dari modus diskon pajak, modus manipulasi restitusi pajak, sampai modus memenangkan WP dan mengalahkan negara di pengadilan pajak. Dari hasil pemeriksaannya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun melihat modus lain, yakni oknum fiskus melakukan kesalahan yang patut dicurigai sebagai kesengajaan. Semua modus ini sudah dipraktikkan sejak lama sehingga perilaku manipulatif para oknum fiskus terpatri di benak komunitas WP. Maka, menjadi aneh jika pemerintah sampai saat ini masih bersikap adem ayem menghadapi rangkaian fakta kasus penggelapan pajak. Sosok seperti terpidana Gayus Halomoan Tambunan maupun tersangka Dhana Widyatmika diyakini tidak bekerja sendiri. Ketika negara “harus dikalahkan“ dalam pertarungan melawan WP di forum pengadilan pajak, tentu ada sejumlah pihak terlibat dalam proses seperti itu. Institusi pengadilan pajak pun tidak bersih dari percaloan. Selalu ada penawaran untuk membantu penyelesaian sengketa pajak dari pihak-pihak yang tak jelas statusnya. Tak aneh bila dari semua kasus, hampir 90 persen negara dikalahkan WP. Karena itu, langkah kejaksaan Agung menetapkan mantan atasan Dhana Widyatmika, Firman, sebagai tersangka patut diapresiasi. Publik berharap, penegak para jaksa terus mendalami dan memperlebar penyelidikan kasus Dhana untuk menjerat siapa saja yang terlibat dalam kasus ini. Langkah sigap Dirjen Pajak Fuad Rahmany yang telah menghukum 263 pegawai Ditjen Pajak karena melanggar kode etik dan disiplin pun patut dihargai. Namun, indikasi tentang Ditjen Pajak yang belum bersih-bersih amat-kendati sudah menikmati remunerasi-tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Dari kecenderungan tersebut, Dirjen Pajak tampaknya tak cukup hanya menghukum bawahannya yang terbukti melanggar kode etik, tapi harus pula menyerahkan bawahannya untuk diproses hukum. Dirjen Pajak perlu bekerja sama dengan Kejaksaan Agung. PPATK sudah menyebutkan bahwa ada ratusan pegawai pajak yang diduga memiliki rekening tak wajar. http://republika.pressmart.com/PUBLICATIONS/RP/RP/2012/05/05/ArticleHtmls/Kejaksaan-Vs-Mafia-Pajak-05052012004023.shtml?Mode=1

Tahan Miskin, Tak Kuat Kaya

Oleh: MOH MAHFUD MD ”Sompret, memalukan, menjijikkan,” umpat seorang kawan melalui pesan pendek ke HP saya Kamis pagi dua hari yang lalu. Umpatan itu dilontarkan terkait dengan penayangan reportase secara bersambung tentang para pemimpin produk reformasi yang kini terjerat kasus korupsi. ”Korupsi sekarang jauh lebih gila daripada korupsi zamanOrdeBaruyangdulukitaganyang habis,” tulis teman itu dalamsambunganumpatannya. Ngrasani pemimpin-pemimpin korup produk reformasi yang memualkan ini kemudian berlanjut dan saling bersahut dengan celetukan-celetukan gemas melalui BlackBerry Messenger (BBM) sehingga melibatkan satu grup yang anggotanya puluhan orang. Anggota-anggota grup BBM ini adalah eks teman-teman sealmamater,satu kampus saat kuliah tahun 1980- an di Yogya yang tergabung dalam jaringan UII Corner. Kami memang sangat gundah dan cemas menyaksikan banyaknya pemimpin kita sekarang ini yang tersandung masalah korupsi. Apalagi di antara mereka banyak tokoh yang dulunya,saat kami masih di kampus, sangat membanggakan dan menjanjikan harapan bagi perbaikan negeri tercinta sehingga kami mendukungnya, mengelu-elukannya, dan menggotongnya tinggi-tinggi saat terjadi reformasi pada akhir 1990-an. Tapi, setelah menduduki jabatan penting dan bisa turut menentukan hitam-putihnya bangsa dan negara,kini mereka tersandung kasus korupsi.Mereka banyak yang terperosok ke kubangan politik yang jorok. Yang dulu berjuang di terik panasdanhujanuntukmelawan korupsi sekarang menjadi pesakitan karena korupsi. Yang dulu banyak berpidato di berbagai seminar dan forum diskusi agar kita bergerak memperbaiki negeri dengan melawan korupsi kini ikut korupsi pula. Yang dulu berjalan kaki, naik angkot, bergelayutan di bus kota untuk berdemo melawan korupsi kini sudah punya beberapa rumah mentereng dan berbagai jenis mobil mewah yang asal usulnya sulit dijelaskan sehingga disinyalir korupsi. Tak ada yang boleh melarang orang untuk meraih kekayaan dan tak ada yang diizinkan menghalangi orang mengejar kedudukan dan jabatan tinggi. Semua itu adalah hak yang tak boleh dirampas oleh siapa pun. Kita membentuk negara merdeka dan kemudian melakukan reformasi justru untuk membukaaksesbagisetiapkitauntuk menjadiorangkaya danmenjadi pejabatapapunyangdiinginkan asalkan dilakukan dengan caracara halal,bermoral,dan etis. Tapi yang tampak di depan kita sekarang sungguh menyedihkan. Orang yang tadinya pejuang antikorupsi justru menjadi koruptor baru.Yang tadinya kita harapkan dan elu-elukan untuk meluruskan perjalanan dan membersihkan negara dari tikus-tikus koruptor ternyata menjadi biangnya koruptor. Ada yang mengatakan bahwa kita telah membangun sebuah sistem yang salah dalam era Reformasi ini. Pada saat berhasil menumbangkan rezim yang dulu kita anggap korup, kita hanya menjatuhkan tokoh puncaknya tanpa membenahi sistem, tidak menyeleksi tokoh, dan tidak merombak berbagai prosedur yang secara sistemik kotor. Tapi pandangan itu dibantah oleh seorang teman.”Tidaklah, semua gagasan tentang sistem yang katanya baik sudah diadopsi semua di dalam peraturan perundang-undangan kita,” tulis teman itu. ”Betul. Coba, peraturan dan aparat jenis apa yang tak ada dalam sistem kita sekarang untuk memberantas korupsi? Sudah ada semua, kan? Ini soal moral dan mental,Kawan,”tulis yang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa munculnya pemimpinpemimpin seperti itu sebenarnya disebabkan tiadanya visi tentang reformasi di kalangan pemimpin-pemimpin baru itu. Dulu, di zaman Orde Baru, mereka marah pada merajalelanya KKN bukan karena tak suka pada kemungkaran, melainkan karena tidak ikut kebagian korupsi. Maka begitu mendapat peluang berkuasa dan mengatur negara, mereka nikmati itu sebagai kesempatan mendapat giliran untuk melakukan korupsi dan bertindak sewenang-wenang.Jadi bagi mereka reformasi itu adalah pergantian para pelaku korupsi di level para pemimpin. Hamid Basyaib menimpali bahwa para pemimpin muda yang korup nan memalukan itu sebenarnya karena mengalami gegar budaya yang dahsyat. Mereka begitu kaget dan kehilangan keseimbangan mental akibat kemendadakan peningkatan status/posisi dari orang kere menjadi orang berkuasa. Erwin menegaskan bahwa perubahan status bagi mereka itu membuka peluang membalas dendam pada kemiskinan yang disokong oleh merasuknya agama baru ke dalam jiwa para pemimpin itu, yaitu agama hedonisme. ”Wow, diskusi menarik,” timpal Ifdhal. Saya teringat pada apa yang pernah dikatakan Gus Dur bahwa pemimpin sekarang ini adalah orang-orang yang (dulunya) tahan miskin, tetapi (kemudian) tak kuat kaya. Pada saat miskin dan lemah mereka tabah dan tangguh berjuang untuk melawan korupsi dan menegakkan hukum demi bangsa dan negara, tetapi pada saat kaya dan berkuasa mereka tak tahan dan tak kuat untuk melawan dorongan korupsi dan kesewenang-wenangan demi diri sendiri atau keluarganya. Kalau keadaan sudah seperti ini,negara ini sebenarnya ada di tepi jurang. Maka tak ada pilihan lain, negara harus tegas dan mau menjatuhkan hukuman yang mahaberat bagi para koruptor itu. Hukuman biasa tak lagi ditakuti, ejekanejekan tak lagi membuat malu, regenerasi koruptor terus bertumbuh subur. Apa tega kita membiarkan negara meluncur ke jurang kehancuran?  MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/492164/

Membaca Kecenderungan Pilkada DKI

Sejak pendaftaran pasangan calon kepala daerah DKI Jakarta ditutup,dari segi kandidasi, pilkada DKI tahun ini cukup meriah.Ada tiga pasang kandidat yang disokong partai-partai politik,yakni Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, Alex Noerdin-Nono Sampono, Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok),dan Hidayat Nurwahid-Didik J Rachbini. Ada pula dua kandidat independen, yakni Herdardji Soepandji- Ahmad Riza Patria dan Faisal Basri-Biem Benyamin. Menilik banyaknya pasangan calon,persaingannya cukup ketat. Apabila menilik berbagai hasil polling selama ini yang selalu bergerak,maka garis kompetisinya tergambar bahwa pasangan Fauzi-Nachrowi berada pada sisi ekstrem kanan, apabila kanan yang dimaksud adalah incumbent. Ekstrem penantangnya, bukan pasangan independen ternyata, melainkan Jokowi-Ahok. Pasangan terakhir ini, tampak paling atraktif dibanding dengan yang lain, yang sama-sama penantang kubu Fauzi-Nachrowi. Kecenderungan hasil polling yang berkembang, Fauzi- Nachrowi memang masih yang tertinggi, tetapi menurun. Sementara, Jokowi-Ahok popularitasnya cenderung naik. Pasangan-pasangan lain di luarFauzi-NachrowidanJokowi- Ahok,yang berada dalam wilayah penantang, juga tampak berupaya terus mempertegas identifikasi mereka. Yang berpeluang lebih besar, karena identifikasinya jelas, ialah yang ekstrem penantang. Karenanya, apabila hendak menarik perhatian,pasangan lain harus melakukan terobosan untuk menggeser ekstremitas Jokowi-Ahok. Dalam konteks ini, yang berpeluang ialah pasangan Alex-Nono dan Faisal- Biem. Pasangan pertama mengangkat isu menyelesaikan masalah banjir dan macet selama tiga tahun. Pasangan kedua,berpeluang untuk lebih atraktif lagi dalam menggulirkan gerakan sosial, mengingat Faisal-Biem, sebelumnya sempat menjadi ekstrem penantang. Pasangan Hidayat-Didik dan Herdardji-Riza tampak agak susah untuk merebut identifikasi ekstrem penantang. Kedua pasangan tampak kurang begitu atraktif.Pasangan pertama, terkesan susah keluar dari pasar tertutup partai pengusungnya. Pasangan kedua tidak memperlihatkan adanya isu yang menonjol. Kalau kecenderungan demikian tetap bertahan, maka hingga hari-H pemungutan suara pola ekstremitas kompetisinya akan tetap, ibarat garis kontinum, sisi kanan Fauzi-Nachrowi dan sisi kirinya Jokowi- Ahok. Pasangan Jokowi-Ahok tampak mengalami pelejitan popularitas belakangan ini. Isunya, secara umum sebenarnya sama dengan para penantang lain, yakni perubahan. Yang membuat pasangan ini dipandang lebih justru karena manuver politik kampanyenya yang lebih variatif dan cukup efektif. Selain itu, latar belakang mereka sebagai kepala daerah di tingkat kabupaten/ kota serta usianya yang masih relatif muda membuat pasangan ini tampak tidak cukup kesulitan masuk ke segmen pemilih muda. Gaya kampanye yang berbeda sekali dengan pasangan incumbent membuat pasangan ini susah untuk disangkal keberadaannya di wilayah ekstrem penantang. Bukan Matematika Tetapi, politik bukan matematika. Banyak variabel yang susah dikuantifikasi secara pasti. Tidak ada asumsi yang cateris paribus atau tetap, melainkan semuanya bergerak dinamis. Popularitas incumbent bisa saja dikalahkan penantang. Tetapi, juga bisa saja, para penantang tak sanggup menaklukkan benteng pertahanan incumbent. Di antara banyak variabel, manajemen isu akan sangat menentukan siapa yang akhirnya memperoleh banyak dukungan dalam pilkada yang demokratis. Kelebihan incumbent adalah kesempatan untuk menjelaskan banyaknya program baik yang harus dilanjutkan. Pasangan ini dapat meraih dukungan dengan mengatakan bahwa misi harus dituntaskan, dan itu artinya,Fauzi Bowo harus menjabat sebagai gubernur kembali. Incumbent bisa menciptakan kekhawatiran bahwa program-program yang belum sepenuhnya tuntas atau yang sedang direncanakan, seperti program ambisius nan atraktif mass rapid transportation (MRT), dapat tidak akan berlanjut manakala yang berkuasa adalah penantang. Sebaliknya, para penantang akan melakukan berbagai upaya agar pemilih tidak lagi percaya kepada incumbent. Ini satu soal. Soal lain ialah bagaimana para penantang mampu menyuguhkan alternatif atau setidaknya imajinasi pembangunan yang lebih hebat dan lebih masuk akal ketimbang perubahan yang berkesinambungan ala pasangan incumbent. Dua-duanya sudah dilakukan. Yang pertama, terkait dengan negative campaign, yang manakala tidak dilakukan secara hati-hati dan cermat, dapat jadi bumerang bagi pelemparnya. Yang kedua,isu-isu alternatif dan imajinatif harus memperoleh kemasannya yang tepat, sebab kalau tidak ia sudah diborong oleh incumbent. Pihak incumbent memang merupakan yang paling banyak memperoleh serangan karena selain merupakan semacam musuh bersama,juga telah menjalankan pemerintahan sebelumnya yang pasti tidak lepas dari kelemahan.Eksploitasi kelemahan ini mudah dilakukan secara verbal,tetapi efektivitasnya belum tentu tinggi. Perubahan- Kesinambungan Betapapun demikian, para penantang tetap punya kesempatan untuk menggoyahkan argumen- argumen kemapanan dan kesinambungan ini dengan melejitkan popularitas karismatik atau populisme.Yang paling atraktif dari sudut ini adalah pasangan Jokowi-Ahok.Dengan pendekatan solidarity maker, pasangan ini melejit. Pelipatgandaan popularitas terjadi tanpa harus memaksakan diri untuk mengedepankan argumen dan logika incumbent yangproblem solver. Dengan risiko bahaya populisme, ekstrem penantang sesungguhnya lebih diuntungkan dari konteks psikologi mesias, bahwa ia berpotensi menjadi semacam juru selamat. Ketika incumbent dipandang banyak kelemahan atau tidak memuaskan, maka posisi estrem penantang sangat strategis. Tetapi,dalam kasus pilkada DKI kali ini, logika dan pola ekstrem dalam perilaku pemilih belum tampak. Artinya, tidak mudah bagi ekstrem penantang melibas ekstrem incumbent. Argumen perubahan semata tidak cukup mampu diterima, terutama oleh kalangan rasionalis dan mapan. Kubu incumbent dapat goyah, apabila ada distrust yang kuat. Tetapi, untuk menghadirkan itu, tentu sangat tidak mudah. Jadi, setidaknya, sampai artikel ini ditulis, kecenderungan yang masih terlihat adalah masih kuatnya kubu incumbent. Wallahua’lam.● M ALFAN ALFIAN Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional (Unas), Jakarta http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/492119/